“Sungguh?” Zsazsa mengulang, dengan ketidak percayaan yang memekat seluruh permukaan wajahnya. Luca mengangguk. “Apakah itu menjadi masalah untukmu?”Zsazsa mengerjap. Terkejut dengan keterkejutannya sendiri. “Jadi dia mantanmu, begitu?”Senyum di wajah Luca membeku, menelengkan wajahnya ke arah Zsazsa dengan kerutan di antara kedua alis. “Begitukah?”Zsazsa terdiam, ada ejekan di kedua mata Luca yang seolah mempermainkannya. “Aku ingin istirahat,” ucapnya sinis. Melangkah masuk ke dalam rumah Luca. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam tempat ini. Tak tahu harus berjalan ke arah mana. Ada dua tangga yang menyatu ke lantai dua, lampu hias yang begitu besar, foto Luca dan Ken yang begitu besar. Satu di dinding ruang tamu dan entah ini ruang tengah atau ruang apa. “Nyonya?” Seorang pelayan mendekati Zsazsa. “Bisakah kau tunjukkan di mana kamar … tamu, mungkin?”Kening pelayan tersebut tampak menyatu dengan keheranan. “T-tuan mengatakan Anda adalah istri …”“Lantai dua, pintu pertama
Suara ketukan di pintu memaksa mata Zesil yang rasanya baru saja terpejam untuk terbuka. Sejenak terkejut dengan lengan yang menelusup di balik selimut, tetapi ingatannya dengan cepat memenuhi kepalanya apa yang telah terjadi tadi malam. Lengan yang masih melingkar di perutnya adalah milik Zaiden.“Zesil?” Suara memanggil dari arah pintu sekali lagi menyentakkan Zesil. Menoleh ke arah pintu yang sudah didorong terbuka dan sang mama melangkah masuk.Calia sempat terkejut menemukan Zesil dan Zaiden yang masih berbaring di tempat tidur. Menunggu sejenak untuk meminimalisir keterkejutannya. “Setidaknya ingatkan Zaiden untuk mengunci pintunya, Zesil,” ucapnya kemudian mendekati ranjang. Menepuk punggung telanjang Zaiden yang setengah tertutup selimut.“Bangun, Zaiden. Kau harus ke kantor.” Calia menggoyang pundak sang putra lebih keras, Zaiden menggeliat. Matanya perlahan terbuka. “Pergilah ke kamarmu. Kau harus bersiap untuk ke kantor. Papamu bilang kalian kau harus ikut di pertemuan.”Za
“Lepaskan!” sentak Zsazsa pada cekalan Luca yang berhasil mencegahnya membuka pintu darurat.Luca meraih tas di pundak Zsazsa. “Sopirku yang akan membawa mobilmu.”“Aku mau pulang sendiri, Luca.”Cekalan Luca semakin menguat. Setengah menyeret membawa Zsazsa kembali ke dalam lift, tepat ketika Joanna muncul. Zsazsa yang tak ingin mempermalukan diri dengan keributan tersebut, terpaksa bersikap patuh. “Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Zsazsa. Memasang sabuknya sendiri.“Jam berapa hari ini Ken pulang?” tanya Joanna begitu duduk di dalam mobil. Sementara Luca hendak memasangkan sabuk pengaman Zsazsa. Menarik perhatian Luca yang menatap sisi wajah Zsazsa yang berpaling.“Setelah makan siang. Dua jam lagi.” Luca memperbaiki duduknya, menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.Joanna hanya mengangguk singkat. Matanya tak berhenti mengamati gelagat Zsazsa dan Luca yang tampaknya terlibat dalam perdebatan yang cukup serius. Meski ada rasa tak suka ketika Luca mengulurkan tangan ke arah
“Luca? Luca?!” Suara panggilan yang dibarengi gedoran membangunkan Zsazsa dan Luca pagi itu. Bahkan matahari masih belum memunculkan sinarnya dan di luar masih subuh.“Bangun, Luca! Cepat. Ini benar-benar gawat!” Suara Joanna kembali terdengar dari balik pintu. Diselimuti kecemasan dan gedoran yang semakin kuat. Membuat Luca lekas menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur, mengenakan celana karetnya sebelum mencapai pintu. Matanya masih setengah terpejam ketika memutar kunci dan membuka pintu.“A-ada a- …” Suara serak khas bangun tidurnya tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Joanna memegang kedua lengannya dengan panik.“K-ken?” Joanna menggoyang lengan Luca, wajahnya sudah berurai air mata ketika melanjutkan kalimatnya. “Kita harus membawanya ke rumah sakit.”Kantuk yang masih tersisa seketika lenyap. Kedua mata Luca melebar sempurna. “A-ada apa dengannya?” tanyanya sembari melangkah keluar.“Ken demam. Kita harus …”Zsazsa sempat mendengarkan keadaan Ken sebelum Luca dan
“Anak kalian?” Zaiden menelengkan kepalanya ke arah Zsazsa. “K-kau serius?”“Dia ibu kandung Ken.”Mulut Zaiden menganga tak percaya.“Tapi ternyata Ken adalah keponakan Luca. Hanya saja … kau bisa merasakan gelagat wanita itu, kan? Dia menginginkan Luca.”Zaiden terdiam, tampak berpikir sejenak dan setuju dengan pernyataan Zsazsa. “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau juga menginginkan Luca?”Zsazsa menoleh, menatap Zaiden seolah kepala sang kakak ada tiga. “A-apa?”“Dia hanya ibu dari keponakannya dan kau istrinya. Itu posisi yang berbeda, Zsazsa. Kau lebih dari berhak untuk menginginkannya. Kenapa kau merasa terintimidasi dengannnya.”Zsazsa mendelik tak terima. “Aku tidak!”“Oke. Bagus kalau begitu, tak perlu seemosional ini.”“Aku tidak!”“Oke.” Zaiden menutup mulutnya. Mengedikkan bahunya dan menatap ke arah depan sembari memasang sabuk pengamannya. “Kita jalan sekarang?”“Kau menyetir. Suasana hatiku sedang buruk. Mungkin saja aku bisa menabrakkannya ke pagar jembatan.”*** “Kalia
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu