“K-kenapa kakak di sini?” Satu tangan Zesil bergerak memegang gagang pintu sementara tangannya yang lain berada di dada. Menggigit bibir bagian dalamnya ketika mengingat bagaimana dirinya yang tak berdaya di atas paksaan Zaiden yang begitu kuat.Zaiden terkekeh. “Kau ingin lari?”“A-apa yang kakak inginkan?” Bibir Zesil masih bergetar hebat.“Entahlah. Kau ingin apa yang kuinginkan darimu?”Zesil menelan ludahnya. Air mata mulai merebak di kedua matanya. “K-kenapa kakak lakukan ini pada Zesil?”Seringai di ujung bibir Zaiden semakin tinggi. Ia bangkit berdiri, yang membuat pegangan Zesil pada gagang pintu semakin menguat dan bergerak turun akan membuka pintu. “Jika kau lari, aku akan menangkapmu, Zesil. Jangan membuat keributan yang tak berarti.”Pegangan Zesil membeku, tak berani membuka tetapi ketakutan akan jarak yang semakin dipangkas oleh Zaiden membuat tubuhnya semakin beringsut. Zaiden berhenti tepat di depan Zesil. Salah satu tangannya terpaku di pintu sementara wajahnya berg
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Lucius memecahkan keheningan di ruangan tersebut setelah beberapa saat Luca Alessio meninggalkan ruangan ini. Bersama omong kosong tentang pertanggung jawaban dan lamaran yang akan menyusul setelah keadaan Zsazsa membaik.Lucius sendiri tak punya pilihan untuk mengelak, keseriusan seorang Luca Alessio memang tak bisa ia remehkan. Ia mengenal pria itu dalam dunia bisnis dan cukup berpengaruh. Itulah membuat pria itu tetap dikagumi, pun dengan semua gosip yang menyebar di kalangan mereka.Zsazsa menggeleng dengan pilu. Darimana Luca tahu pun, rasanya bukan pertanyaan yang penting. Pria itu tahu dan tak akan membiarkannya melenggang pergi dari hidup pria itu begitu saja.“Apakah kau begitu tidak menyukainya?” Suara lembut Calia mencoba meredakan kesunyian yang begitu mengkhawatirkan tersebut. Tangannya menggenggam telapak tangan Zsazsa. “Ini bukan soal Zsazsa menyukainya atau tidak, Calia. Alessio memang bukan orang yang tepat untuk menjadi anak menant
"A-apa maksud kakak?" Suara Zesil mulai diselimuti getaran. Kedua kakinya bergerak turun, dan ia sangat sadar kedua mata sang kakak mengamati setiap gerakannya."Kau yakin bisa kabur dariku?"Zesil menelan ludahnya. Ialah yang berada paling jauh dari pintu. Saat ia berlari memutari tempat tidur, Zaiden bisa menangkapnya dengan mudah. Membantingnya ke tempat tidur, melucuti pakaiannya dan melakukan seperti yang dilakukan sang kakak pada malam itu."Kenapa kakak lakukan ini? Tidak cukupkah dengan pernikahan ini? Juga kehamilan ini? Kakak sudah menghancurkan hidup Zesil. Kakak juga sudah melenyapkan impian Zesil untuk …""Menikah dengan pujaan hatimu?" sambar Zaiden dengan kesengitan. Wajahnya yang berkilat oleh kelicikan, kini diselimuti kegelapan ketika Zesil mengungkit tentang Roland. Bahkan sebelum namanya disebut saja, dadanya sudah dipenuhi oleh gemuruh. "Aku sudah bilang, kan? Sebulan yang lalu kalau kau lupa. Lupakan apa pun itu tentang menjalin hubungan apalagi menikah dengannya
“Sungguh?” Zsazsa mengulang, dengan ketidak percayaan yang memekat seluruh permukaan wajahnya. Luca mengangguk. “Apakah itu menjadi masalah untukmu?”Zsazsa mengerjap. Terkejut dengan keterkejutannya sendiri. “Jadi dia mantanmu, begitu?”Senyum di wajah Luca membeku, menelengkan wajahnya ke arah Zsazsa dengan kerutan di antara kedua alis. “Begitukah?”Zsazsa terdiam, ada ejekan di kedua mata Luca yang seolah mempermainkannya. “Aku ingin istirahat,” ucapnya sinis. Melangkah masuk ke dalam rumah Luca. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam tempat ini. Tak tahu harus berjalan ke arah mana. Ada dua tangga yang menyatu ke lantai dua, lampu hias yang begitu besar, foto Luca dan Ken yang begitu besar. Satu di dinding ruang tamu dan entah ini ruang tengah atau ruang apa. “Nyonya?” Seorang pelayan mendekati Zsazsa. “Bisakah kau tunjukkan di mana kamar … tamu, mungkin?”Kening pelayan tersebut tampak menyatu dengan keheranan. “T-tuan mengatakan Anda adalah istri …”“Lantai dua, pintu pertama
Suara ketukan di pintu memaksa mata Zesil yang rasanya baru saja terpejam untuk terbuka. Sejenak terkejut dengan lengan yang menelusup di balik selimut, tetapi ingatannya dengan cepat memenuhi kepalanya apa yang telah terjadi tadi malam. Lengan yang masih melingkar di perutnya adalah milik Zaiden.“Zesil?” Suara memanggil dari arah pintu sekali lagi menyentakkan Zesil. Menoleh ke arah pintu yang sudah didorong terbuka dan sang mama melangkah masuk.Calia sempat terkejut menemukan Zesil dan Zaiden yang masih berbaring di tempat tidur. Menunggu sejenak untuk meminimalisir keterkejutannya. “Setidaknya ingatkan Zaiden untuk mengunci pintunya, Zesil,” ucapnya kemudian mendekati ranjang. Menepuk punggung telanjang Zaiden yang setengah tertutup selimut.“Bangun, Zaiden. Kau harus ke kantor.” Calia menggoyang pundak sang putra lebih keras, Zaiden menggeliat. Matanya perlahan terbuka. “Pergilah ke kamarmu. Kau harus bersiap untuk ke kantor. Papamu bilang kalian kau harus ikut di pertemuan.”Za
“Lepaskan!” sentak Zsazsa pada cekalan Luca yang berhasil mencegahnya membuka pintu darurat.Luca meraih tas di pundak Zsazsa. “Sopirku yang akan membawa mobilmu.”“Aku mau pulang sendiri, Luca.”Cekalan Luca semakin menguat. Setengah menyeret membawa Zsazsa kembali ke dalam lift, tepat ketika Joanna muncul. Zsazsa yang tak ingin mempermalukan diri dengan keributan tersebut, terpaksa bersikap patuh. “Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Zsazsa. Memasang sabuknya sendiri.“Jam berapa hari ini Ken pulang?” tanya Joanna begitu duduk di dalam mobil. Sementara Luca hendak memasangkan sabuk pengaman Zsazsa. Menarik perhatian Luca yang menatap sisi wajah Zsazsa yang berpaling.“Setelah makan siang. Dua jam lagi.” Luca memperbaiki duduknya, menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.Joanna hanya mengangguk singkat. Matanya tak berhenti mengamati gelagat Zsazsa dan Luca yang tampaknya terlibat dalam perdebatan yang cukup serius. Meski ada rasa tak suka ketika Luca mengulurkan tangan ke arah
“Luca? Luca?!” Suara panggilan yang dibarengi gedoran membangunkan Zsazsa dan Luca pagi itu. Bahkan matahari masih belum memunculkan sinarnya dan di luar masih subuh.“Bangun, Luca! Cepat. Ini benar-benar gawat!” Suara Joanna kembali terdengar dari balik pintu. Diselimuti kecemasan dan gedoran yang semakin kuat. Membuat Luca lekas menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur, mengenakan celana karetnya sebelum mencapai pintu. Matanya masih setengah terpejam ketika memutar kunci dan membuka pintu.“A-ada a- …” Suara serak khas bangun tidurnya tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Joanna memegang kedua lengannya dengan panik.“K-ken?” Joanna menggoyang lengan Luca, wajahnya sudah berurai air mata ketika melanjutkan kalimatnya. “Kita harus membawanya ke rumah sakit.”Kantuk yang masih tersisa seketika lenyap. Kedua mata Luca melebar sempurna. “A-ada apa dengannya?” tanyanya sembari melangkah keluar.“Ken demam. Kita harus …”Zsazsa sempat mendengarkan keadaan Ken sebelum Luca dan
“Anak kalian?” Zaiden menelengkan kepalanya ke arah Zsazsa. “K-kau serius?”“Dia ibu kandung Ken.”Mulut Zaiden menganga tak percaya.“Tapi ternyata Ken adalah keponakan Luca. Hanya saja … kau bisa merasakan gelagat wanita itu, kan? Dia menginginkan Luca.”Zaiden terdiam, tampak berpikir sejenak dan setuju dengan pernyataan Zsazsa. “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau juga menginginkan Luca?”Zsazsa menoleh, menatap Zaiden seolah kepala sang kakak ada tiga. “A-apa?”“Dia hanya ibu dari keponakannya dan kau istrinya. Itu posisi yang berbeda, Zsazsa. Kau lebih dari berhak untuk menginginkannya. Kenapa kau merasa terintimidasi dengannnya.”Zsazsa mendelik tak terima. “Aku tidak!”“Oke. Bagus kalau begitu, tak perlu seemosional ini.”“Aku tidak!”“Oke.” Zaiden menutup mulutnya. Mengedikkan bahunya dan menatap ke arah depan sembari memasang sabuk pengamannya. “Kita jalan sekarang?”“Kau menyetir. Suasana hatiku sedang buruk. Mungkin saja aku bisa menabrakkannya ke pagar jembatan.”*** “Kalia