Lucius mengamati Calia yang terpaku pada foto pernikahan mereka di dinding. Cukup lama wanita itu hanya bergeming di tengah ruangan, hingga membuatnya terheran dan menatap bergantian sang istri dan pigura besar tersebut. “Kenapa? Kau tak suka aku memasangnya di sana?”Calia tersadar, mengerjapkan mata dan menoleh ke arah Lucius yang baru saja melepaskan jam tangan. Kepalanya menggeleng dengan cepat. “Kupikir …” Suaranya yang semakin melirih terhenti. Setelah melihat semua pemandangan di ruangan ini, mendadak ia merasa begitu tolol dengan semua pemikirannya tentang Lucius.“Kau pikir apa?” Lucius berjalan mendekat, berhenti tepat di depan Calia yang tampak kebingungan. “Atau kau tak suka rumah baru ini?”Calia menggeleng lagi. “A-aku … aku hanya memikirkan sesuatu yang tidak penting.”“Apa itu?”“Bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa itu berarti sesuatu, kan?”Calia menurunkan pandangannya dengan tatapan menelisik Lucius yang semakin intens. “Akhir-akhir ini … aku hanya memikirkan tentang pe
“Jadi sejak kapan?” Lucius memecah keheningan malam itu. Keduanya tengah berbaring di tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan mereka baru saja menyelesaikan makan malam dengan ketiga kembar dan Haifa satu jam yang lalu. Dan ia masih tak menjelaskan kenapa Haifa masih ada di rumah ini, meski tahu Calia yang merasa tak percaya diri dengan keberadaan wanita itu.Setelah lebih dari sepuluh tahun cintanya bertepuk sebelah tangan, meredam rindu dan kecemburuan. Keegoisannya ingin membuat Calia membayar semua itu dengan tuntas. Ia ingin kecemburuan wanita itu lebih jelas, yang akan semakin memperjelas bahwa perasaan cinta sang istri padanya bukanlah sekedar mimpi. Tetapi harapan yang sudah menjadi kenyataan. Kepala Lucius menoleh, menatap punggung Calia yang berbaring memunggunginya. Sudah setengah jam keduanya berbaring di ranjang yang empuk dan tubuh yang ditutup selimuti hingga perut. Tetapi ia tahu sang istri belum tidur.Calia menoleh, tubuhnya kemudian berbaring t
Lamunan Calia teralih ketika pandangannya tanpa sengaja menangkap gerakan dari area depan rumah. Ya, jendela kaca kamar memang mengarah langsung ke sana. Membuatnya bisa melihat dengan jelas kesibukan dari gerbang rumah, taman dan teras depan.Sebuah mobil hitam mengkilat diparkir tak jauh dari taman, seorang pria bersetelan rapi serba hitam melangkah turun dari balik kemudi. Rambutnya yang bergelombang disisir rapi ke belakang. Berjalan dengan langkah tenangnya menuju undakan teras.Mata Calia menyipit, mengamati wajah yang tampak familiar tersebut. Tetapi ingatannya tak bisa menemukan apa pun. Kemudian gerakan dari dalam rumah membuat perhatian Calia kembali teralih. Melihat Haifa yang berjalan dengan langkah terburu menghampiri si pria. Begitu tubuh keduanya saling bertabrakan, Haifa mengalungkan kedua lengan di leher si pria. Mendaratkan bibir di bibir pria itu.Kedua bola mata Calia membeliak terkejut. Merasakan panas dan malu yang bercampur aduk menyaksikan adegan intim ters
“Jadi apa yang dikatakannya benar?”“Ya, tuan Cayson. Rutin berhubungan badan dapat menurunkan tekanan darah, sehingga baik untuk ibu hamil. Sekarang usia kehamilan nyonya Cayson sudah cukup aman dan kuat. Akan tetapi anda perlu memperhatikan beberapa hal yang bisa membuat nyonya Cayson tidak nyaman atau .…” Lucius mendengarkan dengan seksama setiap kata yang dijelaskan dokter Kirana dari seberang sana. Tanpa melepaskan pandangan dari Calia yang berbaring di sampingnya dengan mata terpejam. Wajah wanita itu tampak lelah, tetapi ia bisa melihat kepuasan dan ketenangan yang menyelimuti. Tangannya terjulur, menyelipkan beberapa helaian rambut Calia ke balik telinga. Menarik selimut hingga menutupi pundak sang istri yang telanjang.“Baik, Dokter. Saya akan memperhatikan semua itu dengan baik. Terima kasih sudah mengganggu waktu Anda.” Lucius mengakhiri panggilan. Mendaratkan satu kecupan di kening sebelum bergerak ke tepi ranjang dan menurunkan kedua kakinya. Meraih celana karet yang ada
Kelopak mata Calia bergerak oleh sentuhan lembut di kening dan bibir. Begitu lembut dan seringan bulu, seolah sangat berhati-hati agar tidurnya tak terganggung. Namun, sekeras apa pun kehati-hatian dalam belaian tersebut, ia tetap terbangun dengan cara yang menyenangkan. Dengan kebahagiaan yang membuncah di dadanya.Lucius yang menyadari cumbuannya segera menarik wajahnya, membeliak penuh sesal. “Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu,” bisiknya penuh kelembutan. Calia menggeleng, mengusap matanya dengan punggung tangan menjernihkan pandangannya. Senyumnya semakin lebar melihat wajah tampan dan segar Luciuslah yang menyambut pagi harinya yang begitu cerah. Tangannya bergerak terangkat, merangkum sisi wajah sang suami dengan kedua mata yang berbinar bahagia. Dadanya masih berdebar kencang melihat dan menyentuh wajah tampan sang suami.“Apakah aku memang setampan itu di matamu?” dengus Lucius, menundukkan wajahnya untuk mengusapkan ujung hidungnya di ujung hidung sang istri dengan gemas.
“Mau ke mana kau?" Lucius tergelagap ketika kepalanya reflek terangkat dan matanya yang terbuka sempurna menemukan Calia sudah bangun terduduk.Mata Calia yang setengah mengantuk pun ikut terkejut melihat Lucius terbangun. Tangan pria itu bergerak mencari. Ya, sebelum ia terlelap, Lucius memang selalu memastikan dirinya tak lepas dari pengawasan pria itu. Jika ia sedang merasa badannya cukup nyaman berada dalam pelukan sang suami, Lucius akan memeluknya sepanjang malam. Dan saat ia merasa sedang tak nyaman dalam posisi tidur yang berubah-ubah, pria itu selalu memastikan menggenggam telapak tangannya."Aku ingin ke kamar mandi sebentar," jawabnya lembut. Menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai. "Tidurlah, Lucius. Aku bisa melakukannya sendiri.""Panggil aku jika membutuhkan sesuatu." Lucius ikut terduduk dan bersandar di kepala ranjang. Memeriksa jam di atas meja kecil yang masih menunjukkan jam dua pagi. Ini ketiga kalinya Calia bangun untuk ke kamar mandi. Tetapi
Extra Part Zsazsa Xavera CaysonBibir mungilnya mengerucut, mata bulatnya yang polos menatap sinis pada pemandangan yang terpampang di depannya. Sang mama yang sibuk tertawa pada bayi mungil di pangkuan, sementara tak jauh dari sofa sang papa menggendong bayi perempuan. Tubuh besar papanya berayun ke kanan dan ke kiri. Berusaha menenangkan bayi yang tak mau berhenti menangis tersebut. Meski begitu, sang papa menatap wajah mungil tersebut dengan senyum yang lembut. Membuatnya merasa tersisihkan karena mama dan papanya sibuk memperhatikan kedua bayi yang menyebalkan tersebut.Ceklikk …Zsazsa mengerjapkan mata sembari membuang pandangannya ke samping. Bayangan masa lalu yang terpahat di ingatannya itu lenyap oleh silau cahaya kamera yang menyorot ke wajahnya, sempat membuatnya kehilangan keseimbangan di atas sepatu tumit tingginya."Apa kakak baik-baik saja?" Suara lembut dan manis dari tubuh di sampingnya membuatnya menggeleng dengan singkat di matanya yang berubah dingin. Tetapi kemud
Zayn menoleh, merasakan sodokan siku sang adik di perutnya ketika Zaiden melangkah masuk ke dalam kamar Zsazsa."Kalian berdua benar-benar sudah kehilangan kewarasan, hah?""Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Zaiden. Aku dan Cailey …." Mulut Zayn seketika menutup dengan tatapan tajam Zaiden yang sama mengerikannya dengan tatapan sang papa. "Kami … semua berjalan begitu tiba-tiba dan mengalir begitu saja.""Putuskan hubunganmu dengannya. Secepatnya. Atau aku akan memberitahu papa dan papa Lukas. Dan kau tahu apa yang mereka lakukan akan jauh lebih tidak menyenangkan." Tatapan Zaiden tegas, tak ada bantahan yang sanggup keluar dari mulut Zayn. Kemudian pria itu beralih pada Zsazsa yang wajahnya sudah mengerut."Apa?" delik Zsazsa kemudian, menyamarkan ketakutannya. Tetapi secepat keberaniannya mengembung, secepat itu pula keberanian mengempis dengan tatapan Zaiden. "A-aku … aku mabuk. Aku bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana kami bangun di kamar hotel itu," desahnya dengan suara yang