Lamunan Calia teralih ketika pandangannya tanpa sengaja menangkap gerakan dari area depan rumah. Ya, jendela kaca kamar memang mengarah langsung ke sana. Membuatnya bisa melihat dengan jelas kesibukan dari gerbang rumah, taman dan teras depan.Sebuah mobil hitam mengkilat diparkir tak jauh dari taman, seorang pria bersetelan rapi serba hitam melangkah turun dari balik kemudi. Rambutnya yang bergelombang disisir rapi ke belakang. Berjalan dengan langkah tenangnya menuju undakan teras.Mata Calia menyipit, mengamati wajah yang tampak familiar tersebut. Tetapi ingatannya tak bisa menemukan apa pun. Kemudian gerakan dari dalam rumah membuat perhatian Calia kembali teralih. Melihat Haifa yang berjalan dengan langkah terburu menghampiri si pria. Begitu tubuh keduanya saling bertabrakan, Haifa mengalungkan kedua lengan di leher si pria. Mendaratkan bibir di bibir pria itu.Kedua bola mata Calia membeliak terkejut. Merasakan panas dan malu yang bercampur aduk menyaksikan adegan intim ters
“Jadi apa yang dikatakannya benar?”“Ya, tuan Cayson. Rutin berhubungan badan dapat menurunkan tekanan darah, sehingga baik untuk ibu hamil. Sekarang usia kehamilan nyonya Cayson sudah cukup aman dan kuat. Akan tetapi anda perlu memperhatikan beberapa hal yang bisa membuat nyonya Cayson tidak nyaman atau .…” Lucius mendengarkan dengan seksama setiap kata yang dijelaskan dokter Kirana dari seberang sana. Tanpa melepaskan pandangan dari Calia yang berbaring di sampingnya dengan mata terpejam. Wajah wanita itu tampak lelah, tetapi ia bisa melihat kepuasan dan ketenangan yang menyelimuti. Tangannya terjulur, menyelipkan beberapa helaian rambut Calia ke balik telinga. Menarik selimut hingga menutupi pundak sang istri yang telanjang.“Baik, Dokter. Saya akan memperhatikan semua itu dengan baik. Terima kasih sudah mengganggu waktu Anda.” Lucius mengakhiri panggilan. Mendaratkan satu kecupan di kening sebelum bergerak ke tepi ranjang dan menurunkan kedua kakinya. Meraih celana karet yang ada
Kelopak mata Calia bergerak oleh sentuhan lembut di kening dan bibir. Begitu lembut dan seringan bulu, seolah sangat berhati-hati agar tidurnya tak terganggung. Namun, sekeras apa pun kehati-hatian dalam belaian tersebut, ia tetap terbangun dengan cara yang menyenangkan. Dengan kebahagiaan yang membuncah di dadanya.Lucius yang menyadari cumbuannya segera menarik wajahnya, membeliak penuh sesal. “Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu,” bisiknya penuh kelembutan. Calia menggeleng, mengusap matanya dengan punggung tangan menjernihkan pandangannya. Senyumnya semakin lebar melihat wajah tampan dan segar Luciuslah yang menyambut pagi harinya yang begitu cerah. Tangannya bergerak terangkat, merangkum sisi wajah sang suami dengan kedua mata yang berbinar bahagia. Dadanya masih berdebar kencang melihat dan menyentuh wajah tampan sang suami.“Apakah aku memang setampan itu di matamu?” dengus Lucius, menundukkan wajahnya untuk mengusapkan ujung hidungnya di ujung hidung sang istri dengan gemas.
“Mau ke mana kau?" Lucius tergelagap ketika kepalanya reflek terangkat dan matanya yang terbuka sempurna menemukan Calia sudah bangun terduduk.Mata Calia yang setengah mengantuk pun ikut terkejut melihat Lucius terbangun. Tangan pria itu bergerak mencari. Ya, sebelum ia terlelap, Lucius memang selalu memastikan dirinya tak lepas dari pengawasan pria itu. Jika ia sedang merasa badannya cukup nyaman berada dalam pelukan sang suami, Lucius akan memeluknya sepanjang malam. Dan saat ia merasa sedang tak nyaman dalam posisi tidur yang berubah-ubah, pria itu selalu memastikan menggenggam telapak tangannya."Aku ingin ke kamar mandi sebentar," jawabnya lembut. Menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai. "Tidurlah, Lucius. Aku bisa melakukannya sendiri.""Panggil aku jika membutuhkan sesuatu." Lucius ikut terduduk dan bersandar di kepala ranjang. Memeriksa jam di atas meja kecil yang masih menunjukkan jam dua pagi. Ini ketiga kalinya Calia bangun untuk ke kamar mandi. Tetapi
Extra Part Zsazsa Xavera CaysonBibir mungilnya mengerucut, mata bulatnya yang polos menatap sinis pada pemandangan yang terpampang di depannya. Sang mama yang sibuk tertawa pada bayi mungil di pangkuan, sementara tak jauh dari sofa sang papa menggendong bayi perempuan. Tubuh besar papanya berayun ke kanan dan ke kiri. Berusaha menenangkan bayi yang tak mau berhenti menangis tersebut. Meski begitu, sang papa menatap wajah mungil tersebut dengan senyum yang lembut. Membuatnya merasa tersisihkan karena mama dan papanya sibuk memperhatikan kedua bayi yang menyebalkan tersebut.Ceklikk …Zsazsa mengerjapkan mata sembari membuang pandangannya ke samping. Bayangan masa lalu yang terpahat di ingatannya itu lenyap oleh silau cahaya kamera yang menyorot ke wajahnya, sempat membuatnya kehilangan keseimbangan di atas sepatu tumit tingginya."Apa kakak baik-baik saja?" Suara lembut dan manis dari tubuh di sampingnya membuatnya menggeleng dengan singkat di matanya yang berubah dingin. Tetapi kemud
Zayn menoleh, merasakan sodokan siku sang adik di perutnya ketika Zaiden melangkah masuk ke dalam kamar Zsazsa."Kalian berdua benar-benar sudah kehilangan kewarasan, hah?""Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Zaiden. Aku dan Cailey …." Mulut Zayn seketika menutup dengan tatapan tajam Zaiden yang sama mengerikannya dengan tatapan sang papa. "Kami … semua berjalan begitu tiba-tiba dan mengalir begitu saja.""Putuskan hubunganmu dengannya. Secepatnya. Atau aku akan memberitahu papa dan papa Lukas. Dan kau tahu apa yang mereka lakukan akan jauh lebih tidak menyenangkan." Tatapan Zaiden tegas, tak ada bantahan yang sanggup keluar dari mulut Zayn. Kemudian pria itu beralih pada Zsazsa yang wajahnya sudah mengerut."Apa?" delik Zsazsa kemudian, menyamarkan ketakutannya. Tetapi secepat keberaniannya mengembung, secepat itu pula keberanian mengempis dengan tatapan Zaiden. "A-aku … aku mabuk. Aku bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana kami bangun di kamar hotel itu," desahnya dengan suara yang
“Zesil masih 19 tahun, itupun masih minggu depan, Lucius.”“Anak mereka yang tertarik dengan Zesil dan sepertinya Zesil pun menyukai pemuda itu. Mungkin kita bisa melakukan pertunangan lebih dulu. Agar mereka lebih dekat dan lebih mengenal satu sama lain sebelum ke jenjang pernikahan.”“Lalu bagaimana dengan Zsazsa? Kenapa kau tidak mengenalkan Zsazsa dengan seseorang? Dia sudah 26 tahun.”“Bukan karena aku lebih memperhatikan masa depan Zesil daripada Zsazsa, Calia. Tapi … kau tahu kalau Zsazsa sama sekali tak tertarik dijodohkan. Anak itu selalu menghindari setiap kali kita membahas masalah teman pria, kekasih, apalagi pernikahan.” Lucius mengambil dasi yang sudah disiapkan sang istri di ujung ranjang. Berjalan ke meja rias dan berdiri di belakang sang istri yang baru saja meletakkan handuk untuk mengeringkan rambut yang basah. Kemudian mengambil pengering rambut.“Itu karena kau sibuk memberinya pekerjaan di kantor?”Lucius menghela napas rendah. Entah cara apalagi ia harus menjelas
“Sejak tadi kau tak berhenti tersenyum,” goda Zale. Menusukkan ujung jarinya pada perut Zesil. “Apakah kau begitu senang?”“Hentikan, Zale.” Zesil memukul tangan Zale. Menjauhkan tubuhnya dari pemuda itu tetapi punggungnya malah membentur tubuh lainnya yang tanpa ia sadari ada di dekatnya. Hingga terpental kembali ke depan. Zesil pun berputar, mendapatkan tatapan tajam Zaiden yang berdiri kokoh di tempatnya. “Maaf, Kak,” ucapnya dengan gurat ketakutan di wajah dan gegas melingkarkan lengannya di lengan Zale. Membawa sang saudara menuju mobil mereka yang sudah disiapkan di halaman.“Ck, kenapa kau begitu serius, Zaiden. Lihatlah, dia sampai lari terbirit-birit. Dia tak sengaja.” Zayn merangkulkan lengannya di pundak Zaiden.Zaiden menyentakkan lengan Zayn. “Dia sengaja. Sengaja membuat suasana hatiku memburuk bahkan di pagi hari.”Zayn mendesah pelan. “Dia saudara kita.”“Saudaramu. Aku tak pernah menganggapnya saudara.”Zayn melengkungkan senyum mirisnya.Zaiden menoleh, menatap Zayn
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga