Zayn menoleh, merasakan sodokan siku sang adik di perutnya ketika Zaiden melangkah masuk ke dalam kamar Zsazsa."Kalian berdua benar-benar sudah kehilangan kewarasan, hah?""Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Zaiden. Aku dan Cailey …." Mulut Zayn seketika menutup dengan tatapan tajam Zaiden yang sama mengerikannya dengan tatapan sang papa. "Kami … semua berjalan begitu tiba-tiba dan mengalir begitu saja.""Putuskan hubunganmu dengannya. Secepatnya. Atau aku akan memberitahu papa dan papa Lukas. Dan kau tahu apa yang mereka lakukan akan jauh lebih tidak menyenangkan." Tatapan Zaiden tegas, tak ada bantahan yang sanggup keluar dari mulut Zayn. Kemudian pria itu beralih pada Zsazsa yang wajahnya sudah mengerut."Apa?" delik Zsazsa kemudian, menyamarkan ketakutannya. Tetapi secepat keberaniannya mengembung, secepat itu pula keberanian mengempis dengan tatapan Zaiden. "A-aku … aku mabuk. Aku bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana kami bangun di kamar hotel itu," desahnya dengan suara yang
“Zesil masih 19 tahun, itupun masih minggu depan, Lucius.”“Anak mereka yang tertarik dengan Zesil dan sepertinya Zesil pun menyukai pemuda itu. Mungkin kita bisa melakukan pertunangan lebih dulu. Agar mereka lebih dekat dan lebih mengenal satu sama lain sebelum ke jenjang pernikahan.”“Lalu bagaimana dengan Zsazsa? Kenapa kau tidak mengenalkan Zsazsa dengan seseorang? Dia sudah 26 tahun.”“Bukan karena aku lebih memperhatikan masa depan Zesil daripada Zsazsa, Calia. Tapi … kau tahu kalau Zsazsa sama sekali tak tertarik dijodohkan. Anak itu selalu menghindari setiap kali kita membahas masalah teman pria, kekasih, apalagi pernikahan.” Lucius mengambil dasi yang sudah disiapkan sang istri di ujung ranjang. Berjalan ke meja rias dan berdiri di belakang sang istri yang baru saja meletakkan handuk untuk mengeringkan rambut yang basah. Kemudian mengambil pengering rambut.“Itu karena kau sibuk memberinya pekerjaan di kantor?”Lucius menghela napas rendah. Entah cara apalagi ia harus menjelas
“Sejak tadi kau tak berhenti tersenyum,” goda Zale. Menusukkan ujung jarinya pada perut Zesil. “Apakah kau begitu senang?”“Hentikan, Zale.” Zesil memukul tangan Zale. Menjauhkan tubuhnya dari pemuda itu tetapi punggungnya malah membentur tubuh lainnya yang tanpa ia sadari ada di dekatnya. Hingga terpental kembali ke depan. Zesil pun berputar, mendapatkan tatapan tajam Zaiden yang berdiri kokoh di tempatnya. “Maaf, Kak,” ucapnya dengan gurat ketakutan di wajah dan gegas melingkarkan lengannya di lengan Zale. Membawa sang saudara menuju mobil mereka yang sudah disiapkan di halaman.“Ck, kenapa kau begitu serius, Zaiden. Lihatlah, dia sampai lari terbirit-birit. Dia tak sengaja.” Zayn merangkulkan lengannya di pundak Zaiden.Zaiden menyentakkan lengan Zayn. “Dia sengaja. Sengaja membuat suasana hatiku memburuk bahkan di pagi hari.”Zayn mendesah pelan. “Dia saudara kita.”“Saudaramu. Aku tak pernah menganggapnya saudara.”Zayn melengkungkan senyum mirisnya.Zaiden menoleh, menatap Zayn
Affair of Triplets (Season 2)“Kau yakin tak ingin di rumah saja?” bisik Zsazsa ketika mobil mulai memasuki kediaman paman mereka, Lukas Cayson. Mobil-mobil sudah memenuhi halaman rumah tersebut, tetapi masih ada beberapa tamu yang di luar. Ada nada mengejek di ujung suaranya. “Zaiden bisa putar balik, mungkin kita bisa membuat alasan kalau mobilnya mogok dan pergi ke suatu tempat. Yang lebih menyenangkan,” godanya kemudian.Zaiden yang duduk di balik kemudi hanya melirik tak tertarik. “Untuk menghibur patahan-patahan hatimu.” Ada kikikan yang terselip ketika Zsazsa semakin mendekatkan bibirnya di telinga sang kakak.Zayn menoleh, menyentuhkan ujung telunjuknya di kening adik dan mendorong menjauh. Matanya menyipit, membaca ekspresi sang adik lebih dalam. “Menghiburku? Bukan dirimu sendiri?”Senyum mengejek Zsazsa seketika memudar, digantikan tatapan dinginnya sebelum mendengus tipis dan membuang mukanya ke samping.“Kenapa? Kau juga sedang ada masalah?” Zaiden memperbaiki kaca spion
Mata Lucius terbuka sempurna dengan suara ketukan dari balik pintu. Tersentak pelan karena tidurnya yang tak benar-benar nyenyak. Rasanya matanya baru saja terpejam dan diganggu dengan suara yang berisik tersebut.Menepis pusing yang mulai muncul, ia lekas menyingkap selimut. Mengurai pelukannya pada sang istri yang masih terlelap dengan mata yang sedikit sembab. Dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan Calia. Calia pun juga baru tertidur setelah pagi menjelang.“Ada apa?” Salah satu tangan Lucius berpegangan pada pinggiran pintu. Mempertahankan keseimbangan tubuhnya.“Tuan Zayn dan Nona Cailey sudah ditemukan. Keduanya dalam perjalanan kembali.”Lucius mengangguk singkat. Ingin berpuas diri tetapi jelas permasalahan tak akan selesai hanya dengan mereka ditemukan.“Dan …”Salah satu alis Lucius terangkat dengan keraguan yang mulai menyelimuti wajah anak buahnya tersebut. Tampak ada hal lain yang tidak menyenangkannya yang akan segera dikabarkan, tetapi terlalu cemas dengan ama
“Ada apa denganmu?” tanya Zale begitu masuk ke dalam mobil dan wajah Zesil dipenuhi sembab dan jejak basah yang masih menyelimuti wajah mungil gadis itu. “Kau menangisiku?”Zesil menggeleng, air matanya kembali merebak dan hanya menatap wajah Zale. Sementara di jok depan, Lucius dan Calia hanya saling pandang.“Lalu?” Nada bercanda yang awalnya sempat menyelimuti suara Zale seketika berubah serius. Menyadari ada yang janggal dengan Zesil pagi ini. “Ada masalah? Sesuatu terjadi denganmu? Atau si Roland …”Zesil terisak dan air matanya semakin membanjir, menghampiri pelukan Zale.*** “Kalian tidak naik?” Zayn yang sudah menginjak anak tangga pertama menoleh kea rah Zsazsa dan Zaiden yang berbelok ke ruang keluarga. Keduanya bersamaan membanting tubuh mereka di masing-masing sofa panjang dan menatap langit-langit ruangan. Embusan napas keras lolos dari mulut mereka dan diam.Zayn ikut terdiam, menatap kedua saudaranya dan ikut bergabung. Duduk di sofa tunggal. “Apakah menurut kalian ma
Gerakan tangan memutar tersebut membuat Zsazsa menggigit bibirnya. Luca menyingkap rambutnya yang terurai ke samping. Menampilkan pundaknya dan kemudian tangan pria itu bergerak menurunkan kerah jubahnya. Wajah pria itu bergerak turun, mengecup kulit di ujung pundak sebelum kemudian bergerak ke leher, dengan tatapan yang tak lepas dari kedua mata Zsazsa di cermin.“Kau menolak kesepakatan pernikahan yang kutawarkan untuk menikah dengan pria lain?”“Kau mendengar kabar terlalu cepat dari seharusnya, Alessio.”“Hmm, kau tahu aku mengawasimu.”Napas Zsazsa kembali tertahan. Mengawasi dalam bahasa seorang Luca Alessio adalah menguntit. Ia mencoba bernapas dalam hati, menepis pertanyaan seberapa banyak yang diketahui oleh pria itu tentangnya.“Kenapa papamu tidak melemparkan undangan lamaran ini padaku?”“Mungkin kau bukan bujangan paling dicari dikota ini.”Bibir Luca tersenyum, salah satu tangannya menelusup di antara belahan jubah Zsazsa. Menyentuh kulit telanjang wanita itu. “Tapi aku p
“K-kenapa kakak di sini?” Satu tangan Zesil bergerak memegang gagang pintu sementara tangannya yang lain berada di dada. Menggigit bibir bagian dalamnya ketika mengingat bagaimana dirinya yang tak berdaya di atas paksaan Zaiden yang begitu kuat.Zaiden terkekeh. “Kau ingin lari?”“A-apa yang kakak inginkan?” Bibir Zesil masih bergetar hebat.“Entahlah. Kau ingin apa yang kuinginkan darimu?”Zesil menelan ludahnya. Air mata mulai merebak di kedua matanya. “K-kenapa kakak lakukan ini pada Zesil?”Seringai di ujung bibir Zaiden semakin tinggi. Ia bangkit berdiri, yang membuat pegangan Zesil pada gagang pintu semakin menguat dan bergerak turun akan membuka pintu. “Jika kau lari, aku akan menangkapmu, Zesil. Jangan membuat keributan yang tak berarti.”Pegangan Zesil membeku, tak berani membuka tetapi ketakutan akan jarak yang semakin dipangkas oleh Zaiden membuat tubuhnya semakin beringsut. Zaiden berhenti tepat di depan Zesil. Salah satu tangannya terpaku di pintu sementara wajahnya berg