Di tengah dinginnya malam yang sunyi, Kaif terburu-buru kembali dari kantor setelah telepon darurat dari adiknya, Eriana. "Dimana Salwa?" tanya Kaif dengan suara yang pada Bi Maryam yang membukakan pintu. "Ada di kamarnya, Tuan. Nona Salwa sedang sa—" ucapan Bi Maryam terpotong, seolah langit menurunkan larangan untuk meneruskannya, karena Tuan Kaif sudah berlari menaiki tangga dengan langkah-langkah yang bergema ke seluruh penjuru rumah. Bi Maryam hanya bisa berbisik lirih, "Semoga Tuan Kaif bisa menenangkan, Nyonya," doanya menggantung di udara yang dingin. Peristiwa sore itu, ketika Bi Maryam kembali dari luar, telah menyambutnya dengan raungan tangis yang menyayat dari kamar mandi. Salwa, yang biasa tersusun rapi dan tenang, kali ini terlihat hancur; rambutnya kusut dan matanya sembab merah, mencerminkan badai yang mengamuk di dalam hatinya. Dengan langkah pasti Kaif membuka pintu kamar Salwa. Dalam keheningan yang terasa menyengat, Salwa yang tengah terhanyut dalam ayat-aya
Dua jam berlalu dalam hujan yang tak kunjung reda, Salwa masih terdampar di bawah guyuran hujan yang kian menggila. Angin bertiup kencang, mendesing di antara dedaunan, dan tanda-tanda petir seolah menggantung di udara, siap meledak. Ctarrrrrrr! Bunyi petir menggelegar, meresap hingga ke sumsum tulang, memaksa Salwa untuk segera menutup telinganya. Tubuh kecilnya gemetar tak terkendali sementara air mata mulai mengalir di pipi pucatnya. Dia terisak seorang diri di halaman rumah yang seolah menyatu dengan kesunyian malam yang menyesakkan. Memang, Salwa memiliki kecintaan terhadap hujan, namun tidak dengan petir. Ctarrr ... “Ibu, adek ta-kut,” suara Salwa yang lirih hampir tenggelam di bawah deru hujan dan guntur yang memecah kesenyapan, sebelum akhirnya, tubuh kecilnya tak lagi mampu menahan beban ketakutan dan kelelahan. Salwa jatuh pingsan, terkulai tak berdaya di depan halaman Istana Kaif, dengan hujan yang masih setia menemani, bagai penari yang tak kenal lelah mengita
Hana buru-buru memperbaiki penampilannya yang berantakan dan merapikan pakaian, sementara Kaif juga terlihat cemas membetulkan kemejanya. Salwa masih terpaku, tubuhnya gemetar tak terkendali. Di hadapan adegan yang tidak sepatutnya itu, bukan hanya rasa malu yang membuncah dalam diri Salwa, tetapi juga kehinaan di hadapan sang pencipta. Sudah sering Salwa menyaksikan kemesraan mereka, namun yang barusan adalah sebuah pemandangan yang terlalu intim, terlalu nyata. Hana, dengan kepala tertunduk, keluar meninggalkan ruangan Kaif, seolah-olah lantai membara di bawah kakinya. Salwa, yang dilanda perasaan terhina dan berkecamuk, akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendekati Kaif yang berdiri sendu di depan jendela, pria itu mengalihkan keterkejutan dengan menyesap rokok dengan tatapan yang hilang. Aroma asap itu menyeruak, dan Salwa tahu, inilah pertama kalinya Kaif merokok di depannya, sebuah tanda betapa dalamnya keretakan di dalam dirinya. Setiap asap yang terhembus memperdalam l
Sudah lima hari lima malam Kaif tidak pulang ke rumahnya, hal itu membuat Salwa kawatir. Telepon Kaif tidak diangkat, pria itu seperti sengaja untuk menjauh dari Salwa semenjak percakapan terakhir kali di kantor beberapa hari yang lalu."Non, sudahlah. Tuan Kaif sepertinya menginap di kantornya lagi. Non Salwa istirahat ya, ini sudah sangat malam." Bi' Maryam berusaha membujuk Salwa, tapi seperti di malam-malam biasanya, Salwa akan terus menunggu, hingga berakhir tidur sofa ruang tamu.Sekitar jam 2 pagi, Salwa yang sudah tertidur di sofa ruang tamu terbangun. Karena merasakan ada orang yang datang.Tubuh Salwa terlonjak kaget, saat tatapannya tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di depannya, laki-laki itu menatapnya."Astaghfirullahaladzim, Tuan." Salwa mengelus dadanya karena terkejut.setelah mengontrol diri dari keterkejutannya, Salwa kembali berucap."Tuan mau makan?" tanya Salwa, ada rasa gugup yang menggelayut hatinya karena tatapan Kaif yang tidak biasa.Kaif tidak menj
Salwa perlahan membuka mata, kesakitan merambat di seluruh tubuhnya, hasil dari malam panas, malam tadi. Perutnya terasa berat, pandangannya jatuh pada tangan yang melingkar di sana, tangan Kaif, yang nafasnya terasa hangat di sisi tubuhnya. Malam itu Kaif telah mengikat dirinya sebagai istri seutuhnya, namun ada duri tajam yang tertancap di hati Salwa saat melihat wajah Kaif yang tenang dalam tidurnya. 'Miris sekali? Kamu meniduri aku tapi kamu membayangkan perempuan lain, Tuan,' batin Salwa. Kaif yang mabuk malam itu mengira Salwa adalah Hana, memanggil nama wanita itu dengan kasih sayang yang seharusnya menjadi hak Salwa. Betapa pahitnya bagi seorang istri, di malam yang seharusnya sakral, mendengar suaminya menyebut nama perempuan lain dengan penuh rasa sayang. Dadanya sesak, perih yang membuncah tak terkatakan. Apakah ini cinta atau hanya sebuah kesalahan yang terus membara di antara mereka? Salwa merenung dalam kepedihan dan kebingungan, terjebak dalam dilema antara menci
Salwa mendadak merapatkan mukenahnya yang ia remas erat, mencoba menyembunyikan kegugupannya yang telah muncul sejak insiden pagi tadi yang mengundang rasa takutnya pada Kaif. "Kau, buka mukenahmu!" seru Kaif tegas, dengan tatapan tajam yang semakin membuat Salwa bergetar. "Tuan, apa yang ingin tu—tuan lakukan?" suara Salwa bergetar lemah, terasa lantang di keheningan malam. Dengan senyum sinis, Kaif mengatakan, "Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat istimewa padamu, sampai kamu tidak akan bisa untuk melupakan." Suaranya terdengar penuh misteri, meninggikan ketegangan di udara. "Lepaskan mukenahmu!" ulangnya lebih keras. Menantang setiap fiber keberanian dalam dirinya, Salwa akhirnya menuruti. Dengan gemetar, ia perlahan melepaskan mukenah yang membalut tubuhnya, memperlihatkan rambut hitamnya yang tersanggul indah, kontras mencolok dengan situasi yang suram. Kaif, seakan terpesona, mengambil langkah mendekat.Kaif mengulurkan jemari tangan jernihnya, dengan lembut menying
"Apa kalian sudah tidur bersama?" tanya Sofia tanpa basa basi."Kenapa mama bertanya seperti itu?" tanya Kaif, dahinya mengerut dengan pertanyaan mamanya."Mama sudah lelah Kaif, mama sudah tua, mama ingin kalian hidup selayaknya suami istri, memiliki anak. Seperti pasangan lainnya," ujar Sofia. "Mama juga ingin melihat anakmu lahir ke dunia ini, Kaif," tambah Sofia."Ma." Kaif menyentuh tangan mamanya. "Aku sudah berkali-kali mengatakan pada mama, aku tidak menginginkan perempuan ini." Kaif berucap tanpa memperdulikan perasaan Salwa.Kaif menatap netra mamanya dengan penuh permohonan. "Aku hanya mencintai Hana, Ma. Dan hanya dia perempuan yang akan melahirkan anak-anakku kelak," jelas Kaif."Jadi kamu tidak pernah memberikan nafkah batin pada Salwa?" tanya Sofia. Mata perempuan paruh baya itu mulai berkaca-kaca, terlihat guratan kelelahan di wajahnya.Kaif tidak langsung menjawab, pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa yang hanya menunduk sedari tadi."Tidak!" jawab Kaif akhirnya
Kaif mendekatkan wajahnya, ujung jarinya dengan hati-hati menyentuh bibir Salwa, sentuhan tersebut begitu lembut, namun membawa getaran yang memilukan."Salwa, kau tahu, kalau cinta saya hanya untuk Hana. Saya tidak akan bisa membuka hati untumu," bisik Kaif, terdengar menyesakkan bagi Salwa."Beritahu aku saat kamu siap kembali ke kampung halamanmu." Kaif kembali menambhakan ucapannya, membuat Salwa mendongak.Salwa menahan napas, matanya berat menyembunyikan rasa sakit. "Aku belum siap, Tuan. Biarkan saja seperti ini dulu, aku masih mampu untuk bertahan di sisimu" katanya dengan lemah.Selain itu Salwa juga tidak ingin orang-orang yang dicintainya di kampung mengetahui penderitaan yang ia alami. Lebih dari itu, dia terbebani oleh kesedihan yang akan ditanggung ibunya jika mengetahui kenyataan dalam pernikahannya yang tidak sesuai dengan yang terlihat.Akan tetapi di suatu hari nanti, Salwa pasti akan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berbicara pada ibunya kelak, sedikit demi sedi
Salwa membuka pintu dengan wajah yang terlihat tegang dan nafasnya sedikit tercekat. Di depannya, Pak Mahdi dibantu masuk oleh seorang pria ber-masker dan bertopi, yang tak lain adalah Kaif, dan Salwa belum menyadarinya. "Ya Allah, Bapak kenapa?" pekik Salwa perasaan khawatir bercampur panik. Di sisi lain, seorang wanita paruh baya yang merupakan istri Pak Mahdi, terdengar dari samping toko, "Ada apa, Nduk?" tanyanya dengan suara yang serak, khawatir tergambar jelas di wajahnya. " Bapak, Bu," jawab Salwa, suaranya gemetar. Dengan sigap, Bu Nia melangkah ke arah mereka, kepalanya terangguk memberi isyarat. "Ayo, dibawa masuk," perintahnya lembut namun pasti. Dengan langkah yang teratur dan penuh perhatian, Kaif menggiring Pak Mahdi menuju kamar, menaruhnya perlahan di kasur tua yang bersuara keriatan. "Ibu ambil air minum dulu," ucap Bu Nia, bersiap meninggalkan ruangan. "Biar aku saja, Bu. Ibu temanin Bapak saja," sahut Salwa cepat, mencoba mengurangi beban sang ibu. Dengan
"Ini, Bu Nisa, hanya sisa lauk ini. Apakah cukup?" DeghKaif yang awalnya sibuk dengan ponselnya, seketika mendongak. Suara lembut itu menusuk kalbu, menggema dalam relung hatinya yang paling dalam, membuat detak jantungnya berhenti sejenak.Napas Kaif tersengal, matanya langsung berkaca-kaca ketika pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang selama ini ia cari keberadaannya. Maliha Ana Salwa, begitulah nama perempuan yang kini sedang berdiskusi dengan Bu Nisa itu. Sungguh, dia adalah istrinya yang telah lama hilang dari pelukannya. "Tolong letakkan ini di sana, Ya mbak? Tangan saya kotor," pinta Bu Nisa dengan lembut. "Tentu, Bu," sahut Ana, yang tak lain adalah Salwa.Kaif lngsung menundukkan kepala, bukan karena tidak ingin menatap istrinya, tetapi dia masih terbelenggu oleh permintaan terakhir Salwa yang terpahat di memorinya. Dia ingin mendekatinya dengan segala kesopanan, tidak ingin membuat Salwa terkejut dengan kehadirannya. Dari kejauhan, Kaif merasakan detak langka
Di tengah keheningan desa yang tersembunyi jauh dari hiruk pikuk kota, Kaif menemukan tempat yang dia yakini sebagai janji suci yang harus dipenuhinya. "Desa ini sempurna, Pak Sandi. Hanya memiliki surau, sehingga pembangunan Masjid akan membawa banyak berkah bagi warga di sini," ujar Kaif dengan penuh keyakinan. Misi Kaif bukan sekadar membangun sebuah struktur fisik. Itu adalah nazar yang terbentuk dari perjuangan dan doa saat ia berjuang melawan sakit yang hampir merenggut nyawanya. "Jika saya diberi kesempatan kedua untuk hidup, maka saya akan membangun sebuah masjid," itulah janjinya. Pak Sandi, pria yang dipercayai Kaif untuk mencari lokasi yang ideal, mengangguk mengerti. "Desa ini memang tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sehingga untuk mendapatkan bantuan saja terasa sulit. Tapi itulah yang menjadikannya tempat yang pas. Masjid di sini akan menjadi pusat komunitas yang solid," kata Pak Sandi sambil menyelidiki sekeliling. Kaif menarik napas dalam, mencermati ha
Usai telepon terputus, napas Kaif terhembus lega. Ia menginstruksikan supirnya untuk bergerak cepat kembali ke Jakarta. Salwa, istrinya, tidak ada di kampung halamannya, dan kini Kaif harus memutar otak untuk menemukannya. Pikirannya bergejolak, dan setiap detik terasa seperti berjalan di atas bara api. Ke mana harus mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Linglung dan gelisah, Kaif terus menerus meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa, berharap agar istrinya ditemukan dalam keadaan selamat. "Setelah ini, Tuan Kaif akan mencari Non Salwa dimana?" tanya Pak Toha memecah keheningan. Kaif yang duduk di sampingnya, mengalihkan pandangan pada Pak Toha dan berkata, "Salwa tidak memiliki banyak kenalan di Jakarta, tapi ada satu orang yang dia kenal." "Siapa, Tuan?" "Tambah kecepatannya, Pak Toha," perintah Kaif. *** "Baru mencari dia sekarang? Dulu kemana saja anda, Tuan Kaif? Saat di depan mata anda abaikan, tapi setelah pergi kau mencarinya. Perbuatan
Amukan Hasbi tak terkendali ketika Kaif membongkar semua kebenaran yang menyakitkan. Tubuh Kaif layu tanpa daya menyerah pada hantaman demi hantaman yang dilancarkan oleh Hasbi. "Kenapa adikku harus terjebak menikah dengan orang sepertimu? Dia begitu lugu, dia rela disalahkan hanya demi menuruti suaminya yang bangsat ini," ujar Hasbi dengan mata yang memerah dan air mata yang meleleh tanpa bisa ia tahan. Penyesalan mendalam terpancar dari raut wajah Hasbi yang sekarang terguncang oleh kesadaran yang datang terlambat. Dia sendiri yang dulu meninggalkan adiknya, menampar bahkan melarangnya untuk pulang. Dengan suara yang bergetar, dia berbisik pilu, "Astaghfirullah, adikku..." Tangannya tak henti-hentinya menghujam ke tubuh Kaif yang kian memar, seraya mengabaikan setiap bisikan penyesalan dan permohonan maaf Kaif. Keadaan semakin kacau hingga tiba-tiba Siti muncul bagai oasis di tengah padang pasir. Dengan nafas tersengal, dia menerobos ke dalam dan dengan berani menghalau suaminy
"Menurut pak Toha, istriku sudah melahirkan apa belum ya?""Istri yang mana ya, Tuan?" tanya pak Toha dengan hati-hati, kawatir pertanyaannya menyinggung Kaif."Siapa lagi kalau bukan, Salwa. Hanya dia istriku," kata Kaif."Saya kurang tahu, Tuan. Tapi kemungkinan belum tuan. Kalau tidak salah sekarang kandungan Nona Salwa berusia 8 bulan. Karena saya pernah mendengar pembicaraan Nona Salwa dengan Bi Maryam empat bulan yang lalu," jelas Pak Toha.Ucapan panjang Pak Toha membuat Kaif tersenyum tipis.'Maaf Salwa, aku tidak bisa menuruti keinginanmu,' batin Kaif.***Mendung tebal dan jalanan yang semrawut menyelimuti hati Kaif, membuat langkahnya terhenti. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menunda perjalanan dan beristirahat di sebuah penginapan, karena perhitungannya, ia akan sampai di rumah Salwa pukul sepuluh malam. Waktu yang sangat larut di kampung halamannya, dimana nyaris semua jiwa telah terlelap dalam dinginnya malam. Matahari belum sepenuhnya menyingkap tirai fajarnya
"Jaga batasanmu, Hana!" ucap Kaif dengan suara yang keras. Pak Toha, yang menyaksikan adegan itu, merasa kebingungan yang dalam. Kerutan di keningnya semakin dalam. Bukankah Hana adalah istri Kaif? Hana, dengan mata berkaca-kaca, berlutut di hadapan Kaif. "Mas, maafkan aku, aku khilaf. Berikan aku kesempatan lagi," rayunya dengan suara serak. "Demi anak yang sedang aku kandung ini, aku memohon." Situasi itu terasa memotong napas, menebar aroma konflik yang mendalam dan menyayat hati di udara sore itu. Hana terduduk lemah, seraya menyimpan sejuta harapan dan penyesalan.Menunggu jawaban dari Kaif yang masih terpaku, terhujam dalam dilema yang menyelimuti kesenyapan yang sejatinya penuh dengan kenangan mereka berdua."Anak siapa? Benih dari laki-laki bajingan itu yang harus aku kasihani?" Kaif menatap wajah Hana dengan tatapan tidak suka. "Sekarang pergi dari rumah saya, hubungan kita sudah berakhir satu bulan yang lalu!""Tidak, Mas. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini,"
Salwa menatap kosong seluruh ruang di rumah Sofia yang kini sunyi, terasa semakin hampa setiap detiknya. Dengan ketegaran yang membara, dia menyusun barang-barangnya satu per satu, tanpa kepastian tentang ke mana langkah selanjutnya akan mengarah. Memikirkan pulang ke kampung halamannya bukanlah pilihan, saudaranya sudah menutup pintu untuknya. "Hei, Nak. Kita pergi dari rumah ini, selalu temani mama ya, Nak," gumam Salwa lembut sambil mengelus perutnya yang kian membesar, berharap masa depan cerah untuk buah hatinya. Ketika Salwa melangkahkan kaki keluar kamar, pandangannya menyusuri setiap sudut yang kini hanya berbekas kenangan. Tiba-tiba, suara familiar menghentikan langkahnya. "Non Salwa." Suara Bi Maryam terdengar memanggil dari kejauhan. "Bibi masih belum pulang kampung?" tanya Salwa dengan nada lembut. "Sebentar lagi, Non," sahut Bi Maryam, nada suaranya menenangkan. Salwa tersenyum pahit, "Hati-hati, Bi'." "Non Salwa, mari ikut bibi pulang ke rumah bibi di kampung
"Ma, boleh aku ikut ke bandara, aku mohon," pinta Salwa pada Sofia, saat Kaif sudah ada di dalam mobil ambulance. Awalnya Sofia ingin menolak, tapi ia berubah fikiran hingga mengizinkan Salwa untuk ikut mengantar. Waktu seperti berlalu begitu cepat, saat ini mereka sudah ada di bandara. Sofia akan membawa Kaif ke Amerika dengan menggunakan pesawat khusus , dimana pesawat itu sudah dilengkapi dengan alat medis. Pada saat detik-detik Kaif dan Sofia bersiap memasuki pesawat, kesedihan semakin menyelimuti Salwa. Perpisahan yang akan terjadi begitu nyata hingga membuat dadanya sesak, dan jantungnya seolah tertindih beban berat. "Kaif, apa kamu merasa baik-baik saja?" Sofia memecah kesunyian sambil memandang Kaif yang berusaha menggerakkan - gerakkan jemarinya sehingga wajah pria itu memerah karena terlalu memaksa. Dengan gerakan yang teramat pelan, Salwa membungkuk di hadapan Kaif, kedua tangan lembutnya menyentuh tangan Kaif dengan penuh kasih. "Kenapa, Tuan? Apakah ada yang