"Apa kalian sudah tidur bersama?" tanya Sofia tanpa basa basi."Kenapa mama bertanya seperti itu?" tanya Kaif, dahinya mengerut dengan pertanyaan mamanya."Mama sudah lelah Kaif, mama sudah tua, mama ingin kalian hidup selayaknya suami istri, memiliki anak. Seperti pasangan lainnya," ujar Sofia. "Mama juga ingin melihat anakmu lahir ke dunia ini, Kaif," tambah Sofia."Ma." Kaif menyentuh tangan mamanya. "Aku sudah berkali-kali mengatakan pada mama, aku tidak menginginkan perempuan ini." Kaif berucap tanpa memperdulikan perasaan Salwa.Kaif menatap netra mamanya dengan penuh permohonan. "Aku hanya mencintai Hana, Ma. Dan hanya dia perempuan yang akan melahirkan anak-anakku kelak," jelas Kaif."Jadi kamu tidak pernah memberikan nafkah batin pada Salwa?" tanya Sofia. Mata perempuan paruh baya itu mulai berkaca-kaca, terlihat guratan kelelahan di wajahnya.Kaif tidak langsung menjawab, pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa yang hanya menunduk sedari tadi."Tidak!" jawab Kaif akhirnya
Kaif mendekatkan wajahnya, ujung jarinya dengan hati-hati menyentuh bibir Salwa, sentuhan tersebut begitu lembut, namun membawa getaran yang memilukan."Salwa, kau tahu, kalau cinta saya hanya untuk Hana. Saya tidak akan bisa membuka hati untumu," bisik Kaif, terdengar menyesakkan bagi Salwa."Beritahu aku saat kamu siap kembali ke kampung halamanmu." Kaif kembali menambhakan ucapannya, membuat Salwa mendongak.Salwa menahan napas, matanya berat menyembunyikan rasa sakit. "Aku belum siap, Tuan. Biarkan saja seperti ini dulu, aku masih mampu untuk bertahan di sisimu" katanya dengan lemah.Selain itu Salwa juga tidak ingin orang-orang yang dicintainya di kampung mengetahui penderitaan yang ia alami. Lebih dari itu, dia terbebani oleh kesedihan yang akan ditanggung ibunya jika mengetahui kenyataan dalam pernikahannya yang tidak sesuai dengan yang terlihat.Akan tetapi di suatu hari nanti, Salwa pasti akan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berbicara pada ibunya kelak, sedikit demi sedi
Kaif diam, tangannya bergetar, hingga akhirnya, pria itu dikalahkan oleh egonya."Salwa, waktunya pergi, nanti kita terlambat," ucap Kaif akhirnya tanpa menuruti keinginan Salwa.Salwa hanya tersenyum miris, iapun melepas pelukannya, mundur beberapa langkah dari hadapan Kaif. Sebuah kenyataan pahit, sampai kapanpun Kaif tidak akan pernah menganggapnya ada.Netra mereka sempat bertemu tapi Salwa yang lebih dulu mengalihkan pandangan, lalu keluar dari kamar Kaif. Di gedung mewah yang terhias indah, suasana bertambah ramai saat tamu-tamu terhormat yang merupakan rekan bisnis Kaif dan kerabatnya mulai berdatangan.Kaif, yang tampak gagah dengan setelan jas putih, duduk di hadapan penghulu bersama seorang gadis cantik yang sangat mempesona. Kebaya putih yang senada, rambut yang terbungkus indah dalam sanggul dan mahkota yang bersinar di atas kepalanya.Aura kecantikan mempelai perempuan bagai pemandangan lukisan. Sedangkan Salwa, yang mengenakan busana yang tak kalah anggun, duduk bersama
"Gak kemana-mana, cuman duduk di sana," jawab Salwa seraya menunjuk ke taman di samping gedung."Tak lama lagi hujan akan turun, ayo masuk," ajak Kaif.Sebelum Salwa sempat menanggapi, Kaif sudah memegang pergelangan tangannya. Sentuhan itu, entah kenapa, kali ini terasa begitu lembut di kulit Salwa, membuat bulu kuduknya berdiri.Mereka baru saja melangkah beberapa langkah ketika suara memanggil nama Kaif menggema, menghentikan langkah mereka berdua."Kakak, aku mencarimu kemana-mana," seru Eriana dengan suara mendesak."Ada apa?" tanya Kaif."Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, ayo!" Eriana, dengan langkah yang tak terbendung, menarik tangan Kaif yang saat itu tengah memegang erat pergelangan tangan Salwa.Dengan gerakan cepat, Kaif terpaksa melepaskan genggaman tangannya pada Salwa. Eriana tidak memberi kesempatan Salwa untuk ikut serta, dan Kaif pun terbawa tanpa sempat menoleh kembali.Salwa, yang terpaksa ditinggal sendirian, hanya bisa berdiri terpaku menyaksikan punggun
Salwa menonton televisi di ruang tengah ketika tiba-tiba Kaif dan Hana memasuki rumah, mengagetkan Salwa. Karena setahu Salwa, pengantin baru itu akan menghabiskan waktu tiga hari di hotel. Dengan nada tegas, Kaif berkata, "Bi', bawa barang-barang Hana ke kamar saya. Hana mulai hari ini akan tinggal di rumah ini." Bi Maryam,hanya bisa menjawab, "Ba-baik, Tuan." Hana mengikuti Bi Maryam ke kamar Kaif sementara Kaif sendiri bersiap-siap untuk pergi. "Tuan, tunggu." Suara Salwa menghentikan langkah Kaif yang hendak menyeberangi pintu utama. Mereka berhadapan, Salwa menatap Kaif dengan penuh pertanyaan. "Kenapa dia tinggal di rumah ini? Perjanjiannya tidak seperti ini, Tuan. Mbak Hana seharusnya tidak tinggal di rumah kita, mengapa sekarang Tuan mengingkari itu?" protes Salwa, suaranya memecah keheningan yang menyesakkan dada. Kaif menghela napas, menatap Salwa dengan pandangan yang sulit dibaca. "Ini rumah saya, dan terserah saya untuk memutuskan siapa yang akan tinggal di rumah
"Bi' apa melihat berkas-berkas saya di meja, ruangan tengah?" tanya Kaif pada Bi Maryam."Tidak tuan, dari tadi saya ada di dapur," ujar Bu Maryam. "Mungkin di simpan sama nyonya Salwa, karena nyonya Salwa yang berkemas di ruangan itu, Tuan," lanjut bi Maryam."Baiklah, dimana dia?" "Ada di depan menyiram tanaman, Tuan," jawab Bi Maryam.Langsung saja Kaif melangkah menghampiri Salwa yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah."Salwa!!" teriak Kaif dengan suara menggelegar. "Kesini segera!" Mendengar namanya, Salwa segera meletakkan selang air dan berlari ke arah Kaif yang berdiri tegak di teras rumah, auranya memancarkan urgensi yang tak tertahankan. "Ada apa, Tuan?" tanya Salwa dengan napas terengah-engah. Kaif memandangnya dengan tatapan tajam yang menembus jiwa. "Kamu tahu di mana berkas-berkas penting saya yang semalam saya taruh di ruang tengah, tepat di depan televisi?" suaranya serak, terbebani kecemasan. Salwa mengernyitkan dahi, bingung. "Berkas apa, Tuan?" tanyany
Salwa langsung membalikkan badan, dadanya terasa sangat sesak, melihat pemandangan itu."Apa yang kamu lakukan, Salwa!!" Bentak Kaif, darah pria itu mendidih karena Salwa sudah menganggu kebersamaannya bersama sang istri tercinta, sedangkan Hana menghala nafas, ia juga merasa kesal dengan Salwa yang dengan berani masuk ke kamarnya dengan sembarangan."Tu-tuan, aku ingin bicara," ucap Salwa, suaranya terdengar bergetar. Antara rasa sakit dihatinya dan kawatir akan keadaan ibunya di kampung.Kaif turun dari ranjang, hanya celana selutut yang melekat di tubuhnya."Apa tidak ada waktu lain? Sampai kamu menganggu malam saya dengan istri saya?" tekan Kaif.Salwa memejamkan mata sekejap, ia lalu memberanikan diri menatap Kaif."Ibu masuk rumah sakit, Tuan. Aku mau izin untuk pulang kampung. Jika tuan tidak bisa mengantar aku, apa boleh aku diantar oleh pak Toha?" tanya Salwa. Perempuan itu mengenyampingkan rasa sakitnya, ibunya lebih penting untuk difikirkan."Tidak! Kamu tetap di rumah ini.
Kaif menarik kursi dan duduk dengan aura kesunyian yang memenuhi ruang. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Salwa sibuk menyendok makanan ke piring Kaif, sementara tatapan Kaif yang intens membuat suasana menjadi semakin kaku. "Ayo temani saya makan," pinta Kaif dengan suara yang nyaris tak terdengar. Salwa hanya menggeleng, matanya dingin seperti balok es. "Aku tidak lapar," jawabnya dengan nada yang datar. Sejak kepergian ibunya, Salwa berubah menjadi sosok yang lebih tertutup, hampir tak pernah mengucapkan lebih dari sekadar kata-kata yang diperlukan. Kaif terus memperhatikan Salwa tanpa berkedip, membuat Salwa salah paham. Dengan gerakan yang hampir mekanik, Salwa mengambil sejumput makanan dari piring Kaif dan memasukkannya ke mulutnya sendiri. "Tidak ada racun di makanan ini, makanlah Tuan. Atau makanan akan dingin," ucapnya dengan suara yang sejuk membeku. Dalam kekikukan yang menyesakkan dada, Kaif mulai menyantap hidangan yang Salwa siapkan. Rasanya familiar, tak her
Salwa membuka pintu dengan wajah yang terlihat tegang dan nafasnya sedikit tercekat. Di depannya, Pak Mahdi dibantu masuk oleh seorang pria ber-masker dan bertopi, yang tak lain adalah Kaif, dan Salwa belum menyadarinya. "Ya Allah, Bapak kenapa?" pekik Salwa perasaan khawatir bercampur panik. Di sisi lain, seorang wanita paruh baya yang merupakan istri Pak Mahdi, terdengar dari samping toko, "Ada apa, Nduk?" tanyanya dengan suara yang serak, khawatir tergambar jelas di wajahnya. " Bapak, Bu," jawab Salwa, suaranya gemetar. Dengan sigap, Bu Nia melangkah ke arah mereka, kepalanya terangguk memberi isyarat. "Ayo, dibawa masuk," perintahnya lembut namun pasti. Dengan langkah yang teratur dan penuh perhatian, Kaif menggiring Pak Mahdi menuju kamar, menaruhnya perlahan di kasur tua yang bersuara keriatan. "Ibu ambil air minum dulu," ucap Bu Nia, bersiap meninggalkan ruangan. "Biar aku saja, Bu. Ibu temanin Bapak saja," sahut Salwa cepat, mencoba mengurangi beban sang ibu. Dengan
"Ini, Bu Nisa, hanya sisa lauk ini. Apakah cukup?" DeghKaif yang awalnya sibuk dengan ponselnya, seketika mendongak. Suara lembut itu menusuk kalbu, menggema dalam relung hatinya yang paling dalam, membuat detak jantungnya berhenti sejenak.Napas Kaif tersengal, matanya langsung berkaca-kaca ketika pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang selama ini ia cari keberadaannya. Maliha Ana Salwa, begitulah nama perempuan yang kini sedang berdiskusi dengan Bu Nisa itu. Sungguh, dia adalah istrinya yang telah lama hilang dari pelukannya. "Tolong letakkan ini di sana, Ya mbak? Tangan saya kotor," pinta Bu Nisa dengan lembut. "Tentu, Bu," sahut Ana, yang tak lain adalah Salwa.Kaif lngsung menundukkan kepala, bukan karena tidak ingin menatap istrinya, tetapi dia masih terbelenggu oleh permintaan terakhir Salwa yang terpahat di memorinya. Dia ingin mendekatinya dengan segala kesopanan, tidak ingin membuat Salwa terkejut dengan kehadirannya. Dari kejauhan, Kaif merasakan detak langka
Di tengah keheningan desa yang tersembunyi jauh dari hiruk pikuk kota, Kaif menemukan tempat yang dia yakini sebagai janji suci yang harus dipenuhinya. "Desa ini sempurna, Pak Sandi. Hanya memiliki surau, sehingga pembangunan Masjid akan membawa banyak berkah bagi warga di sini," ujar Kaif dengan penuh keyakinan. Misi Kaif bukan sekadar membangun sebuah struktur fisik. Itu adalah nazar yang terbentuk dari perjuangan dan doa saat ia berjuang melawan sakit yang hampir merenggut nyawanya. "Jika saya diberi kesempatan kedua untuk hidup, maka saya akan membangun sebuah masjid," itulah janjinya. Pak Sandi, pria yang dipercayai Kaif untuk mencari lokasi yang ideal, mengangguk mengerti. "Desa ini memang tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sehingga untuk mendapatkan bantuan saja terasa sulit. Tapi itulah yang menjadikannya tempat yang pas. Masjid di sini akan menjadi pusat komunitas yang solid," kata Pak Sandi sambil menyelidiki sekeliling. Kaif menarik napas dalam, mencermati ha
Usai telepon terputus, napas Kaif terhembus lega. Ia menginstruksikan supirnya untuk bergerak cepat kembali ke Jakarta. Salwa, istrinya, tidak ada di kampung halamannya, dan kini Kaif harus memutar otak untuk menemukannya. Pikirannya bergejolak, dan setiap detik terasa seperti berjalan di atas bara api. Ke mana harus mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Linglung dan gelisah, Kaif terus menerus meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa, berharap agar istrinya ditemukan dalam keadaan selamat. "Setelah ini, Tuan Kaif akan mencari Non Salwa dimana?" tanya Pak Toha memecah keheningan. Kaif yang duduk di sampingnya, mengalihkan pandangan pada Pak Toha dan berkata, "Salwa tidak memiliki banyak kenalan di Jakarta, tapi ada satu orang yang dia kenal." "Siapa, Tuan?" "Tambah kecepatannya, Pak Toha," perintah Kaif. *** "Baru mencari dia sekarang? Dulu kemana saja anda, Tuan Kaif? Saat di depan mata anda abaikan, tapi setelah pergi kau mencarinya. Perbuatan
Amukan Hasbi tak terkendali ketika Kaif membongkar semua kebenaran yang menyakitkan. Tubuh Kaif layu tanpa daya menyerah pada hantaman demi hantaman yang dilancarkan oleh Hasbi. "Kenapa adikku harus terjebak menikah dengan orang sepertimu? Dia begitu lugu, dia rela disalahkan hanya demi menuruti suaminya yang bangsat ini," ujar Hasbi dengan mata yang memerah dan air mata yang meleleh tanpa bisa ia tahan. Penyesalan mendalam terpancar dari raut wajah Hasbi yang sekarang terguncang oleh kesadaran yang datang terlambat. Dia sendiri yang dulu meninggalkan adiknya, menampar bahkan melarangnya untuk pulang. Dengan suara yang bergetar, dia berbisik pilu, "Astaghfirullah, adikku..." Tangannya tak henti-hentinya menghujam ke tubuh Kaif yang kian memar, seraya mengabaikan setiap bisikan penyesalan dan permohonan maaf Kaif. Keadaan semakin kacau hingga tiba-tiba Siti muncul bagai oasis di tengah padang pasir. Dengan nafas tersengal, dia menerobos ke dalam dan dengan berani menghalau suaminy
"Menurut pak Toha, istriku sudah melahirkan apa belum ya?""Istri yang mana ya, Tuan?" tanya pak Toha dengan hati-hati, kawatir pertanyaannya menyinggung Kaif."Siapa lagi kalau bukan, Salwa. Hanya dia istriku," kata Kaif."Saya kurang tahu, Tuan. Tapi kemungkinan belum tuan. Kalau tidak salah sekarang kandungan Nona Salwa berusia 8 bulan. Karena saya pernah mendengar pembicaraan Nona Salwa dengan Bi Maryam empat bulan yang lalu," jelas Pak Toha.Ucapan panjang Pak Toha membuat Kaif tersenyum tipis.'Maaf Salwa, aku tidak bisa menuruti keinginanmu,' batin Kaif.***Mendung tebal dan jalanan yang semrawut menyelimuti hati Kaif, membuat langkahnya terhenti. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menunda perjalanan dan beristirahat di sebuah penginapan, karena perhitungannya, ia akan sampai di rumah Salwa pukul sepuluh malam. Waktu yang sangat larut di kampung halamannya, dimana nyaris semua jiwa telah terlelap dalam dinginnya malam. Matahari belum sepenuhnya menyingkap tirai fajarnya
"Jaga batasanmu, Hana!" ucap Kaif dengan suara yang keras. Pak Toha, yang menyaksikan adegan itu, merasa kebingungan yang dalam. Kerutan di keningnya semakin dalam. Bukankah Hana adalah istri Kaif? Hana, dengan mata berkaca-kaca, berlutut di hadapan Kaif. "Mas, maafkan aku, aku khilaf. Berikan aku kesempatan lagi," rayunya dengan suara serak. "Demi anak yang sedang aku kandung ini, aku memohon." Situasi itu terasa memotong napas, menebar aroma konflik yang mendalam dan menyayat hati di udara sore itu. Hana terduduk lemah, seraya menyimpan sejuta harapan dan penyesalan.Menunggu jawaban dari Kaif yang masih terpaku, terhujam dalam dilema yang menyelimuti kesenyapan yang sejatinya penuh dengan kenangan mereka berdua."Anak siapa? Benih dari laki-laki bajingan itu yang harus aku kasihani?" Kaif menatap wajah Hana dengan tatapan tidak suka. "Sekarang pergi dari rumah saya, hubungan kita sudah berakhir satu bulan yang lalu!""Tidak, Mas. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini,"
Salwa menatap kosong seluruh ruang di rumah Sofia yang kini sunyi, terasa semakin hampa setiap detiknya. Dengan ketegaran yang membara, dia menyusun barang-barangnya satu per satu, tanpa kepastian tentang ke mana langkah selanjutnya akan mengarah. Memikirkan pulang ke kampung halamannya bukanlah pilihan, saudaranya sudah menutup pintu untuknya. "Hei, Nak. Kita pergi dari rumah ini, selalu temani mama ya, Nak," gumam Salwa lembut sambil mengelus perutnya yang kian membesar, berharap masa depan cerah untuk buah hatinya. Ketika Salwa melangkahkan kaki keluar kamar, pandangannya menyusuri setiap sudut yang kini hanya berbekas kenangan. Tiba-tiba, suara familiar menghentikan langkahnya. "Non Salwa." Suara Bi Maryam terdengar memanggil dari kejauhan. "Bibi masih belum pulang kampung?" tanya Salwa dengan nada lembut. "Sebentar lagi, Non," sahut Bi Maryam, nada suaranya menenangkan. Salwa tersenyum pahit, "Hati-hati, Bi'." "Non Salwa, mari ikut bibi pulang ke rumah bibi di kampung
"Ma, boleh aku ikut ke bandara, aku mohon," pinta Salwa pada Sofia, saat Kaif sudah ada di dalam mobil ambulance. Awalnya Sofia ingin menolak, tapi ia berubah fikiran hingga mengizinkan Salwa untuk ikut mengantar. Waktu seperti berlalu begitu cepat, saat ini mereka sudah ada di bandara. Sofia akan membawa Kaif ke Amerika dengan menggunakan pesawat khusus , dimana pesawat itu sudah dilengkapi dengan alat medis. Pada saat detik-detik Kaif dan Sofia bersiap memasuki pesawat, kesedihan semakin menyelimuti Salwa. Perpisahan yang akan terjadi begitu nyata hingga membuat dadanya sesak, dan jantungnya seolah tertindih beban berat. "Kaif, apa kamu merasa baik-baik saja?" Sofia memecah kesunyian sambil memandang Kaif yang berusaha menggerakkan - gerakkan jemarinya sehingga wajah pria itu memerah karena terlalu memaksa. Dengan gerakan yang teramat pelan, Salwa membungkuk di hadapan Kaif, kedua tangan lembutnya menyentuh tangan Kaif dengan penuh kasih. "Kenapa, Tuan? Apakah ada yang