Keterkejutan dan kekhawatiran tergambar jelas di wajah Salwa. Apa yang akan terjadi jika pria itu tahu jika saat ini ia Salwa sedang mengandung benihnya?"Siapkan air hangat untuk saya, saya ingin mandi," perintah Kaif dalam suara yang dalam kepada Salwa. Dengan mata yang bertemu serius, Salwa hanya mengangguk tanpa kata. "Saya akan mandi di sini malam ini," lanjut Kaif, suaranya serak, menghentikan langkah Salwa yang hendak keluar dari kamar. Bingung namun patuh, Salwa menyiapkan air hangat sebagaimana mestinya, rasa gelisah merayap dalam dadanya. Di dalam kamar mandi, ketika Kaif larut dalam busa sabun dan air hangat yang menenangkan, Salwa berjalan ringan menuju kamar Kaif, mengambil pakaian santainya. Salwa bergerak hati-hati, mencegah diri membuat suara yang bisa membangunkan madunya yang sudah tidur. Setelah mengganti pakaian, Kaif seharusnya kembali ke kamarnya sendiri, namun malam itu ia berubah pikiran. Dengan langkah hening, ia mendatangi Salwa yang tengah termenung
"Aku menyerah, Mas," bisik Salwa dengan suara yang hampir tak terdengar. Tubuh Kaif membeku, terpaku oleh kejutan yang tak terbayangkan. "Kenapa diam? Seharusnya ini menjadi berita yang membahagiakan bagimu, Tuan Kaif, karena aku akan pergi dari hidupmu," ujar Salwa dengan nada yang lebih tajam, mengiris ruang hening di antara mereka berdua. Kaif kehilangan kata-kata, sesak nafasnya menyesakkan dada. Dulu, ia memang pernah berharap Salwa akan mengucapkan kata-kata perpisahan itu, tapi sekarang, saat kata-kata itu benar-benar terucap, kenapa justru terasa seperti pisau yang menyayat hatinya? Ada perasaan penolakan yang mendalam yang tiba-tiba memenuhi relung-relung jiwanya. Melihat tidak ada jawaban dari Kaif, Salwa perlahan berdiri. Mukena putih yang dikenakannya menambah kesan suci pada sosoknya yang semakin terasa akan meninggalkannya. "Aku ingin pulang, antar aku—" "Saya akan ke kantor. Kita bicara lain waktu," potong Kaif tegas, walaupun nada suaranya bergetar dan matan
Sudah sebulan lamanya Kaif terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit besar, tubuhnya penuh dengan kabel dan alat medis. Keputusan dokter bahwa pria itu terjebak dalam koma seolah menjadi petir di siang bolong bagi keluarganya. Pria itu, yang telah menikahi dengan dua wanita, nyaris tak terselamatkan karena kehilangan darah yang begitu banyak. Namun, syukurlah bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan hidup menawarkan sedikit penghiburan, meski matanya belum juga terbuka. Upaya tanpa lelah keluarganya menghadirkan dokter terbaik dari berbagai penjuru dunia tidak kunjung membuahkan hasil. Seakan-akan ada kehendak lain yang ingin ia penuhi. Kaif seperti ingin beristirahat dari kesibukan duniawi yang tidak ada hentinya. Di tengah kesunyian ruangan ICU, Salwa dengan setia mendampingi, tidak pernah jemu menjaga suaminya. Air mata dan doa-doa yang dipanjatkannya di setiap sujud menjadi saksi bisu betapa dalam luka yang Kaif torehkan di hatinya. Namun, cinta yang tulus memandunya untuk t
Keadaan Kaif yang memprihatinkan seakan menyayat hati setiap anggota keluarga, terutama Sofia. Perempuan yang telah menginjak usia paruh baya itu dirundung kesedihan yang dalam, air mata terus menderas tanpa henti saat Salwa merinci kondisi terkini Kaif yang begitu mengkhawatirkan. Dari perawatan medis intensif hingga serangkaian terapi fisik telah dilakukan, namun semua upaya terasa sia-sia karena tak ada tanda-tanda perubahan yang berarti. Namun, setelah dua minggu yang penuh kecemasan, sebuah isyarat harapan mulai tampak ketika Kaif mulai bisa merespon dengan mengedipkan mata; sebuah pertanda mungkin ia akan pulih kembali. Dengan penuh keyakinan, Sofia mengambil keputusan untuk membawa pulang Kaif. Keputusan ini mendapat persetujuan dari dokter yang menegaskan bahwa Kaif harus tetap menjalani kemoterapi secara rutin dan mendapatkan perawatan intensif di rumah. Hana, dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar, berjanji pada mertuanya, "Ma, aku akan menjaga Mas Kaif denga
"Apa yang terjadi, Ma?" Suara Salwa bergetar, pertanyaan itu terlontar sambil mengamati ketiga perempuan tersebut. Sofia menghampiri, wajahnya memerah, matanya sudah berkaca-kaca. Salwa bisa merasakan suasana tegang menggantung di udara. "Salwa," suara Sofia terdengar berat, penuh dengan emosi. "Apa Kaif pernah menyentuhmu? Apa kalian pernah...," suaranya tergagap, "...melakukan hubungan suami-istri?" Salwa tertegun, hatinya berdebar kencang. Sofia sudah beberapa kali mengulang pertanyaan yang sama dan Salwa selalu menjawab tidak, karena memang Kaif belum pernah menyentuhnya atau setidaknya, itulah yang sebelumnya terjadi. Namun, beberapa bulan yang lalu situasinya telah berubah. Kaif telah mendekatinya, mengambil sesuatu yang begitu berharga darinya. Salwa memalingkan wajahnya ke arah Kaif, matanya yang sedih bertemu pandang dengan mata pria itu. "Salwa, tolong jawab Mama," pinta Sofia sekali lagi, suaranya memecah kesunyian, memaksa Salwa untuk segera memberi jawaban.Salwa
"Salwa, kemasi barang-barangmu. Supir akan segera mengantar kamu pulang ke kampungmu!" Sofia berkata dengan suara yang tegas. Salwa menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Tidak, Ma. Jangan usir aku seperti ini," rayunya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Jangan sebut aku Mama!" Sofia memekik, matanya menyala-nyala menembus jiwa Salwa. "Aku tidak rela berbagi atap dengan menantu penghianat sepertimu! Kamu tega berselingkuh, dan lebih parahnya lagi, kamu hamil dengan laki-laki lain!" Bugh Tiba-tiba, suara gemuruh menggema di ruangan itu. Semua mata seketika tertuju pada sumber suara. Di ambang pintu, Hasbi, Laila, dan Halik terpaku dengan kantong besar berisi obat-obatan tradisional terhambur di lantai. Keterkejutan tergambar jelas di wajah dua saudara Salwa itu. Mereka datang untuk menjenguk Kaif, namun yang pernah terlihat adalah sesuatu yang menyesakkan . Langkah kaki Hasbi terdengar mendekat, diikuti Laila dan Halik. "Apa yang bibi katakan, selingkuh? Adik saya selingkuh
"Adek dan tuan Kaif, tidak pernah tidur bersama," bisik Salwa dengan suara serak, nyaris tak terdengar. Tiba-tiba, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, mendorong tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras. Cplass ...Suara tamparan itu bergema, menggema ke seluruh ruangan. "Salwa!!!" Laila berteriak, air mata mengalir deras di pipinya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Dengan langkah yang tergesa-gesa dan hati yang hancur, Laila segera mendekat, mencoba membantu Salwa berdiri. "Apa yang telah kamu lakukan, Bang?" suara Laila bergetar, penuh dengan rasa kecewa dan kesedihan yang mendalam. Seharusnya Hasbi menjadi pelindung, bukan semakin menyakiti Salwa. Salwa terkulai di lantai, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai merasakan sakit yang memilukan. "Adek, gak apa-apa, dimana yang sakit?" Laila bertanya, suaranya ditenggelami kekhawatiran sementara wajahnya pucat pasi. Laila semakin tercekat saat melihat darah segar mengalir dari hidung Salw
Diam-diam, air matanya mengalir, sebelum kelopak matanya perlahan menutup dan Kaif tak sadarkan diri. Di kejauhan, Salwa berlari terengah-engah mengikuti dua saudaranya. Dengan suara terisak, dia memohon pada Hasbi untuk tidak meninggalkannya dalam keadaan yang begitu rawan, namun Hasbi, dengan keputusan yang sudah bulat, tak bisa digoyahkan. Tragedi itu segera mencuat ke permukaan saat dua saudara Salwa telah pergi. Keluarga yang tersisa baru menyadari betapa kritisnya keadaan Kaif. Kerisauan menggantikan keheningan, panggilan darurat dilayangkan dan menghubungi dokter yang selama ini menangani Kaif, dalam sebuah upaya panik untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.***Malam itu, atmosfer rumah Sofia tiba-tiba berubah kenyataan nbatu terkuak tentang Salwa. Salwa telah dianggap tak lebih dari hembusan angin lalu. Sofia telah memindahkan Salwa di kamar pembantu. Perempuan paruh baya itu, yang masih geram akibat peristiwa pagi yang menggelegar, belum juga mengizinkan S
Salwa membuka pintu dengan wajah yang terlihat tegang dan nafasnya sedikit tercekat. Di depannya, Pak Mahdi dibantu masuk oleh seorang pria ber-masker dan bertopi, yang tak lain adalah Kaif, dan Salwa belum menyadarinya. "Ya Allah, Bapak kenapa?" pekik Salwa perasaan khawatir bercampur panik. Di sisi lain, seorang wanita paruh baya yang merupakan istri Pak Mahdi, terdengar dari samping toko, "Ada apa, Nduk?" tanyanya dengan suara yang serak, khawatir tergambar jelas di wajahnya. " Bapak, Bu," jawab Salwa, suaranya gemetar. Dengan sigap, Bu Nia melangkah ke arah mereka, kepalanya terangguk memberi isyarat. "Ayo, dibawa masuk," perintahnya lembut namun pasti. Dengan langkah yang teratur dan penuh perhatian, Kaif menggiring Pak Mahdi menuju kamar, menaruhnya perlahan di kasur tua yang bersuara keriatan. "Ibu ambil air minum dulu," ucap Bu Nia, bersiap meninggalkan ruangan. "Biar aku saja, Bu. Ibu temanin Bapak saja," sahut Salwa cepat, mencoba mengurangi beban sang ibu. Dengan
"Ini, Bu Nisa, hanya sisa lauk ini. Apakah cukup?" DeghKaif yang awalnya sibuk dengan ponselnya, seketika mendongak. Suara lembut itu menusuk kalbu, menggema dalam relung hatinya yang paling dalam, membuat detak jantungnya berhenti sejenak.Napas Kaif tersengal, matanya langsung berkaca-kaca ketika pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang selama ini ia cari keberadaannya. Maliha Ana Salwa, begitulah nama perempuan yang kini sedang berdiskusi dengan Bu Nisa itu. Sungguh, dia adalah istrinya yang telah lama hilang dari pelukannya. "Tolong letakkan ini di sana, Ya mbak? Tangan saya kotor," pinta Bu Nisa dengan lembut. "Tentu, Bu," sahut Ana, yang tak lain adalah Salwa.Kaif lngsung menundukkan kepala, bukan karena tidak ingin menatap istrinya, tetapi dia masih terbelenggu oleh permintaan terakhir Salwa yang terpahat di memorinya. Dia ingin mendekatinya dengan segala kesopanan, tidak ingin membuat Salwa terkejut dengan kehadirannya. Dari kejauhan, Kaif merasakan detak langka
Di tengah keheningan desa yang tersembunyi jauh dari hiruk pikuk kota, Kaif menemukan tempat yang dia yakini sebagai janji suci yang harus dipenuhinya. "Desa ini sempurna, Pak Sandi. Hanya memiliki surau, sehingga pembangunan Masjid akan membawa banyak berkah bagi warga di sini," ujar Kaif dengan penuh keyakinan. Misi Kaif bukan sekadar membangun sebuah struktur fisik. Itu adalah nazar yang terbentuk dari perjuangan dan doa saat ia berjuang melawan sakit yang hampir merenggut nyawanya. "Jika saya diberi kesempatan kedua untuk hidup, maka saya akan membangun sebuah masjid," itulah janjinya. Pak Sandi, pria yang dipercayai Kaif untuk mencari lokasi yang ideal, mengangguk mengerti. "Desa ini memang tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sehingga untuk mendapatkan bantuan saja terasa sulit. Tapi itulah yang menjadikannya tempat yang pas. Masjid di sini akan menjadi pusat komunitas yang solid," kata Pak Sandi sambil menyelidiki sekeliling. Kaif menarik napas dalam, mencermati ha
Usai telepon terputus, napas Kaif terhembus lega. Ia menginstruksikan supirnya untuk bergerak cepat kembali ke Jakarta. Salwa, istrinya, tidak ada di kampung halamannya, dan kini Kaif harus memutar otak untuk menemukannya. Pikirannya bergejolak, dan setiap detik terasa seperti berjalan di atas bara api. Ke mana harus mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Linglung dan gelisah, Kaif terus menerus meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa, berharap agar istrinya ditemukan dalam keadaan selamat. "Setelah ini, Tuan Kaif akan mencari Non Salwa dimana?" tanya Pak Toha memecah keheningan. Kaif yang duduk di sampingnya, mengalihkan pandangan pada Pak Toha dan berkata, "Salwa tidak memiliki banyak kenalan di Jakarta, tapi ada satu orang yang dia kenal." "Siapa, Tuan?" "Tambah kecepatannya, Pak Toha," perintah Kaif. *** "Baru mencari dia sekarang? Dulu kemana saja anda, Tuan Kaif? Saat di depan mata anda abaikan, tapi setelah pergi kau mencarinya. Perbuatan
Amukan Hasbi tak terkendali ketika Kaif membongkar semua kebenaran yang menyakitkan. Tubuh Kaif layu tanpa daya menyerah pada hantaman demi hantaman yang dilancarkan oleh Hasbi. "Kenapa adikku harus terjebak menikah dengan orang sepertimu? Dia begitu lugu, dia rela disalahkan hanya demi menuruti suaminya yang bangsat ini," ujar Hasbi dengan mata yang memerah dan air mata yang meleleh tanpa bisa ia tahan. Penyesalan mendalam terpancar dari raut wajah Hasbi yang sekarang terguncang oleh kesadaran yang datang terlambat. Dia sendiri yang dulu meninggalkan adiknya, menampar bahkan melarangnya untuk pulang. Dengan suara yang bergetar, dia berbisik pilu, "Astaghfirullah, adikku..." Tangannya tak henti-hentinya menghujam ke tubuh Kaif yang kian memar, seraya mengabaikan setiap bisikan penyesalan dan permohonan maaf Kaif. Keadaan semakin kacau hingga tiba-tiba Siti muncul bagai oasis di tengah padang pasir. Dengan nafas tersengal, dia menerobos ke dalam dan dengan berani menghalau suaminy
"Menurut pak Toha, istriku sudah melahirkan apa belum ya?""Istri yang mana ya, Tuan?" tanya pak Toha dengan hati-hati, kawatir pertanyaannya menyinggung Kaif."Siapa lagi kalau bukan, Salwa. Hanya dia istriku," kata Kaif."Saya kurang tahu, Tuan. Tapi kemungkinan belum tuan. Kalau tidak salah sekarang kandungan Nona Salwa berusia 8 bulan. Karena saya pernah mendengar pembicaraan Nona Salwa dengan Bi Maryam empat bulan yang lalu," jelas Pak Toha.Ucapan panjang Pak Toha membuat Kaif tersenyum tipis.'Maaf Salwa, aku tidak bisa menuruti keinginanmu,' batin Kaif.***Mendung tebal dan jalanan yang semrawut menyelimuti hati Kaif, membuat langkahnya terhenti. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menunda perjalanan dan beristirahat di sebuah penginapan, karena perhitungannya, ia akan sampai di rumah Salwa pukul sepuluh malam. Waktu yang sangat larut di kampung halamannya, dimana nyaris semua jiwa telah terlelap dalam dinginnya malam. Matahari belum sepenuhnya menyingkap tirai fajarnya
"Jaga batasanmu, Hana!" ucap Kaif dengan suara yang keras. Pak Toha, yang menyaksikan adegan itu, merasa kebingungan yang dalam. Kerutan di keningnya semakin dalam. Bukankah Hana adalah istri Kaif? Hana, dengan mata berkaca-kaca, berlutut di hadapan Kaif. "Mas, maafkan aku, aku khilaf. Berikan aku kesempatan lagi," rayunya dengan suara serak. "Demi anak yang sedang aku kandung ini, aku memohon." Situasi itu terasa memotong napas, menebar aroma konflik yang mendalam dan menyayat hati di udara sore itu. Hana terduduk lemah, seraya menyimpan sejuta harapan dan penyesalan.Menunggu jawaban dari Kaif yang masih terpaku, terhujam dalam dilema yang menyelimuti kesenyapan yang sejatinya penuh dengan kenangan mereka berdua."Anak siapa? Benih dari laki-laki bajingan itu yang harus aku kasihani?" Kaif menatap wajah Hana dengan tatapan tidak suka. "Sekarang pergi dari rumah saya, hubungan kita sudah berakhir satu bulan yang lalu!""Tidak, Mas. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini,"
Salwa menatap kosong seluruh ruang di rumah Sofia yang kini sunyi, terasa semakin hampa setiap detiknya. Dengan ketegaran yang membara, dia menyusun barang-barangnya satu per satu, tanpa kepastian tentang ke mana langkah selanjutnya akan mengarah. Memikirkan pulang ke kampung halamannya bukanlah pilihan, saudaranya sudah menutup pintu untuknya. "Hei, Nak. Kita pergi dari rumah ini, selalu temani mama ya, Nak," gumam Salwa lembut sambil mengelus perutnya yang kian membesar, berharap masa depan cerah untuk buah hatinya. Ketika Salwa melangkahkan kaki keluar kamar, pandangannya menyusuri setiap sudut yang kini hanya berbekas kenangan. Tiba-tiba, suara familiar menghentikan langkahnya. "Non Salwa." Suara Bi Maryam terdengar memanggil dari kejauhan. "Bibi masih belum pulang kampung?" tanya Salwa dengan nada lembut. "Sebentar lagi, Non," sahut Bi Maryam, nada suaranya menenangkan. Salwa tersenyum pahit, "Hati-hati, Bi'." "Non Salwa, mari ikut bibi pulang ke rumah bibi di kampung
"Ma, boleh aku ikut ke bandara, aku mohon," pinta Salwa pada Sofia, saat Kaif sudah ada di dalam mobil ambulance. Awalnya Sofia ingin menolak, tapi ia berubah fikiran hingga mengizinkan Salwa untuk ikut mengantar. Waktu seperti berlalu begitu cepat, saat ini mereka sudah ada di bandara. Sofia akan membawa Kaif ke Amerika dengan menggunakan pesawat khusus , dimana pesawat itu sudah dilengkapi dengan alat medis. Pada saat detik-detik Kaif dan Sofia bersiap memasuki pesawat, kesedihan semakin menyelimuti Salwa. Perpisahan yang akan terjadi begitu nyata hingga membuat dadanya sesak, dan jantungnya seolah tertindih beban berat. "Kaif, apa kamu merasa baik-baik saja?" Sofia memecah kesunyian sambil memandang Kaif yang berusaha menggerakkan - gerakkan jemarinya sehingga wajah pria itu memerah karena terlalu memaksa. Dengan gerakan yang teramat pelan, Salwa membungkuk di hadapan Kaif, kedua tangan lembutnya menyentuh tangan Kaif dengan penuh kasih. "Kenapa, Tuan? Apakah ada yang