Salwa berdiri menghadap cermin, memerhatikan perubahan drastis pada tubuhnya. Perut yang buncit namun tubuhnya kian mengering. Semua orang di sekitarnya telah mengetahui, namun rahasia besar masih tersembunyi dalam bayang-bayang. Tadi malam, Eriana mengetuk pintu kamarnya, memberitahu bahwa Salwa ditugaskan untuk kembali merawat Kaif. Penerimaannya datar, tidak ada kegembiraan meski akan bertemu suaminya, namun juga tidak ada penolakan. Sudah jelas, Salwa berada di ambang penyerahan diri.***"Kenapa aku merasa berdebar untuk masuk ke dalam," bisik Salwa sambil menatap pintu kamar Kaif yang terasa begitu mengancam. Sebelum sempat Salwa menarik nafas dan memasuki kamar, pintu tersebut tiba-tiba terbuka. Hana muncul, matanya tajam memancarkan peringatan. "Jaga suamiku dengan baik, ingat, ada cctv di rumah ini akan terus mengawasi pergerakanmu" ucap Hana dengan nada yang dingin namun membawa gertakan yang tegas. Pintu ditutup dan Salwa tertinggal di koridor, menelan getir kenyataan
Esok hari itu terasa begitu berbeda, sebuah kebahagiaan memenuhi hati setiap anggota keluarga setelah mendengar kabar yang menggembirakan. Hana, wanita yang selalu tenggelam dalam kesibukannya, ternyata telah berbadan dua, selama dua bulan, sebuah fakta yang baru ia sadari setelah melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Di kamar, di sisi ranjang dimana Kaif terbaring, Sofia memancarkan senyuman penuh kebahagiaan. "Kaif, istrimu Hana sedang mengandung. Kamu akan menjadi seorang ayah, mama sangat bahagia," ucapnya dengan mata berbinar. Eriana, yang juga berada di sana, menambahkan dengan nada penuh harap, "Kak, kehamilan kak Eriana tidak terlalu kuat. Dia perlu kakak, berjuanglah untuk pulih kak." Di sudut yang sama, Salwa merasakan sebuah tekanan berat di dadanya, tangannya secara instinktif mengelus perut yang kian membesar. Air mata kekhawatiran menggenangi matanya, memikirkan nasib anak yang belum lahir yang tidak dikehendaki oleh keluarganya. Dengan suara yang hanya bisa di
Dengan tamparan yang membakar kulit pipi Halik, Salwa berdiri tegak tanpa rasa takut. "Kamu berani kau menampar aku?!" Halik meraung, nyala kemarahannya terpancar dari kedalaman matanya. "Tamparan itu masih terlalu ringan untuk orang sepertimu!" balas Salwa dengan suara lantang dan tidak gentar. Pandangan Halik yang tajam menusuk ke dalam jiwa, namun sekejap kemudian, sorot matanya berubah menjijikkan, merayapi setiap inci tubuh Salwa dengan pandangan yang menjelajah. "Jaga pandanganmu!" Salwa memperingatkan dengan suara tegas yang dipenuhi kebencian. Halik hanya tersenyum dengan senyuman yang licik, penuh tipu daya. "Kalau aku menolak, bagaimana? Kakak iparku tersayang?" ujarnya sambil menambahkan racun dalam setiap kata, membuat Salwa semakin merasa jijik dan muak. Tidak ada secercah ketertarikan dalam hati Salwa terhadap pria yang berdiri angkuh didepannya, yang memanggilnya dengan sebutan sayang."Apa kamu ingin mengadu pada suamimu?" Halik tertawa mengejek, lalu kembali
Akh... Dalam sekejap, Salwa melepaskan diri, kaki kirinya telah menendang dengan kekuatan penuh tepat pada kelamin Halik. Raut wajah Halik berubah merah padam, rasa sakit yang tak terperi memenuhi seluruh tubuhnya, menjadikan setiap gerakan terasa seperti siksaan. Tanpa membuang waktu, Salwa meraih vas bunga terdekat, membabatkan benda keras itu ke kepala Halik. Darah merah cerah membasahi rambutnya yang berantakan, bercucuran menambah derita. Tidak cukup dengan sekali, Salwa mengayunkan vas itu lagi, mendorong tubuh Halik yang sudah lunglai keluar dari kamar. Tertatih, Halik terjatuh di koridor. Dengan sisa-sisa tenaga, dia masih mencoba untuk masuk kembali, menggedor pintu kamar, yang sudah Salwa kunci dari dalam.Dor dor dor...Salwa berdiri gemetar, bersandar di pintu kamarnya, napasnya tersengal tidak terkendali, air mata membanjir di pipinya. Setelah merasa Halik telah pergi, ia terhuyung-huyung mendekati Kaif dengan langkah yang rapuh. Pelan-pelan, Salwa merundukkan tubuh
Salwa mendesah lemah saat kakinya melangkah memasuki rumah mewah itu lagi. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, hatinya semakin hampa. Tak ada satu pun anggota keluarga yang setia menemaninya, bahkan ketika dia terbangun dari kesadaran, menyadari bayinya selamat, Sofia dan Eriana hanya memutuskan pulang begitu saja. Hari ini, rumah yang biasanya dipenuhi canda tawa kini terasa begitu hening. Pagi ini tiap sudut rumah hanya tampak menyimpan kebisuan. Sofia tentu sudah terburu-buru ke kantor fashion miliknya, Eriana pasti sibuk mengajar di kampus, dan Halik juga tengah sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Ketika Salwa berjalan melewati ruang tamu yang megah, hanya suara langkah kakinya yang menggema. Miris, Sofia bahkan tak bersusah payah menjemputnya, hanya mengirimkan sopir. Perempuan itu seenggannya membayar biaya administrasi rumah sakit dan memilih kamar VIP untuk Salwa. "Setidaknya itu," gumam Salwa pelan, mencoba menghibur diri sendiri dalam kesendirian yang memil
Kaif mulai terdiam, mengatupkan bibirnya tapi tatapannya tak beralih dari wajah Salwa."Aku baik-baik saja," ucap Salwa, ia lalu membawa tangan Kaif menyentuh perutnya. "Diapun sama, anakmu ini sangat kuat, Tuan. Dokterpum sampai memujinya, bahkan dia sudah terlihat kuat sebelum dilahirkan."Mata Kaif beralih, pada perut Salwa. Hening, tatapan pria terus terpaku pada perut Salwa yang mulai terlihat menonjol.Mata Salwa mulai berkaca-kaca, saat merasakan jamari Kaif bergerak dengan pelan. 'Aku bahagia karena suamiku sudah mulai ada perkembangan, tidak lama lagi suamiku pasti akan sembuh dan kembali hidup dengan normal. Tapi aku juga tidak bisa berbohong, kalau aku sedih karena waktu aku untuk bersama suamiku tidak akan lama lagi,' batin Salwa.Meskipun baru keluar dari rumah sakit, Salwa tidak memutuskan untuk kembali beristirahat perempuan itu kembali merawat Kaif seperti biasa. Kali ini kegiatannya hanya merawat Kaif sedangkan pekerjaan rumah, Bi' Maryam yang mengerjakannya.***Sal
Saat Sofia mengungkapkan bahwa Kaif akan dibawa ke luar negeri untuk pengobatan, seketika kesedihan merasuk dalam jiwa Salwa. "Kenapa aku merasa sedih? Bukankah seharusnya aku senang, bisa pergi dari rumah ini? Bukankah ini yang selama ini aku inginkan?" Salwa berbisik pada dirinya sendiri, namun kata-katanya seolah bertentangan dengan apa yang dirasakan hatinya yang terluka. Sehari penuh, Salwa tidak pernah lepas dari sisi Kaif, merawatnya dengan kasih yang tidak pernah luntur. Ketika malam tiba, Salwa terbaring gelisah, merasa tidak siap dengan malam berganti hari. Sofia telah memutuskan, esok dia dan Kaif akan meninggalkan tanah air dan tidak ada yang tahu kapan mereka akan kembali. Rasa berat menyesakkan dada Salwa, serasa rantai yang menariknya ke dalam kubangan keputusasaan dan kesepian. Menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin akan kehilangan suaminya untuk selamanya dan harus menjalani hidup sebagai seorang janda.Dengan hati yang berat, Salwa bangkit dari lantai tempatnya
"Ma, boleh aku ikut ke bandara, aku mohon," pinta Salwa pada Sofia, saat Kaif sudah ada di dalam mobil ambulance. Awalnya Sofia ingin menolak, tapi ia berubah fikiran hingga mengizinkan Salwa untuk ikut mengantar. Waktu seperti berlalu begitu cepat, saat ini mereka sudah ada di bandara. Sofia akan membawa Kaif ke Amerika dengan menggunakan pesawat khusus , dimana pesawat itu sudah dilengkapi dengan alat medis. Pada saat detik-detik Kaif dan Sofia bersiap memasuki pesawat, kesedihan semakin menyelimuti Salwa. Perpisahan yang akan terjadi begitu nyata hingga membuat dadanya sesak, dan jantungnya seolah tertindih beban berat. "Kaif, apa kamu merasa baik-baik saja?" Sofia memecah kesunyian sambil memandang Kaif yang berusaha menggerakkan - gerakkan jemarinya sehingga wajah pria itu memerah karena terlalu memaksa. Dengan gerakan yang teramat pelan, Salwa membungkuk di hadapan Kaif, kedua tangan lembutnya menyentuh tangan Kaif dengan penuh kasih. "Kenapa, Tuan? Apakah ada yang
"Mau dibawa kemana istriku?" tanya Kaif menghalangi langkah Hasbi yang ingin beranjak dari tempat itu."Menyingkir, jangan sampai saya hilang kendali," tegas Hasbi dengan dingin. Hasbi menatap adiknya yang sedari tadi hanya membisu."Ayo adek, kita pulang," ajak Hasbi pada Salwa."Tidak! Salwa tidak boleh pergi kemana-mana tanpa izin dariku," tegas Kaif.Hasbi menatap Kaif dengan tatapan tajam."Siapa kamu!" "Aku suaminya, bang Hasbi paham Agama bukan? Kenapa sekarang malah ikut campur dalam rumah tangga kami." "Berani sekali kamu membawa-bawa Agama," tegas Hasbi. "Apa kamu sadar bagaimana kamu memperlakukan adik saya selama dua tahun ini, bahkan keluargamu memfitnah Salwa. Adikku adalah perempuan yang terjaga, saya selalu melindunginya, tapi rupanya kamu menyakiti adikku."Ucapan Hasbi membuat dada Kaif terasa sesak, ia menyesali semua yang dilakukan di masa lalu, ia menyesal karena baru menyadari jika Salwa adalah perempuan yang tulus, perempuan yang memang pantas untuk dimuliaka
"Apa kamu benar baik-baik saja? Katakan kalau sakit jangan dipendam. Dimana yang sakit? coba katakan pada Mas?" tanya Kaif penuh dengan kekawatiran.Salwa menggeleng, padahal kenyataannya perempuan itu merasakan perutnya keram dan juga pinggangnya.Kaif tidak percaya begitu saja, pria itu mendudukan bokongnya di pinggir ranjang, tangannya terulur menyentuh perut Salwa."Jauhkan tanganmu!!" ketus Salwa.DeghSeketika Salwa bungkam saat tangan besar Kaif mulai mengelus perutnya yang buncit. Kenapa rasanya begitu nyaman??Kaif mengalihkan pandangan pada wajah Salwa yang masih terpaku, tatapan mereka bertemu."Dari kemarin aku sangat ingin menyentuhnya, sampai detik inipun aku masih belum percaya jika aku akan segera menjadi seorang Ayah," ucap Kaif, suaranya bergetar menahan tangis."Jadi kamu gak percaya jika yang aku kandung ini anakmu?!" ketus Salwa, menatap Kaif dengan tatapan tidak suka."Astaghfirullahaladzim, tidak seperti itu Salwa. Tidak perlu adanya tes DNA, Mas sudah bisa mera
Ada rasa gugup saat Bu Nia mengatakan jika Salwa ingin bicara berdua, senang pasti tapi gugup juga ada. Ceklek ...Pintu kamar sempit itu terbuka perlahan, memperlihatkan Salwa yang duduk di pinggir ranjang, pandangannya jauh menerawang ke luar jendela. Kaif masuk, lalu langsung duduk di lantai dengan sikap yang terasa begitu berat. Salwa menghela nafas panjang, ia masih memiliki tatakrama. Air matanya menggenang, namun dia masih berusaha mempertahankan ketegaran di hadapannya. "Tidak, kamu tetap di situ, Salwa," ucap Kaif dengan suara serak. Namun, Salwa tidak menghiraukan. Dengan perlahan, ia turun dari ranjang, dan duduk di lantai, persis di depan Kaif, hingga mereka berdua duduk berhadapan dalam kesunyian yang melekat. Tidak ada yang membuka suara. Salwa menatap ke dinding dengan tatapan yang terasa membeku, sementara Kaif, dengan mata yang tergenang air mata, tidak bisa berhenti memandang wajah Salwa yang begitu ia rindukan. "Salwa." Suara Kaif akhirnya memecah kesunyian
"Saya atas nama warga di sini, dengan segala kerendahan hati memohon maaf, Pak Kaif. Kami seharusnya menyelidiki lebih dahulu sebelum berkata kasar pada Mbak Ana secara tidak adil," kata seorang wanita dengan mata berkaca-kaca dan nada suara bergetar yang menunjukkan penyesalan mendalam. "Kalian semua, bubar!" teriak Kaif, suaranya menggema, tegas dan tak terbantahkan. Namun, para warga masih berkerumun, harapan dan kecemasan terpatri di wajah mereka, takut bahwa Syakir mungkin akan menghentikan pembangunan masjid yang telah lama dinantikan."Apa tuan Kaif akan menghentikan pembangunan masjid di desa ini?" tanya seorang laki-laki paruh baya, terlihat kecemasan di wajahnya. "Lihat saja nanti , tapi jika kalian masih berdiri di depan rumah ini dipastikan bangunan itu akan saya hancurkan hari ini juga," ancam Kaif, pria itu masih kesal pada mereka.Segera para warga bubar, begitupun dengan Abdul. Dalam diam, dia menyimpan perasaan pada Salwa, wanita yang telah menolaknya beberapa har
"Kenapa Mbak Ana ada di rumah yang ditempati Pak Kaif?" tanya seorang warga dengan nada tinggi, mata membelalak penuh keheranan. Selama ini, Salwa, perempuan yang dikenal sebagai perempuan baik-baik dan taat dalam agamanya "Kenapa harus ditanya, sudah pasti janda ini berzina dengan Tuan kota itu. Padahal perutnya sudah membuncit, janda itu masih berani bermain api dengan Tuan kota!" sindir Abdul, pria muda yang baru kembali dari rantau, nada suaranya penuh kecaman. Pria itulah yang mengajak para warga untuk menggerebek mereka. "Astaghfirullahaladzim, hati-hati dengan ucapanmu, Abdul!" tegas Bu Nia, melindungi martabat anak angkatnya dari tuduhan yang menyakitkan. Namun, bisikan lain muncul, "Tapi Bu, yang Abdul katakan ada benarnya. Kenapa juga Ana berada di rumah Pak Kaif, mereka berduaan dalam rumah ini. Sementara supirnya berada di lokasi pembangunan masjid? " kecurigaan dan prasangka di antara mereka. Wajah-wajah penuh tanya, desas-desus yang tidak berkesudahan, semuanya
“Tolong biarkan seperti ini dulu, Sayang,” rayu Kaif dengan suara yang lembut tetapi penuh autoritas. Itu adalah tangan Kaif, pria itu sengaja membiarkan Salwa memasuki kamar pribadinya karena ia lebih dekat dengan istrinya, kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.Salwa berusaha melepaskan diri dari tangan besar itu, namun sia-sia. Tangan Kaif seakan dibuat dari baja, kuat dan tak tergoyahkan. Dalam keputusasaan, Salwa mencubit lengan Kaif, namun bukan kesakitan yang terpancar dari wajah pria itu, melainkan ketenangan yang mengganggu. Ia mulai mengelus perut besar Salwa dengan kelembutan, membuat Salwa dengan segala kebingungannya merasa nyaman di bawah sentuhan itu. "Bagaimana kabar anak Papa, hm?" suara Kaif lembut, berbicara kepada bayi dalam kandungan Salwa. "Maafkan Papa yang baru datang. Sungguh, Papa sangat bahagia karena bisa bertemu dengan kalian lagi" kata Kaif, matanya sesekali melirik wajah Salwa. "Bantu Papa untuk membujuk Mama, ya Sayang. Kamu dan Mama
Kegelisahan menguasai setiap sudut wajah Salwa. Di hadapannya, potongan mangga yang seharusnya menyegarkan hanya tersentuh angin. Pikirannya tidak dapat lepas dari Kaif, ia gelisah mengingat keadaan kaki pria itu, bayang-bayang kekhawatiran menghantuinya. Hati Salwa yang terpenjara rasa cemas, akhirnya mendorongnya berdiri, mengambil langkah demi langkah menuju rumah di sebelah, hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia tempati. Kebetulan saja, di depan pintu ia berpapasan dengan Pak Toha yang baru saja melangkah keluar. Dengan mata yang mencari, Salwa bertanya dengan nada sopan, "Dimana dia, Pak?" Mata Pak Toha berbinar penuh pengertian, "Eh, Tuan Kaif ya, Non?" Salwa hanya mengangguk, tak sabar menunggu jawaban. "Tuan ada di dalam, Non. Silahkan masuk." Pak Toha langsung membukakan pintu lebar-lebar bagi Salwa untuk lewat, setelah itu menutup pintu pelan di belakangnya. Pak Toha ersenyum simpul, ia berbisik pada diri sendiri, "Lebih baik aku jalan-jalan saja, hati Tua
"Hush, Nduk. Bicara baik-baik, ini Nak Kaif sudah berbaik hati akan mengambilkan mangga untukmu. Minta maaf sekarang," tegas Pak Mahdi. Salwa hanya menggeleng, bibirnya menggumam kesal. "Kenapa harus minta maaf, Pak. Aku tidak salah." "Kamu terus berkata kasar pada Nak Kaif, itu yang salah. Sekarang minta maaf padanya," Pak Mahdi memerintah lagi dengan nada yang lebih serius. "Iya, Bapak," ujar Salwa, menghela napas dalam-dalam, suaranya berat karena pasrah. Dalam diam, Kaif menahan senyum tipis, matanya tanpa sengaja menangkap ekspresi wajah Salwa, meskipun terlihat ditekuk tapi dimata Kaif terlihat begitu menggemaskan. Salwa memandang Kaif dengan tatapan tajam, bibirnya mulai berkata, "Maaf," suaranya terdengar ketus. "Tidak apa-apa," jawab Kaif, suaranya lembut menatap Salwa. Salwa menghela napas, matanya memutar dengan ekspresi kesal. 'Dia ke Jakarta pasti untuk mendatangi istri tersayangnya, kenapa juga masih harus datang ke sini, ngeselin banget,' batin Salwa
"Kasur ini adalah sebagai kata terima kasih karena ibu dan bapak memberikan tuan Kaif dan saya tempat tinggal di desa ini," tambah Pak Toha lagi.Kedua kasir itu segera dibawa ke dalam rumah Pak Mahdi, satu kasur diletakkan di kamar Pak Mahdi dan satunya lagi di kamar Salwa. Bu Nia tercengang, nyaris tidak percaya bahwa ia kini akan merasakan tidur di kasur yang begitu empuk. Sementara itu, Salwa hanya bisa menatap kasur yang teratur di kamarnya, rasanya ia tidak sanggup menyentuh kasur tersebut, seolah-olah segala kenangan akan terbang bersama sentuhannya. "Dia sudah kembali ke Jakarta, apa dia benar-benar pergi? " Gumam Salwa. "Baguslah kalau dia pergi dari desa ini, tapi kenapa aku merasa sedih?"Salwa mulai teringat dengan ucapannya tadi malam pada Kaif, ia akui ucapannya itu begitu tajam. Mungkinkah pria itu tersinggung dengan ucapan Salwa?Salwa terus bertanya-tanya, bahkan seharian ini pikirannya terus melayang pada wajah sendu Kaif yang memohon maaf padanya tadi malam. Nyata