Esok hari itu terasa begitu berbeda, sebuah kebahagiaan memenuhi hati setiap anggota keluarga setelah mendengar kabar yang menggembirakan. Hana, wanita yang selalu tenggelam dalam kesibukannya, ternyata telah berbadan dua, selama dua bulan, sebuah fakta yang baru ia sadari setelah melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Di kamar, di sisi ranjang dimana Kaif terbaring, Sofia memancarkan senyuman penuh kebahagiaan. "Kaif, istrimu Hana sedang mengandung. Kamu akan menjadi seorang ayah, mama sangat bahagia," ucapnya dengan mata berbinar. Eriana, yang juga berada di sana, menambahkan dengan nada penuh harap, "Kak, kehamilan kak Eriana tidak terlalu kuat. Dia perlu kakak, berjuanglah untuk pulih kak." Di sudut yang sama, Salwa merasakan sebuah tekanan berat di dadanya, tangannya secara instinktif mengelus perut yang kian membesar. Air mata kekhawatiran menggenangi matanya, memikirkan nasib anak yang belum lahir yang tidak dikehendaki oleh keluarganya. Dengan suara yang hanya bisa di
Dengan tamparan yang membakar kulit pipi Halik, Salwa berdiri tegak tanpa rasa takut. "Kamu berani kau menampar aku?!" Halik meraung, nyala kemarahannya terpancar dari kedalaman matanya. "Tamparan itu masih terlalu ringan untuk orang sepertimu!" balas Salwa dengan suara lantang dan tidak gentar. Pandangan Halik yang tajam menusuk ke dalam jiwa, namun sekejap kemudian, sorot matanya berubah menjijikkan, merayapi setiap inci tubuh Salwa dengan pandangan yang menjelajah. "Jaga pandanganmu!" Salwa memperingatkan dengan suara tegas yang dipenuhi kebencian. Halik hanya tersenyum dengan senyuman yang licik, penuh tipu daya. "Kalau aku menolak, bagaimana? Kakak iparku tersayang?" ujarnya sambil menambahkan racun dalam setiap kata, membuat Salwa semakin merasa jijik dan muak. Tidak ada secercah ketertarikan dalam hati Salwa terhadap pria yang berdiri angkuh didepannya, yang memanggilnya dengan sebutan sayang."Apa kamu ingin mengadu pada suamimu?" Halik tertawa mengejek, lalu kembali
Akh... Dalam sekejap, Salwa melepaskan diri, kaki kirinya telah menendang dengan kekuatan penuh tepat pada kelamin Halik. Raut wajah Halik berubah merah padam, rasa sakit yang tak terperi memenuhi seluruh tubuhnya, menjadikan setiap gerakan terasa seperti siksaan. Tanpa membuang waktu, Salwa meraih vas bunga terdekat, membabatkan benda keras itu ke kepala Halik. Darah merah cerah membasahi rambutnya yang berantakan, bercucuran menambah derita. Tidak cukup dengan sekali, Salwa mengayunkan vas itu lagi, mendorong tubuh Halik yang sudah lunglai keluar dari kamar. Tertatih, Halik terjatuh di koridor. Dengan sisa-sisa tenaga, dia masih mencoba untuk masuk kembali, menggedor pintu kamar, yang sudah Salwa kunci dari dalam.Dor dor dor...Salwa berdiri gemetar, bersandar di pintu kamarnya, napasnya tersengal tidak terkendali, air mata membanjir di pipinya. Setelah merasa Halik telah pergi, ia terhuyung-huyung mendekati Kaif dengan langkah yang rapuh. Pelan-pelan, Salwa merundukkan tubuh
Salwa mendesah lemah saat kakinya melangkah memasuki rumah mewah itu lagi. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, hatinya semakin hampa. Tak ada satu pun anggota keluarga yang setia menemaninya, bahkan ketika dia terbangun dari kesadaran, menyadari bayinya selamat, Sofia dan Eriana hanya memutuskan pulang begitu saja. Hari ini, rumah yang biasanya dipenuhi canda tawa kini terasa begitu hening. Pagi ini tiap sudut rumah hanya tampak menyimpan kebisuan. Sofia tentu sudah terburu-buru ke kantor fashion miliknya, Eriana pasti sibuk mengajar di kampus, dan Halik juga tengah sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Ketika Salwa berjalan melewati ruang tamu yang megah, hanya suara langkah kakinya yang menggema. Miris, Sofia bahkan tak bersusah payah menjemputnya, hanya mengirimkan sopir. Perempuan itu seenggannya membayar biaya administrasi rumah sakit dan memilih kamar VIP untuk Salwa. "Setidaknya itu," gumam Salwa pelan, mencoba menghibur diri sendiri dalam kesendirian yang memil
Kaif mulai terdiam, mengatupkan bibirnya tapi tatapannya tak beralih dari wajah Salwa."Aku baik-baik saja," ucap Salwa, ia lalu membawa tangan Kaif menyentuh perutnya. "Diapun sama, anakmu ini sangat kuat, Tuan. Dokterpum sampai memujinya, bahkan dia sudah terlihat kuat sebelum dilahirkan."Mata Kaif beralih, pada perut Salwa. Hening, tatapan pria terus terpaku pada perut Salwa yang mulai terlihat menonjol.Mata Salwa mulai berkaca-kaca, saat merasakan jamari Kaif bergerak dengan pelan. 'Aku bahagia karena suamiku sudah mulai ada perkembangan, tidak lama lagi suamiku pasti akan sembuh dan kembali hidup dengan normal. Tapi aku juga tidak bisa berbohong, kalau aku sedih karena waktu aku untuk bersama suamiku tidak akan lama lagi,' batin Salwa.Meskipun baru keluar dari rumah sakit, Salwa tidak memutuskan untuk kembali beristirahat perempuan itu kembali merawat Kaif seperti biasa. Kali ini kegiatannya hanya merawat Kaif sedangkan pekerjaan rumah, Bi' Maryam yang mengerjakannya.***Sal
Saat Sofia mengungkapkan bahwa Kaif akan dibawa ke luar negeri untuk pengobatan, seketika kesedihan merasuk dalam jiwa Salwa. "Kenapa aku merasa sedih? Bukankah seharusnya aku senang, bisa pergi dari rumah ini? Bukankah ini yang selama ini aku inginkan?" Salwa berbisik pada dirinya sendiri, namun kata-katanya seolah bertentangan dengan apa yang dirasakan hatinya yang terluka. Sehari penuh, Salwa tidak pernah lepas dari sisi Kaif, merawatnya dengan kasih yang tidak pernah luntur. Ketika malam tiba, Salwa terbaring gelisah, merasa tidak siap dengan malam berganti hari. Sofia telah memutuskan, esok dia dan Kaif akan meninggalkan tanah air dan tidak ada yang tahu kapan mereka akan kembali. Rasa berat menyesakkan dada Salwa, serasa rantai yang menariknya ke dalam kubangan keputusasaan dan kesepian. Menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin akan kehilangan suaminya untuk selamanya dan harus menjalani hidup sebagai seorang janda.Dengan hati yang berat, Salwa bangkit dari lantai tempatnya
"Ma, boleh aku ikut ke bandara, aku mohon," pinta Salwa pada Sofia, saat Kaif sudah ada di dalam mobil ambulance. Awalnya Sofia ingin menolak, tapi ia berubah fikiran hingga mengizinkan Salwa untuk ikut mengantar. Waktu seperti berlalu begitu cepat, saat ini mereka sudah ada di bandara. Sofia akan membawa Kaif ke Amerika dengan menggunakan pesawat khusus , dimana pesawat itu sudah dilengkapi dengan alat medis. Pada saat detik-detik Kaif dan Sofia bersiap memasuki pesawat, kesedihan semakin menyelimuti Salwa. Perpisahan yang akan terjadi begitu nyata hingga membuat dadanya sesak, dan jantungnya seolah tertindih beban berat. "Kaif, apa kamu merasa baik-baik saja?" Sofia memecah kesunyian sambil memandang Kaif yang berusaha menggerakkan - gerakkan jemarinya sehingga wajah pria itu memerah karena terlalu memaksa. Dengan gerakan yang teramat pelan, Salwa membungkuk di hadapan Kaif, kedua tangan lembutnya menyentuh tangan Kaif dengan penuh kasih. "Kenapa, Tuan? Apakah ada yang
Salwa menatap kosong seluruh ruang di rumah Sofia yang kini sunyi, terasa semakin hampa setiap detiknya. Dengan ketegaran yang membara, dia menyusun barang-barangnya satu per satu, tanpa kepastian tentang ke mana langkah selanjutnya akan mengarah. Memikirkan pulang ke kampung halamannya bukanlah pilihan, saudaranya sudah menutup pintu untuknya. "Hei, Nak. Kita pergi dari rumah ini, selalu temani mama ya, Nak," gumam Salwa lembut sambil mengelus perutnya yang kian membesar, berharap masa depan cerah untuk buah hatinya. Ketika Salwa melangkahkan kaki keluar kamar, pandangannya menyusuri setiap sudut yang kini hanya berbekas kenangan. Tiba-tiba, suara familiar menghentikan langkahnya. "Non Salwa." Suara Bi Maryam terdengar memanggil dari kejauhan. "Bibi masih belum pulang kampung?" tanya Salwa dengan nada lembut. "Sebentar lagi, Non," sahut Bi Maryam, nada suaranya menenangkan. Salwa tersenyum pahit, "Hati-hati, Bi'." "Non Salwa, mari ikut bibi pulang ke rumah bibi di kampung
"Mas tanganmu terluka!" Seruan itu pecah di keheningan kamar saat Salwa menyentuh punggung tangan Syakir yang tampak memar. Pria itu, Kaif, kini duduk di pinggir ranjang Tangan Kaif yang lebam itu seakan melukis kesakitan di matanya. "Ini hanya luka kecil, tak perlu khawatir," Kaif mencoba menenangkan, sambil membiarkan tangan hangat Salwa menelusuri lebamnya. Wajah Salwa, yang sedang hamil, menyiratkan kekhawatiran mendalam, lebih dari yang seharusnya untuk luka sekecil itu. "Pasti sakit, ya? Maaf, Mas," suara Salwa bergetar, mata berkaca-kaca menatap Kaif, menyuarakan kepedulian dan kegentaran seorang ibu hamil yang hormonnya melonjak. Kaif hanya mengangguk, gesturnya memperdalam cemas di hati Salwa. Dia bahkan mulai beranjak ingin mengambil perlengkapan obat. Namun, tangan Kaif dengan cepat meraihnya, menghentikan gerak langkahnya. "Bukan di sini yang sakit, Salwa," suara Kaif mendadak serius dan dalam, memotong atmosfer ruangan dengan berat.Salwa mendongak, menatap wajah
Di dalam kamar Salwa yang tidak begitu luas. Sofia dengan setia menjaga Salwa yang sedang tidur di ranjangnya setelah diperiksa oleh dokter beberapa menit yang lalu.Sementara itu, di luar, Hasbi dan Kaif tengah sibuk di halaman rumah, berbicara dengan polisi mengenai Halik yang sedang mereka upayakan untuk mendapatkan hukuman berat di penjara, seraya api keadilan berkobar di dalam hati mereka.Di dalam kamar.Salwa membuka matanya perlahan, tersadar dari tidur yang tampaknya tidak memberikan kekuatan apa pun kepadanya."Eriana, tolong ambilkan air," suruh Sofia pada Eriana yang juga ada di sana.Tanpa menunda, Eriana segera mengambil segelas air yang sudah tersedia di kamar itu."Ayo minum dulu, Nak," ucap Sofia sambil menopang tubuh Salwa yang terasa seperti puing-puing yang lelah. Salwa hanya dapat menelan dengan susah payah, tiap tegukan terasa seperti pejuangan. Kejadian pagi tadi, membuat Salwa merasa tubuhnya lemas.Kepedulian Sofia terpancar jelas saat ia dengan sabar membantu
Dentuman keras terdengar bertalu-talu saat Kaif dengan brutalnya memukul Halik yang hingga berdaya, sementara Salwa lemah terpeluk dalam dekapan Sofia. Segalanya berawal ketika Halik mencoba menyeret Salwa ke dalam mobil dengan paksa, namun momen itu terpotong dengan kedatangan Kaif. Tanpa pikir panjang, ia melompat dari mobilnya, amarah membara di dadanya. Bugh bugh bugh... Suara pukulan itu menggema, setiap hantaman Kaif menghujam tanpa ampun ke tubuh Halik yang sudah penuh luka. Halik hanya bisa mengerang kesakitan, badannya seolah tak lebih dari boneka kain yang diseret oleh gelombang amarah Kaif. Sungguh, pertarungan ini mungkin telah berakhir dengan tragis jika bukan karena kedatangan Hasbi dan istrinya di saat yang tepat. Dengan segala kekuatannya, Hasbi berhasil melerai Kaif, menarik Kaif yang masih diliputi amarah dan keinginan untuk melampiaskan lebih banyak lagi penderitaan pada Halik. Namun, Hasbi dengan tegas mengingatkan bahwa semua ini harus berakhir, karena lepas
Salwa melangkah keluar, menyerap kedamaian pagi yang menyejukkan jiwa. Sapaan hangat dari warga desa yang bersiap menuju kerja menyelinap melalui hawa segar, dan Salwa membalas dengan senyuman yang merekah di wajahnya. "Adek, jangan melewatkan waktu sarapan ya, sarapannya sudah kakak siapkan di meja. Kakak mau ke belakang menemui Bang Hasbi dulu," ujar Istri Hasbi dengan lembut. Salwa mengangguk, "Iya kak, terima kasih banyak." Perempuan itu tersenyum lembut sebelum melangkah menuju belakang rumah. Salwa kemudian duduk di kursi halaman, tempat kesukaannya untuk menikmati pemandangan sekitar. Hasbi sudah membuat kursi itu khusus untuk Salwa, hafal jika adik kesayangannya suka sekali menikmati udara di tempat itu. Sambil mengusap perutnya yang kian membesar, Salwa berbisik lirih, "Rindu ayah ya, Nak," seraya tatapannya terhanyut dalam kenangan tentang sang ayah yang terasa begitu dekat namun jauh.Sudah lima hari berlalu tapi Salwa sendiri yang kalah, tiada hari tanpa merindukan Ka
Pada hari yang sama saat Salwa dijemput oleh keluarganya, Kaif mengambil keputusan tegas untuk kembali ke Jakarta. Ada tarikan hati yang mendalam yang mendorongnya untuk menyusul Salwa, namun akalnya memenangkan pertarungan dalam benaknya. Salwa memerlukan waktu, dan Kaif tahu ia tidak boleh bertindak egois. Selama tiga hari, Kaif mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja keras di kantor, berangkat sebelum matahari terbit dan pulang larut malam. Kaif sengaja menyibukkan diri agar terbebas dari lamunan tentang Salwa yang terus menerus menghantuinya. Sofia dan Eriana, setelah kembali dari Amerika, terhanyut dalam kesedihan saat mendengar cerita Pak Toha tentang keadaan Kaif. "Ma, kapan kita ke rumah kak Kaif?" tanya Sofia pada mamanya dengan suara bergetar. "Malam ini saja, saat ini dia pasti sedang ada d kantornya, nanti sekalian kita makan malam bersama," jawab ibunya lembut."Baiklah, Ma." Keputusan Kaif untuk tinggal di rumah pribadinya, meskipun ibunya, Sofia, mendesakn
"Aku butuh waktu, Tuan. Ini tidak mudah bagiku, aku butuh berfikir karena aku terlalu takut untuk kembali pada laki-laki yang merupakan masa laluku. Masa laluku begitu menyakitkan, aku takut kepahitan itu akan kembali lagi jika aku kembali." Salwa akhirnya mengutarakan uneg-unegnya.Kaif berusaha untuk duduk dari baringnya, menatap wajah sendu perempuan yang sudah ia sakiti begitu dalam.'Apa aku begitu egois memaksanya untuk kembali padaku?' batin Kaif, ia bisa melihat luka dari sorot mata cantik itu."Aku memaafkanmu, Mas." Panggilan Salwa sudah mulai berubah, perempuan itu terkadang memanggil tuan dan juga terkadang memanggil Mas pada Kaif. "Tapi untuk kembali, aku masih belum siap, aku takut sakit lagi dan untuk menyembuhkan itu sangat susah. Aku takut, bisakah mas memahami ketakutanku." Air mata Salwa mengalir juga, sekuat apapun perempuan itu berusaha melupakan kejadian yang menyakitkan di masa lalu, nyatanya Salwa tidak mampu.Sikap kasar Kaif, Halik yang hampir melecehkannya,
Kaif merengkuh pinggang Salwa erat-erat, mencegah wanita itu melangkah pergi. "Tolong, jangan tinggalkan aku... Aku mohon, Sayang," ratapnya sambil mata mereka terus bertaut dalam tatapan yang penuh dengan harapan dan keputusasaan. "Biarkan aku pergi, Ma ... Tuan, ini tidak lucu." Suara Salwa terdengar getir, usahanya untuk melepaskan cengkeraman Kaif penuh dengan perjuangan. Tangannya mendorong dengan keras, namun Kaif tak bergeming, seolah takut kehilangan sentuhan terakhir darinya. "Maaf, Salwa. Aku tidak pernah ingin menipumu, aku hanya terlalu takut kehilanganmu," ucap Kaif dengan suara yang hampir tak terdengar, diwarnai dengan nada yang lirih dan penuh penyesalan. "Cukup, Tuan. Bukankah kita sudah membicarakan ini semalam? Hormati keputusanku," tegas Salwa. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Kaif. Dalam satu dorongan penuh kemarahan dan kekecewaan, Kaif terdorong mundur dan tersungkur ke dinding ranjang dengan keras.Suara d
"Astaghfirullahaladzim, Tuan Kaif! Tuan Kaif kenapa?" Pak Toha, supir Kaif datang dengan wajah penuh kekawatiran, pria itu terkejut melihat kondisi wajah majikannya. Bagaimana Pak Toha tidak kawatir, dia sudah diamanahkan untuk menjaga majikannya, kondisi Kaif belum sepenuhnya pulih dari komanya waktu itu. Pak Toha mendekati Kaif yang terbaring di pangkuan Salwa."Apa yang terjadi, Non? Ya Allah. Kenapa sampai berdarah seperti ini, bagaimana kalau Tuan Kaif sakit seperti dulu lagi, tuan Kaif masih belum sepenuhnya pulih, Non," ujar pak Toha."Jangan hanya bicara, Pak. Tolong bantu suami saya, kita bawa ke rumah sakit sekarang juga!" perintah Salwa, suaranya meninggi karena terlalu menghawatirkan keadaan Kaif, apalgi setelah mendengar ucapan Pak Toha mengenai keadaan Kaif.Hasbi mulai merasa bersalah, ia terlalu dikalahkan dengan emosinya."Rumah sakit di sini jauh, Non. Yang ada hanya puskesmas dan itu tidak ada gunanya untuk Tuan Kaif. Kita bawa ke rumah saja, di sana ada obat-obat
"Mau dibawa kemana istriku?" tanya Kaif menghalangi langkah Hasbi yang ingin beranjak dari tempat itu."Menyingkir, jangan sampai saya hilang kendali," tegas Hasbi dengan dingin. Hasbi menatap adiknya yang sedari tadi hanya membisu."Ayo adek, kita pulang," ajak Hasbi pada Salwa."Tidak! Salwa tidak boleh pergi kemana-mana tanpa izin dariku," tegas Kaif.Hasbi menatap Kaif dengan tatapan tajam."Siapa kamu!" "Aku suaminya, bang Hasbi paham Agama bukan? Kenapa sekarang malah ikut campur dalam rumah tangga kami." "Berani sekali kamu membawa-bawa Agama," tegas Hasbi. "Apa kamu sadar bagaimana kamu memperlakukan adik saya selama dua tahun ini, bahkan keluargamu memfitnah Salwa. Adikku adalah perempuan yang terjaga, saya selalu melindunginya, tapi rupanya kamu menyakiti adikku."Ucapan Hasbi membuat dada Kaif terasa sesak, ia menyesali semua yang dilakukan di masa lalu, ia menyesal karena baru menyadari jika Salwa adalah perempuan yang tulus, perempuan yang memang pantas untuk dimuliaka