"Aku menyerah, Mas," bisik Salwa dengan suara yang hampir tak terdengar. Tubuh Kaif membeku, terpaku oleh kejutan yang tak terbayangkan. "Kenapa diam? Seharusnya ini menjadi berita yang membahagiakan bagimu, Tuan Kaif, karena aku akan pergi dari hidupmu," ujar Salwa dengan nada yang lebih tajam, mengiris ruang hening di antara mereka berdua. Kaif kehilangan kata-kata, sesak nafasnya menyesakkan dada. Dulu, ia memang pernah berharap Salwa akan mengucapkan kata-kata perpisahan itu, tapi sekarang, saat kata-kata itu benar-benar terucap, kenapa justru terasa seperti pisau yang menyayat hatinya? Ada perasaan penolakan yang mendalam yang tiba-tiba memenuhi relung-relung jiwanya. Melihat tidak ada jawaban dari Kaif, Salwa perlahan berdiri. Mukena putih yang dikenakannya menambah kesan suci pada sosoknya yang semakin terasa akan meninggalkannya. "Aku ingin pulang, antar aku—" "Saya akan ke kantor. Kita bicara lain waktu," potong Kaif tegas, walaupun nada suaranya bergetar dan matan
Sudah sebulan lamanya Kaif terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit besar, tubuhnya penuh dengan kabel dan alat medis. Keputusan dokter bahwa pria itu terjebak dalam koma seolah menjadi petir di siang bolong bagi keluarganya. Pria itu, yang telah menikahi dengan dua wanita, nyaris tak terselamatkan karena kehilangan darah yang begitu banyak. Namun, syukurlah bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan hidup menawarkan sedikit penghiburan, meski matanya belum juga terbuka. Upaya tanpa lelah keluarganya menghadirkan dokter terbaik dari berbagai penjuru dunia tidak kunjung membuahkan hasil. Seakan-akan ada kehendak lain yang ingin ia penuhi. Kaif seperti ingin beristirahat dari kesibukan duniawi yang tidak ada hentinya. Di tengah kesunyian ruangan ICU, Salwa dengan setia mendampingi, tidak pernah jemu menjaga suaminya. Air mata dan doa-doa yang dipanjatkannya di setiap sujud menjadi saksi bisu betapa dalam luka yang Kaif torehkan di hatinya. Namun, cinta yang tulus memandunya untuk t
Keadaan Kaif yang memprihatinkan seakan menyayat hati setiap anggota keluarga, terutama Sofia. Perempuan yang telah menginjak usia paruh baya itu dirundung kesedihan yang dalam, air mata terus menderas tanpa henti saat Salwa merinci kondisi terkini Kaif yang begitu mengkhawatirkan. Dari perawatan medis intensif hingga serangkaian terapi fisik telah dilakukan, namun semua upaya terasa sia-sia karena tak ada tanda-tanda perubahan yang berarti. Namun, setelah dua minggu yang penuh kecemasan, sebuah isyarat harapan mulai tampak ketika Kaif mulai bisa merespon dengan mengedipkan mata; sebuah pertanda mungkin ia akan pulih kembali. Dengan penuh keyakinan, Sofia mengambil keputusan untuk membawa pulang Kaif. Keputusan ini mendapat persetujuan dari dokter yang menegaskan bahwa Kaif harus tetap menjalani kemoterapi secara rutin dan mendapatkan perawatan intensif di rumah. Hana, dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar, berjanji pada mertuanya, "Ma, aku akan menjaga Mas Kaif denga
"Apa yang terjadi, Ma?" Suara Salwa bergetar, pertanyaan itu terlontar sambil mengamati ketiga perempuan tersebut. Sofia menghampiri, wajahnya memerah, matanya sudah berkaca-kaca. Salwa bisa merasakan suasana tegang menggantung di udara. "Salwa," suara Sofia terdengar berat, penuh dengan emosi. "Apa Kaif pernah menyentuhmu? Apa kalian pernah...," suaranya tergagap, "...melakukan hubungan suami-istri?" Salwa tertegun, hatinya berdebar kencang. Sofia sudah beberapa kali mengulang pertanyaan yang sama dan Salwa selalu menjawab tidak, karena memang Kaif belum pernah menyentuhnya atau setidaknya, itulah yang sebelumnya terjadi. Namun, beberapa bulan yang lalu situasinya telah berubah. Kaif telah mendekatinya, mengambil sesuatu yang begitu berharga darinya. Salwa memalingkan wajahnya ke arah Kaif, matanya yang sedih bertemu pandang dengan mata pria itu. "Salwa, tolong jawab Mama," pinta Sofia sekali lagi, suaranya memecah kesunyian, memaksa Salwa untuk segera memberi jawaban.Salwa
"Salwa, kemasi barang-barangmu. Supir akan segera mengantar kamu pulang ke kampungmu!" Sofia berkata dengan suara yang tegas. Salwa menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Tidak, Ma. Jangan usir aku seperti ini," rayunya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Jangan sebut aku Mama!" Sofia memekik, matanya menyala-nyala menembus jiwa Salwa. "Aku tidak rela berbagi atap dengan menantu penghianat sepertimu! Kamu tega berselingkuh, dan lebih parahnya lagi, kamu hamil dengan laki-laki lain!" Bugh Tiba-tiba, suara gemuruh menggema di ruangan itu. Semua mata seketika tertuju pada sumber suara. Di ambang pintu, Hasbi, Laila, dan Halik terpaku dengan kantong besar berisi obat-obatan tradisional terhambur di lantai. Keterkejutan tergambar jelas di wajah dua saudara Salwa itu. Mereka datang untuk menjenguk Kaif, namun yang pernah terlihat adalah sesuatu yang menyesakkan . Langkah kaki Hasbi terdengar mendekat, diikuti Laila dan Halik. "Apa yang bibi katakan, selingkuh? Adik saya selingkuh
"Adek dan tuan Kaif, tidak pernah tidur bersama," bisik Salwa dengan suara serak, nyaris tak terdengar. Tiba-tiba, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, mendorong tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras. Cplass ...Suara tamparan itu bergema, menggema ke seluruh ruangan. "Salwa!!!" Laila berteriak, air mata mengalir deras di pipinya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Dengan langkah yang tergesa-gesa dan hati yang hancur, Laila segera mendekat, mencoba membantu Salwa berdiri. "Apa yang telah kamu lakukan, Bang?" suara Laila bergetar, penuh dengan rasa kecewa dan kesedihan yang mendalam. Seharusnya Hasbi menjadi pelindung, bukan semakin menyakiti Salwa. Salwa terkulai di lantai, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai merasakan sakit yang memilukan. "Adek, gak apa-apa, dimana yang sakit?" Laila bertanya, suaranya ditenggelami kekhawatiran sementara wajahnya pucat pasi. Laila semakin tercekat saat melihat darah segar mengalir dari hidung Salw
Diam-diam, air matanya mengalir, sebelum kelopak matanya perlahan menutup dan Kaif tak sadarkan diri. Di kejauhan, Salwa berlari terengah-engah mengikuti dua saudaranya. Dengan suara terisak, dia memohon pada Hasbi untuk tidak meninggalkannya dalam keadaan yang begitu rawan, namun Hasbi, dengan keputusan yang sudah bulat, tak bisa digoyahkan. Tragedi itu segera mencuat ke permukaan saat dua saudara Salwa telah pergi. Keluarga yang tersisa baru menyadari betapa kritisnya keadaan Kaif. Kerisauan menggantikan keheningan, panggilan darurat dilayangkan dan menghubungi dokter yang selama ini menangani Kaif, dalam sebuah upaya panik untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.***Malam itu, atmosfer rumah Sofia tiba-tiba berubah kenyataan nbatu terkuak tentang Salwa. Salwa telah dianggap tak lebih dari hembusan angin lalu. Sofia telah memindahkan Salwa di kamar pembantu. Perempuan paruh baya itu, yang masih geram akibat peristiwa pagi yang menggelegar, belum juga mengizinkan S
Salwa berdiri menghadap cermin, memerhatikan perubahan drastis pada tubuhnya. Perut yang buncit namun tubuhnya kian mengering. Semua orang di sekitarnya telah mengetahui, namun rahasia besar masih tersembunyi dalam bayang-bayang. Tadi malam, Eriana mengetuk pintu kamarnya, memberitahu bahwa Salwa ditugaskan untuk kembali merawat Kaif. Penerimaannya datar, tidak ada kegembiraan meski akan bertemu suaminya, namun juga tidak ada penolakan. Sudah jelas, Salwa berada di ambang penyerahan diri.***"Kenapa aku merasa berdebar untuk masuk ke dalam," bisik Salwa sambil menatap pintu kamar Kaif yang terasa begitu mengancam. Sebelum sempat Salwa menarik nafas dan memasuki kamar, pintu tersebut tiba-tiba terbuka. Hana muncul, matanya tajam memancarkan peringatan. "Jaga suamiku dengan baik, ingat, ada cctv di rumah ini akan terus mengawasi pergerakanmu" ucap Hana dengan nada yang dingin namun membawa gertakan yang tegas. Pintu ditutup dan Salwa tertinggal di koridor, menelan getir kenyataan
Pagi yang cerah memantulkan sinar semangat di wajah Kaif, pria itu tampak bersemangat untuk menyambut hari dengan aktivitasnya, terutama karena sang istri, Salwa, yang telah setuju untuk menemaninya ke kantor. Kaif merasakan kebahagiaan luar biasa, seolah tidak ingin melepaskan bayang Salwa dari sisinya, bahkan meski dalam waktu berkerja pekerjaan. "Mas, aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu, kan, jika aku ikut?" tanya Salwa, saat dia mencoba memakaikan dasi pada Kaif dengan berdiri di atas sebuah meja kecil, supaya dapat mencapai tinggi suaminya. "Tidak, malah kehadiranmu membuat Mas semakin semangat untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, Sayang," jawab Kaif, sambil mengelus lembut perut buncit Salwa yang mengandung buah hati mereka. Salwa tersenyum, merasa lega dan penuh cinta, "Iya deh," katanya akhirnya dengan penuh kehangatan.Lagi pula di rumah ia tidak ada kegiatan apapun, tapi berada di kantor Kaif seharian, apa ia tidak akan bosan, ini adalah kali pertama Salwa menemani
"Salwa," suara Kaif bergumam lirih, seraya ia memejamkan mata, seakan-akan berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalan. Meski telah memastikan diri di kamar mandi tadi untuk bersabar terkait hubungan mereka, kini Kaif justru tak bisa menjauh dari Salwa yang terpaku duduk di ranjang, menatapnya dengan pandangan menggoda. "Salwa, kamu..." kata-kata Kaif tergantung, tercekat di tenggorokannya, tak mampu melanjutkan karena terpesona pada istrinya sendiri. "Kenapa? Mas tidak suka melihatku seperti ini?" raut wajah Salwa memelas, membuat Kaif menggeleng cepat, nyaris dalam kepanikan. Dia malah merasa terpikat lebih dalam. Dengan perlahan, Kaif mendekati dan duduk di samping Salwa, mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh kelembutan dan saling menginginkan. "Mas, jangan diami aku, ya?" pinta Salwa dengan suara yang tiba-tiba terdengar begitu rapuh. "Kapan Mas mendiamimu, hm?" balas Kaif, suaranya tercampur dengan rasa bingung "Tadi, sebelum Mas ma
Salwa dengan lembut mengambil Al Qur'an terjemah yang selalu berada di sampingnya setiap malam, sebuah ritual yang telah menjadi bagian dari jiwa dan rutinitasnya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos jendela, momen itu terasa begitu sakral, berbeda dari sebelumnya. Dahulu, Salwa selalu seorang diri dalam keteduhan malam, namun malam ini, ia ditemani oleh sang suami tercinta, Kaif, meskipun ia hanya terlelap dalam tidurnya. Sambil membaca ayat-ayat suci dengan lirih, Salwa merasakan kedamaian yang menyelubungi ruang hatinya. Tangan kirinya bergerak lembut, mengelus kepala Kaif dengan penuh kasih, memberi rasa tenang dan kedamaian pada tidurnya. Kehadiran Kaif, meski dalam kebisuan tidur, memberikan kebahagiaan yang tidak terkira bagi Salwa. Suasana hening malam itu semakin membuat setiap kata yang terucap dari Al Qur'an membawa Salwa ke dalam kedalaman kontemplasi dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran mereka berdua dalam doa dan cinta, menjadikan malam itu tak terlupakan, s
Salwa terjaga dari tidurnya yang tidak biasanya begitu lelap. Ada perasaan aneh menggelayuti pikirannya saat ia menyadari ada sesuatu yang berbeda malam ini. Meski biasanya ia sering terbangun di tengah malam, namun kali ini tubuhnya begitu nyaman dan tidak terganggu sama sekali. Seraya mencoba bangkit, tiba-tiba Salwa terhenyak, sebuah tangan kuat melingkar di perutnya. Dengan detak jantung yang berpacu, ia menoleh dan mendapati Kaif, pria yang kini ada di sampingnya. Dalam kebingungan dan sedikit rasa sesal, Salwa menyesali dirinya sendiri karena telah melupakan bahwa ia kini berada di Jakarta, dan lebih lagi, di kamar Kaif, rumah ibunya, Sofia. Salwa menatap Kaif yang masih terlelap di sampingnya, tangan besar pria itu hangat di perutnya. Mungkin, pikirnya, itulah yang membuat tidurnya terasa berbeda malam ini. Perlahan, dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Salwa berusaha melepaskan tangan Kaif dari perutnya. Ia berniat pergi ke kamar mandi, namun baru saja menyentu
"Istrimu sudah tidur, Kaif. Lebih baik l bermalam di sini saja," ucap Sofia lembut pada putranya yang baru saja tiba. Kaif mengangguk lelah. "Hari ini, energiku benar-benar terkuras habis, Ma."Jaga kesehatanmu, Nak. Kamu itu belum sembuh total," nasihat Sofia. "Kamu sudah makan malam belum?" Sofia bertanya pada putranya, penuh kekhawatiran. "Udah, Ma. Tadi sempat makan di kantor," jawab Kaif, suaranya lesu. "Baiklah, kamu mandi dan istirahatlah," kata Sofia. Kaif mengangguk, lalu melangkah menuju kamar. Begitu pintu kamar dibuka, suasana senyap menyambut Kaif. Di atas ranjang oper size, terlihat Salwa yang tertidur pulas, seolah sedang dalam pelukan mimpi. Cahaya kamar, menerangi wajah damai istrinya yang menjadi penawar lelah. Kaif tersenyum, seketika merasa semua kepenatan seolah terhapus. Berjalan hati-hati, ia meletakkan tas kerjanya, mengambil pakaian ganti dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan mimpi indah yang sedang dijalani
"Ada apa, Bu?" tanya Bu Dokter dengan suara lembut sambil menatap Salwa yang terlihat sokKeterkejutan Salwa begitu nyata saat mendengar ucapan frontal Kaif, pria itu benar-benar tidak tahu tempat. Untuk saja dokter kandungan itu tidak mendengar."Oh, tidak, tidak ada yang salah, Dokter," jawab Salwa dengan suara kikuk, memaksakan senyum yang tak sempurna sementara Kaif hanya menampilkan senyum samar yang seolah menyembunyikan rahasia besar.Setelah meninggalkan ruangan dokter kandungan dan menebus obat, langkah mereka langsung pulang ke rumah. Tiba di depan pintu, Sofia, dengan tangan yang lembut, menarik lembut tangan menantunya."Kalian benaran tidak ingin menginap di rumah ini malam ini? Sungguh, rindu sekali Mama pada menantu cantik mama," tuturnya dengan suara yang meluapkan kerinduan mendalam.Salwa menoleh kepada suaminya, menunggu jawaban dari pria tampan itu. Raut wajah Kaif memendarkan keengganan, seakan mempertimbangkan seribu satu hal dalam benaknya sebelum akhirnya menja
"Oh, maaf maaf, Kak." Eriana segera berbalik, membelakangi Kaif dan Salwa."Ck, ganggu saja," gerutu Kaif tertuju pada Eriana. Sedangkan Salwa menunduk dengan wajah merona, Malu. Bagaimana ia tidak malu, jika adik iparnya itu melihat dirinya dan Kaif dalam posisi yang begitu intim."Maaf, Kak," ucap Eriana sekali lagi. Hubungan Eriana dan Kaif tidak terlalu baik, ia jadi semakin kawatir saudaranya itu akan semakin benci padanya."Itu, Kak. Di depan ada dokter yang mau memeriksa keadaan kak Kaif," ujar Eriana."Untuk apa dokter, suruh pulang saja dia. Saya sudah punya dokter pribadi," kata Kaif dengan santainya sembari melirik pada Salwa yang masih menunduk."Keluar kamu, dan tutup pintunya," perintah Kaif.Eriana nurut, perempuan itu langsung keluar dan menutup pintu kamar Salwa dengan rapat.Salwa melihat banyak perubahan yang terjadi pada Eriana. Dia tidak seperti Eriana yang Salwa kenal."Mas." Salwa terlonjak kaget, saat Kaif tiba-tiba menarik tubuhnya dalam pelukannya."Mas masi
"Mas tanganmu terluka!" Seruan itu pecah di keheningan kamar saat Salwa menyentuh punggung tangan Syakir yang tampak memar. Pria itu, Kaif, kini duduk di pinggir ranjang Tangan Kaif yang lebam itu seakan melukis kesakitan di matanya. "Ini hanya luka kecil, tak perlu khawatir," Kaif mencoba menenangkan, sambil membiarkan tangan hangat Salwa menelusuri lebamnya. Wajah Salwa, yang sedang hamil, menyiratkan kekhawatiran mendalam, lebih dari yang seharusnya untuk luka sekecil itu. "Pasti sakit, ya? Maaf, Mas," suara Salwa bergetar, mata berkaca-kaca menatap Kaif, menyuarakan kepedulian dan kegentaran seorang ibu hamil yang hormonnya melonjak. Kaif hanya mengangguk, gesturnya memperdalam cemas di hati Salwa. Dia bahkan mulai beranjak ingin mengambil perlengkapan obat. Namun, tangan Kaif dengan cepat meraihnya, menghentikan gerak langkahnya. "Bukan di sini yang sakit, Salwa," suara Kaif mendadak serius dan dalam, memotong atmosfer ruangan dengan berat. Salwa mendongak, menatap
Di dalam kamar Salwa yang tidak begitu luas. Sofia dengan setia menjaga Salwa yang sedang tidur di ranjangnya setelah diperiksa oleh dokter beberapa menit yang lalu.Sementara itu, di luar, Hasbi dan Kaif tengah sibuk di halaman rumah, berbicara dengan polisi mengenai Halik yang sedang mereka upayakan untuk mendapatkan hukuman berat di penjara, seraya api keadilan berkobar di dalam hati mereka.Di dalam kamar.Salwa membuka matanya perlahan, tersadar dari tidur yang tampaknya tidak memberikan kekuatan apa pun kepadanya."Eriana, tolong ambilkan air," suruh Sofia pada Eriana yang juga ada di sana.Tanpa menunda, Eriana segera mengambil segelas air yang sudah tersedia di kamar itu."Ayo minum dulu, Nak," ucap Sofia sambil menopang tubuh Salwa yang terasa seperti puing-puing yang lelah. Salwa hanya dapat menelan dengan susah payah, tiap tegukan terasa seperti pejuangan. Kejadian pagi tadi, membuat Salwa merasa tubuhnya lemas.Kepedulian Sofia terpancar jelas saat ia dengan sabar membantu