"Assalamualaikum, kakak ipar," sapa Halik dengan nada berat, seakan membawa tujuan tertentu di balik kedatangannya. Suami Eriana ini bukan tipe yang sering mengunjungi rumah Salwa, apalagi di saat suaminya, Kaif, tengah berada di kantor. "Waalaikum salam," jawab Salwa dengan suara tercekat. Kejutan menggelayut di wajahnya, pertanda kedatangan adik iparnya ini tidak biasa. "Mas Kaif masih ada di kantor," sambungnya cepat, berusaha memberi kode bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk berkunjung. "Gak menyuruh aku masuk nih, kakak ipar? Kakiku rasanya sudah pegel berdiri di depan pintu," desak Halik, suaranya menyisakan ruang untuk mendesak. Suasana menjadi semakin tegang ketika Salwa terpaksa membuka pintu, walau hatinya berat. Ruangannya terasa lebih sempit, dingin, hampa. Salwa menggigit bibirnya, cemas. Seorang diri di rumah, dengan Halik yang sering memberikan pandangan yang tidak senonoh padanya dan Salwa tidak suka itu. "Ada perlu apa?" tanyanya, mencoba mempertahankan keten
Di tengah dinginnya malam yang sunyi, Kaif terburu-buru kembali dari kantor setelah telepon darurat dari adiknya, Eriana. "Dimana Salwa?" tanya Kaif dengan suara yang pada Bi Maryam yang membukakan pintu. "Ada di kamarnya, Tuan. Nona Salwa sedang sa—" ucapan Bi Maryam terpotong, seolah langit menurunkan larangan untuk meneruskannya, karena Tuan Kaif sudah berlari menaiki tangga dengan langkah-langkah yang bergema ke seluruh penjuru rumah. Bi Maryam hanya bisa berbisik lirih, "Semoga Tuan Kaif bisa menenangkan, Nyonya," doanya menggantung di udara yang dingin. Peristiwa sore itu, ketika Bi Maryam kembali dari luar, telah menyambutnya dengan raungan tangis yang menyayat dari kamar mandi. Salwa, yang biasa tersusun rapi dan tenang, kali ini terlihat hancur; rambutnya kusut dan matanya sembab merah, mencerminkan badai yang mengamuk di dalam hatinya. Dengan langkah pasti Kaif membuka pintu kamar Salwa. Dalam keheningan yang terasa menyengat, Salwa yang tengah terhanyut dalam ayat-aya
Dua jam berlalu dalam hujan yang tak kunjung reda, Salwa masih terdampar di bawah guyuran hujan yang kian menggila. Angin bertiup kencang, mendesing di antara dedaunan, dan tanda-tanda petir seolah menggantung di udara, siap meledak. Ctarrrrrrr! Bunyi petir menggelegar, meresap hingga ke sumsum tulang, memaksa Salwa untuk segera menutup telinganya. Tubuh kecilnya gemetar tak terkendali sementara air mata mulai mengalir di pipi pucatnya. Dia terisak seorang diri di halaman rumah yang seolah menyatu dengan kesunyian malam yang menyesakkan. Memang, Salwa memiliki kecintaan terhadap hujan, namun tidak dengan petir. Ctarrr ... “Ibu, adek ta-kut,” suara Salwa yang lirih hampir tenggelam di bawah deru hujan dan guntur yang memecah kesenyapan, sebelum akhirnya, tubuh kecilnya tak lagi mampu menahan beban ketakutan dan kelelahan. Salwa jatuh pingsan, terkulai tak berdaya di depan halaman Istana Kaif, dengan hujan yang masih setia menemani, bagai penari yang tak kenal lelah mengita
Hana buru-buru memperbaiki penampilannya yang berantakan dan merapikan pakaian, sementara Kaif juga terlihat cemas membetulkan kemejanya. Salwa masih terpaku, tubuhnya gemetar tak terkendali. Di hadapan adegan yang tidak sepatutnya itu, bukan hanya rasa malu yang membuncah dalam diri Salwa, tetapi juga kehinaan di hadapan sang pencipta. Sudah sering Salwa menyaksikan kemesraan mereka, namun yang barusan adalah sebuah pemandangan yang terlalu intim, terlalu nyata. Hana, dengan kepala tertunduk, keluar meninggalkan ruangan Kaif, seolah-olah lantai membara di bawah kakinya. Salwa, yang dilanda perasaan terhina dan berkecamuk, akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendekati Kaif yang berdiri sendu di depan jendela, pria itu mengalihkan keterkejutan dengan menyesap rokok dengan tatapan yang hilang. Aroma asap itu menyeruak, dan Salwa tahu, inilah pertama kalinya Kaif merokok di depannya, sebuah tanda betapa dalamnya keretakan di dalam dirinya. Setiap asap yang terhembus memperdalam l
Sudah lima hari lima malam Kaif tidak pulang ke rumahnya, hal itu membuat Salwa kawatir. Telepon Kaif tidak diangkat, pria itu seperti sengaja untuk menjauh dari Salwa semenjak percakapan terakhir kali di kantor beberapa hari yang lalu."Non, sudahlah. Tuan Kaif sepertinya menginap di kantornya lagi. Non Salwa istirahat ya, ini sudah sangat malam." Bi' Maryam berusaha membujuk Salwa, tapi seperti di malam-malam biasanya, Salwa akan terus menunggu, hingga berakhir tidur sofa ruang tamu.Sekitar jam 2 pagi, Salwa yang sudah tertidur di sofa ruang tamu terbangun. Karena merasakan ada orang yang datang.Tubuh Salwa terlonjak kaget, saat tatapannya tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di depannya, laki-laki itu menatapnya."Astaghfirullahaladzim, Tuan." Salwa mengelus dadanya karena terkejut.setelah mengontrol diri dari keterkejutannya, Salwa kembali berucap."Tuan mau makan?" tanya Salwa, ada rasa gugup yang menggelayut hatinya karena tatapan Kaif yang tidak biasa.Kaif tidak menj
Salwa perlahan membuka mata, kesakitan merambat di seluruh tubuhnya, hasil dari malam panas, malam tadi. Perutnya terasa berat, pandangannya jatuh pada tangan yang melingkar di sana, tangan Kaif, yang nafasnya terasa hangat di sisi tubuhnya. Malam itu Kaif telah mengikat dirinya sebagai istri seutuhnya, namun ada duri tajam yang tertancap di hati Salwa saat melihat wajah Kaif yang tenang dalam tidurnya. 'Miris sekali? Kamu meniduri aku tapi kamu membayangkan perempuan lain, Tuan,' batin Salwa. Kaif yang mabuk malam itu mengira Salwa adalah Hana, memanggil nama wanita itu dengan kasih sayang yang seharusnya menjadi hak Salwa. Betapa pahitnya bagi seorang istri, di malam yang seharusnya sakral, mendengar suaminya menyebut nama perempuan lain dengan penuh rasa sayang. Dadanya sesak, perih yang membuncah tak terkatakan. Apakah ini cinta atau hanya sebuah kesalahan yang terus membara di antara mereka? Salwa merenung dalam kepedihan dan kebingungan, terjebak dalam dilema antara menci
Salwa mendadak merapatkan mukenahnya yang ia remas erat, mencoba menyembunyikan kegugupannya yang telah muncul sejak insiden pagi tadi yang mengundang rasa takutnya pada Kaif. "Kau, buka mukenahmu!" seru Kaif tegas, dengan tatapan tajam yang semakin membuat Salwa bergetar. "Tuan, apa yang ingin tu—tuan lakukan?" suara Salwa bergetar lemah, terasa lantang di keheningan malam. Dengan senyum sinis, Kaif mengatakan, "Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat istimewa padamu, sampai kamu tidak akan bisa untuk melupakan." Suaranya terdengar penuh misteri, meninggikan ketegangan di udara. "Lepaskan mukenahmu!" ulangnya lebih keras. Menantang setiap fiber keberanian dalam dirinya, Salwa akhirnya menuruti. Dengan gemetar, ia perlahan melepaskan mukenah yang membalut tubuhnya, memperlihatkan rambut hitamnya yang tersanggul indah, kontras mencolok dengan situasi yang suram. Kaif, seakan terpesona, mengambil langkah mendekat.Kaif mengulurkan jemari tangan jernihnya, dengan lembut menying
"Apa kalian sudah tidur bersama?" tanya Sofia tanpa basa basi."Kenapa mama bertanya seperti itu?" tanya Kaif, dahinya mengerut dengan pertanyaan mamanya."Mama sudah lelah Kaif, mama sudah tua, mama ingin kalian hidup selayaknya suami istri, memiliki anak. Seperti pasangan lainnya," ujar Sofia. "Mama juga ingin melihat anakmu lahir ke dunia ini, Kaif," tambah Sofia."Ma." Kaif menyentuh tangan mamanya. "Aku sudah berkali-kali mengatakan pada mama, aku tidak menginginkan perempuan ini." Kaif berucap tanpa memperdulikan perasaan Salwa.Kaif menatap netra mamanya dengan penuh permohonan. "Aku hanya mencintai Hana, Ma. Dan hanya dia perempuan yang akan melahirkan anak-anakku kelak," jelas Kaif."Jadi kamu tidak pernah memberikan nafkah batin pada Salwa?" tanya Sofia. Mata perempuan paruh baya itu mulai berkaca-kaca, terlihat guratan kelelahan di wajahnya.Kaif tidak langsung menjawab, pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa yang hanya menunduk sedari tadi."Tidak!" jawab Kaif akhirnya
"Mas tanganmu terluka!" Seruan itu pecah di keheningan kamar saat Salwa menyentuh punggung tangan Syakir yang tampak memar. Pria itu, Kaif, kini duduk di pinggir ranjang Tangan Kaif yang lebam itu seakan melukis kesakitan di matanya. "Ini hanya luka kecil, tak perlu khawatir," Kaif mencoba menenangkan, sambil membiarkan tangan hangat Salwa menelusuri lebamnya. Wajah Salwa, yang sedang hamil, menyiratkan kekhawatiran mendalam, lebih dari yang seharusnya untuk luka sekecil itu. "Pasti sakit, ya? Maaf, Mas," suara Salwa bergetar, mata berkaca-kaca menatap Kaif, menyuarakan kepedulian dan kegentaran seorang ibu hamil yang hormonnya melonjak. Kaif hanya mengangguk, gesturnya memperdalam cemas di hati Salwa. Dia bahkan mulai beranjak ingin mengambil perlengkapan obat. Namun, tangan Kaif dengan cepat meraihnya, menghentikan gerak langkahnya. "Bukan di sini yang sakit, Salwa," suara Kaif mendadak serius dan dalam, memotong atmosfer ruangan dengan berat.Salwa mendongak, menatap wajah
Di dalam kamar Salwa yang tidak begitu luas. Sofia dengan setia menjaga Salwa yang sedang tidur di ranjangnya setelah diperiksa oleh dokter beberapa menit yang lalu.Sementara itu, di luar, Hasbi dan Kaif tengah sibuk di halaman rumah, berbicara dengan polisi mengenai Halik yang sedang mereka upayakan untuk mendapatkan hukuman berat di penjara, seraya api keadilan berkobar di dalam hati mereka.Di dalam kamar.Salwa membuka matanya perlahan, tersadar dari tidur yang tampaknya tidak memberikan kekuatan apa pun kepadanya."Eriana, tolong ambilkan air," suruh Sofia pada Eriana yang juga ada di sana.Tanpa menunda, Eriana segera mengambil segelas air yang sudah tersedia di kamar itu."Ayo minum dulu, Nak," ucap Sofia sambil menopang tubuh Salwa yang terasa seperti puing-puing yang lelah. Salwa hanya dapat menelan dengan susah payah, tiap tegukan terasa seperti pejuangan. Kejadian pagi tadi, membuat Salwa merasa tubuhnya lemas.Kepedulian Sofia terpancar jelas saat ia dengan sabar membantu
Dentuman keras terdengar bertalu-talu saat Kaif dengan brutalnya memukul Halik yang hingga berdaya, sementara Salwa lemah terpeluk dalam dekapan Sofia. Segalanya berawal ketika Halik mencoba menyeret Salwa ke dalam mobil dengan paksa, namun momen itu terpotong dengan kedatangan Kaif. Tanpa pikir panjang, ia melompat dari mobilnya, amarah membara di dadanya. Bugh bugh bugh... Suara pukulan itu menggema, setiap hantaman Kaif menghujam tanpa ampun ke tubuh Halik yang sudah penuh luka. Halik hanya bisa mengerang kesakitan, badannya seolah tak lebih dari boneka kain yang diseret oleh gelombang amarah Kaif. Sungguh, pertarungan ini mungkin telah berakhir dengan tragis jika bukan karena kedatangan Hasbi dan istrinya di saat yang tepat. Dengan segala kekuatannya, Hasbi berhasil melerai Kaif, menarik Kaif yang masih diliputi amarah dan keinginan untuk melampiaskan lebih banyak lagi penderitaan pada Halik. Namun, Hasbi dengan tegas mengingatkan bahwa semua ini harus berakhir, karena lepas
Salwa melangkah keluar, menyerap kedamaian pagi yang menyejukkan jiwa. Sapaan hangat dari warga desa yang bersiap menuju kerja menyelinap melalui hawa segar, dan Salwa membalas dengan senyuman yang merekah di wajahnya. "Adek, jangan melewatkan waktu sarapan ya, sarapannya sudah kakak siapkan di meja. Kakak mau ke belakang menemui Bang Hasbi dulu," ujar Istri Hasbi dengan lembut. Salwa mengangguk, "Iya kak, terima kasih banyak." Perempuan itu tersenyum lembut sebelum melangkah menuju belakang rumah. Salwa kemudian duduk di kursi halaman, tempat kesukaannya untuk menikmati pemandangan sekitar. Hasbi sudah membuat kursi itu khusus untuk Salwa, hafal jika adik kesayangannya suka sekali menikmati udara di tempat itu. Sambil mengusap perutnya yang kian membesar, Salwa berbisik lirih, "Rindu ayah ya, Nak," seraya tatapannya terhanyut dalam kenangan tentang sang ayah yang terasa begitu dekat namun jauh.Sudah lima hari berlalu tapi Salwa sendiri yang kalah, tiada hari tanpa merindukan Ka
Pada hari yang sama saat Salwa dijemput oleh keluarganya, Kaif mengambil keputusan tegas untuk kembali ke Jakarta. Ada tarikan hati yang mendalam yang mendorongnya untuk menyusul Salwa, namun akalnya memenangkan pertarungan dalam benaknya. Salwa memerlukan waktu, dan Kaif tahu ia tidak boleh bertindak egois. Selama tiga hari, Kaif mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja keras di kantor, berangkat sebelum matahari terbit dan pulang larut malam. Kaif sengaja menyibukkan diri agar terbebas dari lamunan tentang Salwa yang terus menerus menghantuinya. Sofia dan Eriana, setelah kembali dari Amerika, terhanyut dalam kesedihan saat mendengar cerita Pak Toha tentang keadaan Kaif. "Ma, kapan kita ke rumah kak Kaif?" tanya Sofia pada mamanya dengan suara bergetar. "Malam ini saja, saat ini dia pasti sedang ada d kantornya, nanti sekalian kita makan malam bersama," jawab ibunya lembut."Baiklah, Ma." Keputusan Kaif untuk tinggal di rumah pribadinya, meskipun ibunya, Sofia, mendesakn
"Aku butuh waktu, Tuan. Ini tidak mudah bagiku, aku butuh berfikir karena aku terlalu takut untuk kembali pada laki-laki yang merupakan masa laluku. Masa laluku begitu menyakitkan, aku takut kepahitan itu akan kembali lagi jika aku kembali." Salwa akhirnya mengutarakan uneg-unegnya.Kaif berusaha untuk duduk dari baringnya, menatap wajah sendu perempuan yang sudah ia sakiti begitu dalam.'Apa aku begitu egois memaksanya untuk kembali padaku?' batin Kaif, ia bisa melihat luka dari sorot mata cantik itu."Aku memaafkanmu, Mas." Panggilan Salwa sudah mulai berubah, perempuan itu terkadang memanggil tuan dan juga terkadang memanggil Mas pada Kaif. "Tapi untuk kembali, aku masih belum siap, aku takut sakit lagi dan untuk menyembuhkan itu sangat susah. Aku takut, bisakah mas memahami ketakutanku." Air mata Salwa mengalir juga, sekuat apapun perempuan itu berusaha melupakan kejadian yang menyakitkan di masa lalu, nyatanya Salwa tidak mampu.Sikap kasar Kaif, Halik yang hampir melecehkannya,
Kaif merengkuh pinggang Salwa erat-erat, mencegah wanita itu melangkah pergi. "Tolong, jangan tinggalkan aku... Aku mohon, Sayang," ratapnya sambil mata mereka terus bertaut dalam tatapan yang penuh dengan harapan dan keputusasaan. "Biarkan aku pergi, Ma ... Tuan, ini tidak lucu." Suara Salwa terdengar getir, usahanya untuk melepaskan cengkeraman Kaif penuh dengan perjuangan. Tangannya mendorong dengan keras, namun Kaif tak bergeming, seolah takut kehilangan sentuhan terakhir darinya. "Maaf, Salwa. Aku tidak pernah ingin menipumu, aku hanya terlalu takut kehilanganmu," ucap Kaif dengan suara yang hampir tak terdengar, diwarnai dengan nada yang lirih dan penuh penyesalan. "Cukup, Tuan. Bukankah kita sudah membicarakan ini semalam? Hormati keputusanku," tegas Salwa. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Kaif. Dalam satu dorongan penuh kemarahan dan kekecewaan, Kaif terdorong mundur dan tersungkur ke dinding ranjang dengan keras.Suara d
"Astaghfirullahaladzim, Tuan Kaif! Tuan Kaif kenapa?" Pak Toha, supir Kaif datang dengan wajah penuh kekawatiran, pria itu terkejut melihat kondisi wajah majikannya. Bagaimana Pak Toha tidak kawatir, dia sudah diamanahkan untuk menjaga majikannya, kondisi Kaif belum sepenuhnya pulih dari komanya waktu itu. Pak Toha mendekati Kaif yang terbaring di pangkuan Salwa."Apa yang terjadi, Non? Ya Allah. Kenapa sampai berdarah seperti ini, bagaimana kalau Tuan Kaif sakit seperti dulu lagi, tuan Kaif masih belum sepenuhnya pulih, Non," ujar pak Toha."Jangan hanya bicara, Pak. Tolong bantu suami saya, kita bawa ke rumah sakit sekarang juga!" perintah Salwa, suaranya meninggi karena terlalu menghawatirkan keadaan Kaif, apalgi setelah mendengar ucapan Pak Toha mengenai keadaan Kaif.Hasbi mulai merasa bersalah, ia terlalu dikalahkan dengan emosinya."Rumah sakit di sini jauh, Non. Yang ada hanya puskesmas dan itu tidak ada gunanya untuk Tuan Kaif. Kita bawa ke rumah saja, di sana ada obat-obat
"Mau dibawa kemana istriku?" tanya Kaif menghalangi langkah Hasbi yang ingin beranjak dari tempat itu."Menyingkir, jangan sampai saya hilang kendali," tegas Hasbi dengan dingin. Hasbi menatap adiknya yang sedari tadi hanya membisu."Ayo adek, kita pulang," ajak Hasbi pada Salwa."Tidak! Salwa tidak boleh pergi kemana-mana tanpa izin dariku," tegas Kaif.Hasbi menatap Kaif dengan tatapan tajam."Siapa kamu!" "Aku suaminya, bang Hasbi paham Agama bukan? Kenapa sekarang malah ikut campur dalam rumah tangga kami." "Berani sekali kamu membawa-bawa Agama," tegas Hasbi. "Apa kamu sadar bagaimana kamu memperlakukan adik saya selama dua tahun ini, bahkan keluargamu memfitnah Salwa. Adikku adalah perempuan yang terjaga, saya selalu melindunginya, tapi rupanya kamu menyakiti adikku."Ucapan Hasbi membuat dada Kaif terasa sesak, ia menyesali semua yang dilakukan di masa lalu, ia menyesal karena baru menyadari jika Salwa adalah perempuan yang tulus, perempuan yang memang pantas untuk dimuliaka