Hana buru-buru memperbaiki penampilannya yang berantakan dan merapikan pakaian, sementara Kaif juga terlihat cemas membetulkan kemejanya. Salwa masih terpaku, tubuhnya gemetar tak terkendali. Di hadapan adegan yang tidak sepatutnya itu, bukan hanya rasa malu yang membuncah dalam diri Salwa, tetapi juga kehinaan di hadapan sang pencipta. Sudah sering Salwa menyaksikan kemesraan mereka, namun yang barusan adalah sebuah pemandangan yang terlalu intim, terlalu nyata. Hana, dengan kepala tertunduk, keluar meninggalkan ruangan Kaif, seolah-olah lantai membara di bawah kakinya. Salwa, yang dilanda perasaan terhina dan berkecamuk, akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendekati Kaif yang berdiri sendu di depan jendela, pria itu mengalihkan keterkejutan dengan menyesap rokok dengan tatapan yang hilang. Aroma asap itu menyeruak, dan Salwa tahu, inilah pertama kalinya Kaif merokok di depannya, sebuah tanda betapa dalamnya keretakan di dalam dirinya. Setiap asap yang terhembus memperdalam l
Sudah lima hari lima malam Kaif tidak pulang ke rumahnya, hal itu membuat Salwa kawatir. Telepon Kaif tidak diangkat, pria itu seperti sengaja untuk menjauh dari Salwa semenjak percakapan terakhir kali di kantor beberapa hari yang lalu."Non, sudahlah. Tuan Kaif sepertinya menginap di kantornya lagi. Non Salwa istirahat ya, ini sudah sangat malam." Bi' Maryam berusaha membujuk Salwa, tapi seperti di malam-malam biasanya, Salwa akan terus menunggu, hingga berakhir tidur sofa ruang tamu.Sekitar jam 2 pagi, Salwa yang sudah tertidur di sofa ruang tamu terbangun. Karena merasakan ada orang yang datang.Tubuh Salwa terlonjak kaget, saat tatapannya tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di depannya, laki-laki itu menatapnya."Astaghfirullahaladzim, Tuan." Salwa mengelus dadanya karena terkejut.setelah mengontrol diri dari keterkejutannya, Salwa kembali berucap."Tuan mau makan?" tanya Salwa, ada rasa gugup yang menggelayut hatinya karena tatapan Kaif yang tidak biasa.Kaif tidak menj
Salwa perlahan membuka mata, kesakitan merambat di seluruh tubuhnya, hasil dari malam panas, malam tadi. Perutnya terasa berat, pandangannya jatuh pada tangan yang melingkar di sana, tangan Kaif, yang nafasnya terasa hangat di sisi tubuhnya. Malam itu Kaif telah mengikat dirinya sebagai istri seutuhnya, namun ada duri tajam yang tertancap di hati Salwa saat melihat wajah Kaif yang tenang dalam tidurnya. 'Miris sekali? Kamu meniduri aku tapi kamu membayangkan perempuan lain, Tuan,' batin Salwa. Kaif yang mabuk malam itu mengira Salwa adalah Hana, memanggil nama wanita itu dengan kasih sayang yang seharusnya menjadi hak Salwa. Betapa pahitnya bagi seorang istri, di malam yang seharusnya sakral, mendengar suaminya menyebut nama perempuan lain dengan penuh rasa sayang. Dadanya sesak, perih yang membuncah tak terkatakan. Apakah ini cinta atau hanya sebuah kesalahan yang terus membara di antara mereka? Salwa merenung dalam kepedihan dan kebingungan, terjebak dalam dilema antara menci
Salwa mendadak merapatkan mukenahnya yang ia remas erat, mencoba menyembunyikan kegugupannya yang telah muncul sejak insiden pagi tadi yang mengundang rasa takutnya pada Kaif. "Kau, buka mukenahmu!" seru Kaif tegas, dengan tatapan tajam yang semakin membuat Salwa bergetar. "Tuan, apa yang ingin tu—tuan lakukan?" suara Salwa bergetar lemah, terasa lantang di keheningan malam. Dengan senyum sinis, Kaif mengatakan, "Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat istimewa padamu, sampai kamu tidak akan bisa untuk melupakan." Suaranya terdengar penuh misteri, meninggikan ketegangan di udara. "Lepaskan mukenahmu!" ulangnya lebih keras. Menantang setiap fiber keberanian dalam dirinya, Salwa akhirnya menuruti. Dengan gemetar, ia perlahan melepaskan mukenah yang membalut tubuhnya, memperlihatkan rambut hitamnya yang tersanggul indah, kontras mencolok dengan situasi yang suram. Kaif, seakan terpesona, mengambil langkah mendekat.Kaif mengulurkan jemari tangan jernihnya, dengan lembut menying
"Apa kalian sudah tidur bersama?" tanya Sofia tanpa basa basi."Kenapa mama bertanya seperti itu?" tanya Kaif, dahinya mengerut dengan pertanyaan mamanya."Mama sudah lelah Kaif, mama sudah tua, mama ingin kalian hidup selayaknya suami istri, memiliki anak. Seperti pasangan lainnya," ujar Sofia. "Mama juga ingin melihat anakmu lahir ke dunia ini, Kaif," tambah Sofia."Ma." Kaif menyentuh tangan mamanya. "Aku sudah berkali-kali mengatakan pada mama, aku tidak menginginkan perempuan ini." Kaif berucap tanpa memperdulikan perasaan Salwa.Kaif menatap netra mamanya dengan penuh permohonan. "Aku hanya mencintai Hana, Ma. Dan hanya dia perempuan yang akan melahirkan anak-anakku kelak," jelas Kaif."Jadi kamu tidak pernah memberikan nafkah batin pada Salwa?" tanya Sofia. Mata perempuan paruh baya itu mulai berkaca-kaca, terlihat guratan kelelahan di wajahnya.Kaif tidak langsung menjawab, pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa yang hanya menunduk sedari tadi."Tidak!" jawab Kaif akhirnya
Kaif mendekatkan wajahnya, ujung jarinya dengan hati-hati menyentuh bibir Salwa, sentuhan tersebut begitu lembut, namun membawa getaran yang memilukan."Salwa, kau tahu, kalau cinta saya hanya untuk Hana. Saya tidak akan bisa membuka hati untumu," bisik Kaif, terdengar menyesakkan bagi Salwa."Beritahu aku saat kamu siap kembali ke kampung halamanmu." Kaif kembali menambhakan ucapannya, membuat Salwa mendongak.Salwa menahan napas, matanya berat menyembunyikan rasa sakit. "Aku belum siap, Tuan. Biarkan saja seperti ini dulu, aku masih mampu untuk bertahan di sisimu" katanya dengan lemah.Selain itu Salwa juga tidak ingin orang-orang yang dicintainya di kampung mengetahui penderitaan yang ia alami. Lebih dari itu, dia terbebani oleh kesedihan yang akan ditanggung ibunya jika mengetahui kenyataan dalam pernikahannya yang tidak sesuai dengan yang terlihat.Akan tetapi di suatu hari nanti, Salwa pasti akan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berbicara pada ibunya kelak, sedikit demi sedi
Kaif diam, tangannya bergetar, hingga akhirnya, pria itu dikalahkan oleh egonya."Salwa, waktunya pergi, nanti kita terlambat," ucap Kaif akhirnya tanpa menuruti keinginan Salwa.Salwa hanya tersenyum miris, iapun melepas pelukannya, mundur beberapa langkah dari hadapan Kaif. Sebuah kenyataan pahit, sampai kapanpun Kaif tidak akan pernah menganggapnya ada.Netra mereka sempat bertemu tapi Salwa yang lebih dulu mengalihkan pandangan, lalu keluar dari kamar Kaif. Di gedung mewah yang terhias indah, suasana bertambah ramai saat tamu-tamu terhormat yang merupakan rekan bisnis Kaif dan kerabatnya mulai berdatangan.Kaif, yang tampak gagah dengan setelan jas putih, duduk di hadapan penghulu bersama seorang gadis cantik yang sangat mempesona. Kebaya putih yang senada, rambut yang terbungkus indah dalam sanggul dan mahkota yang bersinar di atas kepalanya.Aura kecantikan mempelai perempuan bagai pemandangan lukisan. Sedangkan Salwa, yang mengenakan busana yang tak kalah anggun, duduk bersama
"Gak kemana-mana, cuman duduk di sana," jawab Salwa seraya menunjuk ke taman di samping gedung."Tak lama lagi hujan akan turun, ayo masuk," ajak Kaif.Sebelum Salwa sempat menanggapi, Kaif sudah memegang pergelangan tangannya. Sentuhan itu, entah kenapa, kali ini terasa begitu lembut di kulit Salwa, membuat bulu kuduknya berdiri.Mereka baru saja melangkah beberapa langkah ketika suara memanggil nama Kaif menggema, menghentikan langkah mereka berdua."Kakak, aku mencarimu kemana-mana," seru Eriana dengan suara mendesak."Ada apa?" tanya Kaif."Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, ayo!" Eriana, dengan langkah yang tak terbendung, menarik tangan Kaif yang saat itu tengah memegang erat pergelangan tangan Salwa.Dengan gerakan cepat, Kaif terpaksa melepaskan genggaman tangannya pada Salwa. Eriana tidak memberi kesempatan Salwa untuk ikut serta, dan Kaif pun terbawa tanpa sempat menoleh kembali.Salwa, yang terpaksa ditinggal sendirian, hanya bisa berdiri terpaku menyaksikan punggun
"Saya atas nama warga di sini, dengan segala kerendahan hati memohon maaf, Pak Kaif. Kami seharusnya menyelidiki lebih dahulu sebelum berkata kasar pada Mbak Ana secara tidak adil," kata seorang wanita dengan mata berkaca-kaca dan nada suara bergetar yang menunjukkan penyesalan mendalam. "Kalian semua, bubar!" teriak Kaif, suaranya menggema, tegas dan tak terbantahkan. Namun, para warga masih berkerumun, harapan dan kecemasan terpatri di wajah mereka, takut bahwa Syakir mungkin akan menghentikan pembangunan masjid yang telah lama dinantikan."Apa tuan Kaif akan menghentikan pembangunan masjid di desa ini?" tanya seorang laki-laki paruh baya, terlihat kecemasan di wajahnya. "Lihat saja nanti , tapi jika kalian masih berdiri di depan rumah ini dipastikan bangunan itu akan saya hancurkan hari ini juga," ancam Kaif, pria itu masih kesal pada mereka.Segera para warga bubar, begitupun dengan Abdul. Dalam diam, dia menyimpan perasaan pada Salwa, wanita yang telah menolaknya beberapa har
"Kenapa Mbak Ana ada di rumah yang ditempati Pak Kaif?" tanya seorang warga dengan nada tinggi, mata membelalak penuh keheranan. Selama ini, Salwa, perempuan yang dikenal sebagai perempuan baik-baik dan taat dalam agamanya "Kenapa harus ditanya, sudah pasti janda ini berzina dengan Tuan kota itu. Padahal perutnya sudah membuncit, janda itu masih berani bermain api dengan Tuan kota!" sindir Abdul, pria muda yang baru kembali dari rantau, nada suaranya penuh kecaman. Pria itulah yang mengajak para warga untuk menggerebek mereka. "Astaghfirullahaladzim, hati-hati dengan ucapanmu, Abdul!" tegas Bu Nia, melindungi martabat anak angkatnya dari tuduhan yang menyakitkan. Namun, bisikan lain muncul, "Tapi Bu, yang Abdul katakan ada benarnya. Kenapa juga Ana berada di rumah Pak Kaif, mereka berduaan dalam rumah ini. Sementara supirnya berada di lokasi pembangunan masjid? " kecurigaan dan prasangka di antara mereka. Wajah-wajah penuh tanya, desas-desus yang tidak berkesudahan, semuanya mu
“Tolong biarkan seperti ini dulu, Sayang,” rayu Kaif dengan suara yang lembut tetapi penuh autoritas. Itu adalah tangan Kaif, pria itu sengaja membiarkan Salwa memasuki kamar pribadinya karena ia lebih dekat dengan istrinya, kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.Salwa berusaha melepaskan diri dari tangan besar itu, namun sia-sia. Tangan Kaif seakan dibuat dari baja, kuat dan tak tergoyahkan. Dalam keputusasaan, Salwa mencubit lengan Kaif, namun bukan kesakitan yang terpancar dari wajah pria itu, melainkan ketenangan yang mengganggu. Ia mulai mengelus perut besar Salwa dengan kelembutan, membuat Salwa dengan segala kebingungannya merasa nyaman di bawah sentuhan itu. "Bagaimana kabar anak Papa, hm?" suara Kaif lembut, berbicara kepada bayi dalam kandungan Salwa. "Maafkan Papa yang baru datang. Sungguh, Papa sangat bahagia karena bisa bertemu dengan kalian lagi" kata Kaif, matanya sesekali melirik wajah Salwa. "Bantu Papa untuk membujuk Mama, ya Sayang. Kamu dan Mama
Kegelisahan menguasai setiap sudut wajah Salwa. Di hadapannya, potongan mangga yang seharusnya menyegarkan hanya tersentuh angin. Pikirannya tidak dapat lepas dari Kaif, ia gelisah mengingat keadaan kaki pria itu, bayang-bayang kekhawatiran menghantuinya. Hati Salwa yang terpenjara rasa cemas, akhirnya mendorongnya berdiri, mengambil langkah demi langkah menuju rumah di sebelah, hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia tempati. Kebetulan saja, di depan pintu ia berpapasan dengan Pak Toha yang baru saja melangkah keluar. Dengan mata yang mencari, Salwa bertanya dengan nada sopan, "Dimana dia, Pak?" Mata Pak Toha berbinar penuh pengertian, "Eh, Tuan Kaif ya, Non?" Salwa hanya mengangguk, tak sabar menunggu jawaban. "Tuan ada di dalam, Non. Silahkan masuk." Pak Toha langsung membukakan pintu lebar-lebar bagi Salwa untuk lewat, setelah itu menutup pintu pelan di belakangnya. Pak Toha ersenyum simpul, ia berbisik pada diri sendiri, "Lebih baik aku jalan-jalan saja, hati Tua
"Hush, Nduk. Bicara baik-baik, ini Nak Kaif sudah berbaik hati akan mengambilkan mangga untukmu. Minta maaf sekarang," tegas Pak Mahdi. Salwa hanya menggeleng, bibirnya menggumam kesal. "Kenapa harus minta maaf, Pak. Aku tidak salah." "Kamu terus berkata kasar pada Nak Kaif, itu yang salah. Sekarang minta maaf padanya," Pak Mahdi memerintah lagi dengan nada yang lebih serius. "Iya, Bapak," ujar Salwa, menghela napas dalam-dalam, suaranya berat karena pasrah. Dalam diam, Kaif menahan senyum tipis, matanya tanpa sengaja menangkap ekspresi wajah Salwa, meskipun terlihat ditekuk tapi dimata Kaif terlihat begitu menggemaskan.Salwa memandang Kaif dengan tatapan tajam, bibirnya mulai berkata, "Maaf," suaranya terdengar ketus."Tidak apa-apa," jawab Kaif, suaranya lembut menatap Salwa. Salwa menghela napas, matanya memutar dengan ekspresi kesal. 'Dia ke Jakarta pasti untuk mendatangi istri tersayangnya, kenapa juga masih harus datang ke sini, ngeselin banget,' batin Salwa. Tadi, Ka
"Kasur ini adalah sebagai kata terima kasih karena ibu dan bapak memberikan tuan Kaif dan saya tempat tinggal di desa ini," tambah Pak Toha lagi.Kedua kasir itu segera dibawa ke dalam rumah Pak Mahdi, satu kasur diletakkan di kamar Pak Mahdi dan satunya lagi di kamar Salwa. Bu Nia tercengang, nyaris tidak percaya bahwa ia kini akan merasakan tidur di kasur yang begitu empuk. Sementara itu, Salwa hanya bisa menatap kasur yang teratur di kamarnya, rasanya ia tidak sanggup menyentuh kasur tersebut, seolah-olah segala kenangan akan terbang bersama sentuhannya. "Dia sudah kembali ke Jakarta, apa dia benar-benar pergi? " Gumam Salwa. "Baguslah kalau dia pergi dari desa ini, tapi kenapa aku merasa sedih?"Salwa mulai teringat dengan ucapannya tadi malam pada Kaif, ia akui ucapannya itu begitu tajam. Mungkinkah pria itu tersinggung dengan ucapan Salwa?Salwa terus bertanya-tanya, bahkan seharian ini pikirannya terus melayang pada wajah sendu Kaif yang memohon maaf padanya tadi malam. Nyata
Ucapan Salwa terhujam bagai belati di dada Kaif, seolah membelah jantungnya menjadi dua. Pria itu terhuyung keluar dari kamar, hati diperlak oleh rasa penyesalan yang tak berujung. "Tuan, baik-baik saja?" tanya Pak Toha, yang langsung mengernyit melihat wajah pucat pasi majikannya, yang matanya memerah seakan-akan menceritakan seribu luka batin.Kaif melangkah ke dalam kamar yang sesak dan sempit, tempat dia akan menghabiskan malam dengan kasur tipis yang seolah tak lebih baik dari tanah keras. Malam itu, Kaif bukan tidur, melainkan pria itu duduk di atas sajadah. Tangannya terangkat, memegang Al Qur'an dengan gemetar. Ayat demi ayat mulai dilantunkannya, setiap kata mengalir seperti air mata yang membawa keluh kesahnya pada Sang Pencipta. Kaif berharap lelah jiwanya bisa terobati, berharap Allah menjadi tempat berlabuh dalam gelombang duka yang tengah dihadapinya. Malam beralih menjadi siang, dan wajah Kaif yang semula muram perlahan disulam dengan kedamaian. Pria itu selalu m
"Salwa, memang tak ada kata yang cukup untuk menebus dosaku terhadapmu," ucap Kaif sambil menundukkan kepala, suaranya tercekat oleh rasa penyesalan yang mendalam. "Kesalahanku sungguh keterlaluan, telah membawamu pada air mata dan penghinaan," lanjutnya .Mata Salwa memalingkan pandang, ia tidak kuasa menahan pilu di rongga dadanya saat teringat perlakuan Kaif dan keluarganya yang kini mencoba ia lupakan dengan mengganti nama menjadi Ana. Namun, kedatangan Kaif seakan membongkar kembali beban yang sudah ia tinggalkan. "Salwa, jangan hanya berdiam diri, lepaskanlah kemarahanmu padaku, lontarkan kata-kata terpedasmu, atau pukullah aku sesukamu, aku layak untuk itu!" Kaif mendesaknya, nada suaranya menggema penyesalan yang tak termaafkan. Salwa menatap mata Kaif, dan dengan suara yang penuh kepahitan, ia bertanya, "Dan setelah semua itu, apa yang akan aku dapatkan, Tuan? Kesembuhan? Kepuasan? Tidak! Kau hanya membangkitkan kembali luka yang telah aku usahakan untuk sembuh." Rasa sa
Bagaimana Kaif tidak sakit hati, pria itu telah menyakiti dua perempuan yang sangat ia sayangi, istri dan Adiknya.Perihal Hana, Kaif selalu merasa ada sesuatu yang ganjil setiap kali ingin menggauli Hana, istri keduanya. Dibandingkan dengan Salwa, Hana seolah menyelimuti Kaif dengan dingin yang menghapus semua keinginannya.Maka, ketika berita kehamilan Hana terdengar, kejutan membelah pikiran Kaif karena ia tahu, ia tidak pernah bersatu dengan Hana.Misteri itu segera terkuak, ternyata Hana tengah mengandung buah hati Halik, sang adik ipar yang selama ini bersembunyi di balik topeng kesetiaan. Diam-diam mereka telah menyalahi batas, melukis duka di balik tabir keluarga yang tak menaruh curiga.Masih di kamar Salwa, Kaif tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Salwa yang tenang, matanya kemudian terpaku pada perut Salwa yang membesar, simbol dari keajaiban yang tengah tumbuh di dalamnya.Tangannya dengan lembut bergerak, menyentuh perut itu, tempat dimana calon buah hatinya sedan