Mari kita mengucap istighfar bersama-sama karena Mbak Suri yang kepalanya entah isinya apa itu... lama-lama bikin kesel ye!!! Banyak banget tuntutannya š Udah syukur Adnan mau nikah sama lu, lu malah aneh2 ajašš Haiiii... maaf aku baru sempet update lagiiiišš» Masih belum bosan sama cerita ini kan? š„ŗ
"Bapak benar-benar tidak masalah saya tinggal ke Surabaya dua hari?" Adnan mengangguk yakin. Walau kadang agak keteteran karena tidak ada asisten pribadi yang ia percaya selama beberapa minggu terakhir di Jakarta, pria itu masih sanggup menghandle pekerjaan yang dilimpahkan Prabu kepadanya. "Selesaikan saja dulu urusan di sana," balas Adnan tanpa mengalihkan tatap dari berkas yang sedang ia baca. "Yang terpenting adalah memastikan proyek pembangunan panti tidak terbengkalai hanya karena kita mulai sibuk dengan pekerjaan di sini." "Bapak tenang saja." Wirya menjawab dengan mantap. "Saya sudah menunjuk penanggungjawab utama yang dapat dipercaya untuk proyek itu, Pak. Dan saya akan sesekali meninjau progres di sana, tanpa melalaikan tugas saya di sini tentu saja." Adnan tersenyum singkat. Asisten pribadinya benar-benar tak pernah mengecewakannya barang sekalipun. "Sesekali, buatlah kesalahan, Wir!" cetus pria itu ngawur. "Jangan terlalu sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Biar saya
"Bu Suri baik-baik saja?" tegur Dina dengan tatapan cemas. "Y-ya?" Suri mengernyit karena posisi Dina yang sedikit membungkuk di hadapannya. Padahal, seingatnya perbedaan tinggi mereka tidak begitu banyak, bahkan dirinya sedikit lebih tinggi dari Dina, tetapi sekarang ia harus mendongak hanya untuk bicara dengan gadis itu. "Mari saya bantu, Bu," Dina menawarkan sembari mengulurkan tangan. Ekspresi di wajahnya tampak semakin khawatir saat uluran tangannya tidak juga bersambut setelah cukup lama. "Kepala Ibu pusing, ya? Kuat berdiri nggak, Bu? Saya panggilkan Pak Adnan saja atau bagaimana?" Suri yang kebingungan karena rentetan pertanyaan itu pun menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, lalu menunduk. Dan ia kaget sendiri melihat tubuhnya ternyata sedang terduduk di lantai di dekat rak sepatu yang berada di depan pintu masuk apartemen. Kedua tangannya mencengkeram kuat celana piyamanya dengan gemetaran. Pertanyaan pertama yang melintas di kepalanya adalah 'mengapa dirinya bisa berada
Masih dalam balutan kemeja dan celana kerjanya, Adnan menceburkan diri ke kolam renang yang berada sayap kanan rumah Prabu Danuarta. Dipeluk air dingin yang melingkupi seluruh tubuh, percakapan satu arahnya dengan Suri satu jam lalu malah semakin terngiang-ngiang di telinganya. 'Lo memang bajingan, Adnan! Lo nggak lebih baik dari Pram yang udah sengaja nyakitin Suri!' Pria itu semakin menenggelamkan diri ke dalam air. Berlama-lama di sana. Semakin lama berada di bawah sana, semakin sesak dadanya karena pasokan udara yang menipis. Dan wajah sedih Suri yang meneteskan air mata pun semakin jelas terbayang. 'Nggak seharusnya lo bersikap sekejam itu ke Suri, Bodoh! Lo bisa ngomong baik-baik, nggak harus sampai menyakiti. Bukannya itu niat awal lo datang ke tempat dia tadi?' Penyesalan selalu datang terlambat. Dan saat sudah terlalu jauh melangkah, mengucap satu kata maaf rasanya tidak mudah. Terutama karena ego yang menguasai hati. Adnan pun demikian. Saat untuk pertama kali melihat Su
"Pak Tristan?" panggil Suri ragu-ragu pada sosok pria berpakaian serba hitam yang langsung keluar dari mobil begitu melihat dirinya muncul dari pintu lobi apartemen. "Tristan saja, Bu," sahut pria berwajah Chinese itu dengan sopan. Lalu membukakan pintu penumpang belakang untuk Suri. "Mulai hari ini saya resmi menggantikan Pak Wirya menjadi supir pribadi Ibu." "Supir pribadi? Saya kira hanya untuk hari ini saja," gumam Suri bingung. Dari pesan singkat yang dikirimkan Adnan satu jam yang lalu, tidak ada informasi yang menyebutkan dengan jelas kalau dirinya akan difasilitasi supir pribadi. Adnan hanya bilang kalau Wirya sedang ke Surabaya dan pria itu mengirimkan supir pengganti untuknya. Tristan menyunggingkan senyum tipis sebagai formalitas. "Silakan masuk ke mobil dulu, Bu. Ada mobil lain yang antre di belakang mau menurunkan penumpang," pinta pria itu. Suri buru-buru masuk dan membiarkan Tristan yang menutup pintunya. Dari ujung matanya, Tristan langsung bergerak cepat mengitari
Obrolan dengan Fania pagi tadi masih membekas kuat di benak Suri yang baru saja meninggalkan sebuah butik--bukan butik milik Fania--yang lokasinya ada di dekat apartemen Adnan. Wanita itu memang sengaja menyewa gaun pengantin di tempat lain. Ia tidak ingin membuat Fania yang sangat jujur menunjukkan emosinya itu curiga dan lebih syok daripada saat Adnan tiba-tiba meminta dibuatkan gaun. Perbincangan mereka yang cukup lama-lah yang membuat dirinya menyadari kalau teman Adnan itu tidak menyinggung soal rencana pernikahan sama sekali--yang sesuai kata Adnan akan dilaksanakan dua hari lagi. Jadi Suri menyimpulkan kalau pria itu tidak, atau belum, bicara apa-apa ke teman dekatnya. "Mau diantar ke mana lagi, Bu?" Tristan membuka suara saat memundurkan mobil dengan hati-hati di parkiran butik yang sempit. "Langsung ke apartemen saja, Tris." Suri tidak bisa lama-lama pergi karena teringat Andaru yang masih belum pulih betul dari demamnya. Sepanjang pergi dari pagi hingga menjelang sore p
Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak Suri berdiri di depan cermin kamarnyaākamar utama di apartemen Adnanāmematut dirinya yang terbalut gaun pengantin sederhana tetapi cantik, berwarna putih. Tatapan sayu wanita itu masih terpaku pada penampilannya yang tampak sangat 'berbeda'. Suri seperti melihat sosok orang lain yang sedang merasuki dirinya. Karena di pantulan cermin itu, ia tampak sangat cantik walau hanya mengaplikasikan make-up dengan mencontoh tutorial di media sosial. Perasaan campur aduk terpancar di kedua bola mata, yang bertatapan langsung dengan refleksi dirinya sendiri di cermin. "Ibu, sudah siap?" Interupsi dari Dina membuat Suri menolehkan kepala ke arah pintu yang sedikit terbuka. "Pak Tristan sudah menunggu di bawah, Bu. Katanya harus berangkat paling lama sepuluh menit lagi," imbuh Dina yang khusus hari ini mau berdandan dan memakai dress yang dibelikan oleh Suri kemarin. "Kita langsung turun sekarang saja kalau begitu. Tolong bawakan tas saya juga ya, Din." S
"Adnan," panggil Suri ragu-ragu. Wanita yang sejak beberapa jam yang lalu menyandang status baru sebagai istri dari Adnan Danuarta itu baru saja keluar dari kamar mandi hotel dengan tubuhnya yang masih terbalut jubah mandi. Rambut panjangnya yang masih basah tergerai di pundaknya. Sosok yang dipanggil menoleh dan otomatis menyunggingkan senyum melihat dirinya. "Kamu mandinya lama banget. Sengaja biar aku nunggu, ya?" guraunya. Suri menggigit bibir bawahnya. Tampak salah tingkah dan tak berani mendekat ke tempat tidur karena tatapan lapar Adnan padanya yang terasa membakar setiap inci tubuhnya. "Kenapa diam di situ?" tanya Adnan bingung. "Aku... aku bingung harus gimana ngomongnya sama kamu," sahutnya canggung. "Ngomong apa?" Wanita itu masih bergeming di tempat. Tangannya memilin-milin jubah mandinya karena gugup. "Itu... sebenarnya... malam ini kita nggak bisa." Adnan mengernyit. Pria itu semakin menunjukkan raut kebingungan. "Nggak bisa apa?" Sebelum mendapat jawaban, pria
Masih dengan ekspresi penuh keterkejutan, Adnan menarik Suri ke dalam pelukan. Baru pertama kali ini dirinya melihat emosi istrinya meledak karena hormon menstruasi. Dan ia merasa bersalah sekali. "Sudah jangan menangis, Ri. Maafkan aku. Hm?" Pernyataan itu malah membuat air mata Suri bercucuran deras. Campuran antara rasa kesalnya kepada Adnan dan kecewa karena malam pertama mereka yang harus tertunda. Tetapi lebih dari itu, ia malu karena lagi-lagi mengekspos sisi dirinya yang seperti wanita kurang belaian. Ini semua karena hormon sialan yang mengacaukan suasana hatinya! Merasakan elusan lembut di punggungnya, Suri semakin menyurukkan kepala ke dada sang suami dan membalas pelukannya dengan erat. "Kita bisa melakukan hal lain untuk bersenang-senang. Bagaimana?" tawar Adnan beberapa saat kemudian. Suri memberanikan diri untuk mendongak. Wanita itu pikir akan mendapati senyum geli atau ekspresi mengejek di wajah sang suami karena ucapan frontalnya tadi. Tetapi pria itu justru men