Mbak Suri makin merasa bersalah nggak tuh setelah ketemu Faniaššš Aku mau update sebelum jam 11 malam tadi, tapi ternyata belum selesai ngetiknyaš šš» Lanjut nggak nihhh?
Obrolan dengan Fania pagi tadi masih membekas kuat di benak Suri yang baru saja meninggalkan sebuah butik--bukan butik milik Fania--yang lokasinya ada di dekat apartemen Adnan. Wanita itu memang sengaja menyewa gaun pengantin di tempat lain. Ia tidak ingin membuat Fania yang sangat jujur menunjukkan emosinya itu curiga dan lebih syok daripada saat Adnan tiba-tiba meminta dibuatkan gaun. Perbincangan mereka yang cukup lama-lah yang membuat dirinya menyadari kalau teman Adnan itu tidak menyinggung soal rencana pernikahan sama sekali--yang sesuai kata Adnan akan dilaksanakan dua hari lagi. Jadi Suri menyimpulkan kalau pria itu tidak, atau belum, bicara apa-apa ke teman dekatnya. "Mau diantar ke mana lagi, Bu?" Tristan membuka suara saat memundurkan mobil dengan hati-hati di parkiran butik yang sempit. "Langsung ke apartemen saja, Tris." Suri tidak bisa lama-lama pergi karena teringat Andaru yang masih belum pulih betul dari demamnya. Sepanjang pergi dari pagi hingga menjelang sore p
Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak Suri berdiri di depan cermin kamarnyaākamar utama di apartemen Adnanāmematut dirinya yang terbalut gaun pengantin sederhana tetapi cantik, berwarna putih. Tatapan sayu wanita itu masih terpaku pada penampilannya yang tampak sangat 'berbeda'. Suri seperti melihat sosok orang lain yang sedang merasuki dirinya. Karena di pantulan cermin itu, ia tampak sangat cantik walau hanya mengaplikasikan make-up dengan mencontoh tutorial di media sosial. Perasaan campur aduk terpancar di kedua bola mata, yang bertatapan langsung dengan refleksi dirinya sendiri di cermin. "Ibu, sudah siap?" Interupsi dari Dina membuat Suri menolehkan kepala ke arah pintu yang sedikit terbuka. "Pak Tristan sudah menunggu di bawah, Bu. Katanya harus berangkat paling lama sepuluh menit lagi," imbuh Dina yang khusus hari ini mau berdandan dan memakai dress yang dibelikan oleh Suri kemarin. "Kita langsung turun sekarang saja kalau begitu. Tolong bawakan tas saya juga ya, Din." S
"Adnan," panggil Suri ragu-ragu. Wanita yang sejak beberapa jam yang lalu menyandang status baru sebagai istri dari Adnan Danuarta itu baru saja keluar dari kamar mandi hotel dengan tubuhnya yang masih terbalut jubah mandi. Rambut panjangnya yang masih basah tergerai di pundaknya. Sosok yang dipanggil menoleh dan otomatis menyunggingkan senyum melihat dirinya. "Kamu mandinya lama banget. Sengaja biar aku nunggu, ya?" guraunya. Suri menggigit bibir bawahnya. Tampak salah tingkah dan tak berani mendekat ke tempat tidur karena tatapan lapar Adnan padanya yang terasa membakar setiap inci tubuhnya. "Kenapa diam di situ?" tanya Adnan bingung. "Aku... aku bingung harus gimana ngomongnya sama kamu," sahutnya canggung. "Ngomong apa?" Wanita itu masih bergeming di tempat. Tangannya memilin-milin jubah mandinya karena gugup. "Itu... sebenarnya... malam ini kita nggak bisa." Adnan mengernyit. Pria itu semakin menunjukkan raut kebingungan. "Nggak bisa apa?" Sebelum mendapat jawaban, pria
Masih dengan ekspresi penuh keterkejutan, Adnan menarik Suri ke dalam pelukan. Baru pertama kali ini dirinya melihat emosi istrinya meledak karena hormon menstruasi. Dan ia merasa bersalah sekali. "Sudah jangan menangis, Ri. Maafkan aku. Hm?" Pernyataan itu malah membuat air mata Suri bercucuran deras. Campuran antara rasa kesalnya kepada Adnan dan kecewa karena malam pertama mereka yang harus tertunda. Tetapi lebih dari itu, ia malu karena lagi-lagi mengekspos sisi dirinya yang seperti wanita kurang belaian. Ini semua karena hormon sialan yang mengacaukan suasana hatinya! Merasakan elusan lembut di punggungnya, Suri semakin menyurukkan kepala ke dada sang suami dan membalas pelukannya dengan erat. "Kita bisa melakukan hal lain untuk bersenang-senang. Bagaimana?" tawar Adnan beberapa saat kemudian. Suri memberanikan diri untuk mendongak. Wanita itu pikir akan mendapati senyum geli atau ekspresi mengejek di wajah sang suami karena ucapan frontalnya tadi. Tetapi pria itu justru men
Sekali lagi Suri mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di kamarnya, untuk memastikan penampilannya sempurna tanpa cela. Wanita itu tersenyum puas menatap pantulan dirinya yang tampak berbeda malam ini. Maxi dress berwarna merah marun tanpa lengan melekat apik di badannya. Tidak terlalu banyak ornamen yang menghiasai gaun itu selain kain brokat yang menutupi bagian dada sampai ke pinggang. Gaun yang menjuntai hingga semata kaki itu memiliki belahan yang cukup tinggi, menunjukkan kaki mulus Suri yang tampak jenjang dengan balutan high heels hitam berukuran dua belas senti. Rambut panjang wanita itu ditata menjadi sanggul sederhana, dilengkapi hairclip bunga mawar yang menyempurnakan penampilannya malam ini. "Cantik," puji Suri kepada dirinya sendiri. Senyumnya kian lebar. Wanita itu amat berterima kasih kepada Fania yang mendesain gaun cantik itu hingga semakin memesona saat dikenakan oleh dirinya. Kepercayaan dirinya seketika meningkat pesat melihat penampilan paripurnanya
Suri tidak tahu bagaimana caranya ia bisa tiba di parkiran tanpa jatuh tersungkur. Mengingat sekarang sekujur tubuhnya gemetaran hebat sejak meninggalkan aula hotel. Wanita itu masih terlalu syok mendengar kabar yang disiarkan secara langsung oleh Prabu Danuarta di pesta tadi. Kedatangannya yang seperti orang linglung membuat Tristan tampak khawatir. Namun, sebagai bawahan yang profesional dan sigap, pria itu langsung membukakan pintu penumpang untuk majikannya. "Langsung pulang ya, Tris," ucap Suri dengan tatapan mengarah ke luar. "Apa terjadi sesuatu dengan Tuan Andaru, Bu? Miss Dina tidak mengabari apa-apa kepada saya," tanya Tristan yang sudah duduk di balik kemudi. "Nggak ada. Saya hanya mendadak nggak enak badan," dustanya. Yang sakit bukan raga, tetapi hatinya. "Saya antar ke rumah sakit dulu ya, Bu? Tidak ada sepuluh menit dari sini ada Barata Hospital yang pelayanannya sangat bagus," balas Tristan. Selain tugasnya sebagai supir pribadi, pria itu juga ditugasi Adnan agar
Suri baru selesai memakai baju tidur saat pintu kamarnya terbuka dan Adnan muncul dari sana, masih memakai setelan yang dipakainya di pesta tadi. Ekspresi di wajah pria itu keruh, tidak secerah pagi tadi saat mereka berpisah."Ri, udah mau tidur? Aku mau ngobrol sebentar," ucapnya ragu-ragu. Pria itu bahkan hanya berdiri di depan pintu.Jarang-jarang Suri melihat Adnan yang begini. Karena pria itu selalu tampil percaya diri setiap waktu "Bicara saja, Nan. Aku dengarkan," balas Suri. Ia tidak ingin benar-benar bersikap ketus, tetapi hanya itu satu-satunya pertahanan diri yang ia punya saat ini.Jika menuruti kata hati, Suri tidak akan siap mendengar apa pun penjelasan dari suaminya. Sekarang ataupun nanti. Jika boleh, Suri ingin marah saja sebenarnya. Mengungkapkan rasa kecewanya kepada sosok yang membuat perasaannya kacau. Namun, apa itu ada gunanya? Karena itu tidak akan mengubah fakta kalau dalam waktu dekat kemungkinan ia akan kehilangan Adnan, pria yang baru kemarin resmi menjadi
"Kamu mau ke mana udah rapi sepagi ini, Ri?" tanya Adnan yang baru saja membuka mata. Jarum jam pendek pada jam beker di nakas menunjuk ke angka enam."Kerja," jawab Suri yang memang sudah berpakaian rapi. Penampilannya persis seperti ketika masih menjadi sekretaris Adnan. Pagi ini, Suri memakai setelan kerja berwarna abu-abu."Di mana? Kok kamu nggak cerita sama aku?" Adnan membelalak. Tampak sedikit tidak terima karena ia tidak tahu apa-apa perihal pekerjaan baru istrinya."Maaf," cicit Suri dengan kepala sedikit menunduk. "Aku nggak tau kalau kamu keberatan aku kerja. Aku nggak bisa cuma diam di rumah dan hanya menikmati harta kamu. Apalagi sekarang hubungan kita terhalang restuā""Maksud aku bukan gitu," decak Adnan.Ini masih pagi dan Suri malah menyinggung masalah sensitif. Ia turun dari tempat tidur dan mendekati istrinya yang sudah berhenti menyisir rambutnya.Pria itu mengambil alih sisir dari tangan Suri dan membantu istrinya menyisir rambut. "Aku memang agak sibuk belakanga
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Suri tidak begitu kaget mengetahui Adnan marah padanya sampai berhari-hari setelah apa yang terjadi di rumah Prabu Danuarta. Saat dalam keadaan terpojok kemarin, pikiran negatif mengambil alih akal sehatnya hingga berpikir bahwa meninggalkan Adnan adalah pilihan paling tepat. Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama ketika ia dihadapkan pada situasi sulit dulu.Bedanya, ketika bersama Pram, ia benar-benar tidak yakin bisa menggantungkan harapannya. Sedangkan bersama Adnan, ada harapan-harapan yang menunggu diwujudkan. Sebab, mereka sudah berjanji untuk saling memperjuangkan."Suri, hari ini saya mau makan siang dengan Adnan. Tolong reservasi tempat di restoran biasa, ya," pinta Farah yang menghubungi lewat telepon di meja kerja."Maaf, Bu, apa saya juga perlu menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu untuk--""Oh, nggak perlu. Saya udah ngabarin Adnan, kok."Suri hampir mendesah kecewa. Tadinya, ia mau memanfaatkan kesempatan untuk bicara dengan Adnan setelah beberapa hari terakhi
"Ri, kamu keluar dulu," ucap Adnan dengan suara bergetar menahan amarah. "Biar aku yang bicara--" "Enggak, kamu yang keluar, Nan." "Ri...." "Tolong, Nan. Sebentar saja. Biar aku yang bicara sama kakek kamu," tukas Suri tegas. "Janji sama aku, kamu nggak akan masuk dulu sampai aku keluar dari ruangan ini." Ia melepas genggaman tangan Adnan dan bergeser lebih maju. Mengabaikan kekagetan yang tergambar di wajah suaminya. "Berapa banyak yang Adnan tawarkan padamu? Saya bisa kasih yang jauh lebih banyak kalau kamu meninggalkan anak bodoh itu," ucap Prabu Danuarta dingin. Keangkuhannya membuat Suri bergidik. "Adnan tidak menawarkan apa pun selain kehidupan rumah tangga yang--" "Jangan membual tentang hal-hal seperti cinta dan kebahagiaan di depan muka saya," decih Prabu Danuarta. "Sebut saja nominal yang kamu mau, saya bisa langsung mengirimkannya detik ini juga." "Anda mungkin sulit untuk percaya, tapi saya menikah dengan Adnan bukan karena melihat harta yang keluarganya miliki," b
"Kalau sedang marah, Kakek memang kadang agak merepotkan," ujar Adnan ketika menyadari ada kekagetan yang tergambar di wajah istrinya. 'Agak, katanya?' Di mata Suri, ini sudah di luar nalar. Banyak pecahan beling yang berasal dari guci-guci yang dibanting, bertebaran di mana-mana ketika mereka memasuki rumah megah Prabu Danuarta. Suasana di rumah itu terasa mencekam. Rasanya seperti memasuki TKP setelah ada sebuah kejadian yang mengerikan. Keduanya sudah tiba di ruangan lain yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu tadi. Masih tidak ada siapa-siapa di sana. "Siapa yang menghuni rumah ini selain Kakek, Nan?" "Asisten rumah tangga." Suri menoleh dengan cepat. "Maksudmu... selama ini Kakek sendirian?" Membayangkan seseorang yang sudah sepuh tinggal di sebuah rumah megah tanpa keluarganya membuat perasaan Suri campur aduk. Pria tua itu pasti sangat kesepian. Adnan tersenyum tipis. "Itu yang sebenarnya mau aku bahas sama kamu juga. Aku masih harus tinggal di sini sampa
"Mama, Mama! Mama pulang!" seru Andaru menyambut ibundanya yang baru pulang kerja."Halo, anak mama!" Suri berlutut untuk merengkuh anak lelakinya yang menghambur ke arahnya sambil berlarian kecil. "Gimana sekolah hari ini, Nak?""Aru seneeeeeng banget, Mama! Aru punya teman baru banyak!""Wah, pasti betul-betul menyenangkan, ya!" Suri membalas dengan antusias setelah anaknya meminta lepas dari pelukannya. "Ayo cerita sama Mama, siapa aja teman baru Aru?"Walau sudah beberapa lama pindah ke Jakarta, sebenarnya baru hari ini Andaru mulai masuk ke sekolah yang baru. Suri sempat merasa khawatir karena tidak punya waktu untuk ikut mengantarnya di hari pertama, tetapi untungnya Andaru bisa beradaptasi dengan cepat. Miss Dina juga tidak lupa memberikan report kepada Suri melalui foto-foto dan video Andaru di sekolah yang rutin dikirimkannya."Mama nggak pulang bareng Papa, ya?" tanya Andaru setelah berceloteh panjang tentang kesibukannya di sekolah baru. Ia baru menyadari kalau mamanya pula
"Kamu sekretaris barunya Farah?"Adnan tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya bahkan setelah berjam-jam berlalu sejak bertemu Suri di kantor baru wanita itu siang tadi."Begitulah.""Kenapa nggak bilang?"Suri batal melepas ikat rambut dan menatap suaminya dengan tenang. Seperti tak terganggu walau raut wajah suaminya seperti menahan kecewa. "Aku baru mau bilang, tapi kamu terlanjur tahu.""Kalau aku minta kamu membatalkan niat kamu bekerja di sana, kamu keberatan?" tanya Adnan hati-hati.Alis Suri tertaut. Kekesalannya menyeruak ke permukaan. "Nggak bisa gitu dong, Nan. Aku mendapatkan pekerjaan ini karena aku mampu dan aku dibutuhkan. Aku juga udah tanda tangan kontrak. Nggak semudah itu--""Aku yang akan urus kalau kamu bersedia. Kamu kerja di Danuarta aja, nggak harus jadi sekretarisku," ucap Adnan. Lebih terdengar seperti perintah ketimbang permohonan.Suri terlihat marah, tetapi bisa mengendalikan diri setelah beberapa kali mengatur napas. "Kita udah bahas soal itu tadi pagi
"Kamu mau ke mana udah rapi sepagi ini, Ri?" tanya Adnan yang baru saja membuka mata. Jarum jam pendek pada jam beker di nakas menunjuk ke angka enam."Kerja," jawab Suri yang memang sudah berpakaian rapi. Penampilannya persis seperti ketika masih menjadi sekretaris Adnan. Pagi ini, Suri memakai setelan kerja berwarna abu-abu."Di mana? Kok kamu nggak cerita sama aku?" Adnan membelalak. Tampak sedikit tidak terima karena ia tidak tahu apa-apa perihal pekerjaan baru istrinya."Maaf," cicit Suri dengan kepala sedikit menunduk. "Aku nggak tau kalau kamu keberatan aku kerja. Aku nggak bisa cuma diam di rumah dan hanya menikmati harta kamu. Apalagi sekarang hubungan kita terhalang restuā""Maksud aku bukan gitu," decak Adnan.Ini masih pagi dan Suri malah menyinggung masalah sensitif. Ia turun dari tempat tidur dan mendekati istrinya yang sudah berhenti menyisir rambutnya.Pria itu mengambil alih sisir dari tangan Suri dan membantu istrinya menyisir rambut. "Aku memang agak sibuk belakanga