Rencana Pram apa tuh kira-kira? Dia lama nggak nongol ternyata diam-diam bergerak dong... huhuhu jadi takudddd😮😮😮
"Pak Tristan?" panggil Suri ragu-ragu pada sosok pria berpakaian serba hitam yang langsung keluar dari mobil begitu melihat dirinya muncul dari pintu lobi apartemen. "Tristan saja, Bu," sahut pria berwajah Chinese itu dengan sopan. Lalu membukakan pintu penumpang belakang untuk Suri. "Mulai hari ini saya resmi menggantikan Pak Wirya menjadi supir pribadi Ibu." "Supir pribadi? Saya kira hanya untuk hari ini saja," gumam Suri bingung. Dari pesan singkat yang dikirimkan Adnan satu jam yang lalu, tidak ada informasi yang menyebutkan dengan jelas kalau dirinya akan difasilitasi supir pribadi. Adnan hanya bilang kalau Wirya sedang ke Surabaya dan pria itu mengirimkan supir pengganti untuknya. Tristan menyunggingkan senyum tipis sebagai formalitas. "Silakan masuk ke mobil dulu, Bu. Ada mobil lain yang antre di belakang mau menurunkan penumpang," pinta pria itu. Suri buru-buru masuk dan membiarkan Tristan yang menutup pintunya. Dari ujung matanya, Tristan langsung bergerak cepat mengitari
Obrolan dengan Fania pagi tadi masih membekas kuat di benak Suri yang baru saja meninggalkan sebuah butik--bukan butik milik Fania--yang lokasinya ada di dekat apartemen Adnan. Wanita itu memang sengaja menyewa gaun pengantin di tempat lain. Ia tidak ingin membuat Fania yang sangat jujur menunjukkan emosinya itu curiga dan lebih syok daripada saat Adnan tiba-tiba meminta dibuatkan gaun. Perbincangan mereka yang cukup lama-lah yang membuat dirinya menyadari kalau teman Adnan itu tidak menyinggung soal rencana pernikahan sama sekali--yang sesuai kata Adnan akan dilaksanakan dua hari lagi. Jadi Suri menyimpulkan kalau pria itu tidak, atau belum, bicara apa-apa ke teman dekatnya. "Mau diantar ke mana lagi, Bu?" Tristan membuka suara saat memundurkan mobil dengan hati-hati di parkiran butik yang sempit. "Langsung ke apartemen saja, Tris." Suri tidak bisa lama-lama pergi karena teringat Andaru yang masih belum pulih betul dari demamnya. Sepanjang pergi dari pagi hingga menjelang sore p
Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak Suri berdiri di depan cermin kamarnya—kamar utama di apartemen Adnan—mematut dirinya yang terbalut gaun pengantin sederhana tetapi cantik, berwarna putih. Tatapan sayu wanita itu masih terpaku pada penampilannya yang tampak sangat 'berbeda'. Suri seperti melihat sosok orang lain yang sedang merasuki dirinya. Karena di pantulan cermin itu, ia tampak sangat cantik walau hanya mengaplikasikan make-up dengan mencontoh tutorial di media sosial. Perasaan campur aduk terpancar di kedua bola mata, yang bertatapan langsung dengan refleksi dirinya sendiri di cermin. "Ibu, sudah siap?" Interupsi dari Dina membuat Suri menolehkan kepala ke arah pintu yang sedikit terbuka. "Pak Tristan sudah menunggu di bawah, Bu. Katanya harus berangkat paling lama sepuluh menit lagi," imbuh Dina yang khusus hari ini mau berdandan dan memakai dress yang dibelikan oleh Suri kemarin. "Kita langsung turun sekarang saja kalau begitu. Tolong bawakan tas saya juga ya, Din." S
"Adnan," panggil Suri ragu-ragu. Wanita yang sejak beberapa jam yang lalu menyandang status baru sebagai istri dari Adnan Danuarta itu baru saja keluar dari kamar mandi hotel dengan tubuhnya yang masih terbalut jubah mandi. Rambut panjangnya yang masih basah tergerai di pundaknya. Sosok yang dipanggil menoleh dan otomatis menyunggingkan senyum melihat dirinya. "Kamu mandinya lama banget. Sengaja biar aku nunggu, ya?" guraunya. Suri menggigit bibir bawahnya. Tampak salah tingkah dan tak berani mendekat ke tempat tidur karena tatapan lapar Adnan padanya yang terasa membakar setiap inci tubuhnya. "Kenapa diam di situ?" tanya Adnan bingung. "Aku... aku bingung harus gimana ngomongnya sama kamu," sahutnya canggung. "Ngomong apa?" Wanita itu masih bergeming di tempat. Tangannya memilin-milin jubah mandinya karena gugup. "Itu... sebenarnya... malam ini kita nggak bisa." Adnan mengernyit. Pria itu semakin menunjukkan raut kebingungan. "Nggak bisa apa?" Sebelum mendapat jawaban, pria
Masih dengan ekspresi penuh keterkejutan, Adnan menarik Suri ke dalam pelukan. Baru pertama kali ini dirinya melihat emosi istrinya meledak karena hormon menstruasi. Dan ia merasa bersalah sekali. "Sudah jangan menangis, Ri. Maafkan aku. Hm?" Pernyataan itu malah membuat air mata Suri bercucuran deras. Campuran antara rasa kesalnya kepada Adnan dan kecewa karena malam pertama mereka yang harus tertunda. Tetapi lebih dari itu, ia malu karena lagi-lagi mengekspos sisi dirinya yang seperti wanita kurang belaian. Ini semua karena hormon sialan yang mengacaukan suasana hatinya! Merasakan elusan lembut di punggungnya, Suri semakin menyurukkan kepala ke dada sang suami dan membalas pelukannya dengan erat. "Kita bisa melakukan hal lain untuk bersenang-senang. Bagaimana?" tawar Adnan beberapa saat kemudian. Suri memberanikan diri untuk mendongak. Wanita itu pikir akan mendapati senyum geli atau ekspresi mengejek di wajah sang suami karena ucapan frontalnya tadi. Tetapi pria itu justru men
Sekali lagi Suri mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di kamarnya, untuk memastikan penampilannya sempurna tanpa cela. Wanita itu tersenyum puas menatap pantulan dirinya yang tampak berbeda malam ini. Maxi dress berwarna merah marun tanpa lengan melekat apik di badannya. Tidak terlalu banyak ornamen yang menghiasai gaun itu selain kain brokat yang menutupi bagian dada sampai ke pinggang. Gaun yang menjuntai hingga semata kaki itu memiliki belahan yang cukup tinggi, menunjukkan kaki mulus Suri yang tampak jenjang dengan balutan high heels hitam berukuran dua belas senti. Rambut panjang wanita itu ditata menjadi sanggul sederhana, dilengkapi hairclip bunga mawar yang menyempurnakan penampilannya malam ini. "Cantik," puji Suri kepada dirinya sendiri. Senyumnya kian lebar. Wanita itu amat berterima kasih kepada Fania yang mendesain gaun cantik itu hingga semakin memesona saat dikenakan oleh dirinya. Kepercayaan dirinya seketika meningkat pesat melihat penampilan paripurnanya
Suri tidak tahu bagaimana caranya ia bisa tiba di parkiran tanpa jatuh tersungkur. Mengingat sekarang sekujur tubuhnya gemetaran hebat sejak meninggalkan aula hotel. Wanita itu masih terlalu syok mendengar kabar yang disiarkan secara langsung oleh Prabu Danuarta di pesta tadi. Kedatangannya yang seperti orang linglung membuat Tristan tampak khawatir. Namun, sebagai bawahan yang profesional dan sigap, pria itu langsung membukakan pintu penumpang untuk majikannya. "Langsung pulang ya, Tris," ucap Suri dengan tatapan mengarah ke luar. "Apa terjadi sesuatu dengan Tuan Andaru, Bu? Miss Dina tidak mengabari apa-apa kepada saya," tanya Tristan yang sudah duduk di balik kemudi. "Nggak ada. Saya hanya mendadak nggak enak badan," dustanya. Yang sakit bukan raga, tetapi hatinya. "Saya antar ke rumah sakit dulu ya, Bu? Tidak ada sepuluh menit dari sini ada Barata Hospital yang pelayanannya sangat bagus," balas Tristan. Selain tugasnya sebagai supir pribadi, pria itu juga ditugasi Adnan agar
Suri baru selesai memakai baju tidur saat pintu kamarnya terbuka dan Adnan muncul dari sana, masih memakai setelan yang dipakainya di pesta tadi. Ekspresi di wajah pria itu keruh, tidak secerah pagi tadi saat mereka berpisah."Ri, udah mau tidur? Aku mau ngobrol sebentar," ucapnya ragu-ragu. Pria itu bahkan hanya berdiri di depan pintu.Jarang-jarang Suri melihat Adnan yang begini. Karena pria itu selalu tampil percaya diri setiap waktu "Bicara saja, Nan. Aku dengarkan," balas Suri. Ia tidak ingin benar-benar bersikap ketus, tetapi hanya itu satu-satunya pertahanan diri yang ia punya saat ini.Jika menuruti kata hati, Suri tidak akan siap mendengar apa pun penjelasan dari suaminya. Sekarang ataupun nanti. Jika boleh, Suri ingin marah saja sebenarnya. Mengungkapkan rasa kecewanya kepada sosok yang membuat perasaannya kacau. Namun, apa itu ada gunanya? Karena itu tidak akan mengubah fakta kalau dalam waktu dekat kemungkinan ia akan kehilangan Adnan, pria yang baru kemarin resmi menjadi