Bisa nebak kan siapa yang tiba-tiba nongol kayak jelangkung? 🤣🤣🤣🤣 Aku sekalian mau bilang: TIDAK SEMUDAH ITU, MBAK SURI!!! PERJALANANMU MASIH AMAT SANGAT PANJANG😝😝😝😝
Bukan kemunculan sesosok Pramudya Danuarta yang membuat Suri nyaris pingsan, tetapi kata demi kata yang diucapkan pria itu, meruntuhkan segala harapan dan tanpa bisa dicegah memunculkan ketakutan besar di dalam dirinya. Celah kecil yang ditemukan Pram itu menghancurkan rencana yang telah dipersiapkan dengan sangat matang oleh Adnan. Saat Suri masih mengumpulkan alasan demi alasan yang cukup masuk akal untuk menyangkal kecurigaan Pram, pria itu tiba-tiba tertawa. "Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk menagih jawaban. Jadi kamu nggak usah setegang itu, Ri." Pram bersedekap. Tampak begitu santai, seolah-olah kejadian yang penuh ketegangan pagi tadi tidak pernah ada. Suri menelan ludah. Matanya memicing saat berusaha meneliti ekspresi ganjil di wajah mantan suaminya, yang seperti dirasuki orang lain. 'Ke mana perginya sosok Mas Pram yang dipenuhi amarah dan luka pagi tadi? Mengapa pria itu datang dengan aura yang berbeda?' Ajaibnya, Suri merasa lega karena tak harus bersitatap d
"Jadi, kapan kamu akan berhenti bermain-main dan pulang ke rumah, Anak Nakal?" Setelah menyalakan pelantang suara di ponselnya yang ada di meja, Adnan menyandarkan tubuh di kursi kerjanya dan terkekeh. Sudah delapan tahun lebih pria itu meninggalkan Jakarta untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang nama besar keluarga. Dan pertanyaan itu selalu dilontarkan kepadanya setiap tiga bulan sekali sejak ia pergi. Itu artinya sudah lebih dari 30 kali Adnan mendengar pertanyaan itu karena ia tak kunjung memberi jawaban yang memuaskan. Bosan? Tidak. Pria itu hanya semakin merasa bersalah kepada sesosok di seberang telepon itu, yang tak mau menyerah untuk membujuknya kembali ke Jakarta. Prabu Danuarta. Pria tua yang menyandang status sebagai kakek Adnan dan Pram itu adalah perintis Danuarta Group generasi pertama hingga perusahaan itu bisa berkembang dan tumbuh besar, hingga kini bisa menguasai kerajaan bisnis di tanah air dan mulai melebarkan sayap ke negara-negara di Asia. "Daya ingat Kakek s
"Kamu mabuk?" tanya Suri seraya mendorong tubuh Pram menjauh. Mata wanita itu memicing tajam penuh antisipasi demi meredam debar jantungnya yang melewati batas normal. Ia terlalu terkejut karena perkataan gila mantan suaminya dan kedekatan tubuh mereka yang nyaris tanpa jarak tadi. "Naik pesawat bolak-balik Surabaya-Jakarta-Surabaya nggak bikin orang mabuk, Ri." Pram mengulum senyum dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Jadi, bagaimana dengan tawaranku?" "Aku nggak tertarik menjadi simpananmu, Mas," tukasnya dingin. "Kamu istriku, bukan simpananku." Pram membalas dengan suara lembut, seperti dulu saat hubungan mereka masih hangat-hangatnya. "Coba kamu ingat-ingat lagi. Aku nggak pernah menalakmu. Apa perlu aku ingatkan tentang itu berkali-kali?" Mendengar hal itu, Suri memutar otaknya kembali ke momen-momen pertemuan mereka tempo hari. Wanita itu baru menyadari bahwa di setiap kesempatan Pram selalu mengucapkan kalimat yang serupa. Bahwa mereka masih suami istri. B
Meski telat sekitar tiga puluh menit dari waktu yang sudah direncanakan, acara makan malam bersama itu tidak gagal. Namun, hanya Andaru yang bersenang-senang dan banyak bicara. "Wah, berarti sekarang Aru udah nggak mau main sama Papa Adnan, dong? Kan udah ada Om Wirya yang lebih seru," cetus Adnan dengan nada sedih dibuat-buat. Malam itu, Adnan berperan menjadi pendengar yang baik untuk Andaru dan sesekali memberikan respons dengan komentar atau pertanyaan. Sebab, Adnan tidak ingin melihat raut kecewa di wajah manis keponakannya itu, yang baru saja selesai bercerita tentang keseruannya bermain dengan Wirya di apartemen tadi. Walau sesungguhnya, pikiran pria itu sedang riuh oleh beban yang ditimpakan sang kakek dan juga karena pernyataan perang Pram secara terang-terangan yang semakin berpotensi menghambat tujuannya. Sementara Suri lebih banyak diam dan terlalu sering melamun—seolah jiwanya sedang tidak bersama mereka. Adnan sudah berusaha melibatkan Suri ke dalam obrolan, tetapi s
Ekspresi kaku di wajah Adnan sangat berbanding jauh dengan bayangan Suri yang sempat mengira pria itu setidaknya akan menunjukkan sedikit senyum dan keantusiasan atas ucapannya. Namun, itu tidak terjadi. Pria itu bahkan bergerak menjauhinya. "Kenapa, Nan?" Suri tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya. "Kamu nggak kelihatan senang." Adnan menarik kursi untuk duduk. Pria itu sedikit mendongak untuk menatap Suri dengan pandangan lurus sebelum menimpali, "Selain karena rencana yang kususun untuk menjauhkan Pram darimu sudah gagal, aku juga perlu mendengar alasanmu yang lain kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran." "Itu... karena...," Suri tergagap. Mendadak ragu untuk buka suara. Pasalnya, pilihan itu Suri putuskan dengan gegabah karena beberapa masalah yang menderanya dalam waktu yang bersamaan. Yang utama karena gosip yang wanita itu dengar dari rekan-rekan kerjanya di kantor siang tadi, yang kini membebani kepalanya. Suri tidak masalah menjadi bahan gosip. Ia hanya perl
Dalam keremangan cahaya lampu pantry, Adnan menyesap cairan berwarna kuning bening yang rasanya sudah tidak terlalu pekat lagi karena balok-balok es batu di dalamnya sudah mencair. Tatapan matanya tidak lepas dari kata demi kata pada selembar kertas yang ada di atas meja. "Kamu benar-benar rela melakukan segalanya untuk Andaru ya, Ri." Pria itu menggumam geli. "Walaupun itu berarti kamu terpaksa menjual jiwamu untuk seseorang yang tidak kamu cintai." Di selembar kertas itu tertulis beberapa hal—lebih dari dua puluh poin—yang Suri tawarkan pada Adnan. Suri menuliskannya dengan rapi sekali dan itu membuat Adnan tersenyum. Dari hal-hal kecil yang begitu sederhana hingga hal-hal besar yang selama ini hanya pria itu bayangkan di kepala tanpa pernah ia ungkapkan. Sebab, ia tak punya keberanian untuk memintanya kepada wanita yang masih patah hati itu. Setelah menandaskan segelas whiski-nya hingga hanya menyisakan balok-balok es, Adnan meraih pena yang ia ambil dari ruang kerjanya beberapa
"Kalau sampai siang ini kamu belum memberikan jawaban yang memuaskanku, terpaksa aku akan membeberkan rahasiamu dan Adnan ke keluarga besar kami. Kamu pasti tahu betul kalau itu bukan sesuatu yang baik untukmu dan reputasi Adnan." Suri menggigit bibir dengan gelisah saat membaca sederet kalimat dalam pesan yang masuk beberapa waktu lalu. Pesan itu datang dari sebuah nomor baru yang belum tersimpan di kontaknya. Namun, tidak sulit untuk mengetahui pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan mantan suaminya yang mendadak obsesif? Kemarin, Pram sudah memperingatkan dirinya tentang ancaman-ancaman yang mungkin akan pria itu lakukan jika Suri tidak mewujudkan keinginannya untuk kembali bersama. Meski sudah ada rencana baru dengan Adnan, ia tetap khawatir kalau Pram bergerak lebih cepat dan mengacaukannya. "Kenapa, Ri? Ada masalah?" Adnan hanya melirik Suri sekilas karena sedang fokus menyetir. Suri menggeleng. "Bukan hal penting, kok." "Beneran?" Adnan tampak sangsi saat kembali menatapnya,
'Aku harus bagaimana ini?' Tak jua mendapat ide untuk membalas pesan ancaman dari Pram, dengan kesal wanita itu mengantukkan kening berkali-kali ke meja. Biasanya cara itu ampuh untuk membuat otaknya mau diajak berpikir. Suri sudah sempat mengetik balasan, yang intinya menolak Pram dengan berbagai alasan yang menguatkannya, tetapi ia hapus lagi di detik-detik terakhir. Ia tidak yakin hal itu akan berhasil membuat pria itu mundur dari usahanya. Gerakannya terhenti saat tiba-tiba pintu ruangan Adnan terbuka. Memunculkan sosoknya yang tampak gusar saat suaranya saat bicara dengan seseorang melalui ponsel terdengar dengan jelas olehnya. "—kondisi Kakek sekarang?" Adnan membuang napas dengan kasar. "Sialan! Pria tua itu nggak bilang apa-apa padahal kami ngobrol panjang kemarin sore!" geramnya lalu menyudahi sambungan telepon itu tanpa basa-basi apa pun. Suri berdiri dan keluar dari kubikelnya untuk mendekati Adnan. "Ada apa, Nan?" tanyanya hati-hati saat pria itu berdiri di depannya.
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Suri tidak begitu kaget mengetahui Adnan marah padanya sampai berhari-hari setelah apa yang terjadi di rumah Prabu Danuarta. Saat dalam keadaan terpojok kemarin, pikiran negatif mengambil alih akal sehatnya hingga berpikir bahwa meninggalkan Adnan adalah pilihan paling tepat. Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama ketika ia dihadapkan pada situasi sulit dulu.Bedanya, ketika bersama Pram, ia benar-benar tidak yakin bisa menggantungkan harapannya. Sedangkan bersama Adnan, ada harapan-harapan yang menunggu diwujudkan. Sebab, mereka sudah berjanji untuk saling memperjuangkan."Suri, hari ini saya mau makan siang dengan Adnan. Tolong reservasi tempat di restoran biasa, ya," pinta Farah yang menghubungi lewat telepon di meja kerja."Maaf, Bu, apa saya juga perlu menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu untuk--""Oh, nggak perlu. Saya udah ngabarin Adnan, kok."Suri hampir mendesah kecewa. Tadinya, ia mau memanfaatkan kesempatan untuk bicara dengan Adnan setelah beberapa hari terakhi
"Ri, kamu keluar dulu," ucap Adnan dengan suara bergetar menahan amarah. "Biar aku yang bicara--" "Enggak, kamu yang keluar, Nan." "Ri...." "Tolong, Nan. Sebentar saja. Biar aku yang bicara sama kakek kamu," tukas Suri tegas. "Janji sama aku, kamu nggak akan masuk dulu sampai aku keluar dari ruangan ini." Ia melepas genggaman tangan Adnan dan bergeser lebih maju. Mengabaikan kekagetan yang tergambar di wajah suaminya. "Berapa banyak yang Adnan tawarkan padamu? Saya bisa kasih yang jauh lebih banyak kalau kamu meninggalkan anak bodoh itu," ucap Prabu Danuarta dingin. Keangkuhannya membuat Suri bergidik. "Adnan tidak menawarkan apa pun selain kehidupan rumah tangga yang--" "Jangan membual tentang hal-hal seperti cinta dan kebahagiaan di depan muka saya," decih Prabu Danuarta. "Sebut saja nominal yang kamu mau, saya bisa langsung mengirimkannya detik ini juga." "Anda mungkin sulit untuk percaya, tapi saya menikah dengan Adnan bukan karena melihat harta yang keluarganya miliki," b
"Kalau sedang marah, Kakek memang kadang agak merepotkan," ujar Adnan ketika menyadari ada kekagetan yang tergambar di wajah istrinya. 'Agak, katanya?' Di mata Suri, ini sudah di luar nalar. Banyak pecahan beling yang berasal dari guci-guci yang dibanting, bertebaran di mana-mana ketika mereka memasuki rumah megah Prabu Danuarta. Suasana di rumah itu terasa mencekam. Rasanya seperti memasuki TKP setelah ada sebuah kejadian yang mengerikan. Keduanya sudah tiba di ruangan lain yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu tadi. Masih tidak ada siapa-siapa di sana. "Siapa yang menghuni rumah ini selain Kakek, Nan?" "Asisten rumah tangga." Suri menoleh dengan cepat. "Maksudmu... selama ini Kakek sendirian?" Membayangkan seseorang yang sudah sepuh tinggal di sebuah rumah megah tanpa keluarganya membuat perasaan Suri campur aduk. Pria tua itu pasti sangat kesepian. Adnan tersenyum tipis. "Itu yang sebenarnya mau aku bahas sama kamu juga. Aku masih harus tinggal di sini sampa
"Mama, Mama! Mama pulang!" seru Andaru menyambut ibundanya yang baru pulang kerja."Halo, anak mama!" Suri berlutut untuk merengkuh anak lelakinya yang menghambur ke arahnya sambil berlarian kecil. "Gimana sekolah hari ini, Nak?""Aru seneeeeeng banget, Mama! Aru punya teman baru banyak!""Wah, pasti betul-betul menyenangkan, ya!" Suri membalas dengan antusias setelah anaknya meminta lepas dari pelukannya. "Ayo cerita sama Mama, siapa aja teman baru Aru?"Walau sudah beberapa lama pindah ke Jakarta, sebenarnya baru hari ini Andaru mulai masuk ke sekolah yang baru. Suri sempat merasa khawatir karena tidak punya waktu untuk ikut mengantarnya di hari pertama, tetapi untungnya Andaru bisa beradaptasi dengan cepat. Miss Dina juga tidak lupa memberikan report kepada Suri melalui foto-foto dan video Andaru di sekolah yang rutin dikirimkannya."Mama nggak pulang bareng Papa, ya?" tanya Andaru setelah berceloteh panjang tentang kesibukannya di sekolah baru. Ia baru menyadari kalau mamanya pula
"Kamu sekretaris barunya Farah?"Adnan tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya bahkan setelah berjam-jam berlalu sejak bertemu Suri di kantor baru wanita itu siang tadi."Begitulah.""Kenapa nggak bilang?"Suri batal melepas ikat rambut dan menatap suaminya dengan tenang. Seperti tak terganggu walau raut wajah suaminya seperti menahan kecewa. "Aku baru mau bilang, tapi kamu terlanjur tahu.""Kalau aku minta kamu membatalkan niat kamu bekerja di sana, kamu keberatan?" tanya Adnan hati-hati.Alis Suri tertaut. Kekesalannya menyeruak ke permukaan. "Nggak bisa gitu dong, Nan. Aku mendapatkan pekerjaan ini karena aku mampu dan aku dibutuhkan. Aku juga udah tanda tangan kontrak. Nggak semudah itu--""Aku yang akan urus kalau kamu bersedia. Kamu kerja di Danuarta aja, nggak harus jadi sekretarisku," ucap Adnan. Lebih terdengar seperti perintah ketimbang permohonan.Suri terlihat marah, tetapi bisa mengendalikan diri setelah beberapa kali mengatur napas. "Kita udah bahas soal itu tadi pagi
"Kamu mau ke mana udah rapi sepagi ini, Ri?" tanya Adnan yang baru saja membuka mata. Jarum jam pendek pada jam beker di nakas menunjuk ke angka enam."Kerja," jawab Suri yang memang sudah berpakaian rapi. Penampilannya persis seperti ketika masih menjadi sekretaris Adnan. Pagi ini, Suri memakai setelan kerja berwarna abu-abu."Di mana? Kok kamu nggak cerita sama aku?" Adnan membelalak. Tampak sedikit tidak terima karena ia tidak tahu apa-apa perihal pekerjaan baru istrinya."Maaf," cicit Suri dengan kepala sedikit menunduk. "Aku nggak tau kalau kamu keberatan aku kerja. Aku nggak bisa cuma diam di rumah dan hanya menikmati harta kamu. Apalagi sekarang hubungan kita terhalang restu—""Maksud aku bukan gitu," decak Adnan.Ini masih pagi dan Suri malah menyinggung masalah sensitif. Ia turun dari tempat tidur dan mendekati istrinya yang sudah berhenti menyisir rambutnya.Pria itu mengambil alih sisir dari tangan Suri dan membantu istrinya menyisir rambut. "Aku memang agak sibuk belakanga