Sejak pembicaraan seriusnya dengan Abia kemarin, Arya merasa lebih lega dan tenang. Dia bersyukur karena orang yang ditemuinya dulu adalah Abia. Sebab meski mengetahui rahasia terkelam miliknya sekali pun, Abia tidak tampak menyalahkan Arya. Tidak ada sorot menghakimi apalagi mencela dalam manik mata sang istri.Hal yang justru membuat Arya merasa luar biasa bersalah atas semua hal yang pernah dilakukannya. Entah untuk Neo, juga kepada sang istri yang beberapa waktu lalu sempat dilukainya.Arya sudah hampir berpikir untuk menyerah dan merelakan perempuan itu. Dia berpikir untuk membiarkan Abia bahagia bersama Keanu---orang yang nyatanya begitu mencintai sang istri sejak dulu. Arya merasa tidak pantas untuk Abia.Tapi, perempuan itu bilang ingin memperbaiki semuanya. Abia bilang ingin kembali bersama Arya juga Neo dengan syarat ia tidak boleh melakukan kesalahan yang sama.Tentu saja Arya mengiyakan dengan cepat. Dan hari ini, bertepatan dengan hari kepulangan Arya dari rumah sakit, i
"Sekolah yang benar! Jangan membuat Daddy menyesal karena merawat anak sepertimu!" peringat Arya sambil menepuk-nepuk kepala Neo.Neo mengangguk patuh kemudian segera keluar dari mobil setelah menyalami Arya dan Abia. Begitu melihat putra mereka masuk ke sekolahnya dengan aman, Abia memberikan cubitan keras pada lengan kekar sang suami."ARGH ... kenapa kau mencubitku, bodoh?!" tanya Arya terkejut sekaligus marah.Pria itu melihat bekas cubitan istrinya yang memerah. Abia memutar bola mata malas seolah tidak merasa bersalah."Apa kau pikir pantas mengatakan itu untuk anak kecil sepertinya?! Belum saatnya dia ditekan seperti itu untuk sekolah. Kau terlalu keras padanya," komentar Abia sebal sambil memandangi anak-anak sekolah dasar yang baru saja sampai diantar orang tua mereka."Akhir-akhir ini kau berlebihan sekali. Aku mengatakan itu juga hanya sekedar ancaman agar dia menjadi anak yang baik. Jika bukan dari sekarang kuajari, kapan dia bisa belajar?" tanya Arya balik kesal.Abia men
Neo menoleh ke kanan kiri dengan sebal. Kenapa tidak ada yang menjemputnya? Supir yang biasanya menunggu bahkan sebelum jam pulang sekolah juga tidak ada. "Nak Neo belum pulang?" tanya satpam penjaga gerbang begitu melihat putra CEO perusahaan terpandang itu masih belum pulang.Bocah sipit itu duduk di bangku samping gerbang sekolah dasar. Tempat biasanya para murid juga guru menunggu jemputan.Pikir satpam itu, tumben sekali Neo ikut menunggu di sini. Biasanya, malah supir atau orangtuanya yang menunggu bocah itu sambil berbincang dengan satpam."Apa orangtua atau supirmu tidak mengatakan apa pun tadi pagi? Mungkin, dia telat menjemput atau bagaimana?" tanya satpam bernama Nurdin itu lagi.Neo menggeleng. "Tidak tahu, Pak Satpam. Tadi pagi aku diantar Daddy dan Biya," jawab Neo jujur."Neo!" Mendengar namanya dipanggil, bocah itu menoleh. Begitu mendapati seseorang yang dikenalinya, bocah itu tersenyum lebar."Ayo kuantar pulang! Daddy-mu belum menjemput, ya?" tanya perempuan itu s
"Biya, Daddy dan Aunty Sisi masih bertengkar," adu Neo begitu mendengar perdebatan kedua sepupu tersebut.Padahal, mereka saling adu mulut di lantai bawah. Bisa-bisanya suara teriakan mereka bisa sampai terdengar ke kamar Neo? Arya dan Cintya memang tidak pantas dibiarkan berada dalam satu tempat.Begitulah jika kepala batu dan kepala baja jika dipertemukan."Kau bodoh, ceroboh dan tidak pernah menjadi Ibu. Bagaimana bisa aku mempercayai putraku pada peraw an tua sepertimu?" Dari kamar Neo, Abia dapat mendengar makian pedas sang suami.Perempuan itu terkekeh. Bahkan dengan Abia sekali pun, Arya tidak bisa berkata manis. Apalagi jika dengan Cintya yang hanya sepupunya?"Apa kau merasa begitu pantas dan baik menjadi seorang Ayah? Apa kau lupa dulu hampir menghanyutkan putramu sendiri di pantai saat kita berlibur bersama?!" tanya Cintya balik menyerang Arya dengan kesalahan yang pria itu sempat lakukan.Mendengar kata 'berlibur' dan 'pantai', Abia mendadak cemberut. Seingatnya, dia tidak
"Biya tidak usah khawatir, aku baik-baik saja bersama Aunty Sisi." Neo menenangkan sambil menyalami punggung tangan sang Mama.Abia cemberut. Perempuan itu mengusap puncak kepala putranya sekali lagi."Kau yakin tidak ingin ikut? Biya pergi selama lima hari loh. Tidak apa-apa?" tanya perempuan itu memastikan lagi.Arya yang kesal, kontan segera menarik lengan sang istri. "Iya! Lihat dia tersenyum lebar begitu? Sekarang, ayo kita pergi! Neo tidak mungkin menangis hanya karena ditinggalkan lima hari olehmu," kesal Arya sambil menyeret koper Abia juga.Abia melambai pada Neo dan Cintya dengan berat hati. Wajah perempuan itu terlihat muram seolah tidak akan pergi liburan."Tenang saja, Abia. Aku akan membuangnya ke laut jika dia nakal!" teriak Cintya sambil ikut melambaikan tangan.Mendengar itu, Abia semakin berat hati. Arya kontan memberikan pelototan tanda peringatan pada sang sepupu."Jangan lupa telepon Biya sesekali, ya?" pesan Abia pada Neo yang diangguki bocah sipit itu semangat.
"Aku mengajakmu ke sini bukan tanpa alasan, Abia. Aku ingin mengajakmu berlibur ke tempat-tempat bagus, bukan mendekam di kamar hotel begini!" Omelan Arya hanya dibalas Abia dengan putaran bola mata malas."Kau pergi saja sendiri. Aku sedang tidak ingin kemana-mana," jawab Abia santai sambil memainkan ponsel.Arya mendengkus sebal. "Jika kau hanya ingin berbaring tidak jelas begini tanpa melakukan apa pun, kau seharusnya diam saja di rumah. Tidak perlu kemana-mana!" komentar pria itu yang dibalas Abia dengan anggukan acuh."Kalau begitu kita pulang saja. Atau aku saja yang pulang. Jadi kau hanya sedang liburan namanya, bukan berbulan madu." Abia menyarankan sambil terkekeh geli.Melihat itu, tentu saja Arya semakin kesal. Abia itu ... benar-benar menyebalkan!"Aku tidak mau tahu, kita harus pergi ke mana saja!" ajak Arya sambil mengangkat tubuh istrinya hingga duduk."Tidak mau! Lagipula kita masih lama di sini. Kenapa harus buru-buru sekali?" tolak Abia malas sambil berbaring lagi.A
Abia mengerjapkan mata pelan. Mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu mendapati wajah suaminya yang khawatir tertangkap pertama kali, tanpa sadar perempuan itu merasa lega."Kau sudah bangun?" tanya Arya memastikan sambil menutup botol minyak kayu putih yang tadi digunakannya pada pelipis juga hidung sang istri.Mendengar pertanyaan bernada lembut itu, Abia mengangguk pelan. Bahkan, saat mengangguk sepelan itu pun, kepalanya kembali berdenyut sakit.Sayangnya, itu semua tertutupi oleh rasa lega juga senangnya karena sang suami telah selamat. Masih baik-baik saja bahkan duduk di sisi tubuhnya."Kupikir ... k-kupikir kau masih di sana tadi," gumam Abia terbata.Pandangan matanya menyorot takut. Bersamaan dengan cairan bening yang satu-persatu perlahan meluruh dari sudut mata perempuan cantik itu."Hei, aku di sini. Jangan menangis lagi!" tegur Arya menyadarkan sang istri sambil berbaring di samping perempuan itu.Abia mengangguk-angguk. Arya mengangkat kepala perempuan
"Aunty ... Aunty Sisi!" Neo memanggil keras sambil berjalan menuruni tangga rumah sang Bibi.Cintya yang saat itu sedang membereskan bekas bermain Neo bersama Keanu, segera menoleh. Bocah sipit itu turun dan tersenyum sumringah."Hari ini Daddy dan Biya pulang, kan? Jam berapa mereka akan pulang? Ayo tanyakan, Aunty!" Neo meminta sambil memasang wajah memelas andalannya.Cintya mendengkus. "Kau sudah berjanji tidak akan menelepon mereka, kan? Jika mereka memang akan pulang, biarkan saja mereka menjemputmu sendiri ke sini," balas dokter muda nan cantik itu.Seketika, wajah Neo yang sedari tadi cerah luar biasa, mendadak muram. Satu minggu tidak melihat orang tuanya pasti membuat bocah manja kesayangan Abia itu merasa sangat rindu.Cintya memakluminya tapi tidak ingin mengganggu acara bulan madu sang sepupu. Mereka harus fokus bersenang-senang setelah beberapa waktu lalu sempat berpisah cukup lama.Terlebih, Arya juga makhluk yang super sibuk. Kedua pasangan suami istri itu pasti tidak