Abia melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi. Dia tidak tidur sejak semalam. Entah karena mengkhawatirkan kondisi sang suami, juga pengakuan terlalu blak-blakkan Keanu tentang perasaannya.Dia merasa linglung. Semua terasa terlalu mengejutkan. Seingat Abia, Keanu bilang sudah tidak mencintainya sejak dia masih tinggal bersama Arya tujuh bulan lalu. Tapi, kenapa sekarang pria itu mengaku masih mencintainya begini? Dengan wajah serius dan raut terluka yang mendadak membuat Abia merasa bersalah.Selama ini, Keanu selalu jadi tempat berpulang juga muara ceritanya ketika sikap Arya membuatnya sakit hati. Pria itu selalu menerima keluh kesah Abia, sampai ia lupa bahwa Keanu bukan orang yang begitu.Dia tidak suka direpotkan, tidak juga suka mendengar cerita orang lain. Tapi untuk Abia, pria itu mau melakukan semuanya. Kenapa Abia begitu bodoh sampai tidak menyadarinya?Drrt ... Drrt ... Drrrt ....Dering ponsel di atas nakas membuat lamunan Abia buyar. Perempuan itu sege
Arya memandangi Abia yang sedari tadi terus mondar-mandir melakukan banyak hal. Perempuan itu tampak tidak bisa diam. Seolah jika duduk barang sejenak, dia akan kehilangan sesuatu."Apa kau tidak bisa duduk dulu sebentar? Itu bisa dilakukan nanti," tegur Arya begitu mendapati perempuan itu kali ini sedang membuka laptop dan mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan Arya.Ya, sejak Arya dirawat di sini enam hari yang lalu, perempuan itu lah yang mengambil alih pekerjaan sang suami. Mulai dari pekerjaan di kantor, sampai pekerjaan di rumah. Entah itu mengurus Star Group, bahkan sampai mengantar Neo berangkat sekolah. Saat malam pun, Abia tidak pernah bisa tidur nyenyak. Setiap Arya terbangun karena sakit di kepala juga kakinya yang kambuh di tengah malam, dia lah yang akan paling sibuk mengurus sang suami tanpa berniat meninggalkan Arya tidur lagi.Arya sering protes dan menegur perempuan itu untuk istirahat saja. Tapi, Abia tetaplah Abia. Si makhluk keras kepala juga satu-satuny
"Kau sudah makan siang? Kenapa lama sekali baru kembali?" tanya Arya sedikit kesal begitu melihat sang istri masuk ke ruangan. Sudah sekitar satu jam perempuan itu pergi dengan alasan mencari makan siang.Biasanya, Abia bahkan membawa makanannya ke ruang rawat Arya dan memakannya di sini. Tumben sekali dia memakannya langsung."Aku tadi makan dengan seseorang," jawab Abia sambil duduk di sofa sudut ruangan."Dengan siapa?" tanya Arya penasaran."Ada. Kau tidak perlu tahu," jawab Abia sambil mengeluarkan ponsel dan mulai mengecek kalender guna memastikan sesuatu."Kau makan dengan pria? Apa maksudmu Keanu? Kalian bertemu diam-diam di luar agar aku tidak tahu?" tanya Arya lagi beruntun. Matanya menyorot sang istri penuh selidik.Abia mendelik tajam. Merasa kegiatannya terganggu sekaligus marah dituduh begitu."Apa kepalamu hanya dipenuhi dengan hal-hal buruk tentangku? Apa aku terlihat seperti tukang selingkuh di matamu?" tanya Abia balik dengan nada menuntut."Tidak. Bukan begitu! Aku
Sejak pembicaraan seriusnya dengan Abia kemarin, Arya merasa lebih lega dan tenang. Dia bersyukur karena orang yang ditemuinya dulu adalah Abia. Sebab meski mengetahui rahasia terkelam miliknya sekali pun, Abia tidak tampak menyalahkan Arya. Tidak ada sorot menghakimi apalagi mencela dalam manik mata sang istri.Hal yang justru membuat Arya merasa luar biasa bersalah atas semua hal yang pernah dilakukannya. Entah untuk Neo, juga kepada sang istri yang beberapa waktu lalu sempat dilukainya.Arya sudah hampir berpikir untuk menyerah dan merelakan perempuan itu. Dia berpikir untuk membiarkan Abia bahagia bersama Keanu---orang yang nyatanya begitu mencintai sang istri sejak dulu. Arya merasa tidak pantas untuk Abia.Tapi, perempuan itu bilang ingin memperbaiki semuanya. Abia bilang ingin kembali bersama Arya juga Neo dengan syarat ia tidak boleh melakukan kesalahan yang sama.Tentu saja Arya mengiyakan dengan cepat. Dan hari ini, bertepatan dengan hari kepulangan Arya dari rumah sakit, i
"Sekolah yang benar! Jangan membuat Daddy menyesal karena merawat anak sepertimu!" peringat Arya sambil menepuk-nepuk kepala Neo.Neo mengangguk patuh kemudian segera keluar dari mobil setelah menyalami Arya dan Abia. Begitu melihat putra mereka masuk ke sekolahnya dengan aman, Abia memberikan cubitan keras pada lengan kekar sang suami."ARGH ... kenapa kau mencubitku, bodoh?!" tanya Arya terkejut sekaligus marah.Pria itu melihat bekas cubitan istrinya yang memerah. Abia memutar bola mata malas seolah tidak merasa bersalah."Apa kau pikir pantas mengatakan itu untuk anak kecil sepertinya?! Belum saatnya dia ditekan seperti itu untuk sekolah. Kau terlalu keras padanya," komentar Abia sebal sambil memandangi anak-anak sekolah dasar yang baru saja sampai diantar orang tua mereka."Akhir-akhir ini kau berlebihan sekali. Aku mengatakan itu juga hanya sekedar ancaman agar dia menjadi anak yang baik. Jika bukan dari sekarang kuajari, kapan dia bisa belajar?" tanya Arya balik kesal.Abia men
Neo menoleh ke kanan kiri dengan sebal. Kenapa tidak ada yang menjemputnya? Supir yang biasanya menunggu bahkan sebelum jam pulang sekolah juga tidak ada. "Nak Neo belum pulang?" tanya satpam penjaga gerbang begitu melihat putra CEO perusahaan terpandang itu masih belum pulang.Bocah sipit itu duduk di bangku samping gerbang sekolah dasar. Tempat biasanya para murid juga guru menunggu jemputan.Pikir satpam itu, tumben sekali Neo ikut menunggu di sini. Biasanya, malah supir atau orangtuanya yang menunggu bocah itu sambil berbincang dengan satpam."Apa orangtua atau supirmu tidak mengatakan apa pun tadi pagi? Mungkin, dia telat menjemput atau bagaimana?" tanya satpam bernama Nurdin itu lagi.Neo menggeleng. "Tidak tahu, Pak Satpam. Tadi pagi aku diantar Daddy dan Biya," jawab Neo jujur."Neo!" Mendengar namanya dipanggil, bocah itu menoleh. Begitu mendapati seseorang yang dikenalinya, bocah itu tersenyum lebar."Ayo kuantar pulang! Daddy-mu belum menjemput, ya?" tanya perempuan itu s
"Biya, Daddy dan Aunty Sisi masih bertengkar," adu Neo begitu mendengar perdebatan kedua sepupu tersebut.Padahal, mereka saling adu mulut di lantai bawah. Bisa-bisanya suara teriakan mereka bisa sampai terdengar ke kamar Neo? Arya dan Cintya memang tidak pantas dibiarkan berada dalam satu tempat.Begitulah jika kepala batu dan kepala baja jika dipertemukan."Kau bodoh, ceroboh dan tidak pernah menjadi Ibu. Bagaimana bisa aku mempercayai putraku pada peraw an tua sepertimu?" Dari kamar Neo, Abia dapat mendengar makian pedas sang suami.Perempuan itu terkekeh. Bahkan dengan Abia sekali pun, Arya tidak bisa berkata manis. Apalagi jika dengan Cintya yang hanya sepupunya?"Apa kau merasa begitu pantas dan baik menjadi seorang Ayah? Apa kau lupa dulu hampir menghanyutkan putramu sendiri di pantai saat kita berlibur bersama?!" tanya Cintya balik menyerang Arya dengan kesalahan yang pria itu sempat lakukan.Mendengar kata 'berlibur' dan 'pantai', Abia mendadak cemberut. Seingatnya, dia tidak
"Biya tidak usah khawatir, aku baik-baik saja bersama Aunty Sisi." Neo menenangkan sambil menyalami punggung tangan sang Mama.Abia cemberut. Perempuan itu mengusap puncak kepala putranya sekali lagi."Kau yakin tidak ingin ikut? Biya pergi selama lima hari loh. Tidak apa-apa?" tanya perempuan itu memastikan lagi.Arya yang kesal, kontan segera menarik lengan sang istri. "Iya! Lihat dia tersenyum lebar begitu? Sekarang, ayo kita pergi! Neo tidak mungkin menangis hanya karena ditinggalkan lima hari olehmu," kesal Arya sambil menyeret koper Abia juga.Abia melambai pada Neo dan Cintya dengan berat hati. Wajah perempuan itu terlihat muram seolah tidak akan pergi liburan."Tenang saja, Abia. Aku akan membuangnya ke laut jika dia nakal!" teriak Cintya sambil ikut melambaikan tangan.Mendengar itu, Abia semakin berat hati. Arya kontan memberikan pelototan tanda peringatan pada sang sepupu."Jangan lupa telepon Biya sesekali, ya?" pesan Abia pada Neo yang diangguki bocah sipit itu semangat.
"Loh, Naya mana, Neo? Bukankah kau pergi menjemputnya tadi?" Abia bertanya bingung begitu melihat putranya pulang tanpa sang istri lagi.Neo menoleh pada sang Mama dengan helaan napas berat. Dia sedang tidak ingin membahas perempuan itu sekarang. Kepalanya terasa hampir meledak karena bimbang."Jangan bilang kau hanya pergi menemui Nara?" tebak Abia lagi begitu teringat kebiasaan putranya.Bukannya menjawab, perempuan itu malah menghela kasar sebelum kemudian beranjak menuju tangga rumah. Tapi, belum sampai tangga pertama, pria itu meringis sakit begitu punggungnya terhantam sesuatu."Argh!" erang pria sipit itu kesakitan sambil memandangi sandal jepit rumahan yang tiba-tiba dilempar Arya."Kau sudah merasa begitu besar sehingga berani mengabaikan pertanyaan Mamamu?" tanya sang ayah dengan wajah mengeras karena amarah.Seketika, Neo bergidik takut. Sadar bahwa kelakuannya memancing emosi pria galak yang begitu menyayangi istrinya tersebut."Maaf, Daddy." Neo menyahut lirih."Minta maa
Neo tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Tapi, menyadari kekhawatirannya pada Naya justru lebih besar ketimbang pada Nara membuat pria itu kesal luar biasa. Dia merasa buruk. Secara tidak langsung, pikirannya sudah berpaling dan selingkuh dari sang kekasih---Nara. Seharusnya, Neo lebih memikirkan keadaan Nara yang masih berada di rumah sakit sekarang.Bukan malah bertanya-tanya ada di mana Naya sekarang dan apakah perempuan itu sudah makan. Neo ingin mencoba memaklumi dan berpikir bahwa kekhawatirannya tidak lebih karena perempuan itu tengah mengandung anaknya.Hanya saja ... tetap saja semuanya terasa salah. Neo seharusnya tidak perlu peduli seberlebihan ini pada perempuan menyebalkan itu."Nak, kau tidak menjemput istrimu? Dia belum pulang juga sampai sekarang," tanya Abia sambil membuka pintu kamar sang putra pagi ini.Neo menoleh sejenak sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan selimut. Tidak ingin mendengar pembahasan apa pun tentang perempuan yang sial
Abia mengernyit heran begitu mendapati putranya pulang sendiri tanpa sang istri. Pria itu juga tampak kesal entah karena apa membuat mulut Abia gatal untuk bertanya.“Mana istrimu? Kenapa kau hanya pulang sendiri?” tanya Arya yang malah mewakili pertanyaan di dalam hatinya.“Kutinggal di rumah sakit bersama Om Bintang,” jawab Neo santai sambil segera duduk di samping sang Mama yang juga duduk di sofa ruang tengah.Pria sipit itu mengambil tempat di antara Daddy dan Mamanya. Membuat Arya yang kesal karena makhluk itu menghalanginya berdekatan dengan sang istri, segera menggeplak lengan Neo.“Kenapa kau tidak mengajaknya pulang bersamamu?” tanya Abia cepat.“Istri kurang ajar seperti dia seharusnya memang dibiarkan saja. Kenapa aku harus repot-repot membawanya pulang?” jawab Neo sensi yang kontan saja membuat Abia melotot tidak terima.Baru saja akan melayangkan pukulan pada punggung putranya, rupanya lagi-lagi sang suami lebih dulu mendaratkan pukulan pada punggung pria sipit itu. Sua
Neo kembali ke rumah sakit dengan perasaan kesal yang tergambar jelas di raut wajahnya. Pria itu terus mendengkus sebal sambil menendang bangku besi di lorong sesekali. Hal itu tentu saja langsung disadari oleh Arya yang juga duduk menunggu di luar. Membiarkan sang istri dan besannya sibuk dengan Nara yang baru saja sadar di dalam ruang rawat.“Kau kenapa? Bertengkar dengan Naya? Kendalikan dirimu! Jangan sampai Ayah mertuamu melihat kelakuanmu!” tegur Arya yang hanya dibalas Neo dengan dengkusan.“Bagaimana aku tidak kesal, Daddy?! Tadi sebenarnya dia menelepon dan bilang sakit perut, makanya aku segera pulang. Tapi karena takut membuat kalian khawatir, aku tidak memberitahu lebih dulu. Saat sampai rumah, aku memberikannya obat dan makanan. Tapi setelah itu dia malah marah-marah dan malah mengusirku. Apa yang salah dengan pemikirannya? Kenapa dia begitu sensitif?!” Neo mengomel panjang lebar yang anehnya malah dibalas Arya dengan kekehan geli.“Jangan terlalu marah. Para perempuan, a
Begitu mendapati panggilan telepon dari sang istri, Neo segera bergegas pulang ke rumah. Begitu ditanya oleh Arya dan Bintang, pria itu hanya bilang ingin mengabari Naya bahwa mereka semua ada di sana.Tentu saja Neo tidak ingin membuat sang mertua juga orang tuanya bertambah panik. Berita tentang kecelakaan yang dialami Nara tadi saja sudah cukup menggemparkan mereka.Sambil menjalankan mobil lumayan cepat, Neo kembali menghubungi Naya lewat telepon. Tapi, hingga percobaan panggilan kelima sekali pun, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya.Membuat Neo bertambah panik dan kembali menambah laju kendaraan roda empatnya. Dia tidak tahu kenapa dia sepanik ini. Tapi yang jelas, dia uanya ingin memastikan keadaan sang istri sekarang.Perasaan Neo benar-benar tidak tenang. Pria itu bahkan sejenak melupakan Nara yang tadi masih berada di rumah sakit dengan tubuh dipenuhi luka akibat kecelakaan."Apa susahnya mengangkat teleponku sekali saja? Ck ... dia memang sangat menyebalkan! Ken
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya segera beranjak menuju dapur guna mengambil minum. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Yang jelas, rupanya hari sudah gelap dan rumah sudah sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Entah kemana semua saja orang itu pergi. Atau mungkin, mereka malah sudah masuk tidur ke kamar? Tapi, kenapa tadi dia tidak menemukan Neo di kamar mereka?Begitu melirik jam dinding, rupanya sudah pukul 12 malam. Perempuan itu lupa menaruh hp-nya di mana, jadi Naya memilih duduk sejenak di sofa ruang tengah.Sejenak, perempuan itu menghela berat begitu teringat tadi siang Ayahnya sempat ke sini. Tapi, bisa-bisanya Naya malah tidur bukannya berbincang banyak dengan sang Ayah. Padahal, ada banyak sekali hal yang sangat ingin Naya ceritakan pada pria itu seperti biasanya."Eh, Non Naya sudah bangun?" Bi Wati---salah satu pembantu di rumah itu, menyapa Naya yang dibalas perempuan itu dengan senyum ramah."Iya, Bi. Aku sepertinya tidur terlalu lama, hehe." Naya menjawab kikuk
Setelah menidurkan Naya di kamar mereka, Neo segera turun menuju lantai bawah. Begitu tidak menemukan kehadiran Nara di sana, pria itu mengernyit bingung."Nara ke mana?" tanya pria sipit itu yang dibalas Abia dengan gendikan bahu tidak peduli."Dia tiba-tiba bilang ingin pulang tadi. Tapi karena Ayah ingin bertemu Naya dulu, jadi Ayah tidak ikut dan membiarkan saja dia pulang duluan." Bintang menjawab yang diangguki Neo mengerti.Seingatnya, tadi perempuan itu lah yang paling semangat ke sini. Kenapa tiba-tiba Nara malah meminta pulang begini? Bahkan tanpa pamit lebih dulu pada Neo."Kalau begitu ... ayo kita makan!" ajak Abia pada sang suami, anak juga besannya.Neo dan Bintang menggeleng bersamaan. "Nanti saja, kita tunggu Naya bangun tidur. Lagipula, ini juga masih belum jam makan siang, kan?" sahut Neo yang diangguki Bintang setuju."Aku juga akan makan bersama Naya saja. Sudah lama aku tidak makan bersamanya," gumam Bintang sedikit berlebihan.Karena biasanya, Naya bahkan hanya
Setelah membantu Neo bersiap-siap tadi, Naya kembali masuk ke kamar. Perempuan itu ingin ikut membantu Abia membereskan rumah sebenarnya. Tapi, entah kenapa, tubuhnya terasa letih luar biasa.Padahal, dia hanya melakukan sedikit olahraga bersama Arya tadi. Iya, bagi Naya yang seorang atlet bulutangkis nasional, itu adalah latihan paling sederhana yang pernah ia lakukan.Naya bahkan tidak pernah melompat karena takut. Dia juga tidak terlalu banyak berlari karena Neo terus berteriak dan memperingatinya untuk hati-hati. Rasanya menyebalkan begitu menyadari gerakannya terlalu banyak dibatasi.Tapi kali ini, dia sadar kemampuannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Naya merasa lelah terlalu cepat. Hanya karena beberapa aktivitas ringan, perempuan itu mulai letih dan ingin segera beristirahat sekarang."Kenapa para perempuan begitu mendambakan hamil? Padahal ... ini sangat tidak menyenangkan," gumam Naya tidak habis pikir.Perempuan itu sudah akan berbaring kalau saja suara Abia yang mem
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de