Brak!
Sebuah suara koper yang terjatuh tiba-tiba mengejutkan semua orang. "Apa-apaan ini!" sentak seorang perempuan yang baru saja pulang dari dinas luar kota, bahkan belum sempat melangkahkan kakinya ke dalam rumah.
"Oh, kamu sudah pulang? Ucapkan selamat ke Satria dan Mella, karena mereka baru saja menikah tadi pagi!" seru seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu mertuanya.Jeder!Bagai tersambar petir, perempuan yang bernama Lunar tidak menyangka bahwa suami yang dia nikahi satu tahun lalu akan menikah dengan wanita yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Dia melihat pada om dan tantenya yang malah tersenyum mengejek, padahal perempuan tersebut sudah menganggap mereka pengganti orang tuanya."Kenapa ... kenapa kalian tega padaku?" sentak Lunar dengan air mata berderai di pipinya seraya menatap kedua orang paruh baya di depannya yang masih menatapnya dengan sinis. "Kenapa Om dan Tante mengijinkan Mella menikah dengan suamiku! Kurang baik apa aku pada kalian selama ini!""Cih, baik? Almarhum Papamu terlalu serakah dengan menguasai semua harta peninggalan keluarga kami! Jadi, jangan salahkan jika saat ini aku mengambilnya darimu! Lagipula, Satria dan Mella sudah lama saling mencintai dan dia tidak pernah mencintai kamu!" sahut pria paruh baya yang merupakan adik dari almarhum Papa Lunar.Perempuan tersebut menggelengkan kepalanya, lalu menatap pada pria yang mengenakan jas ala pengantin."Kamu mencintaiku 'kan, Mas? Tidak mungkin jika selama setahun pernikahan kita, kamu tidak ada rasa sedikit pun untukku," lirih Lunar dengan penuh harap bahwa sang suami tidak seperti yang Om-nya katakan."Semua itu benar! Aku tidak pernah mencintai kamu, maka dari itu aku tidak pernah sudi menyentuh kamu!"Duar!Petir yang menyambar Lunar makin besar. Dia mundur beberapa langkah dengan air mata yang terus saja mengalir di pipinya."Aku menikah denganmu karena permintaan Mella dan demi mendapatkan apa yang seharusnya keluarga Mella dapatkan dari Papamu yang serakah!" kata Satria kembali dengan lebih menyakitkan.Lunar menggelengkan kepalanya. "Tidak! Papaku bukan seperti itu! Om hanya anak angkat, jadi sudah sepantasnya mendapatkan warisan yang sudah Kakek bagi!""Diam kamu, jalang!" sentak wanita dengan pakaian pengantin berwarna putih. "Selama ini Papaku sudah banyak berkontribusi untuk pabrik yang ditinggalkan oleh Kakek, tetapi dia tidak memperhitungkannya!"Tidak terima dengan hinaan dari istri baru suaminya, Lunar mendekat dan hendak melayangkan tangannya. Namun, tangan perempuan tersebut hanya bertahan di udara karena seseorang yang memegang dengan erat hingga membuat si empunya meringis kesakitan."Jangan berani-beraninya menyakiti istriku atau kamu akan menyesal!" sentak Satria sembari menyentak tangan Lunar hingga jatuh tersungkur di lantai."Aku ... juga istrimu, Mas! Aku istrimu!" teriak perempuan itu begitu rapuh.Semua undangan yang ada di pesta resepsi itu hanya bisa melihat tanpa ada yang mau menolong sama sekali. Lunar melihat mereka satu per satu, dia mengenal beberapa dari mereka yang merupakan orang yang pernah dia bantu, tetapi tidak satu pun dari mereka yang mau mengulurkan tangannya untuk membantu."Kenapa Lunar? Heran ya karena semua orang yang dekat denganmu ada di sini? Mereka mendukung pernikahanku karena mereka sudah tahu bahwa semua harta milik kamu sudah jatuh ke tangan Satria. Kamu sekarang tidak punya apa-apa, jadi kamu tidak beguna lagi!" kata Mella dengan senyum penuh kemenangan.Lunar berdiri sambil menghapus air matanya. "Harta itu milikku dan kalian tidak bisa memilikinya!""Sudahlah Satria, bawa dia keluar dan sekalian kamu talak dia! Toh, kamu sudah ada Mella yang selama ini kamu cintai," seru Ibu Satria dengan sinis melirik pada perempuan yang selama ini sudah menampungnya.Satria mengangguk dan mencengkeram lengan Lunar. "Hari ini aku talak kamu, Lunara Maheswari. Aku talak kamu dengan talak tiga!"Tubuh Lunar terasa lemas mendengar talak dari suami yang dia sayangi. Belum lagi, lelaki itu menyeretnya hingga keluar dari rumah yang sudah dia tempati sedari kecil."Pergi dan jangan pernah datang lagi ke sini ataupun ke pabrik! Atau aku tidak akan segan untuk membuatmu menyesal!" ujar pria dengan tatapan nyalang."Nih, bawa kopermu yang ternyata tidak ada apa-apanya itu!"Benda yang tadi Lunar bawa dilemparkan begitu saja di depannya. "Kalian sunggu tega melakukan semua ini! Ingatlah, karma itu berlaku dan apa yang kalian lakukan padaku, pasti akan kalian rasakan juga!""Ih, sudah jadi gembel malah belagu!" seru Ibu dari Mella seraya menghampiri Lunar dan mengambil paksa tas selempang yang perempuan tersebut bawa."Jangan ambil barangku!" ucap Lunar berusaha mengambil tasnya kembali.Di sana ada uang dan kartu kredit miliknya. Jika tidak ada semua itu, maka dia akan benar-benar tidak punya apa-apa untuk bertahan hidup."Enak saja! Kamu tidak boleh bawa apa pun! Jeng, pegang Lunar!" kata Ibu Mella pada besannya.Tubuh Lunar pun dipegang oleh mantan mertuanya sedangkan di depan ada tantenya yang masih mencari harta berharga miliknya."Sudah, Jeng!"Ibu Satria mendorong tubuh Lunar ke samping hingga terjatuh. Setelah itu, mereka pun kembali masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan acaranya.Tangis Lunar pecah. Perempuan itu terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa sakit di tubuhnya, tidak sebanding dengan rasa sakit hati yang dia rasakan. Orang-orang yang selama ini dia anggap keluarga, ternyata menusuknya dari berlakang. Belum lagi, orang-orang yang selama ini dia perlakukan dengan baik. Mereka malah berbalik arah karena semua hartanya sudah berpindah tangan pada mantan suaminya.Dengan susah payah, Lunar berdiri dari duduknya. Dia memasukkan barang-barang yang tadi dikeluarkan dari tasnya, lalu pergi sambil menggeret koper keluar dari area rumah tersebut. Lunar melihat pada satpam yang menunduk saat dia lewat. Namun, perempuan itu memilih untuk acuh.Dengan keadaan yang kacau Lunar terus melangkah tanpa tahu ke mana akan pergi. Ingin ke tempat sahabatnya, tetapi tadi dia melihatnya ada di acara Melly dan Satria, sahabat yang dia sayangi itu bahkan tidak melihatnya sama sekali bahkan untuk sekedar membantu."Kenapa hidupku begitu berat, Tuhan! Kenapa mereka jahat padaku setelah kebaikan yang aku berikan! Kenapa, Tuhan! Kenapa!" sentak Lunar saat melewati jalanan yang cukup panjang dan hanya ada kendaraan yang lewat tanpa peduli ucapan perempuan itu.Lunar berhenti tepat di pembatas jembatan yang bagian bawahnya ada sungai yang cukup deras. Bisikan demi bisikan seolah menyuruhnya untuk lompat ke bawah sana."Tidak ada lagi yang peduli padaku, bahkan aku sudah tidak punya apa pun lagi. Jadi, untuk apa aku tetap di dunia ini? Sebaiknya aku mati saja!"Lunar pun menaiki satu persatu pembatas di depannya sampai dia merentangkan tangan sambil menutup mata."Mama, Papa. Tunggu aku di surga, ya..."Suara seru mobil yang lewat masih bersaut-sautan. Tidak ada salah satu dari mereka yang sadar bahkan peduli pada seorang perempuan hendak menerjunkan dirinya ke bawah jembatan. "Setelah ini semua pasti akan selesai," kata Lunar yang masih memejamkan matanya. "Yakin akan selesai?"Sebuah suara masuk ke dalam telinga perempuan itu. Dicarinya sumber suara yang ternyata berasal dari lelaki yang menyandarkan tubuhnya pada pembatasan jembatan. "Kenapa? Kamu mau lompatkan? Silakan saja, aku hanya akan melihat dan memastikan bahwa kamu benar-benar terjun ke bawah," kata lelaki yang tidak Lunar kenali. Perempuan tersebut masih diam. Perasaan ragu hinggap dalam hatinya, apalagi saat melihat dan mendengar sungai mengalir yang cukup deras. "Masalah itu tidak akan selesai dengan mati! Justru akan menimbulkan masalah yang baru dikemudian hari!" ujar lelaki yang dengan pakaian santai, kaos hitam, celana jeans, dan jaket kulit berwarna hitam. "Kalau kamu berniat mati karena disakiti oleh banyak
Lunar masih tidak percaya bahwa lelaki yang saat ini satu meja makan dengannya tahu semua tentang dia. Perempuan tersebut menyakini bahwa Bumi bukanlah orang sembarangan karena hanya dalam semalam, lelaki itu sudah tahu tentangnya. "Bagaimana Tuan bisa ... ." Lunar menghentikan ucapannya karena melihat tatapan Bumi yang tajam, sehingga dia menyadari kesalahannya. "M-mas, bagaimana bisa tahu tentang aku?""Tidak penting aku tahu dari mana! Sekarang selesaikan sarapanmu!" sahut Bumi dengan cepat serta menikmati makanan yang ada di atas meja. Sedangkan perempuan itu tidak lagi bertanya. Percuma saja, Bumi tidak akan pernah memberitahunya apa pun. Seusai sarapan, Lunar bersiap berangkat bekerja. "A-aku berangkat kerja dulu, Mas.""Ya sudah, kita bersama saja! Aku antar kamu ke tempat kerja!"Bumi berjalan lebih dulu keluar dari apartemen, artinya perempuan itu tidak bisa menolak. Keputusan yang lelaki buat adalah final yang tidak bisa dibantah. "Em, Mas kerja di mana?" tanya Lunar den
Tubuh Lunar terhuyung ke samping karena di dorong oleh wanita yang tak lain adalah Mella yang melihat suaminya ditampar oleh perempuan itu. Lunar yang terjatuh menahan rasa sakit sebab lengannya yang terbentur kusen pintu. Jelas sangat sakit. "Kamu tidak apa-apa 'kan, Sayang?" tanya Mella dengan khawatir pada suaminya, lalu melihat pada Lunar yang sudah berdiri sambil memegang lengannya yang sakit. "Apa yang kamu lakukan di sini, Jalang?! Masih punya muka bertemu SUAMIKU, hah!"Meski merasakan sakit, tetapi Lunar berusaha menahannya. Dia tidak akan membiarkan wanita macam Mella merendahkannya seperti semalam. "Siapa yang kamu sebut Jalang, Mella? Jalang itu yang suka rebut suami orang, ya berarti kamu jalangnya!" balas Lunar dengan senyum meremehkan. "Kurang ajar kamu, Lunar! Kamu yang sudah merebut Satria dariku! Kalau bukan demi rencana Papa, sudah dari dulu aku menikah dengannya!" balas Mella tidak terima dengan ucapan perempuan di depannya. Lunar masih berusaha bersikap dengan
Bumi terus menatap Lunar, lalu duduk di sisi meja. "Aku mau dekat calon istri. Tidak salahkan jika aku melakukan hal itu?"Perempuan itu membuka mulutnya. Tidak salah? Tentu saja Lunar menyalahkan sikap atasannya karena dengan menjadikan dia sebagai sekretaris, artinya akan banyak karyawan yang tidak suka dengannya serta belum tentu dia paham dengan cara kerja menjadi sekretaris. "Ma-maaf sebelumnya, Tuan. Namun, seperti yang saya katakan tadi, bahwa basic saya bukan sekretaris, bagaimana jika nanti ... .""Aku akan memberikan kamu buku menjadi sekretaris serta bisa kamu praktekan langsung," sahut Bumi dengan cepat. "Aku tahu bahwa kamu mudah memahami sesuatu, jadi pasti mudah bagimu untuk belajar menjadi sekretaris!"Lunar bisa merasakan aroma nafas lelaki di depannya yang begitu segar. Ingin dia menjauh agar tidak terlalu dekat dengan Bumi, tetapi khawatir lelaki tersebut marah padanya. "Ada lagi, Lunar?"Perempuan itu berdehem untuk menyadarkan dirinya sendiri. "Em, itu, Tuan. Ba
Seorang perempuan duduk di meja rias sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Pikirannya masih berkelana pada gambar yang tadi dia lihat di media sosial. "Foto itu sepertinya bukan editan atau akting. Malah terlihat sangat natural. Astaga, kenapa semuanya jadi membingungkan begini?" gumam Lunar mematikan hairdryer-nya. Ceklek! Lunar menoleh ke arah pintu yang terbuka. Ada Bumi yang masuk seraya melepas jasnya dan di letakkan di atas ranjang. "Kenapa?" tanya lelaki itu melihat Lunar yang menatapnya penuh arti. Bukannya menjawab, perempuan itu terdiam dengan memikirkan apa yang hendak dia sampaikan pada Bumi. Beberapa hal yang perlu dia pertimbangkan, termasuk keberanian serta kesiapan dengan jawaban yang mungkin akan mengejutkannya. "Lunar, kenapa diam? Hm?" tanya Bumi yang sudah membuat tubuh Lunar yang duduk menjadi berbalik ke samping sampai mereka pun berhadapan. Lelaki itu menyentuh dagu perempuan di depannya. "Apa yang membuatmu membisu seperti ini? Kamu tidak tuli mendad
Pagi menjelang siang, Lunar sedang berdiri di depan mesin fotocopy. Ada beberapa berkas yang perlu dia gandakan sesuai perintah dari sang atasan. "Lama sekali fotocopy-nya? Memangnya seribu kertas yang hari dicopy?!" cibir karyawan wanita yang baru beberapa menit menunggu untuk memfotocopy.Karyawan lain yang bersama wanita itu tertawa pelan sambil berkata, "Mungkin dia mau lama-lama di sini karena ada pegawai magang yang tampan."Memang benar kalau di sana ada pegawai baru yang sedang magang dan lumayan tampan. Namun, Lunar tidak tertarik padanya. Lagipula, siapa yang mau lama-lama di sana, apalagi pekerjaannya masih sangat banyak. "Terima kasih," kata Lunar saat menerima kertas yang dia copy. Tidak mau membuang waktunya, perempuan itu segera beranjak pergi. Karyawan wanita yang tadi mencibir malah dengan iseng mengulurkan kakinya dengan pelan guna mencekal kaki Lunar. Bruk! Kertas-kertas fotocopy tadi berhamburan di lantai. Lunar menatap dua wanita yang menertawakannya. "Jatuh
Waktu cepat berlalu, sudah tiba waktunya Lunar melakukan sidang untuk bercerai. Dia sudah berada di persidangan seorang diri. Mantan suaminya -Satria- datang pada sidang itu karena pengacara dari Bumi mengatakan bahwa, ada baiknya pria itu datang untuk mentalaknya di depan pengadilan. "Dengan ini, saya menyatakan bahwa saudari Lunara Maheswari dan saudara Satria Adiwijaya sudah resmi bercerai!" Hakim mengetukkan palunya cukup keras. Lunar tersenyum sambil melihat pada pengacara yang sudah membantunya. Dia melihat pada Satria yang berdiri, lalu menarik tangannya keluar dari ruang sidang. "Apa sih! Kenapa kamu menarik tanganku seperti itu? Ingat, kamu sudah bukan suamiku yang bisa asal sentuh begitu saja!" ucap Luna dengan wajah masamnya. Satria melipat kedua tangannya di depan dada. Tak lama setelah itu, seorang wanita datang sembari merangkul lengan pria tersebut dengan begitu mesra. "Karena kalian sudah sah bercerai, maka kita bisa meresmikan pernikahan kita 'kan, Sayang?" seru
Setelah pertengkaran antara Lunar dan Mia yang diciduk oleh atasan mereka. Kini keduanya sudah kembali pada pekerjaan masing-masing. Lunar juga bekerja, tetapi di dalam ruangan Bumi sambil duduk bersisian dengan lelaki yang memaksanya untuk di sana. "Em, Tuan. Bolehkah saya kembali ke tempat kerja saya? Di sini, saya kurang fokus," ujar Lunar dengan suara pelan. Bagaimana bisa fokus kalau setiap dia mengerjakan pekerjaannya, sang atasan dengan nakal merangkul pinggangnya seraya dielus dengan pelan. Jelas saja Lunar merasa kegelian. Mau protes, dia takut jika lelaki itu marah padanya. "Tanggung! Sebentar lagi jam pulang. Jadi, kamu di sini saja!" sahut Bumi tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Perempuan itu hanya bisa pasrah, apalagi sebelah tangan lelaki itu masih saja mengelus pinggangnya. Lunar mencoba abai hingga jam pulang kantor. Toh, tidak ada yang bisa dia lakukan selain membiarkannya saja. "Kenapa tadi kamu tidak mengatakan bahwa karyawan tadi mengatai kamu pelakor?" tanya
Gundukan tanah basah masih ramai pelayat yang datang untuk melihat pemakaman Satria. Begitupun dengan Lunar yang datang bersama keluarga suaminya. Mereka datang sebagai bentuk rasa terima kasih karena Satria sudah memberikan mereka informasi serta secara tidak langsung merenggang nyawa demi menyelamatkan Lunar. "Semua ini pasti rencanamu 'kan Lunar?! Kamu sengaja menyuruh Satria naik mobilmu agar bisa kamu celakai! Kamu licik, Lunar!" sentak Mella yang hendak melayangkan tangannya pada Lunar, akan tetapi dia orang pengawal langsung mencegah bahkan mendorongnya dengan kasar. "Sialan kamu Lunar! Tidak cukup mengambil harta kami, kamu juga mengambil nyawa menantuku! Kamu sengaja melakukannya, iya 'kan?!" ucap Tuan Andre seraya membantu anaknya untuk berdiri tegak. Lunar yang mendengarkannya merasa jegah, bahkan sang suami sudah tampak kesal dengan wajah mengeratnya. Dia tahu, pasti keluarga benalu itu sengaja mengatakan hal tersebut karena banyak orang di sana dengan harapan dapat men
Seminggu berlalu setelah konferensi pers yang Bumi lakukan. Hal itu membuat sedikit perubahan, di antaranya adalah pandangan orang tentang Lunar yang tidak lagi negatif, meskipun masih ada yang membela Clara dan menyalahkan perempuan tersebut. Saat ini Lunar sudah berada di pabrik bersama mertuanya. Nyonya Mahendra tidak mau terjadi apa pun pada menantunya, sehingga dia memilih untuk ikut menantunya bekerja sekaligus untuk mengawasi perempuan itu agar tidak lelah bekerja. "Jangan capek-capek, Lunar. Kamu harus istirahat," ujar Mama Bumi pada menantunya yang mengecek berkas dari Anya yang selama ini meng-handle pabrik. "Baru beberapa menit, Ma. Kalau capek aku akan istirahat," sahut Lunar sambil tersenyum. Nyonya Mahendra tidak lagi berkata apa pun dan membiarkan menantunya untuk kembali bekerja dan membahas masalah pabrik.Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan di depan pintu membuat ketiga wanita yang ada di sana menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan seragam khas pab
Beberapa jam setelah ucapan yang dikatakan oleh Bumi, konferensi pers segera diadakan. Seluruh keluarga Mahendra, termasuk Lunar ada di sana seraya menatap pada wartawan yang berada di pihak mereka. "Tujuanku mengadakan konferensi pers ini adalah untuk memberitahu semua orang bahwa aku sudah menikah dengan perempuan di sampingku dan kami akan segera memiliki anak!" ujar Bumi sebagai pembuka. "Berita yang mengatakan bahwa istriku adalah pelakor, sangat salah besar. Akulah yang memintanya menikah denganku karena memang dialah yang layak untuk menjadi istriku!"Semua yang ada di sana memotret serta merekam perkataan pewaris Mahendra Corp itu. "Maksud anda apa dengan mengatakan bahwa perempuan di samping anda yang layak berada di posisi Nyonya Clara?" tanya seorang wartawan wanita dengan kacamata tebal. Lunar yang bersebelahan dengan suaminya menatap lelaki itu dengan perasaan yang tidak menentu. Namun, Bumi tersenyum seolah semua akan baik-baik saja. "Aku mengatakan hal itu karena ak
Lunar tidak menyangka bahwa apa yang dikatakan oleh kepala pelayan ada benarnya bahwa jika tidak ada yang mengaku siapa yang sudah melukainya, maka semua pelayan serta penjaga yang bersamanya akan kena hukuman. "Jadi ... belum ada yang mau mengaku? Ah, kalian lebih suka dipotong gaji rupanya!" ucap Nyonya Mahendra seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Yang melakukannya Suci, Nyonya," jawab kepala pelayan yang tidak mau semua temannya kena imbas hanya karena seorang pelayan yang tidak kompeten. "Benarkah?" seru Langit yang sedari tadi menyaksikan apa yang ibunya lakukan. "Ah, bukannya di dapur ada CCTV, kalau begitu kita lihat saja di sana. Dia sengaja atau tidak mencelakai Kakak Ipar."Sebenarnya Lunar kurang setuju dengan ide Langit karena dia yakin kalau pelayan itu tidak sengaja. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti apa yang hendak keluarga Mahendra lakukan. "Aku punya salinan CCTV di sini!" seru Bumi yang duduk di samping perempuan itu sambil memega
Tidak terasa sudah seminggu Lunar tinggal di rumah utama bersama suaminya. Tak ada hal cukup mengkhawatirkan, tetapi tetap saja semua yang ada di sana sangat protektif dan posesif padanya. Sama seperti saat ini, di mana Lunar tidak diperbolehkan untuk masak atau membuat kue. Akan tetapi, sang ibu mertua melarangnya seperti biasa. "Ayolah, Ma. Aku mau buat kue brownies keju buat Mas Bumi. Sekali ini saja, oke?" kekeuh Lunar dengan wajah memelasnya. Tidak tega melihat menantunya seperti itu, Nyonya Mahendra terpaksa mengijinkan perempuan itu untuk melakukan apa yang diinginkan. "Terima kasih, Mama," seru Lunar dengan girang seraya memeluk ibu mertuanya. "Asal Mama ada di sana! Kamu tidak boleh di sana sendiri dan cukup mengadonnya saja! Kalau butuh apa-apa, biar pelayan yang ambilkan. Oke nggak oke, harus oke!"Pasrah, itulah yang Lunar lakukan. Yang penting dia sudah diijinkan untuk membuat kue. Dari pada nanti anaknya ileran dan dia yang sebenarnya merasa bosan. Hingga kedua per
Setelah pembicaraan dengan papa mertuanya sudah selesai, Bumi, Langit, dan Nyonya Mahendra diperbolehkan masuk kembali ke ruangan itu. Langsung saja Bumi duduk di samping Lunar dan memeriksa keadaan istrinya yang memang tidak kenapa-napa. "Aku tidak apa-apa, Mas. Tadi hanya bicara biasa tentang apa yang harus aku lakukan selama menjadi menantu di sini," sahut Lunar sambil tersenyum pada sang suami. "Ck, kamu akan selamanya menjadi istriku!" balas Bumi dengan penuh keyakinan. "Baguslah kalau begitu! Tapi Mas harus selesaikan masalah dengan Mbak Clara dulu! Aku yakin bahwa dia tidak akan baik- baik saja setelah tahu apa yang terjadi dengan kita! Bisa saja dia akan ... ."Lunar menghentikan kalimatnya karena tidak sanggup membayangkan jika apa yang ada dalam benaknya sungguh-sungguh terjadi. "Kamu takut kalau Clara mencelakai kamu dan anak kita?" seru Bumi seraya memegang sebelah wajah istrinya. Anggukan dilakukan oleh Lunar karena dia sudah tahu betapa terobsesinya wanita itu ingi
Lunar tidak mengerti kenapa ayah mertuanya mau bicara berdua dengan dirinya. Banyak hal yang bercokol dalam benaknya, baik pikiran baik ataupun pikiran buruk yang saling beradu. "Aku tidak akan biarkan Papa berdua saja dengan istriku! Kalau memang Papa memaksa, maka aku akan membawanya pergi dari sini!" seru Bumi menatap tajam ayahnya. Tuan Mahendra mendengus sebal dengan kelakuan anaknya yang begitu posesif pada perempuan yang di samping lelaki itu. "Aku juga tidak akan membiarkan Lunar di sini bersama Papa! Bisa saja nanti Papa menggodanya! Awws, sakit, Ma!" sambung Langit yang seketika meringis karena dicubit oleh sang Mama. "Makanya kamu kalau bicara jangan sembarangan! Papa mau bicara dengan Lunar pasti memang ada hal penting yang mau dibicarakan!" ucap Nyonya Mahendra pada kedua anaknya, lalu melihat pada sang suami. "Kalau Papa mau bicara dengan Lunar, ada baiknya Mama juga di sini agar kedua anak kita tidak perlu khawatir."Dengusan dilakukan oleh Bumi dan Langit setelah
Setelah menyelesaikan masalah di pabrik, Lunar memberikan tugas selanjutnya pada Anya. Sedangkan dia keluar pabrik karena sudah janjian dengan sang suami. "Kita ke rumah utama, Pak," serunya pada sopir di depannya. Tak lupa juga dia mengirimkan pesan pada sang suami yang akhirnya akan dibaca saja tanpa ada niatan untuk membalas. "Ish, Mas Bumi selalu saja begitu! Lihat saja nanti kalau bertemu!" ucapnya dengan sebal. Mobil pun melaju dengan pelan karena sang majikan yang tidak mau jika terjadi apa-apa dengan istrinya. Padahal, Lunar sangat ingin segera lekas sampai. Meski di sisi lain, dia juga khawatir jika nanti ditolak oleh ayah dari suaminya. Hingga beberapa menit berlalu dan Lunar tidak menyangka bahwa mobil yang dia naiki sudah masuk dalam area perumahan yang sangat mewah sampai membuatnya melongo tidak percaya. "Ini rumah apa istana? Bagus dan mewah sekali," pujinya dengan tidak percaya. "Tuan sudah menunggu ada di dalam, Nyonya," kata sopir yang sudah membukakan pintun
Tidak ada rasa gentar dalam diri Lunar melihat wajah pamannya yang mengetat marah. Justru dia tetap duduk santai seraya memandang dengan senyum amat tipis. "Tuan Andre, tolong duduk dengan tenang! Dan jangan kurang ajar pada Nyonya Lunar! Beliau 'lah yang sudah membeli pabrik yang hampir bangkrut ini! Jika bukan beliau sudah pasti pabrik ini akan terbengkalau begitu saja!" seru pengacara yang ikut berdiri karena istri atasannya yang diperlakukan tidak sopan. Merasa tidak mampu untuk melawan, Tuan Andre kembali duduk. Apalagi sang anak dan menantu yang menarik tangannya untuk tidak berbuat gegabah. "Mulai saja, Pak!" kata Anya yang mewakili Lunar. Pengacara itu pun mengangguk seraya memberikan berkas pada perempuan di sampingnya. "Berkas tersebut adalah bukti bahwa pabrik ini dan seluruh isinya sudah menjadi milik Nyonya. Bahkan pekerja di sini ... ."Lunar mengangkat tangannya tanda agar pengacara tersebut berhenti. "Aku ingin data semua pekerja dan mungkin akan ada beberapa yang