Waktu cepat berlalu, sudah tiba waktunya Lunar melakukan sidang untuk bercerai. Dia sudah berada di persidangan seorang diri. Mantan suaminya -Satria- datang pada sidang itu karena pengacara dari Bumi mengatakan bahwa, ada baiknya pria itu datang untuk mentalaknya di depan pengadilan.
"Dengan ini, saya menyatakan bahwa saudari Lunara Maheswari dan saudara Satria Adiwijaya sudah resmi bercerai!" Hakim mengetukkan palunya cukup keras.Lunar tersenyum sambil melihat pada pengacara yang sudah membantunya. Dia melihat pada Satria yang berdiri, lalu menarik tangannya keluar dari ruang sidang."Apa sih! Kenapa kamu menarik tanganku seperti itu? Ingat, kamu sudah bukan suamiku yang bisa asal sentuh begitu saja!" ucap Luna dengan wajah masamnya.Satria melipat kedua tangannya di depan dada. Tak lama setelah itu, seorang wanita datang sembari merangkul lengan pria tersebut dengan begitu mesra."Karena kalian sudah sah bercerai, maka kita bisa meresmikan pernikahan kita 'kan, Sayang?" seru Mella pada suaminya dengan manja, berharap bisa membuat perempuan yang ada di dekat mereka kesal.Sayangnya Lunar tidak merasa kesal, justru dia merasa muak dengan kedua orang di depannya. Walaupun, dia akui tidak mudah melupakan pria yang pernah setahun bersamanya, akan tetapi dia sudah mampu untuk mengenyahkan pikiran dan hatinya dari Satria. Lagipula, untuk apa memikirkan seseorang yang sudah menyakiti dan mengkhianati kita, lebih baik melupakannya dengan fokus pada masa depan yang masih panjang."Jika tidak ada lagi yang mau kamu bicarakan, lebih baik aku kembali ke kantor! Pekerjaanku masih banyak daripada mengurusi kalian!" tutur Lunar tersenyum paksa seraya membalikkan tubuhnya."Tunggu dulu!" cegah Satria dengan suara cukup keras, hingga membuat istrinya kesal."Sayang, apa lagi yang mau kamu bicarakan dengannya? Semua sudah selesai! Kamu ... .""Diam, Mella!" ucap pria itu dengan pelan, lalu melihat pada Lunar yang memandang dengan jegah. "Aku harap setelah ini kamu benar-benar enyah dari kehidupan kami! Kita sudah tidak punya urusan apa pun! Ingat itu, Lunar!"Dahi perempuan yang diajak bicara mengerut dalam. Dilipat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, "Urusan pernikahan kita memang sudah selesai! Tetapi, untuk urusan harta Papaku yang kalian rebut belum selesai!""Apa yang kamu rencanakan, Lunar?!" geram Satria dengan wajah datar."Apa pun itu, bersiaplah hingga tiba saatnya semua harta itu kembali pada tuannya, yaitu aku! Ingat, kalian bukan siapa-siapa tanpa keluargaku, maka selamanya kalian tetap bukan siapa-siapa!"Seusai mengatakan hal tersebut, Lunar pergi dengan senyum sombongnya. Mungkin mereka pikir dia akan melupakan harta yang sudah direbut setelah perceraian itu. Enak saja! Lunar bukan orang yang benar-benar baik dan pasrah dengan kehidupan, sehingga dia akan mengambil apa yang memang sudah menjadi haknya.Apalagi, dia sudah setuju dengan menjadi istri rahasia Bumi. Memang berat mengambil keputusan tersebut, hanya saja dia ingin sekali bersikap egois.Walaupun Lunar sadari bahwa dia sama saja seperti Mella yang sudah merebut suaminya. Cuma dia lebih baik dari sepupunya itu. Tujuan dia melakukan hal tersebut bukan demi harta, tetapi mendapatkan kembali hartanya dan memberikan keturunan laki-laki untuk Bumi. Artinya mereka sama-sama diuntungkan, Lunar pun tidak ada pikiran untuk memiliki lelaki itu seorang diri."Enak ya kalau jadi sekretaris CEO, bisa keluar lama dan kembali kapan saja. Coba kalau karyawan lain, pasti akan diberikan peringatan!" cibir seorang wanita yang selama ini memang sering membuat masalah dengan Lunar.Tidak mau mengurusi hal tidak penting, Lunar melanjutkan langkah menuju lift agar lekas sampai di ruang kerjanya."Atau kamu dari persidangan ya? Ups, sorry. Sengaja sih, agar semua orang tahu kalau kamu sudah bercerai. Dengar-dengar ditalak tiga oleh suami, eh, mantan suamimu. Iya 'kan?" seru Mia dengan senyum mengejek pada perempuan yang berbalik dan melihatnya dengan tajam.Lunar melihat sekeliling, di mana beberapa karyawan keluar dari bilik dan ada pula yang hendak masuk ke dalam lift melihat ke arahnya setelah mendengar ucapan Mia.Heran, sungguh Lunar merasa bingung dengan Mia yang tahu dengan apa yang terjadi padanya. Mereka tidak pernah dekat, bahkan dia tidak pernah punya urusan dengan wanita yang dulunya memang beda bidang pekerjaan dengannya."Ya, aku baru saja resmi bercerai dengan mantan suami yang sudah mentalak tigaku. Kamu mau aku traktir? Hm?" tantang Lunar mencoba tetap tenang walaupun dia risi menjadi pusat perhatian, tetapi dia tidak mau jika Mia terus-terusan mencari cara untuk memojokkan serta menghinanya."Wah, kamu terlihat senang setelah bercerai. Aku tahu, pasti karena kamu punya kesempatan untuk mendekati Tuan Bumi 'kan? Ingat, dia itu sudah punya istri yang lebih daripada kamu! Jangan jadi pelakor!" hina wanita itu masih dengan senyum mengejeknya.Lunar memutar bola matanya. Dia sungguh kesal dan jegah dengan Mia yang sepertinya memang sengaja untuk menjelekkan dia di depan banyak orang. Padahal, selama ini dia tidak pernah punya masalah dengan wanita yang memang akhir-akhir ini selalu mencari urusan dengannya. Seperti tidak punya urusan lain saja!"Kamu sok tahu sekali, Mia! Memangnya kamu cenayang yang bisa membaca hati dan pikiranku? Atau ... kamu memang selalu memikirkan aku? Uwu, so sweet." Lunar mengarahkan tangannya untuk mencubit kedua pipi wanita di depannya, tetapi segera ditepis begitu saja."Untuk apa aku memikirkan perempuan calon pelakor sepertimu! Kamu itu ... .""Siapa yang kamu sebut pelakor?!" seru sebuah suara dari belakang Lunar, lebih tepatnya keluar dari dalam lift khusus petinggi.Wajah Mia memucat seketika mengetahui siapa yang mendengar ucapannya. Berbeda dengan Lunar yang memang terkejut dengan keberadaan lelaki itu, tetapi berusaha tetap tenang seperti biasanya.Bumi yang berdiri di antara Lunar dan Mia, hingga tatapannya beradu dengan sekretarisnya. Dia pun lebih dulu mengalihkan pandangannya seraya melihat pada Mia."Aku bertanya padamu ... Mia!" seru Bumi menyebut nama karyawannya setelah membaca nametag yang berada di leher wanita tersebut."I-itu, Tuan. Sa-saya ... ."Lunar berdecih dalam hatinya. Tadi saja, Mia seenaknya dengan berani menghina serta mengatainya di depan banyak orang. Sekarang, di depan atasan mereka, wanita itu malah menciut ketakutan."Kenapa diam?!" kata Bumi dengan wajah dingin seolah ingin membekukan semua yang ada di sana. "Lunar?"Karena namanya dipanggil, perempuan itu melihat pada sang atasan. "Ya, Tuan. Sebenarnya Mia mengatakan pelakor pada ... .""Pada artis sinetron yang kami tonton, Tuan. Ya 'kan, Lunar?" sela Mia sambil melihat atau lebih tepatnya mendelik pada Lunar agar mengiyakan perkataannya.Jelas saja Lunar menaikkan sebelah alisnya seraya berkata, "Sinetron apa? Kita tidak sedekat itu untuk melihat sinetron yang sama."Enak saja Mia berusaha untuk menghindari hinaannya tadi. Dan apa tadi? Wanita itu bersikap seolah mereka dekat dengan menonton sinetron yang sama, lalu membahasnya di kantor? Ayolah, Lunar tidak suka nonton sinetron, dia lebih suka lihat film India, film action, fantasi, dan thriller."Lalu, siapa orang yang dikatakan pelakor olehnya, Lunar?" tanya Bumi kembali dengan tatapan tertuju pada sekretaris cantiknya.Setelah pertengkaran antara Lunar dan Mia yang diciduk oleh atasan mereka. Kini keduanya sudah kembali pada pekerjaan masing-masing. Lunar juga bekerja, tetapi di dalam ruangan Bumi sambil duduk bersisian dengan lelaki yang memaksanya untuk di sana. "Em, Tuan. Bolehkah saya kembali ke tempat kerja saya? Di sini, saya kurang fokus," ujar Lunar dengan suara pelan. Bagaimana bisa fokus kalau setiap dia mengerjakan pekerjaannya, sang atasan dengan nakal merangkul pinggangnya seraya dielus dengan pelan. Jelas saja Lunar merasa kegelian. Mau protes, dia takut jika lelaki itu marah padanya. "Tanggung! Sebentar lagi jam pulang. Jadi, kamu di sini saja!" sahut Bumi tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Perempuan itu hanya bisa pasrah, apalagi sebelah tangan lelaki itu masih saja mengelus pinggangnya. Lunar mencoba abai hingga jam pulang kantor. Toh, tidak ada yang bisa dia lakukan selain membiarkannya saja. "Kenapa tadi kamu tidak mengatakan bahwa karyawan tadi mengatai kamu pelakor?" tanya
Lunar melihat pada Bumi yang juga melihat padanya. Tatapan tajam dari lelaki itu membuatnya tidak sadar bahwa tangan Bumi terulur memegang pinggangnya. "Ah!" seru Lunar sedikit kaget karena tubuhnya semakin dengan dengan sang atasan. Bumi mengelus wajah cantik di depannya dengan jari telunjuk. "Kamu tahu maksudku, Lunar. Aku tidak suka, apa yang sudah menjadi milikku dekat bahwa disentuh oleh orang lain! Terutama kaum laki-laki!"Lunar yang mendengar ucapan Bumi meringis pelan. Selain kejam, dia tidak menyangka bahwa Bumi juga bisa posesif. Padahal, mereka masih belum sah. Tidak terbayang kalau mereka sudah sah nanti. Pasti, lelaki itu akan lebih dari saat ini. "Kenapa diam?" bisik Bumi tepat di telinga perempuan dalam dekapannya. "Jangan hilang kalau kamu sedang bergumam dalam hati?"Mata perempuan itu membola. Baginya Bumi seperti cenayang yang seolah tahu apa yang ada dalam pikirannya. "Katakan apa yang ingin kamu katakan! Aku tidak suka jika kamu menyimpan sesuatu dariku!" des
Dua bulan sudah berlalu, tak terasa jika sudah selama itu juga Lunar menjadi sekretaris Bumi. Tidak banyak hal yang berubah kecuali, sikap beberapa karyawan yang sudah tidak lagi menggunjingkannya. Termasuk Mia yang tidak pernah lagi merundungnya, hanya bisa melihat dengan tatapan tajam. "Nona Lunar," panggil asisten Bumi sambil tersenyum ramah. "Anda di minta masuk ke dalam."Perasaan Lunar jadi tidak enak. Bagaimana tidak? Jika dia sudah masuk ke dalam ruangan Bumi, sudah pasti asistennya akan berada di luar. Di saat itu sang atasan pasti akan mengambil kesempatan untuk membuatnya menuruti apa pun yang lelaki itu lakukan. Ya, walaupun tidak sampai keluar batas. Tetap saja, dia merasa risi, tetapi takut untuk membantah dan protes. "Nona Lunar," seru asisten Bumi bernama Septian yang menyadarkan perempuan tersebut dari lamunannya. Lunar tersenyum dengan kaki sambil berdiri. Dia menghela nafas pelan, lalu masuk ke dalam ruangan sang atasan yang duduk di singgasananya. "Tuan," seru
Lunar melihat seseorang yang menyampirkan jas hitam padanya. Dia pun berdiri sambil melepas jas itu. "Aku tidak butuh jas darimu!" tolak Lunar mengembalikan dengan kasar benda di tangannya. Pria yang memberikan jas cukup kaget dengan perlakuan mantan istrinya. "Aku hanya berusaha mmembantumu! Sudahlah, jangan jual mahal!"Jas itu kembali terulur di depan Lunar, tetapi dia tidak sudi menerima apa pun dari pria yang sudah membuatnya menderita. "Kamu bersikap seperti ini pasti karena punya tujuan tertentu 'kan? Ah, atau karena kamu ingin perusahaan tempatku bekerja menerima kerja sama dari pabrik itu?" tanya Lunar dengan nada mengejek. Pria itu, Satrian duduk di kursi yang ada di dekatnya seraya meminta mantan istrinya juga duduk agar tidak menjadi tontonan orang-orang yang ada di sana. Dengan kasar perempuan itu duduk sediki menjauh dari mantan suaminya. "Apa? Aku rasa urusan kita sudah selesai! Kecuali masalah pabrik dan harta peninggalan Papaku!""Ayolah, Lunar! Aku akan membagi
Waktu demi waktu terus bergulir. Pertemuan yang direncanakan oleh Bumi dengan pihak dari pabrik yang dipimpin oleh Satria baru saja terjadi berdasarkan permintaan dari pihak Satria. Kini, Lunar berhadapan dengan mantan suaminya ditemani oleh Septian yang diminta atasannya untuk menangani hal tersebut. Sedangkan, Bumi bolak-balik ke luar negeri untuk mengurus perusahaan cabang di sana. "Saya suka dengan hasil kayu dari pabrik anda bahkan dengan hasil kerajinannya, Pak Satria. Hanya saja, saat ini kami masih terikat kontrak dengan pabrik kayu lain yang hasilnya sama bagus dengan hasil milik anda," jelas Septian dengan senyum ramahnya. "Lalu, selanjutnya bagaimana Pak Septian? Apakah kita masih bisa tetap bekerja sama? Saya sangat berharap bisa bekerja dengan perusahaan besar seperti milik Mahendra, karena saya yakin kita bisa saling menguntungkan. Anda bisa tanyakan hal tersebut dengan perusahaan lain yang bekerja sama dengan kami," timpal Satria dengan nada sombong dalam ucapannya. L
"Jadi, kamu mau perusahaan kita memberikan proyek pada pabrik yang dipegang oleh mantan suamimu?" tanya seorang lelaki yang duduk di kursi besarnya. Lunar tidak menyangka bahwa atasan yang dia kira berada di luar negeri, ternyata sudah berada di perusahaan. Sehingga, dia dan dan Tian memaparkan bagaimana hasil pertemuan mereka dengan pihak Satria. "Iya, Tuan. Selain demi menjalankan masalah pribadi, saya juga ingin menunjukkan pada mereka terutama pimpinan di sana, Pak Satria. Bahwa bekerja dengan perusahaan besar seperti Mahendra Corp tidak sama dengan perusahaan yang selama ini bekerja sama dengan mereka!" kata Lunar dengan begitu yakin. Bumi menatap sekretaris sekaligus calon istri keduanya dengan begitu intens. "Bagaimana jika mereka bisa membuktikannya.""Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi!""Caranya?" tantang Bumi dengan senyum miringnya. Perempuan cantik dengan rambut dikuncir kuda menjelaskan apa saja yang akan dia lakukan agar pabrik milik Satria gagal. Dia pun aka
Wanita mana yang tidak bahagia jika dilamar oleh seseorang. Walaupun bukan orang yang dia cinta, tetapi pasti ada rasa bangga lamar dengan romantis. Begitupun Lunar yang merasa senang dengan lamaran yang dilakukan oleh Bumi. Hanya saja, mendengar kata 'istri rahasia' membuat perasaan sedikit meratapi nasib bahwa secara langsung dirinya tidak diakui sebagai seorang istri di depan banyak orang. "Lunar, kenapa kamu tidak membalas ucapanku? Apakah kamu masih ragu dengan pernikahan kita beberapa hari lagi?" tanya Bumi melihat calon istrinya yang terdiam. "Bu-bukan begitu, Mas. Hanya saja aku ... .""Sudahlah, aku tidak menerima penolakan. Jadi, mau tidak mau, kamu akan tetap menjadi istri rahasiaku!"Bumi memasangkan cincin yang dia beli pada jari manis Lunar. Sangat pas dan semakin cantik di jemari yang tepat. Cup! Dikecupnya tangan indah itu, lalu pandangannya terarah para netra yang juga melihat padanya. "Sekarang kamu makan dulu, setelah ini ... aku punya sesuatu untukmu," kata B
Melihat wanita di depannya mengepalkan tangan, Lunar pun tersenyum sambil berlalu masuk ke dalam gedung kantornya. Dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang, toh sudah biasa. Biarkan saja mereka melakukan hal itu setiap hari, selama tidak menggangunya. yang capek juga diri mereka. Lunar harus segera ke sampai di lantainya agar bisa membuatkan minuman untuk sang atasan. Tidak perlu ke pantry, karena di tempat kerjanya sudah Bumi sediakan dispenser agar dia mudah membuat minuman. "Tuan, ini saya Lunar," ucapnya seraya mengetuk pintu ruangan Bumi. "Masuk!"Dia pun membuka pintu dengan pelan. Dibawanya sekotak bubur ayam dan kopi susu vanilla yang biasa dinikmati oleh atasannya. "Ada lagi yang Anda perlukan, Tuan?" tanya Lunar sebelum pergi dari sana. "Apakah paspor milikmu masih aktif?" Anggukan ditunjukkan sebagai jawaban. "Masih, Tuan.""Bagus! Kamu pesan tiket ke Bali untuk dua minggu lagi!" titah Bumi pada perempuan di depannya. Lunar sedikit memiringkan kepalanya tanda dia
Gundukan tanah basah masih ramai pelayat yang datang untuk melihat pemakaman Satria. Begitupun dengan Lunar yang datang bersama keluarga suaminya. Mereka datang sebagai bentuk rasa terima kasih karena Satria sudah memberikan mereka informasi serta secara tidak langsung merenggang nyawa demi menyelamatkan Lunar. "Semua ini pasti rencanamu 'kan Lunar?! Kamu sengaja menyuruh Satria naik mobilmu agar bisa kamu celakai! Kamu licik, Lunar!" sentak Mella yang hendak melayangkan tangannya pada Lunar, akan tetapi dia orang pengawal langsung mencegah bahkan mendorongnya dengan kasar. "Sialan kamu Lunar! Tidak cukup mengambil harta kami, kamu juga mengambil nyawa menantuku! Kamu sengaja melakukannya, iya 'kan?!" ucap Tuan Andre seraya membantu anaknya untuk berdiri tegak. Lunar yang mendengarkannya merasa jegah, bahkan sang suami sudah tampak kesal dengan wajah mengeratnya. Dia tahu, pasti keluarga benalu itu sengaja mengatakan hal tersebut karena banyak orang di sana dengan harapan dapat men
Seminggu berlalu setelah konferensi pers yang Bumi lakukan. Hal itu membuat sedikit perubahan, di antaranya adalah pandangan orang tentang Lunar yang tidak lagi negatif, meskipun masih ada yang membela Clara dan menyalahkan perempuan tersebut. Saat ini Lunar sudah berada di pabrik bersama mertuanya. Nyonya Mahendra tidak mau terjadi apa pun pada menantunya, sehingga dia memilih untuk ikut menantunya bekerja sekaligus untuk mengawasi perempuan itu agar tidak lelah bekerja. "Jangan capek-capek, Lunar. Kamu harus istirahat," ujar Mama Bumi pada menantunya yang mengecek berkas dari Anya yang selama ini meng-handle pabrik. "Baru beberapa menit, Ma. Kalau capek aku akan istirahat," sahut Lunar sambil tersenyum. Nyonya Mahendra tidak lagi berkata apa pun dan membiarkan menantunya untuk kembali bekerja dan membahas masalah pabrik.Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan di depan pintu membuat ketiga wanita yang ada di sana menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan seragam khas pab
Beberapa jam setelah ucapan yang dikatakan oleh Bumi, konferensi pers segera diadakan. Seluruh keluarga Mahendra, termasuk Lunar ada di sana seraya menatap pada wartawan yang berada di pihak mereka. "Tujuanku mengadakan konferensi pers ini adalah untuk memberitahu semua orang bahwa aku sudah menikah dengan perempuan di sampingku dan kami akan segera memiliki anak!" ujar Bumi sebagai pembuka. "Berita yang mengatakan bahwa istriku adalah pelakor, sangat salah besar. Akulah yang memintanya menikah denganku karena memang dialah yang layak untuk menjadi istriku!"Semua yang ada di sana memotret serta merekam perkataan pewaris Mahendra Corp itu. "Maksud anda apa dengan mengatakan bahwa perempuan di samping anda yang layak berada di posisi Nyonya Clara?" tanya seorang wartawan wanita dengan kacamata tebal. Lunar yang bersebelahan dengan suaminya menatap lelaki itu dengan perasaan yang tidak menentu. Namun, Bumi tersenyum seolah semua akan baik-baik saja. "Aku mengatakan hal itu karena ak
Lunar tidak menyangka bahwa apa yang dikatakan oleh kepala pelayan ada benarnya bahwa jika tidak ada yang mengaku siapa yang sudah melukainya, maka semua pelayan serta penjaga yang bersamanya akan kena hukuman. "Jadi ... belum ada yang mau mengaku? Ah, kalian lebih suka dipotong gaji rupanya!" ucap Nyonya Mahendra seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Yang melakukannya Suci, Nyonya," jawab kepala pelayan yang tidak mau semua temannya kena imbas hanya karena seorang pelayan yang tidak kompeten. "Benarkah?" seru Langit yang sedari tadi menyaksikan apa yang ibunya lakukan. "Ah, bukannya di dapur ada CCTV, kalau begitu kita lihat saja di sana. Dia sengaja atau tidak mencelakai Kakak Ipar."Sebenarnya Lunar kurang setuju dengan ide Langit karena dia yakin kalau pelayan itu tidak sengaja. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti apa yang hendak keluarga Mahendra lakukan. "Aku punya salinan CCTV di sini!" seru Bumi yang duduk di samping perempuan itu sambil memega
Tidak terasa sudah seminggu Lunar tinggal di rumah utama bersama suaminya. Tak ada hal cukup mengkhawatirkan, tetapi tetap saja semua yang ada di sana sangat protektif dan posesif padanya. Sama seperti saat ini, di mana Lunar tidak diperbolehkan untuk masak atau membuat kue. Akan tetapi, sang ibu mertua melarangnya seperti biasa. "Ayolah, Ma. Aku mau buat kue brownies keju buat Mas Bumi. Sekali ini saja, oke?" kekeuh Lunar dengan wajah memelasnya. Tidak tega melihat menantunya seperti itu, Nyonya Mahendra terpaksa mengijinkan perempuan itu untuk melakukan apa yang diinginkan. "Terima kasih, Mama," seru Lunar dengan girang seraya memeluk ibu mertuanya. "Asal Mama ada di sana! Kamu tidak boleh di sana sendiri dan cukup mengadonnya saja! Kalau butuh apa-apa, biar pelayan yang ambilkan. Oke nggak oke, harus oke!"Pasrah, itulah yang Lunar lakukan. Yang penting dia sudah diijinkan untuk membuat kue. Dari pada nanti anaknya ileran dan dia yang sebenarnya merasa bosan. Hingga kedua per
Setelah pembicaraan dengan papa mertuanya sudah selesai, Bumi, Langit, dan Nyonya Mahendra diperbolehkan masuk kembali ke ruangan itu. Langsung saja Bumi duduk di samping Lunar dan memeriksa keadaan istrinya yang memang tidak kenapa-napa. "Aku tidak apa-apa, Mas. Tadi hanya bicara biasa tentang apa yang harus aku lakukan selama menjadi menantu di sini," sahut Lunar sambil tersenyum pada sang suami. "Ck, kamu akan selamanya menjadi istriku!" balas Bumi dengan penuh keyakinan. "Baguslah kalau begitu! Tapi Mas harus selesaikan masalah dengan Mbak Clara dulu! Aku yakin bahwa dia tidak akan baik- baik saja setelah tahu apa yang terjadi dengan kita! Bisa saja dia akan ... ."Lunar menghentikan kalimatnya karena tidak sanggup membayangkan jika apa yang ada dalam benaknya sungguh-sungguh terjadi. "Kamu takut kalau Clara mencelakai kamu dan anak kita?" seru Bumi seraya memegang sebelah wajah istrinya. Anggukan dilakukan oleh Lunar karena dia sudah tahu betapa terobsesinya wanita itu ingi
Lunar tidak mengerti kenapa ayah mertuanya mau bicara berdua dengan dirinya. Banyak hal yang bercokol dalam benaknya, baik pikiran baik ataupun pikiran buruk yang saling beradu. "Aku tidak akan biarkan Papa berdua saja dengan istriku! Kalau memang Papa memaksa, maka aku akan membawanya pergi dari sini!" seru Bumi menatap tajam ayahnya. Tuan Mahendra mendengus sebal dengan kelakuan anaknya yang begitu posesif pada perempuan yang di samping lelaki itu. "Aku juga tidak akan membiarkan Lunar di sini bersama Papa! Bisa saja nanti Papa menggodanya! Awws, sakit, Ma!" sambung Langit yang seketika meringis karena dicubit oleh sang Mama. "Makanya kamu kalau bicara jangan sembarangan! Papa mau bicara dengan Lunar pasti memang ada hal penting yang mau dibicarakan!" ucap Nyonya Mahendra pada kedua anaknya, lalu melihat pada sang suami. "Kalau Papa mau bicara dengan Lunar, ada baiknya Mama juga di sini agar kedua anak kita tidak perlu khawatir."Dengusan dilakukan oleh Bumi dan Langit setelah
Setelah menyelesaikan masalah di pabrik, Lunar memberikan tugas selanjutnya pada Anya. Sedangkan dia keluar pabrik karena sudah janjian dengan sang suami. "Kita ke rumah utama, Pak," serunya pada sopir di depannya. Tak lupa juga dia mengirimkan pesan pada sang suami yang akhirnya akan dibaca saja tanpa ada niatan untuk membalas. "Ish, Mas Bumi selalu saja begitu! Lihat saja nanti kalau bertemu!" ucapnya dengan sebal. Mobil pun melaju dengan pelan karena sang majikan yang tidak mau jika terjadi apa-apa dengan istrinya. Padahal, Lunar sangat ingin segera lekas sampai. Meski di sisi lain, dia juga khawatir jika nanti ditolak oleh ayah dari suaminya. Hingga beberapa menit berlalu dan Lunar tidak menyangka bahwa mobil yang dia naiki sudah masuk dalam area perumahan yang sangat mewah sampai membuatnya melongo tidak percaya. "Ini rumah apa istana? Bagus dan mewah sekali," pujinya dengan tidak percaya. "Tuan sudah menunggu ada di dalam, Nyonya," kata sopir yang sudah membukakan pintun
Tidak ada rasa gentar dalam diri Lunar melihat wajah pamannya yang mengetat marah. Justru dia tetap duduk santai seraya memandang dengan senyum amat tipis. "Tuan Andre, tolong duduk dengan tenang! Dan jangan kurang ajar pada Nyonya Lunar! Beliau 'lah yang sudah membeli pabrik yang hampir bangkrut ini! Jika bukan beliau sudah pasti pabrik ini akan terbengkalau begitu saja!" seru pengacara yang ikut berdiri karena istri atasannya yang diperlakukan tidak sopan. Merasa tidak mampu untuk melawan, Tuan Andre kembali duduk. Apalagi sang anak dan menantu yang menarik tangannya untuk tidak berbuat gegabah. "Mulai saja, Pak!" kata Anya yang mewakili Lunar. Pengacara itu pun mengangguk seraya memberikan berkas pada perempuan di sampingnya. "Berkas tersebut adalah bukti bahwa pabrik ini dan seluruh isinya sudah menjadi milik Nyonya. Bahkan pekerja di sini ... ."Lunar mengangkat tangannya tanda agar pengacara tersebut berhenti. "Aku ingin data semua pekerja dan mungkin akan ada beberapa yang