Wanita mana yang tidak bahagia jika dilamar oleh seseorang. Walaupun bukan orang yang dia cinta, tetapi pasti ada rasa bangga lamar dengan romantis. Begitupun Lunar yang merasa senang dengan lamaran yang dilakukan oleh Bumi. Hanya saja, mendengar kata 'istri rahasia' membuat perasaan sedikit meratapi nasib bahwa secara langsung dirinya tidak diakui sebagai seorang istri di depan banyak orang. "Lunar, kenapa kamu tidak membalas ucapanku? Apakah kamu masih ragu dengan pernikahan kita beberapa hari lagi?" tanya Bumi melihat calon istrinya yang terdiam. "Bu-bukan begitu, Mas. Hanya saja aku ... .""Sudahlah, aku tidak menerima penolakan. Jadi, mau tidak mau, kamu akan tetap menjadi istri rahasiaku!"Bumi memasangkan cincin yang dia beli pada jari manis Lunar. Sangat pas dan semakin cantik di jemari yang tepat. Cup! Dikecupnya tangan indah itu, lalu pandangannya terarah para netra yang juga melihat padanya. "Sekarang kamu makan dulu, setelah ini ... aku punya sesuatu untukmu," kata B
Melihat wanita di depannya mengepalkan tangan, Lunar pun tersenyum sambil berlalu masuk ke dalam gedung kantornya. Dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang, toh sudah biasa. Biarkan saja mereka melakukan hal itu setiap hari, selama tidak menggangunya. yang capek juga diri mereka. Lunar harus segera ke sampai di lantainya agar bisa membuatkan minuman untuk sang atasan. Tidak perlu ke pantry, karena di tempat kerjanya sudah Bumi sediakan dispenser agar dia mudah membuat minuman. "Tuan, ini saya Lunar," ucapnya seraya mengetuk pintu ruangan Bumi. "Masuk!"Dia pun membuka pintu dengan pelan. Dibawanya sekotak bubur ayam dan kopi susu vanilla yang biasa dinikmati oleh atasannya. "Ada lagi yang Anda perlukan, Tuan?" tanya Lunar sebelum pergi dari sana. "Apakah paspor milikmu masih aktif?" Anggukan ditunjukkan sebagai jawaban. "Masih, Tuan.""Bagus! Kamu pesan tiket ke Bali untuk dua minggu lagi!" titah Bumi pada perempuan di depannya. Lunar sedikit memiringkan kepalanya tanda dia
Tepat dua minggu setelah kunjungan Lunar ke pabrik yang di handle Satria, kini dia sudah berada di Bali bersama atasannya, Bumi. Untuk urusan kantor dan lainnya jelas dipegang oleh Septian, termasuk yang berhubungan dengan pabrik itu. "Selamat datang, di kamar kita, Lunar," ucap Bumi saat sampai di kamar hotel paling mewah. "Ka-kamar kita? Bu-bukannya kita pisah kamar, Mas?" Lelaki itu tidak menjawab, justru membawa masuk Lunar ke dalam kamar dengan nuansa putih. Kamar tersebut sangat luas dan saat dibuka gordennya, nampaklah pemandangan indah lautan di depannya. "Bagus 'kan?" tanya Bumi yang sudah membawa Lunar ke depan balkon untuk melihat secara langsung pemandangan di depannya. "Sangat bagus. Aku belum pernah ke sini dan melihat pemandangan seperti ini," seru Lunar memandang kagum ke arah depan. Tanpa dia duga, seseorang memeluknya dari belakang seraya menumpu dagu pada bahunya. "Aku senang jika kamu menyukainya. Di sini kita akan mulai semuanya, Lunar. Aku mau kita mencipta
Seorang perempuan terbangin dengan tubuh cukup pegal. Dirasakannya udara dingin dari AC kamar yang menyengat langsung pada tubuhnya yang mengenakan pakaian tidur tipis serta hanya berbalut selimut. "Aku sudah menjadi istri Mas Bumi seutuhnya," seru Lunar dengan pelan agar tidak membangunkan lelaki yang tidur di sebelahnya. Masih teringat jelas bagaimana sentuhan Bumi pada tubuhnya. Bahkan saat lelaki itu menjadi yang pertama menyentuhnya. Lunar tidak menyesal, toh, Bumi adalah suaminya. Dia berharap semoga saja lelaki itu tidak kecewa dengan dirinya kurang berpengalaman di ranjang. Walaupun tidak ada rasa, setidaknya Lunar harus tetap melakukan kesepakatan yang sudah mereka setujui. "Kamu sudah bangun?" tanya Bumi dengan suara serak. Lelaki tersebut mengubah posisinya menjadi bersandar di ranjang sambil menguap dengan pelan. Semua tidak lepas dari pandangan Lunar. Apalagi melihat tubuh Bumi yang lebih menggoda dari mantan suaminya. 'Ish, kenapa pikiranku jadi kotor,' batinnya se
Lunar menatap pria yang saat ini sudah duduk di depannya. Pria itu pun juga melihat padanya dengan senyum manisnya. "Jadi, Lunar yang jadi sekretaris anda, Tuan Bumi?" tanya pria itu masih menunjukkan senyumnya. Bumi dengan wajah datarnya menyahut, "Ya. Dia sekretaris saya yang baru. Apakah kalian saling mengenal?"Bisa Lunar lihat lirikan tajam yang diberikan oleh suaminya. "Kami berteman sewaktu saya magang di Jakarta. Sayang sekali, kami lost contact sejak Lunar menikah," jelas pria itu melihat pada perempuan di depannya. "Anyways, bagaimana kabar suamimu? Kalau mau bulan madu ke sini, katakan saja biar nanti aku berikan tempat yang istimewa."Lunar bingung harus bagaimana, dia melihat pada suaminya sejenak. Lalu, melihat pada pria yang dia kenal bernama Max. "Ah, itu ... .""Bisakah kita bicara tentang pekerjaan, Tuan Max? Untuk estimasi waktu karena ada tempat yang harus kami kunjungi," ucap Bumi memotong ucapan Lunar yang terlihat kebingungan. Max merasa tidak enak pada Bum
Bukan Bumi namanya jika tidak menepati apa yang sudah diucapkannya. Setelah memutuskan untuk menginap di villa selama mereka di Bali, lelaki itu mengajak Lunar untuk berkemah di hutan buatan. Tepatnya di depan danau buatan yang terlihat cukup luas dan terdapat perahu kayu di sana. "Di sini tidak ada buaya 'kan, Mas?" tanya Lunar saat mereka berada di depan tenda. Bumi yang baru saja duduk di samping istrinya berkata, "Aku tidak berminat pelihara buaya!"Lunar membuatkan bibirnya, lalu melihat ke arah matahari tenggelam. Pemandangan yang begitu indah dan belum pernah dia rasakan. "Mau mandi di danau?" ajak Bumi pada istrinya. "Hah?""Ayo, aku tahu kamu belum mandi. Lagipula aku mau mencoba sensasi baru," ucap lelaki itu seraya menggendong istrinya dan masuk ke dalam danau. Lunar mau menolak, tetapi apalah daya dia tidak pernah bisa melakukannya. "Mas, a-aku tidak bisa berenang," ujarnya mengeratkan pegangan pada leher suaminya. "Kalau begitu biar aku ajari!"Gelengan keras diber
Tidak mau membuang waktunya dengan dua manusia tidak penting di depannya, Lunar segera masuk ke dalam ruangan. Sudah ada yang mendaftarkannya, sehingga tinggal masuk dan bertemu dengan dokternya. "Selamat siang, silakan duduk. Dengan Ibu siapa?" tanya dokter perempuan paruh baya yang sangat ramah. "Saya Lunar, Dok. Saya ingin berkonsultasi tentang bagaimana cara baik agar lekas diberikan momongan," seru Lunar sama seperti dulu saat dia masih jadi istri Satria, padahal mantan suaminya tidak sekalipun mau menyentuhnya dengan lebih. "Sebelumnya, saya cek dulu kandungan Ibu ya?"Lunar mengangguk setuju. Walau dia sudah pernah cek dan hasilnya baik-baik saja, tetapi tidak ada salahnya cek kembali. Dokter meminta perempuan itu berbaring di ranjang, lalu mengoleskan gel pe perutnya. Setelah itu, dia mengusap perutnya dengan alat pendeteksi yang muncul di layar kecil. Seusai itu, pasien dan dokter itu kembali berhadapan. "Jadi, bagaimana Dok? Apakah tidak ada masalah dengan rahim saya?"
Seusai makan siang, Lunar pikir bahwa suaminya akan kembali ke kantor. Lelaki itu malah membawa pekerjaannya ke apartemen dan memintanya untuk menemani bekerja di dekat balkon. "Mas, boleh aku minta sesuatu?" tanya Lunar yang duduk di samping suaminya. "Apa?""Tadi, aku bertemu dengan Mella dan Satria yang keluar dari dokter kandungan. Bisakah, Mas mendapatkan hasil pemeriksaannya? Aku sudah bertanya pada dokternya, tetapi dia tidak mungkin bilang karena bisa melanggar kode etik. Jadi, kalau sama Mas ... ."Lunar menggantung ucapannya karena ditatap oleh suaminya. "Akan aku dapatkan hasilnya! Ada lagi yang kamu inginkan?"Tidak ada atau belum ada yang dia inginkan, jadi Lunar pun menggelengkan kepalanya. "Jadi, tadi kamu bertemu dengan mantan suami dan sepupumu? Apakah mereka mengganggu?" "Em, tidak menggangu, Mas. Hanya saja, terjadi sedikit terjadi perdebatan di antara kami. Namun, masih bisa aku tangani," balas Lunar meyakinkan suaminya. Sayangnya lelaki itu bukanlah orang ya