Sejak kepergian Bumi malam itu, tepatnya sudah dua minggu lelaki itu pergi tanpa memberikan kabar pada Lunar. Bumi bahkan tidak masuk ke kantor dan meminta Tian untuk mengambil alih perusahaan sementara. Hari yang dia lalui di kantor terasa hampa. Biasanya akan ada atasan yang dia siapkan makanan dan minuman, mendengar suara menggoda dan sikap nakal Bumi. Namun, kini semuanya sepi, walau ada Tian yang menemaninya. "Mbak Lunar pasti kangen Tuan Bumi ya?" tanya Tian pada perempuan yang berada di sebelah mejanya. "Biasa saja," sahut Lunar dengan acuh. Padahal dalam hatinya dia merasa rindu pada Bumi. Hanya saja percuma karena Bumi pasti tidak akan merindukannya. Lelaki itu mungkin saja sedang bersama istri dan keluarganya, mereka bersenang-senang dan tertawa bahagia. Sedangkan dia? Dilanda rindu yang terasa tidak nyaman. "Hah, sudah jam istirahat. Aku mau makan di luar," seru Lunar yang bersiap untuk pergi. "Ya sudah kita bersama saja. Aku juga akan makan di luar," sahut Tian yang
Lunar tidak menduga bahwa orang yang dia tunggu kabarnya, kini ada di hadapannya. Lelaki itu, Bumi menatap berdiri hingga mereka hanya berjarak beberapa centi. "Dari mana?" tanya Bumi dengan suara yang berat. "A-aku dari kafe, Mas," katanya menundukkan kepala. Perempuan tersebut merasa takut melihat tatapan sang suami yang begitu tajam, seolah ingin menusuknya. Padahal ingin sekali dia bertanya kapan suaminya itu datang. "Kamu tidak ijin padaku?"Bumi makin mendekat. Dipegang dagu istrinya agar mereka kembali saling bertatapan. Bisa lelaki itu mata indah yang itu berkaca-kaca seakan ingin menumpahkan airnya. "A-aku pikir kalau ... ."Lunar tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia mengerjapkan matanya agar tidak menangis di depan Bumi. "Aku kira Mas Bumi masih tidak di sini, jadi tidak masalah kalau aku keluar tanpa meminta ijin. Mas Bumi juga tidak ada kabar dan aku takut mengganggu," katanya dengan sedikit sesak di dada. Bahagia dan sedih menjadi satu dalam diri Lunar. Dia ba
Lunar pikir bahwa suaminya akan pergi setelah mendapatkan telepon yang dia yakini adalah istri dah lelaki itu. Ternyata Bumi justru malah mengajaknya untuk memadu kasih hingga pagi yang masih petang. Kini saat Lunar bangun, tidak ada tanda-tanda adanya sang suami di dalam kamar. Suasana hatinya seketika redup. Dia berpikir bahwa suaminya akan ada di sisinya, nyatanya lelaki itu malah tidak ada di sana. Mungkin pergi saat dia sedang tertidur. "Pasti dia menyentuhku agar tidak kecewa saat dia akan pergi," gumamnya dengan lirih. Namun, dia malah kecewa dengan kepergian Bumi tanpa berpamitan padanya. Tidak ingin semakin sedih, Lunar pun turun ke bawah. Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, masih banyak waktu untuk bersiap ke kantor. "Kamu sudah bangun?" tanya seorang lelaki yang berada di ruang tamu. Mata perempuan itu membulat melihat suaminya masih berada di apartemen. Segera dia hampiri lelaki itu. "Mas masih di sini? Aku pikir ... .""Kamu pikir aku pergi menemui istri
"Tetapi dia terlihat seperti perempuan single," kata Frans lagi saat melihat pada Lunar yang masih cantik. Tanpa laki-laki itu duga, Bumi mengepalkan kedua tangannya. Siapa yang tidak marah jika ada laki-laki yang terang-terangan menyukai istrinya. Tidak ada yang bisa disalahkan, tetapi Bumi tetap saja kesal pada Frans yang lancang berkenalan dengan sang istri. Serta pada Lunar yang malah makan di luar. "Aku sudah menikah." Lunar menunjukkan cincin di jari manisnya. "Ini cincin pernikahanku, bukan sebagai hiasan di jari saja."Frans mengangguk seolah paham. "Kalau begitu aku tunggu jandamu saja. Ya, siapa tahu nanti kamu bercerai dengan suamimu."Dengan begitu santainya laki-laki itu mengatakan hal tersebut. Sedangkan Lunar malah merasakan tangan suaminya yang memegang pahanya dengan erat. Namun tidak menyakitkan. Dia tahu pasti Bumi marah pada Frans. Malah dia yang jadi sasaran kemarahannya. "Carilah perempuan lain! Seperti tidak perempuan saja!" seru Bumi masih dengan wajah datar
"Jadi, suami Mbak tidak setuju?" tanya Anya yang meminta untuk bertemu dengan Lunar saat pulang dari kantor. "Iya Nya, maaf ya. Mungkin kamu bisa mencari orang lain yang lebih cocok," balas perempuan itu dengan sungkan. Lunar tidak begitu memaksa pada suaminya untuk ikut, dia sadar bahwa suaminya tidak suka. Makanya dia pun mengalah dan segera mengabarkan pada Anya agar tidak terlalu berharap. "Ya sudah, Mbak. Tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa terlalu memaksa, apalagi suami Mbak sudah punya suami."Meski kecewa, Anya berusaha tersenyum, toh memang tidak ada gunanya memaksa. Mungkin bukan takdirnya bekerja sama dengan perempuan yang pernah dia kasari. "Anyways, setelah ini kamu mau ke mana?""Tidak ada. Mbak Lunar sendiri mau ke mana? Langsung pulang?" Perempuan itu mengangguk. "Ya, suamiku berpesan untuk segera pulang. Dia khawatir jika aku terlalu lama di luar dan malah keluyuran.""Suami Mbak posesif ya?"Jika dipikir-pikir, Bumi memang posesif padanya. Bahkan lelaki itu menun
Bumi mengaja meminta istrinya untuk tetap di sana menemaninya buang air. Bukan karena ingin melakukan hal macam-macam. Dia ingin melihat reaksi Lunar yang menurutnya pasti sangat menggemaskan. "Y-ya sudah aku akan tunggui, Mas," jawab perempuan tersebut membelakangi tubuh suaminya. Tidak ada balasan dari Bumi, hanya bunyi air yang mengalir di closet. "Sudah! Berbaliklah!" Lunar berbalik seraya melihat suaminya yang sudah mengenakan kembali celananya. Dengan cepat dia pun kembali memapah Bumi hingga kembali berbaring di ranjang. "Mas, a-aku mau bersiap ke Kantor ya?"Dahi Bumi mengerut. "Kamu mau meninggalkan suamimu yang sedang sakit?!""Bu-bukan begitu, tetapi aku ... .""Hubungi Tian dan bilang kalau kamu tidak masuk untuk merawatku!"Lunar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bagaimana bisa dia seenaknya libur dengan alasan yang dikatakan oleh Bumi? Bisa-bisa para karyawan akan membuat hal yang menghebohkan, apalagi berbarengan dengan atasan yang tidak masuk. "Hanya sebenta
Lega rasanya saat satu masalah sudah diselesaikan. Lunar berharap agar tidak ada masalah lainnya, cukup masalh yang sudah-sudah saja, karena dia sudah biasa mengadapinya. Seperti, cibiran atau omongan para karyawan tentangnya di belakang. "Mbak, kata Tuan siang ini Mbak Lunar harus pulang. Bawakan makanan yang dia inginkan sekaligus ... ." Tian menghentikan ucapannya dengan kikuk. "Ingin disuapi!"Uhuk! Lunar yang sedang minum tersendak sampai memukul pelan dadanya. Dia tidak percaya bahwa atasannya akan berkata seperti itu pada asistennya. "Sepertinya Tuan manja pada Mbak. Dulu sakit dia juga begitu," ujar pemuda itu sambil menunjukkan giginya. "Pada istri sahnya?"Karena Tian bilang dulu, jadinya Lunar berpikir bahwa Bumi yang sudah menikah sedang sakit dan dirawat oleh istri sahnya. Tidak mungkin dengan wanita lain. Meskipun Bumi menikahinya, bukan berarti lelaki itu suka main perempuan. Lunar yakin itu. "Bukan. Tetapi pada Nyonya Besar.""Kalau pada istri sahnya? Tidak mungki
Lunar pikir kalau orang sakit tidak akan bisa melakukan apa pun termasuk bercinta. Namun berbeda dengan Bumi yang kuat hingga beberapa ronde menggarapnya. Lelaki itu menghentikan aksinya setelah mendengar peru perempuan itu bunyi minta untuk diisi. "Makan yang banyak," kata lelaki itu melihat sang istri yang makan dengan lahap. "Jangan bilang Mas Bumi mau lagi?"Kalau sampai suaminya mau minta jatah lagi, Lunar angkat tangan. Dia tidak sanggup, seluruh badannya masih terasa sakit. Berbeda dengan Bumi sudah terlihat lebih berbinar, tetapi badannya masih sedikit hangat. "Kalau kamu mau, dengan senang hati aku akan mengabulkannya," seru lelaki itu dengan santai. Dengan lekas perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Aku capek, Mas. Mau istirahat saja. Badanku rasanya remuk semua. Yang ada, malah aku ikutan sakit."Bumi mengelus pelan kepala istrinya seraya berkata, " Kalau kamu sakit dengan senang hati aku akan merawat kamu."Mata Lunar seketika memicing mendengar ucapan suaminya. "Ka