“Hei, gitu amat mukanya. Senyum, dong.” Dzaka menyentil hidung istrinya, lalu mencubit kedua pipinya. Dia gemes karena Kirana sedari tadi cemberut.
Kirana mencebik sebal, tapi masih fokus memasang dasi untuk Dzaka. Seperti biasa ketika suaminya akan berangkat kerja. Hingga kini, Kirana sendiri masih bingung, kenapa manusia segede suaminya tidak bisa pasang dasi sendiri? Kudunya dipasangin. Lantas, sebelum nikah siapa yang pasangin coba?“Kalau bosan di rumah, boleh kok datang ke kantor,” ucap Dzaka dibalas Kirana dengan deheman singkat.“Tapi kalau buat kerja aku nggak izinin,” imbuhnya lagi.“Iya, Mas. Tapi nanti siang aku ke kantor, ya. Mau ambil barang yang masih di ruangan. Biar kalau ada yang gantiin, nggak repot beres-beres.”Dzaka memicingkan matanya. Bersama dengan itu, Kirana sudah selesai memasang dasi sang suami.“Barang penting emang?” Dzaka kepo. Dia menarik pinggang istrinya hingga jarak tubuh mereka terpangkas.Mata Kirana membola melihat benda kotak berwarna-warni itu sudah berada di tangan Dzaka. Ia hendak merebut, tetapi Dzaka menjauhkannya darinya. “Kalau lagi stres sama kerjaan, aku suka main itu, Mas, di ruangan. Tapi, sampai sekarang belum ngerti cara mainnya.”“Lagian cewek main ginian,” cetus Dzaka. Kemudian, membuang napas berat. Kirana spontan menolah, menatap Dzaka tajam. “Emang kenapa, Mas? Ada larangan cewek main rubik ya? Ayat berapa pasal berapa?”Dzaka tersenyum sumir. Dia membenamkan wajahnya di lengan Kirana. Lalu mendongak menatap wanitanya yang masih menunggu jawaban. “Nggak ada. Tapi cewek sama rubik sama-sama rumit.” Dzaka tertawa puas. Kirana mendengkus sebal. Dia refleks menginjak kaki Dzaka dan ingin beranjak dari pangkuan suaminya, tetapi Dzaka menahannya. Pelukannya erat bak tak ada niat untuk melepaskan. “Tapi, aku bisa menaklukkan rubik, kok.”Kirana memicingkan matanya tak percaya. “
“Akhirnya kau menyerah juga, Andari.” Perempuan berambut sepanjang rahang itu tersenyum licik. Tangannya sengaja dilipat di depan dada. Tatapan yang diberikan pada Andari entah sebuah tatapan iba atau mengejek.Andari menyunggingkan bibir sekilas. Lalu, menarik napas panjang. “Ya, aku mah mengalah buat kamu. Lagian, buat naon teh memperebutkan pria yang tidak cukup satu wanita?” Alisnya terangkat satu. “Danial tidak seperti yang kamu bilang, Andari. Dia setia. Dasarnya saja, kau yang tidak becus menjadi istri.” Enzy menyunggingkan bibirnya. Dia tersenyum seolah meremehkan. “Semoga saja begitu nya. Aku teh hanya mengingatkan. Danial itu pemain, Enzy. Jadi, jangan berharap banyak padanya. Takut you terluka, sama seperti denganku.”Andari menghela napas panjang. Tak berniat untuk memperpanjang obrolannya dengan Enzy. Jika terus diladeni, maka boleh jadi obrolan tak berpusat itu berbuntut panjang menjadi sebuah perdebatan. Ia kemudian mela
Pasangan suami istri itu spontan menoleh ke arah sumber suara. Di sana, sudah ada Bunda Andari yang berdiri menatap mereka dengan tatapan mengintimidasi. Ya, semenjak pulang dari pengadilan agama, Andari memilih menginap di rumah putranya. Supaya sekejap lupa dengan duka lara hatinya. Berhubung, di rumah sang putra juga ada Wulan, sahabatnya yang mungkin saja bisa menghiburnya.Perlahan, Andari melangkah mendekati Dzaka dan Kirana yang sama-sama terdiam. Sesekali, Kirana melirik suaminya seolah ikut meminta penjelasan. “Saha yang pembunuh, Dzaka?” tanya Andari sekali lagi. Kali ini, nada suaranya melemah tetapi penuh penekanan. “Apa kamu teh punya rahasia?”Dzaka masih diam. Tatapannya tak lepas dari sang bunda. Sesekali ia meneguk ludah dalam-dalam. “Apa kamu teh tau penyebab kematian Randy?” Andari bertanya lagi, tetapi Dzaka tak kunjung menggubris.“Jujur sama Bunda, Dzaka,” lirih Andari. Matanya mulai berkaca-kaca. Kirana beralih merangkul sang mertua yang tampak berusaha mengu
“Aku hanya tidak mau kamu kenapa-napa, Clarissa. Apa yang kamu lakukan ini nekat tau nggak sih?” Fikri mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah diperintahkan Dzaka untuk mencari tahu pada Clarissa dalang keladi berita yang tersebar ke media, Fikri langsung berangkat menuju apartemen Clarissa. Dan ternyata benar, Clarissa adalah dalang dari berita itu. Dia yang mulai speak up menggunakan akun dark, sehingga banyak yang menanggapi dan bahkan memuat berita satu tahun lalu yang menurut mereka memang terdapat sebuah kejanggalan. Nyaris semua pihak mendukung Clarissa sebagai korban. Meskipun, sebenarnya mereka tidak tahu siapa di balik akun dark yang berani bicara ke media. Banyak juga yang menyayangkan kasus itu tak diusut tuntas. Padahal, kita semua tahu bahwa kejadian itu terjadi di rooftop perusahaan furniture ternama.Dari sana, bahkan banyak pihak yang menduga bahwa Randy tewas bukan bunuh diri, tetapi dibunuh oleh orang penting di per
“Apa menurut Tuan, kita masih bisa membawa perusahaan mendapat award tahun ini?” tanya Fikri. Sekilas, ia menengok ke arah Dzaka yang sedari tadi fokus memandang lalu-lalang orang-orang dari dalam mobil.Sebuah helaan napas dikeluarkan Dzaka sebagai jawaban. Fokusnya masih memandang halaman kantor. Di sana, sudah ada beberapa polisi yang diketahui akan kembali menyelediki kejanggalan kasus pembunuhan satu tahun lalu.“Sekarang, aku tidak memikirkan award lagi, Fik. Menjaga citra perusahaan jauh lebih penting,” jawab Dzaka tanpa menoleh. “Kita hanya perlu cari bukti dari kasus itu. Tapi ....”Dzaka menunduk. Raut wajahnya berubah datar. “Kenapa, Tuan?”“Aku memang membenci Danial karena kelakuannya. Dia menyakiti hati bunda, dia pembunuh, ia merusak mental seseorang, tapi bagaimana mungkin aku menjebloskan orang tuaku sendiri ke dalam penjara? Bagaimanapun juga, Danial adalah papaku, Fikri. Papa kandung,” ujarnya. Cahaya dari manik matany
“Jika benar kau yang berani mengungkit kasus itu ke lagi, awas saja Clarissa. Hidupmu akan semakin tidak tenang. Anak stres, anak yang malang.”Danial merenggangkan tangannya, ia bersandar pada kursi kayu dan meletakkan kepalanya hingga menghadap langsung ke langit. Hamparan langit biru dapat ia lihat dari sana. Beberapa burung berkicau dan beterbangan di angkasa. Sesekali, mata Danial terpejam, diikuti dengan seutas senyum tipis dan licik penuh dendam. “Sayang, ini kopi susunya sudah jadi,” kata Enzy yang sontak saja membuyarkannya dari lamunan. Danial mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Ia menyambut secangkir kopi susu bikinan istri yang diakui dinikahi karena harta. “Terima kasih, Sayang,” ucap Danial seraya tersenyum manis. Dia mulai menyesap minuman berkafein itu. Rasa kopi susu yang diminum saat ini memang tak seenak kopi susu bikinan Andari. Namun, sayangnya karena ia sudah tidak lagi bisa menikmati kopi susu bikinan wanita
Dzaka dan Fikri saling berpandangan sekejap. Ternyata, menemui Pak Abdul tidak semudah yang dibayangkan. Dia jarang di rumah.“Memang Pak Abdul kerja apa dan di mana kalau boleh tau, Bu?” tanya Dzaka sekadar untuk mengorek informasi. “Kerja di ladang orang, Den. Tapi, kadang kalau pemiliknya ingin cepat selesai, Bapak sering nginap di rumah sawah.”Dzaka manggut-manggut paham. “Kalau begitu, kami titip pesan saja ke Ibu. Nanti kalau Pak Abdul sudah pulang, tolong dibalingin kalau Dzaka mencarinya ya. Besok atau lusa kami akan ke sini lagi. Soalnya mau menunggu, tapi kami juga masih ada urusan. Mohon ya, Bu,” ujar Dzaka penuh permohonan. “Baik, Den.”Setelah salam dan berpamitan, Dzaka dan Fikri langsung kembali ke mobil. Mereka akan bertolak ke tujuan kedua. Hampir sejam mereka dalam perjalanan hingga mobil kembali berhenti di sebuah kediaman sederhana. Tampak sepi, tapi bangunannya terlihat banyak perubahan dari sat
Kirana yang masih berada di kamar sesekali menoleh ke arah jam dinding. Sudah sekitar dua puluh menit suaminya pergi, tapi dia belum pulang juga.Padahal cuma cari sate doang, di dekat rumah juga ada, gumam Kirana. Ia menghela napas berat. Sebab, sudah mulai bosan menunggu, ia memilih beranjak dari duduknya. Kemudian, keluar kamar. Mungkin akan lebih baik menunggu suaminya di bawah saja. Perlahan, ia melangkah menuruni anak tangga. Hingga sampai di tangga terakhir, asisten rumah tangganya menghampiri. “Loh, Non, jam segini keluar kamar. Emang Tuan Dzaka belum pulang kerja?” tanya Bi Marni yang tampak melihat ke arah jam dinding. “Udah, Bi. Tapi keluar lagi buat beli sate. Dede bayi lagi kepengen makan sate soalnya,” jawabnya sembari tertawa cengengesan dan mengelus perut.“Owalah.” Bi Marni manggut-manggut paham. “Kalau gitu, Bibi tinggal ke belakang dulu ya, Non.”Kirana mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan itu,