Dzaka dan Fikri saling berpandangan sekejap. Ternyata, menemui Pak Abdul tidak semudah yang dibayangkan. Dia jarang di rumah.
“Memang Pak Abdul kerja apa dan di mana kalau boleh tau, Bu?” tanya Dzaka sekadar untuk mengorek informasi.“Kerja di ladang orang, Den. Tapi, kadang kalau pemiliknya ingin cepat selesai, Bapak sering nginap di rumah sawah.”Dzaka manggut-manggut paham.“Kalau begitu, kami titip pesan saja ke Ibu. Nanti kalau Pak Abdul sudah pulang, tolong dibalingin kalau Dzaka mencarinya ya. Besok atau lusa kami akan ke sini lagi. Soalnya mau menunggu, tapi kami juga masih ada urusan. Mohon ya, Bu,” ujar Dzaka penuh permohonan.“Baik, Den.”Setelah salam dan berpamitan, Dzaka dan Fikri langsung kembali ke mobil. Mereka akan bertolak ke tujuan kedua.Hampir sejam mereka dalam perjalanan hingga mobil kembali berhenti di sebuah kediaman sederhana. Tampak sepi, tapi bangunannya terlihat banyak perubahan dari satKirana yang masih berada di kamar sesekali menoleh ke arah jam dinding. Sudah sekitar dua puluh menit suaminya pergi, tapi dia belum pulang juga.Padahal cuma cari sate doang, di dekat rumah juga ada, gumam Kirana. Ia menghela napas berat. Sebab, sudah mulai bosan menunggu, ia memilih beranjak dari duduknya. Kemudian, keluar kamar. Mungkin akan lebih baik menunggu suaminya di bawah saja. Perlahan, ia melangkah menuruni anak tangga. Hingga sampai di tangga terakhir, asisten rumah tangganya menghampiri. “Loh, Non, jam segini keluar kamar. Emang Tuan Dzaka belum pulang kerja?” tanya Bi Marni yang tampak melihat ke arah jam dinding. “Udah, Bi. Tapi keluar lagi buat beli sate. Dede bayi lagi kepengen makan sate soalnya,” jawabnya sembari tertawa cengengesan dan mengelus perut.“Owalah.” Bi Marni manggut-manggut paham. “Kalau gitu, Bibi tinggal ke belakang dulu ya, Non.”Kirana mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan itu,
“Enzy! Enzy! Bukain atuh pintunya!” Wanita berhijab pashmina itu menggedor-gedor pintu tanpa henti.Dia seakan tak sabaran tuan rumah segera menyambut kedatangannya yang tak terduga.Setelah beberapa kali menekan bel sambil menggedor pintu, barulah ada wanita berbadan gempal membukakan pintu tergesa-gesa.“Bu Andari,” ucap wanita berhijab itu. “Enzy kamana, Bi? Aku ingin bertemu dengannya,” katanya ramah sambil melirik ke dalam rumah. “Ada, di kamarnya, Bu. Sebentar, Bibi panggilkan.”Andari mengangguk, bersamaan dengan asisten rumah tangga Enzy yang berlalu cepat. Hingga tak berselang begitu lama, Enzy datang. Dia bersedekap sembari menyenderkan bahu di bibir pintu. Seperti tak berniat sama sekali memberi izin tamunya masuk rumah.“Eh, ada mantan istri suamiku. Tumben ke sini? Ada perlu apa rupanya?” tanyanya pada Andari yang tengah berdiri membelakangi pintu. Spontan, Andari memutar badan. Dia men
Pertanyaan Fikri tak mendapatkan respons apa pun dari Dzaka. Pria itu hanya bergeming. Pandangannya fokus ke depan. Namun, siapa yang tahu jika sebenarnya pikirannya justru melanglang buana ke mana-mana. “Aku hanya takut, sebelum kita selesai dengan urusan saksi, Tuan Danial malah bertindak cepat. Dia bisa saja melukai Clarissa jika tau Clarissa adalah orang yang berani buka suara ke publik. Papa Anda terlalu nekat dan kadang ga berpikir jika ingin melakukan sesuatu, Tuan.” Fikri mengungkapkan ketakutannya sembari terus menyetir. Membawa mobil hingga membelah jalanan kota yang tak terlalu padat di pagi ini.“Dia tidak akan melakukan apa pun. Dia tidak tau tempat tinggal Clarissa,” ucap Dzaka tanpa menoleh ke arah Fikri. Dia cukup yakin dengan argumentasinya.Fikri mengangguk ragu. Entah mengapa, ia justru belum bisa yakin dengan jawaban Dzaka. Ah, maksudnya kayak tidak kenal saja dengan Danial? Bukankah dia tipe manusia yang sangat licik dan licin? Berbag
“Aku pun berpikir begitu, Tuan,” ujar Fikri yang masih melajukan mobil dengan kecepatan sedang.Hingga sampai di perempatan jalan, tatapan Dzaka justru menangkap seseorang yang tengah berjalan entah akan ke mana. Terlihat dari kejauhan, Dzaka sepertinya mengingat wajah itu. Seakan pernah bertemu, tetapi di mana. “Berhenti, Fik,” pintanya pada Fikri. Tatapannya masih terus mengamati seorang pria bertopi lusuh itu.Fikri spontan menengok ke arah sang atasan, lalu menghentikan laju mobilnya di bawah sebuah pohon rindang. “Ada apa, Tuan?” tanyanya. “Itu Pak Abdul bukan, sih?” Dzaka mengarahkan telunjuknya ke arah orang yang dimaksud. Fikri pun sigap melihat ke arah telunjuk Dzaka. Dengan cepat, ia merogoh ponsel dari saku jasnya. Membuka galeri dan mengamati sebuah foto pria yang terpampang di sana. “Benar, Tuan. Dia Pak Abdul,” ujar Fikri seketika.Cepat, Dzaka membuka pintu mobil. Hendak mengikuti Pak Abdul,
Hingga malam tiba, Kirana masih kepikiran dengan permintaan sang kakak yang tiba-tiba ingin bekerja. Kirana bukan tidak mau mengizinkan, tapi jika Kak Jihan bekerja, otomatis semua keluarga tidak ada yang bisa mengawasinya lagi.Berbeda jika di rumah, keluarga, asisten rumah tangga, sampai satpam bisa mengawasi setiap gerak-geriknya. Bagaimana kalau tiba-tiba depresinya kumat ketika berada di luar? Apa dia bisa mengantisipasi kecemasannya sendiri? Lingkungan di Jakarta pun malah boleh dibilang lebih kejam daripada di Makassar. Otomatis, Jihan akan bertemu dengan banyak laki-laki di luar sana nantinya.Bagaimana kalau kejadian di Makassar terulang? Ada banyak orang yang bukannya berpihak padanya, tapi justru menghakiminya keadaannya? Kirana takut sang kakak tidak mampu meminimalisir ketakutannya atas apa yang telah dialami di masa lalu.Hmm, Kirana sangat bingung. Ia bahkan kini mondar-mandir di depan meja riasnya sambil menget
Setelah raga sang suami menghilang dari balik pintu kamar, Kirana hanya bisa mematung. Ada sesuatu yang seolah sengaja ditancapkan pada hatinya agar terasa perih. Laksana belati tajam yang mengenai kulit. Perih tersayat. Entah Kirana tak tahu apa yang sedang dirasakan. Mendadak, dadanya sesak dihadapkan oleh sebuah kenyataan. Ia tidak tahu harus kasihan atau justru menyimpan dendam pada Clarissa yang selalu merebut perhatian suaminya tanpa perlu melakukan banyak cara. Entahlah, Kirana sungguh tak paham, mungkinkah hanya dia yang cemburu berlebihan atau memang instingnya yang menduga sang suami memang menyimpan rasa pada Clarissa benar adanya. Ah, tapi bukankah Dzaka sendiri mengakui bahwa ia dan Clarissa tidak ada hubungan apa-apa? Hanya sebatas teman dan tanggung jawab atas janji yang dititipkan oleh Almarhum Randy. Semestinya, jika demikian itu, Kirana tak perlu cemburu. Bukankah Dzaka sudah mengatakan kalau hatinya hanya milik Kir
Tubuh yang berdiri tak jauh dari Danial dan Clarissa itu tampak menahan amarah. Tangannya terkepal laksana ingin menghantam. Mata elangnya menatap tajam pria yang semenjak kejadian itu tak sudi dipanggilnya sebagai papa. “Apa yang kau lakukan padanya?!” tanyanya setengah berteriak. Lalu, melangkah mendekati Clarissa dan Danial yang melihatnya bak tak percaya keberadaannya. “Berani-beraninya kau memukul seorang perempuan?”“Oh tidak. Kau hanya salah paham, Putraku.” Danial berusaha ingin meraih tubuh Dzaka, tetapi sang putra justru menepis tangan Danial dengan kasar. “Tidak katamu? Kau menamparnya, lalu kau bilang tidak?!” bentak Dzaka. Dia menunjuk Clarissa yang memegangi pipinya.Lama, Danial tak merespons. Sekilas, ia melihat ke arah Clarissa, lalu sesaat kemudian tertawa keras dan licik.“Itu hanya sedikit pelajaran bagi orang yang mengusik kedamaian jiwa dan ragaku,” ucapnya tanpa merasa bersalah. Kepalan Dzaka semakin kua
“Siapkan pengawal yang bisa berjaga 24 jam untuk berjaga di rumahku selama aku di sini, Fik. Awasi Kirana dan jangan biarkan dia pergi sendirian,” perintah Dzaka saat mereka ditinggal berdua. Dzaka masih harus ditahan sampai kondisi Danial stabil. Entahkah bersalah atau tidak, tapi penusukan yang terjadi tadi memang seolah-olah memojokkan Dzaka yang dituding sebagai pelaku. Sebab, posisinya saat itu, dia terlihat memegang pisau yang tertusuk di perut Danial.“Baik, Tuan. Aku juga akan berusaha untuk menemui Pak Abdul untuk meluruskan fitnah Tuan Danial kepada Anda,” jawab Fikri. Dzaka menepuk bahu sang sahabat. “Terima kasih, Fik. Aku titip istriku. Jangan biarkan dia terluka.” Ia tersenyum masam. Fikri mengangguk. Sesaat obrolan mereka terhenti karena kedatangan Clarissa dan Wina yang hendak pulang. “Ka, aku minta maaf. Karena gara-gara nolongin aku, malah kamu yang kena batunya. Harusnya kamu tidak perlu melakukan itu.” Raut bersala