“Siapkan pengawal yang bisa berjaga 24 jam untuk berjaga di rumahku selama aku di sini, Fik. Awasi Kirana dan jangan biarkan dia pergi sendirian,” perintah Dzaka saat mereka ditinggal berdua.
Dzaka masih harus ditahan sampai kondisi Danial stabil. Entahkah bersalah atau tidak, tapi penusukan yang terjadi tadi memang seolah-olah memojokkan Dzaka yang dituding sebagai pelaku. Sebab, posisinya saat itu, dia terlihat memegang pisau yang tertusuk di perut Danial.“Baik, Tuan. Aku juga akan berusaha untuk menemui Pak Abdul untuk meluruskan fitnah Tuan Danial kepada Anda,” jawab Fikri.Dzaka menepuk bahu sang sahabat. “Terima kasih, Fik. Aku titip istriku. Jangan biarkan dia terluka.” Ia tersenyum masam.Fikri mengangguk. Sesaat obrolan mereka terhenti karena kedatangan Clarissa dan Wina yang hendak pulang.“Ka, aku minta maaf. Karena gara-gara nolongin aku, malah kamu yang kena batunya. Harusnya kamu tidak perlu melakukan itu.” Raut bersalaBaik Kirana dan Fikri berdiri kaku melihat wanita dengan tongkatnya itu sudah berdiri di teras. Tampaknya, ia telah mendengar pembicaraan meraka. Kirana memejamkan mata sekilas seraya menelan ludahnya yang kelu.“Siapa yang ditahan?” Wulan berjalan tertatih menghampiri dua insan yang dalam keadaan bungkam itu.“Nana, ke mana Dzaka? Kenapa Ibu tidak melihatnya pagi ini?” tanya Wulan yang membuat Kirana semakin tak berdaya. Sementara Fikri, ia juga tidak tahu harus bagaimana. Dia merasa tak perlu menjelaskan. Akan lebih baik jika istri atasannya itu yang menjelaskan sendiri pada ibunya. “Maaf, Nona. Aku harus permisi, masih ada urusan. Kalau Nona ingin keluar, tolong jangan sungkan untuk menghubungiku atau minta bantuan sama pengawal yang sedang berjaga. Mereka akan mengantar Anda," tutur Fikri. Ia lalu menangkupkan tangannya di depan dada, sambil tersenyum ke arah Kirana dan juga Wulan yang masih berdiri penuh tanda tanya. Sel
Dzaka memperbaiki posisi duduknya. Ia membuang napas berat. Tangannya tak lepas menggenggam erat tangan sang istri yang masih duduk di sebelahnya. “Jujur, persoalan dana perusahaan, aku sudah ikhlas. Bunda juga demikian. Papa sudah menerima konsekuensinya. Kurasa, itu sudah cukup menghukumnya atas apa yang dilakukan pada perusahaan,” tutur Dzaka pada kuasa hukum keluarganya yang sengaja diminta datang. Dzaka menghela napas. “Jadi, jika persoalan penggelapan dana, aku tidak bisa melaporkan Papa. Biarkan saja. Aku anggap, semua sudah selesai lewat kekeluargaan.”Pria berjas hitam itu manggut-manggut. Dia menyandarkan punggung sofa, lalu merentangkan kedua tangan di atas sandaran sofa. Sementara, Kirana sesekali melirik suaminya. Kirana benar-benar tidak menyangka jika Dzaka memutuskan untuk tak melaporkan Danial. Ya, Kirana sekarang tahu, sebenci apa pun suaminya pada sang papa, ia juga tak akan tega melihat papanya tersiksa dalam jeruji besi.
Pria paruh baya yang membawa glass squeegee alias alat penyeka air itu berjalan cepat. Saat ini ia diminta membersihkan ruangan sang atasan yang diprotes masih kotor. Padahal, sebenarnya rekannya telah membersihkan di sana. Ia menggunakan lift karyawan untuk sampai di lantai delapan. Saat keluar, matanya disuguhkan oleh pemandangan tak mengenakkan. Seorang gadis yang sangat dikenalnya terlihat ditarik paksa entah akan dibawa ke mana.Pria itu memutuskan untuk sembunyi, ia tidak ingin mendapatkan masalah terlebih melihat wajah garang kedua pria yang menyeret gadis tersebut. Sejatinya, dia ingin sekali menolong sang gadis yang dikenal sebagai kekasih salah satu orang penting di perusahaan, tapi harus bagaimana? Sedangkan ia hanya seorang office boy yang tidak ada apa-apanya. Setelah gadis dan dua pria itu berhasil masuk lift pimpinan, dia baru keluar dari persembunyiannya dan langsung menuju ruangan sang pimpinan. Tentu, di sana dia dimaki karena ruangannya masih kotor. Padahal, seben
“Tuan Danial menemui Bapak dan langsung memecat di hari itu juga, Pak Fikri,” ungkap Pak Abdul. Ia menghela napas berat dan kembali memutar memori satu tahun silam. “Jika masih ingin hidup, pergi dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di perusahaan saya,” suara Danial sangat lembut, tapi penuh penekanan. Tangannya dilipat di depan dada. Namun, tatapannya tajam bak singa yang akan menerjang mangsa. Pak Abdul meneguk ludahnya dalam-dalam. Ia menunduk takut bersama dengan debaran jantung yang semakin menggila. “Apakah Tuan memecat saya?” tanyanya. Sekadar memastikan. “Menurutmu?” Danial menaikkan kedua alisnya. Seketika itu, Pak Abdul mengangguk pasrah. “Baik, Tuan. Kalau begitu, saya akan pergi.”Pak Abdul hendak melangkah. Tetapi, Danial menahannya. Ia merapatkan posisi pada Pak Abdul, membuat pria itu mundur hingga mentok di dinding karena ketakutan. “Jangan katakan apa pun tentang apa yang ka
Clarissa dan Wina sontak menghadap ke belakang. Lalu, saling berpandangan. Raut wajah keduanya terlihat panik, bersama mobil yang terus melaju dengan kecepatan tinggi. “Apa perlu kita katakan pada Mas Fikri, Mbak?” tanya Wina. Ia berulang kali menghadap ke belakang, sekadar memastikan bahwa mobil berwarna hitam itu benar-benar mengikuti pergerakan mobil mereka. Clarissa kembali melihat ke belakang. Kemudian, menggeleng pelan. “Tidak perlu. Kita akan menyelesaikan sendiri,” katanya. “Tapi, Mbak. Bagaimana kalau mereka itu orang suruhan Tuan Danial? Atau bisa saja Tuan Danial berada di antara mereka.” Ucapan Wina membuat Clarissa berpikir sebentar, lalu mengarahkan pandangannya ke belakang lagi. Tampak dari dalam, mobil yang sedari tadi mengikuti kini sedang berusaha melewati mereka. Tetapi, terhalang oleh kendaraan lain. Wina memang benar, tapi Clarissa tetap tidak akan menghubungi Fikri. Pria itu pasti sedang sibuk membantu
“Mas tolongin aku!” teriak Kirana dengan bibir bergetar. Di sana, ia berusaha melepaskan diri, tetapi tak kuat untuk melawan kekuatan dua pria yang tengah memegang pergelangan tangannya dengan sangat kuat. Malah yang ada, semakin dia memberontak, lengannya justru terasa sakit. Mendengar suara sumbang yang sangat dikenalnya, sontak Dzaka menoleh. Begitupun, dengan Fikri yang fokus menolong Wina. Mereka sama-sama terkejut bukan kepalang tatkala melihat Kirana sudah berada di antara rival mereka yang bisa-bisanya terlewat dari pantauan.Tubuh Dzaka kian bergetar. Ia ingin menolong Kirana, tetapi di tangannya masih ada Clarissa yang terus meracau kesakitan. Dia bingung.Dia menatap Kirana dengan raut paniknya dari kejauhan, kemudian memandang Clarissa dengan tatapan ibanya.Istrinya sedang butuh pertolongannya, tetapi rasa tak tega untuk melepas Clarissa dalam keadaan terluka parah juga membayanginya. “Fik, tolong!” teri
Kirana mengacungkan tinjunya sekeras mungkin tepat di pelipis pria itu hingga membuat sasarannya nyaris tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Buru-buru, Kirana bangkit dan sontak mendorong pria itu sampai terjatuh tengkurap di kasur. Lantas, Kirana dengan cepat menutup kepala sang pria dengan bantal, sedikit menekan ke bawah hingga membuat pria itu mengerang histeris. Setelah menyelesaikan aksinya yang bisa terbilang cukup brutal, Kirana tak ingin membuang kesempatan. Ia berlari keluar kamar, di pikirannya hanya ingin keluar dari rumah besar ini. Dikira aman, ternyata di luar kamar justru pria botak itu sedang berdiri di samping pintu. Kirana memelotot kaget. Jantungnya berpacu dengan kecepatan tak biasa. Apa pun caranya, ia harus lepas dari sini. Ia celingak-celinguk mencari jalan keluar agar terhindar dari pria botak tersebut. Nyatanya, tak ada jalan lain selain tangga. “Mau ke mana kamu?” tanya pria itu. Kirana memberan
Kondisi di ruang rawat yang cukup besar itu hanya ada keheningan. Semua seakan tak punya gairah untuk berbicara. Suasana hening mencekam mengantar kedukaan yang tercipta. Baru saja mereka harus menerima kenyataan bahwa Kirana yang tengah mengandung harus menjalani kuretase. Kandungannya tak bisa diselamatkan pasca kecelakaan yang menimpanya. Kini, wanita malang itu masih setia menutup mata. Sedangkan, suaminya sedari tadi duduk di samping ranjang sembari menggenggam tangan dan mengelus kepala sang istri. Sesekali, Dzaka terlihat mencium tangan Kirana. Raut wajahnya sudah sangat kusut. Rambutnya berantakan, bahkan perutnya yang sedari tadi berbunyi tak digubris sama sekali. Ia seakan tak kuasa melakukan apa pun.Raganya seperti tak ada kekuatan menyaksikan wanitanya tengah terbaring lemah. Bersamaan dengan kenyataan yang harus membuatnya merelakan kehilangan anak pertama sebelum sempat melihat dunia. Andari melangkah pelan mendekati sa
Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang
Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k
Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d
Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha
Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia
“Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek
“Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di
Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera
Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,