“Tuan Danial menemui Bapak dan langsung memecat di hari itu juga, Pak Fikri,” ungkap Pak Abdul. Ia menghela napas berat dan kembali memutar memori satu tahun silam. “Jika masih ingin hidup, pergi dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di perusahaan saya,” suara Danial sangat lembut, tapi penuh penekanan. Tangannya dilipat di depan dada. Namun, tatapannya tajam bak singa yang akan menerjang mangsa. Pak Abdul meneguk ludahnya dalam-dalam. Ia menunduk takut bersama dengan debaran jantung yang semakin menggila. “Apakah Tuan memecat saya?” tanyanya. Sekadar memastikan. “Menurutmu?” Danial menaikkan kedua alisnya. Seketika itu, Pak Abdul mengangguk pasrah. “Baik, Tuan. Kalau begitu, saya akan pergi.”Pak Abdul hendak melangkah. Tetapi, Danial menahannya. Ia merapatkan posisi pada Pak Abdul, membuat pria itu mundur hingga mentok di dinding karena ketakutan. “Jangan katakan apa pun tentang apa yang ka
Clarissa dan Wina sontak menghadap ke belakang. Lalu, saling berpandangan. Raut wajah keduanya terlihat panik, bersama mobil yang terus melaju dengan kecepatan tinggi. “Apa perlu kita katakan pada Mas Fikri, Mbak?” tanya Wina. Ia berulang kali menghadap ke belakang, sekadar memastikan bahwa mobil berwarna hitam itu benar-benar mengikuti pergerakan mobil mereka. Clarissa kembali melihat ke belakang. Kemudian, menggeleng pelan. “Tidak perlu. Kita akan menyelesaikan sendiri,” katanya. “Tapi, Mbak. Bagaimana kalau mereka itu orang suruhan Tuan Danial? Atau bisa saja Tuan Danial berada di antara mereka.” Ucapan Wina membuat Clarissa berpikir sebentar, lalu mengarahkan pandangannya ke belakang lagi. Tampak dari dalam, mobil yang sedari tadi mengikuti kini sedang berusaha melewati mereka. Tetapi, terhalang oleh kendaraan lain. Wina memang benar, tapi Clarissa tetap tidak akan menghubungi Fikri. Pria itu pasti sedang sibuk membantu
“Mas tolongin aku!” teriak Kirana dengan bibir bergetar. Di sana, ia berusaha melepaskan diri, tetapi tak kuat untuk melawan kekuatan dua pria yang tengah memegang pergelangan tangannya dengan sangat kuat. Malah yang ada, semakin dia memberontak, lengannya justru terasa sakit. Mendengar suara sumbang yang sangat dikenalnya, sontak Dzaka menoleh. Begitupun, dengan Fikri yang fokus menolong Wina. Mereka sama-sama terkejut bukan kepalang tatkala melihat Kirana sudah berada di antara rival mereka yang bisa-bisanya terlewat dari pantauan.Tubuh Dzaka kian bergetar. Ia ingin menolong Kirana, tetapi di tangannya masih ada Clarissa yang terus meracau kesakitan. Dia bingung.Dia menatap Kirana dengan raut paniknya dari kejauhan, kemudian memandang Clarissa dengan tatapan ibanya.Istrinya sedang butuh pertolongannya, tetapi rasa tak tega untuk melepas Clarissa dalam keadaan terluka parah juga membayanginya. “Fik, tolong!” teri
Kirana mengacungkan tinjunya sekeras mungkin tepat di pelipis pria itu hingga membuat sasarannya nyaris tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Buru-buru, Kirana bangkit dan sontak mendorong pria itu sampai terjatuh tengkurap di kasur. Lantas, Kirana dengan cepat menutup kepala sang pria dengan bantal, sedikit menekan ke bawah hingga membuat pria itu mengerang histeris. Setelah menyelesaikan aksinya yang bisa terbilang cukup brutal, Kirana tak ingin membuang kesempatan. Ia berlari keluar kamar, di pikirannya hanya ingin keluar dari rumah besar ini. Dikira aman, ternyata di luar kamar justru pria botak itu sedang berdiri di samping pintu. Kirana memelotot kaget. Jantungnya berpacu dengan kecepatan tak biasa. Apa pun caranya, ia harus lepas dari sini. Ia celingak-celinguk mencari jalan keluar agar terhindar dari pria botak tersebut. Nyatanya, tak ada jalan lain selain tangga. “Mau ke mana kamu?” tanya pria itu. Kirana memberan
Kondisi di ruang rawat yang cukup besar itu hanya ada keheningan. Semua seakan tak punya gairah untuk berbicara. Suasana hening mencekam mengantar kedukaan yang tercipta. Baru saja mereka harus menerima kenyataan bahwa Kirana yang tengah mengandung harus menjalani kuretase. Kandungannya tak bisa diselamatkan pasca kecelakaan yang menimpanya. Kini, wanita malang itu masih setia menutup mata. Sedangkan, suaminya sedari tadi duduk di samping ranjang sembari menggenggam tangan dan mengelus kepala sang istri. Sesekali, Dzaka terlihat mencium tangan Kirana. Raut wajahnya sudah sangat kusut. Rambutnya berantakan, bahkan perutnya yang sedari tadi berbunyi tak digubris sama sekali. Ia seakan tak kuasa melakukan apa pun.Raganya seperti tak ada kekuatan menyaksikan wanitanya tengah terbaring lemah. Bersamaan dengan kenyataan yang harus membuatnya merelakan kehilangan anak pertama sebelum sempat melihat dunia. Andari melangkah pelan mendekati sa
“Gimana Kirana, Ka?” tanya Clarissa yang saat ini masih terbaring lemah. Dzaka tak menjawab, juga tidak menggeleng. Ia hanya diam dengan pandangan kosong. Tangannya berada dalam saku celana. Ya, sore itu ia menyempatkan diri untuk menjenguk Clarissa yang dirawat tak jauh dari ruangan Kirana. Kirana memang sudah sadar, tetapi sampai kini masih enggan untuk bercerita dengan Dzaka. Walaupun hanya sebentar. Dzaka bisa memaklumi, terlebih mengingat kejadian yang menimpa sang istri memang terjadi setelah kelalaiannya. Dia terlambat menolong Kirana. Satu hal yang pasti, Dzaka juga menyadari kesalahan bahwa Kirana begitu marah padanya karena dirinya memilih menolong Clarissa dibanding memedulikannya. Ya, Dzaka sadar itu salah. Tapi, kala itu ia juga bingung harus melakukan apa. Clarissa berada dalam dekapannya. Tak mungkin, dia menghempaskan Clarissa begitu saja di saat gadis itu terluka karena menolong dirinya. “Dzaka.”
Pandangan Dzaka tak lepas memperhatikan istrinya yang tengah duduk di ranjang dengan tatapan kosong. Entah apa yang saat ini sangat membebani wanita itu sehingga harapan hidupnya seolah lenyap begitu saja. Ya, sekembalinya ke rumah dari rumah sakit beberapa hari lalu, Kirana justru terlihat bak punya beban pikiran yang tiada habisnya. Perkara kehilangan, mungkin menjadi alasan alur hidupnya bak dipenuhi dengan kegelapan. Kirana berubah menjadi pemurung yang bahkan untuk berbicara saja hanya ketika ditanya. Itu pun, dia cukup menjawab singkat. Tentu, membuat Dzaka harus lebih bersabar lagi menghadapi temperamen wanitanya yang saat ini sedang buruk.Dia juga tak berselera untuk sekadar memasukkan makanan ke perut. Dulu, dia yang doyan ngemil sekarang seolah membuang kebiasaannya. Cemilan yang dibelikan Dzaka tak tersentuh sama sekali.Sebab itu, tubuhnya sudah terlihat sangat kurus. Kelopak mata indahnya tampak menghitam. Ya, mengapa tidak? Sebab,
Raut wajah Kirana seketika berubah. Kilau ketidaksukaan dan rasa iba tampak tersirat dalam rona wajah putihnya. Entahlah, di satu sisi rasanya dia masih ingin tetap pada pendirian, tak ingin menemui gadis yang diyakini menyimpan cinta untuk suaminya itu.Namun, di sisi lain ia juga merasa tak tega karena Clarissa sudah berulang kali datang hanya untuk menemui dirinya, tetapi tak pernah ditemui. Gadis itu pasti sudah mengorbankan banyak waktu dan tenga untuk datang, lantas pulang tanpa membawa apa-apa. Ah, rupanya apa yang membuatnya ingin menemui Kirana? Kirana merasa dirinya tak pernah melakukan kesalahan padanya. Justru, sebaliknya Kirana yang membenci gadis itu. Seharusnya, dirinya yang menemui Clarissa untuk sekadar melabrak, mungkin. Barangkali juga untuk memintanya menjauhi Dzaka, jika bisa. Toh, bukankah dia tau Dzaka sudah punya istri, lalu mengapa masih jua didekati? Apakah mungkin rasa cintanya begitu besar untuk Dzaka? Sebe