Raut wajah Kirana seketika berubah. Kilau ketidaksukaan dan rasa iba tampak tersirat dalam rona wajah putihnya.
Entahlah, di satu sisi rasanya dia masih ingin tetap pada pendirian, tak ingin menemui gadis yang diyakini menyimpan cinta untuk suaminya itu.Namun, di sisi lain ia juga merasa tak tega karena Clarissa sudah berulang kali datang hanya untuk menemui dirinya, tetapi tak pernah ditemui. Gadis itu pasti sudah mengorbankan banyak waktu dan tenga untuk datang, lantas pulang tanpa membawa apa-apa.Ah, rupanya apa yang membuatnya ingin menemui Kirana? Kirana merasa dirinya tak pernah melakukan kesalahan padanya. Justru, sebaliknya Kirana yang membenci gadis itu.Seharusnya, dirinya yang menemui Clarissa untuk sekadar melabrak, mungkin. Barangkali juga untuk memintanya menjauhi Dzaka, jika bisa. Toh, bukankah dia tau Dzaka sudah punya istri, lalu mengapa masih jua didekati?Apakah mungkin rasa cintanya begitu besar untuk Dzaka? Sebe“Aku tau kalian dijodohkan, tapi aku juga tau kalau cinta kalian sudah sama-sama kuat. Jadi, tolong jangan jadikan aku alasan sehingga hubungan kalian merenggang. Maafkan aku, Kirana.” Clarissa menunduk lesu. Tangannya masih menggenggam erat kedua tangan Kirana sebagai permintaan maafnya. Cukup lama, Clarissa menunduk. Hingga beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah dan memandang Kirana. Tatapannya yang sendu bak penuh permohonan. Sedang Kirana, ia hanya terpaku dalam kebimbangan. Rasa benci yang semula menggerogoti hatinya perlahan alih fungsi sebagai rasa bersalah. Entahlah, Kirana melihat sebuah ketulusan dan kejujuran yang terpatri dari manik mata Clarissa. Jika yang semua dikatakan benar adanya, Kirana benar-benar menyesalinya. Ia menyesali karena telah menduga terlalu berlebihan pada gadis itu. “Aku mengalah, Na. Mengalah untuk mengejar Dzaka,” tutut Clarissa. “Sekeras apa pun aku berjuang untuk merebut hatinya, tap
“Mas.” Kirana berjalan ke arah suaminya yang sedang memakai jas di depan cermin. “Kenapa, Sayang?" tanyanya sembari berbalik. Kemudian, meletakkan kedua lengan di bahu Kirana. Lantas mengecup singkat bibir sang istri.Kirana tersenyum masam. Wajahnya datar setia dengan ekspresi juteknya. Dari cahaya mata belo itu ia terlihat menyimpan sesuatu. “Aku balik kerja aja boleh, nggak?” tanyanya memajukan bibir sedikit. Sesekali menunduk karena ragu pertanyaan yang mendominasi permintaan itu akan ditentang oleh sang suami. “Alasannya?” Alis Dzaka terangkat. Tatapannya mengamati setiap inci wajah istrinya. Kirana berdehem pelan. “Bosan di rumah, yang ada keingat terus sama anak kita. Siapa tau dengan kerja, menyibukkan diri aku bisa lupa segalanya. Setidaknya berdamai dengan keadaan.”Spontan, Dzaka meneguk ludah. Sekejap, mengalihkan pandangan dan terlihat berpikir. Sesaat kemudian, ia menatap istrinya sangat dalam. Perlah
Hari-hari berat penuh tekanan dan rasa bersalah menghantui mau tidak mau dijalani oleh seorang Jihan Larasati. Dia kini terjebak pada kegelapan duniawi yang menjanjikan kehidupan terang benderang. Padahal, nyatanya semua berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Ah, sebenarnya bukan terjebak. Akan tetapi, ia dijebak oleh seseorang yang mengaku akan membantu membawa namanya berkiprah ke dunia industri permodelan. Terkadang, Jihan menyesali keputusannya sendiri. Rasanya ingin kabur dan keluar dari kehidupan tanpa cahaya itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hitam di atas putih adalah bukti perjanjian yang sebenarnya tidak dibaca sama sekali. Dia menyadari kebodohannya kala itu. Dengan keinginan yang menggebu untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan belaka, ia terlalu berambisi sehingga lupa segalanya. Dunianya sekarang gelap gulita. Lain posisi dengan Kirana, yang hari ini juga sudah kembali bekerja di kantor suaminya. Namun,
“Dari dulu, dia kan punya impian untuk jadi model,” lanjut Wulan. Kirana bergeming. Ia kini ikut memikirkan segala kemungkinan yang ada. Kirana menyadari bahwa tubuh kakaknya memang bibit-bibit unggul untuk menjadi seorang model. Tapi, yang Kirana pikir bahwa untuk jadi model prosesnya tak semudah itu, bukan? Sekarang ia merasa tak boleh tinggal diam. Dia harus mencari tahu dan bercerita dari hati ke hati dengan sang kakak yang memang akhir-akhir jarang sekali mengobrol dengannya. “Ibu tenang dulu. Besok aku akan bicara dengan Kak Jihan. Sekarang, Ibu istirahatlah dulu. Sudah malam,” pinta Kirana sekadar menenangkan.Wulan mengangguk. Lalu, berdiri berpegangan pada tongkatnya. Kondisi kakinya memang belum pulih sepenuhnya, tapi setidaknya cukup membaik. Wulan sudah bisa berjalan, meski dengan bantuan satu tongkat. “Ibu ke kamar dulu. Kamu juga istirahat, Na. Besok kerja, kan?” “Iya, Bu.”Selepas kepergian sang ibu,
Kirana tak berkutik mendengar tanggapan sang kakak. Ia menatap tajam Jihan yang sedari tadi seperti enggan untuk melihatnya. Bahkan, sikapnya seolah malas dengan keberadaan Kirana di kamarnya. “Aku akan mencari tempat tinggal sendiri agar kepulanganku saat tengah malam, tak menganggu kalian,” katanya lagi. Sejatinya, bukan jawaban itu yang Kirana harapkan. Di sini, dia hanya ingin tahu detail pekerjaan sang kakak seperti apa di luar sana? Itu saja. Kirana memejamkan mata sekilas. Bukan maksudnya ia terganggu dengan aktivitas Jihan yang kerap pulang tengah malam, tidak sama sekali. Hanya saja, ia khawatir dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di luar sana. Dia sebatas ingin tahu kehidupan sang kakak yang menolak dibantu dan tetap kekeh untuk berusaha sendiri. Tapi, tampaknya keputusan untuk bercerita dengan Jihan bukanlah solusi. Justru, malah membuat Jihan salah paham dengan niatnya yang sekadar ingin mengingatkan.. “Kak, aku b
Sejatinya, perkara Fikri yang dipindahkan ke bagian Human Resource, Kirana juga tak tahu persis alasannya. Padahal, sebenarnya Fikri bisa saja tetap pada posisinya seperti biasa meskipun kehadiran dirinya sebagai sekretaris Dzaka. Namun, keputusan sang suami sudah bulat untuk memindahkan Dzaka. Entahlah, katanya Dzaka sudah tak butuh seorang asisten sekarang. Konon, dia juga memberikan kesempatan pada Fikri untuk berkembang dalam karirnya. Tak hanya mentok mengikutinya ke mana pun dan kapan pun. Sesungguhnya, Kirana tak tahu bahwa alasan utama Fikri dipindahkan ke posisi lain oleh suaminya adalah dirinya. Semenjak kejadian perseteruannya dengan Fikri, Dzaka takut jika sahabatnya itu akan merebut Kirana darinya. Terlebih, mendengar pengakuan Fikri yang mencintai sang istri. Sungguh, Dzaka tak ingin hal itu terjadi. Dia tak rela sahabatnya mengincar istrinya. Walaupun, sebenarnya ia tahu bahwa Fikri tak akan mungkin melakukan hal itu. Fikri adalah orang y
Rey menunduk diam. Pikirannya berkecamuk seolah sedang mempermainkan akal sehatnya di dalam sana. Terbesit hasrat besar untuk menentang sebuah kenyataan. Apakah mungkin?Ternyata, mengalah dengan keadaan tak melulu membuat terbiasa, malah terkadang memberi luka dari waktu ke waktu.Mungkin, sedikit butuh menentang kenyataan untuk memutar keadaan jadi lebih baik. Barangkali, dengan begitu bisa membalut luka yang telanjur parah. Rey, ia tak tahu seperti apa harus berdamai dengan keadaan yang membuat hidupnya justru tak tenang?“Aku sangat mencintainya, Raya,” ujar Rey pelan. “I see. Tapi, apa kau harus mengorbankan keyakinanmu untuknya? Apa kau pikir dengan mengikuti imannya, dia akan kembali padamu?”Rey kembali terdiam. Sesungguhnya, ia juga tak yakin akan hal itu. Terlebih, dia sangat mengenal sosok Kirana yang akan selalu teguh pada pendirian. Apakah Kirana masih mencintainya? Atau mungkin sudah berpaling darinya?
Dzaka menoleh menatap Kirana cukup lama dari ujung netranya Meskipun dari samping, ia tetap bisa menangkap betapa wajah wanita yang betah menyandarkan dagu di bahunya itu memang sangat cantik. ”Memangnya kamu tau dari mana kalau Dina suka sama Fikri? Kamu tak sedang nyamar jadi dukun kan, Sayang?”Kirana mencubit pinggang Dzaka sambil memanyunkan bibir kesal. Terkadang, mulut suaminya macam ban bocor belum ditambal.“Taulah. Itu tadi ....”Ucapan Kirana tiba-tiba terhenti tatkala pandangannya mengarah ke sudut lain di area pantai itu. Penglihatannya menangkap sepasang insan yang tengah berjalan menuju mobil. Wanita itu bergelayut mesra di lengan sang lelaki. Dari postur tubuh, Kirana merasa mengenal perempuan itu, meski ia hanya melihat dari belakang. Sayangnya, karena Kirana belum bisa memastikan. Sebab itu, ia melepaskan pelukannya dari Dzaka dan berjalan cepat dengan niat untuk menghampiri orang-orang itu sekadar untuk mema