Sejatinya, perkara Fikri yang dipindahkan ke bagian Human Resource, Kirana juga tak tahu persis alasannya. Padahal, sebenarnya Fikri bisa saja tetap pada posisinya seperti biasa meskipun kehadiran dirinya sebagai sekretaris Dzaka.
Namun, keputusan sang suami sudah bulat untuk memindahkan Dzaka. Entahlah, katanya Dzaka sudah tak butuh seorang asisten sekarang. Konon, dia juga memberikan kesempatan pada Fikri untuk berkembang dalam karirnya. Tak hanya mentok mengikutinya ke mana pun dan kapan pun.Sesungguhnya, Kirana tak tahu bahwa alasan utama Fikri dipindahkan ke posisi lain oleh suaminya adalah dirinya. Semenjak kejadian perseteruannya dengan Fikri, Dzaka takut jika sahabatnya itu akan merebut Kirana darinya. Terlebih, mendengar pengakuan Fikri yang mencintai sang istri.Sungguh, Dzaka tak ingin hal itu terjadi. Dia tak rela sahabatnya mengincar istrinya. Walaupun, sebenarnya ia tahu bahwa Fikri tak akan mungkin melakukan hal itu. Fikri adalah orang yRey menunduk diam. Pikirannya berkecamuk seolah sedang mempermainkan akal sehatnya di dalam sana. Terbesit hasrat besar untuk menentang sebuah kenyataan. Apakah mungkin?Ternyata, mengalah dengan keadaan tak melulu membuat terbiasa, malah terkadang memberi luka dari waktu ke waktu.Mungkin, sedikit butuh menentang kenyataan untuk memutar keadaan jadi lebih baik. Barangkali, dengan begitu bisa membalut luka yang telanjur parah. Rey, ia tak tahu seperti apa harus berdamai dengan keadaan yang membuat hidupnya justru tak tenang?“Aku sangat mencintainya, Raya,” ujar Rey pelan. “I see. Tapi, apa kau harus mengorbankan keyakinanmu untuknya? Apa kau pikir dengan mengikuti imannya, dia akan kembali padamu?”Rey kembali terdiam. Sesungguhnya, ia juga tak yakin akan hal itu. Terlebih, dia sangat mengenal sosok Kirana yang akan selalu teguh pada pendirian. Apakah Kirana masih mencintainya? Atau mungkin sudah berpaling darinya?
Dzaka menoleh menatap Kirana cukup lama dari ujung netranya Meskipun dari samping, ia tetap bisa menangkap betapa wajah wanita yang betah menyandarkan dagu di bahunya itu memang sangat cantik. ”Memangnya kamu tau dari mana kalau Dina suka sama Fikri? Kamu tak sedang nyamar jadi dukun kan, Sayang?”Kirana mencubit pinggang Dzaka sambil memanyunkan bibir kesal. Terkadang, mulut suaminya macam ban bocor belum ditambal.“Taulah. Itu tadi ....”Ucapan Kirana tiba-tiba terhenti tatkala pandangannya mengarah ke sudut lain di area pantai itu. Penglihatannya menangkap sepasang insan yang tengah berjalan menuju mobil. Wanita itu bergelayut mesra di lengan sang lelaki. Dari postur tubuh, Kirana merasa mengenal perempuan itu, meski ia hanya melihat dari belakang. Sayangnya, karena Kirana belum bisa memastikan. Sebab itu, ia melepaskan pelukannya dari Dzaka dan berjalan cepat dengan niat untuk menghampiri orang-orang itu sekadar untuk mema
Pemuda dengan gaya rambut sepanjang telinga itu membuka masker tatkala sudah mendaratkan bokong di mobilnya. Baru saja, ia telah menyelesaikan misi awalnya. Misi yang dirasa cukup membahagiakan.Ia menarik napas pelan sembari tersenyum sumir. Sesaat kemudian, ia mulai melajukan mobil meninggalkan halaman kantor tempat wanita pujaan hatinya bekerja. Rey. Ia tahu persis bahwa sedari dulu Kirana senang ketika dikasi bunga. Terlebih, buket bunga tulip yang dipadukan dengan cokelat. Tidak, bukan Kirana yang menyukai bunga tulip, tetapi Rey. Kirana orangnya fleksibel. Dia akan senantiasa menghargai pemberian orang. Namun, kali ini ... Rey memutuskan untuk tak memberikan bunga tulip untuk Kirana. Bukan tak lagi menyukai bunga itu, tetapi ia tak ingin identitasnya ditebak dengan mudah oleh Kirana. Biarkan bunga mawar merah yang sekarang menjadi saksi betapa cinta seorang Rey masih sempurna untuknya. Kirana semestinya mengingat dirinya yang identik dengan bunga tulip. Bukan, dengan bunga ma
Pada sebuah bar bertabur kerlap-kerlip lampu warna-warni di setiap sudutnya membuat gadis bergaun merah selutut itu terpaku dalam kebisingan. Kakinya seakan berat untuk melangkah, memasuki tempat remang yang bahkan sudah tak asing lagi baginya beberapa hari ini. Ia mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Alunan musik hip hop berdentum keras. Ada begitu banyak manusia berlawanan jenis yang seakan sangat menikmati suasana. Terlihat dari penampilannya, mereka seperti orang-orang dari kalangan atas. Barangkali, ada yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian agar sekejap melupakan beban. Ada yang mungkin memang hanya untuk bersenang-senang, bersama seorang wanita yang tentu disiapkan dan telah dibayar mahal. Jihan. Ia mengembuskan napas pelan sembari melangkah melewati orang-orang yang tengah berpesta dengan alkohol. Jika, kemarin-kemarin ia masih bisa mengantisipasi keadaan, memberikan begitu banyak alasan agar seseorang yang telah membayarnya
“Aku tidak tau kalau akhirnya seperti ini, Mas,” ucap Jihan pelan. Dari sorot matanya tampak penyesalan mendalam. Mengingat keputusannya mencari kerja karena tak ingin membebani Dzaka dan Kirana untuk terus menampung hidupnya. Namun, ternyata mencari kerja tak semudah yang dibayangkan. Salahnya juga karena terlalu berambisi untuk mengejar impian. Menjadi model sesuai dengan mimpinya sedari dulu. Ia percaya diri dengan kelebihan yang dimiliki, memiliki tubuh bagus, wajah cantik sehingga diyakini bisa membantunya mencapai impian. Ternyata tidak, ia justru terjebak pada mimpinya sendiri. “Bagaimana bisa Anda tidak tau, Nona? Bukankah sebelumnya Anda harus tanda tangan kontrak kerja?” Fikri mulai penasaran. Setidaknya ia ingin tahu kenapa gadis itu memilih jalan yang cukup suram? Seakan-akan sudah tak ada lagi jalan lain yang bisa ditempuh. Terlebih, sekenal Fikri tentang Jihan, gadis itu pernah mengidap depresi. Apakah tak aka
Kirana meneguk ludah susah payah. Sesekali melirik suaminya yang sedari tadi hanya membisu. Wajahnya datar dan ekspresi angkuhnya keluar. Kalau sudah begini, Kirana jadi tak enak hati. Padahal, sebenarnya ingin sekali ia menemui ReyTidak. Bukan karena cintanya masih bertahta dalam relung jiwa, tetapi karena ia ingin melihat keadaan Rey. Bagaimanapun juga, Rey adalah orang yang pernah berbuat baik padanya. Kirana tak akan pernah melupakan itu. Rey orang baik. Semua kebaikannya sangat tulus. Sayangnya, karena perbedaan keyakinan membuat mereka tak bisa bersama. Ah, tapi Kirana sudah berdamai dengan keadaan itu. Ia menerimanya, meski harus retak dan remuk lebih dulu.“Kirana, mau ya?” Raut wajah Raya penuh permohonan. Kirana kembali menelan ludah yang getir. Ia bingung mengambil keputusan. Menemui Rey, dia takut suaminya terluka. Tapi, jika tidak menemuinya, kasihan juga pada Rey. “Aku ....““Temui saja, Na,” ucap Dzaka cepat. Kirana sontak menoleh. Ia melihat suaminya melempar sen
Pertanyaan Rey yang menyinggung persoalan bunga membuat Kirana terperangah. Ludahnya yang kian kelu justru ditelan berulang kali. Ia tak habis pikir dengan Rey yang nekat mengirimkan bunga untuknya ke kantor.Entahlah, Kirana tak tahu apa motifnya? Tapi, Kirana menganggap Rey sudah sangat kelewatan. “Kiranaku,” ucap Rey. Dia mulai terbiasa dengan wajahnya yang terasa kaku. “Seketika, rasa sakit tubuhku menghilang ... melihat dirimu,” lirih Rey. Bibirnya tersungging tipis mencipta seutas senyum. Meski sesekali ia terlihat meringis menahan sakit akibat luka-luka di sekujur tubuhnya. “Jangan terlalu banyak bicara dulu, Kak. Lukamu masih basah.” Raya memperingati. “Raya, Rey, aku sebaiknya pulang aja, deh. Biar Rey istirahat juga. Soalnya, suamiku juga masih nunggu di luar. Kasian nanti kelamaan nunggu,” tutur Kirana. Sejatinya, dia tak ingin berlama-lama berada di sana. Ia takut emosinya tak stabil menghadapi sikap Rey yang men
“Mas, jalan-jalan dulu, yuk. Belum terlalu larut juga. Mumpung kita lagi di luar,” ajak Kirana.“Boleh. Mau ke mana?” tanya Dzaka. Ia menoleh sebentar ke arah istrinya, lalu kembali fokus pada kemudi mobil. “Hmm.” Jari telunjuk Kirana mengetuk-ngetuk dagu sambil berpikir. “Ke mana aja, deh. Kalau bareng Mas Dzaka, mau di mana pun aku gak akan takut diculik.”“Kalau diculik ke hotel, gimana?” Dzaka menaikkan alisnya. Dia bak orang menahan senyum. Bola mata Kirana berputar, malas. Risiko punya suami yang rada-rada otaknya geser ke mana-mana. Pembahasan suka belok kanan hadap kiri. “Bukan jalan-jalan jadinya,” gerutu Kirana. Dzaka tertawa. Tangan kirinya meraih pipi wanitanya dan mencubit gemes. Terlebih melihat wanitanya sedang manyun.“Tau. Kamu sebenarnya pengen jajan, kan? Bukan jalan-jalan?” “Kok Mas Dzaka tau?” Kirana memicing.“Dih, kita hidup bersama udah berbulan-bulan lamanya, Sayang. Apa yang gak aku tau dari kamu? Bahkan, dari hal paling semut sekalipun,” ujar Dzaka denga