Rey menunduk diam. Pikirannya berkecamuk seolah sedang mempermainkan akal sehatnya di dalam sana. Terbesit hasrat besar untuk menentang sebuah kenyataan. Apakah mungkin?
Ternyata, mengalah dengan keadaan tak melulu membuat terbiasa, malah terkadang memberi luka dari waktu ke waktu.Mungkin, sedikit butuh menentang kenyataan untuk memutar keadaan jadi lebih baik. Barangkali, dengan begitu bisa membalut luka yang telanjur parah.Rey, ia tak tahu seperti apa harus berdamai dengan keadaan yang membuat hidupnya justru tak tenang?“Aku sangat mencintainya, Raya,” ujar Rey pelan.“I see. Tapi, apa kau harus mengorbankan keyakinanmu untuknya? Apa kau pikir dengan mengikuti imannya, dia akan kembali padamu?”Rey kembali terdiam. Sesungguhnya, ia juga tak yakin akan hal itu. Terlebih, dia sangat mengenal sosok Kirana yang akan selalu teguh pada pendirian.Apakah Kirana masih mencintainya? Atau mungkin sudah berpaling darinya? <Dzaka menoleh menatap Kirana cukup lama dari ujung netranya Meskipun dari samping, ia tetap bisa menangkap betapa wajah wanita yang betah menyandarkan dagu di bahunya itu memang sangat cantik. ”Memangnya kamu tau dari mana kalau Dina suka sama Fikri? Kamu tak sedang nyamar jadi dukun kan, Sayang?”Kirana mencubit pinggang Dzaka sambil memanyunkan bibir kesal. Terkadang, mulut suaminya macam ban bocor belum ditambal.“Taulah. Itu tadi ....”Ucapan Kirana tiba-tiba terhenti tatkala pandangannya mengarah ke sudut lain di area pantai itu. Penglihatannya menangkap sepasang insan yang tengah berjalan menuju mobil. Wanita itu bergelayut mesra di lengan sang lelaki. Dari postur tubuh, Kirana merasa mengenal perempuan itu, meski ia hanya melihat dari belakang. Sayangnya, karena Kirana belum bisa memastikan. Sebab itu, ia melepaskan pelukannya dari Dzaka dan berjalan cepat dengan niat untuk menghampiri orang-orang itu sekadar untuk mema
Pemuda dengan gaya rambut sepanjang telinga itu membuka masker tatkala sudah mendaratkan bokong di mobilnya. Baru saja, ia telah menyelesaikan misi awalnya. Misi yang dirasa cukup membahagiakan.Ia menarik napas pelan sembari tersenyum sumir. Sesaat kemudian, ia mulai melajukan mobil meninggalkan halaman kantor tempat wanita pujaan hatinya bekerja. Rey. Ia tahu persis bahwa sedari dulu Kirana senang ketika dikasi bunga. Terlebih, buket bunga tulip yang dipadukan dengan cokelat. Tidak, bukan Kirana yang menyukai bunga tulip, tetapi Rey. Kirana orangnya fleksibel. Dia akan senantiasa menghargai pemberian orang. Namun, kali ini ... Rey memutuskan untuk tak memberikan bunga tulip untuk Kirana. Bukan tak lagi menyukai bunga itu, tetapi ia tak ingin identitasnya ditebak dengan mudah oleh Kirana. Biarkan bunga mawar merah yang sekarang menjadi saksi betapa cinta seorang Rey masih sempurna untuknya. Kirana semestinya mengingat dirinya yang identik dengan bunga tulip. Bukan, dengan bunga ma
Pada sebuah bar bertabur kerlap-kerlip lampu warna-warni di setiap sudutnya membuat gadis bergaun merah selutut itu terpaku dalam kebisingan. Kakinya seakan berat untuk melangkah, memasuki tempat remang yang bahkan sudah tak asing lagi baginya beberapa hari ini. Ia mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Alunan musik hip hop berdentum keras. Ada begitu banyak manusia berlawanan jenis yang seakan sangat menikmati suasana. Terlihat dari penampilannya, mereka seperti orang-orang dari kalangan atas. Barangkali, ada yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian agar sekejap melupakan beban. Ada yang mungkin memang hanya untuk bersenang-senang, bersama seorang wanita yang tentu disiapkan dan telah dibayar mahal. Jihan. Ia mengembuskan napas pelan sembari melangkah melewati orang-orang yang tengah berpesta dengan alkohol. Jika, kemarin-kemarin ia masih bisa mengantisipasi keadaan, memberikan begitu banyak alasan agar seseorang yang telah membayarnya
“Aku tidak tau kalau akhirnya seperti ini, Mas,” ucap Jihan pelan. Dari sorot matanya tampak penyesalan mendalam. Mengingat keputusannya mencari kerja karena tak ingin membebani Dzaka dan Kirana untuk terus menampung hidupnya. Namun, ternyata mencari kerja tak semudah yang dibayangkan. Salahnya juga karena terlalu berambisi untuk mengejar impian. Menjadi model sesuai dengan mimpinya sedari dulu. Ia percaya diri dengan kelebihan yang dimiliki, memiliki tubuh bagus, wajah cantik sehingga diyakini bisa membantunya mencapai impian. Ternyata tidak, ia justru terjebak pada mimpinya sendiri. “Bagaimana bisa Anda tidak tau, Nona? Bukankah sebelumnya Anda harus tanda tangan kontrak kerja?” Fikri mulai penasaran. Setidaknya ia ingin tahu kenapa gadis itu memilih jalan yang cukup suram? Seakan-akan sudah tak ada lagi jalan lain yang bisa ditempuh. Terlebih, sekenal Fikri tentang Jihan, gadis itu pernah mengidap depresi. Apakah tak aka
Kirana meneguk ludah susah payah. Sesekali melirik suaminya yang sedari tadi hanya membisu. Wajahnya datar dan ekspresi angkuhnya keluar. Kalau sudah begini, Kirana jadi tak enak hati. Padahal, sebenarnya ingin sekali ia menemui ReyTidak. Bukan karena cintanya masih bertahta dalam relung jiwa, tetapi karena ia ingin melihat keadaan Rey. Bagaimanapun juga, Rey adalah orang yang pernah berbuat baik padanya. Kirana tak akan pernah melupakan itu. Rey orang baik. Semua kebaikannya sangat tulus. Sayangnya, karena perbedaan keyakinan membuat mereka tak bisa bersama. Ah, tapi Kirana sudah berdamai dengan keadaan itu. Ia menerimanya, meski harus retak dan remuk lebih dulu.“Kirana, mau ya?” Raut wajah Raya penuh permohonan. Kirana kembali menelan ludah yang getir. Ia bingung mengambil keputusan. Menemui Rey, dia takut suaminya terluka. Tapi, jika tidak menemuinya, kasihan juga pada Rey. “Aku ....““Temui saja, Na,” ucap Dzaka cepat. Kirana sontak menoleh. Ia melihat suaminya melempar sen
Pertanyaan Rey yang menyinggung persoalan bunga membuat Kirana terperangah. Ludahnya yang kian kelu justru ditelan berulang kali. Ia tak habis pikir dengan Rey yang nekat mengirimkan bunga untuknya ke kantor.Entahlah, Kirana tak tahu apa motifnya? Tapi, Kirana menganggap Rey sudah sangat kelewatan. “Kiranaku,” ucap Rey. Dia mulai terbiasa dengan wajahnya yang terasa kaku. “Seketika, rasa sakit tubuhku menghilang ... melihat dirimu,” lirih Rey. Bibirnya tersungging tipis mencipta seutas senyum. Meski sesekali ia terlihat meringis menahan sakit akibat luka-luka di sekujur tubuhnya. “Jangan terlalu banyak bicara dulu, Kak. Lukamu masih basah.” Raya memperingati. “Raya, Rey, aku sebaiknya pulang aja, deh. Biar Rey istirahat juga. Soalnya, suamiku juga masih nunggu di luar. Kasian nanti kelamaan nunggu,” tutur Kirana. Sejatinya, dia tak ingin berlama-lama berada di sana. Ia takut emosinya tak stabil menghadapi sikap Rey yang men
“Mas, jalan-jalan dulu, yuk. Belum terlalu larut juga. Mumpung kita lagi di luar,” ajak Kirana.“Boleh. Mau ke mana?” tanya Dzaka. Ia menoleh sebentar ke arah istrinya, lalu kembali fokus pada kemudi mobil. “Hmm.” Jari telunjuk Kirana mengetuk-ngetuk dagu sambil berpikir. “Ke mana aja, deh. Kalau bareng Mas Dzaka, mau di mana pun aku gak akan takut diculik.”“Kalau diculik ke hotel, gimana?” Dzaka menaikkan alisnya. Dia bak orang menahan senyum. Bola mata Kirana berputar, malas. Risiko punya suami yang rada-rada otaknya geser ke mana-mana. Pembahasan suka belok kanan hadap kiri. “Bukan jalan-jalan jadinya,” gerutu Kirana. Dzaka tertawa. Tangan kirinya meraih pipi wanitanya dan mencubit gemes. Terlebih melihat wanitanya sedang manyun.“Tau. Kamu sebenarnya pengen jajan, kan? Bukan jalan-jalan?” “Kok Mas Dzaka tau?” Kirana memicing.“Dih, kita hidup bersama udah berbulan-bulan lamanya, Sayang. Apa yang gak aku tau dari kamu? Bahkan, dari hal paling semut sekalipun,” ujar Dzaka denga
“Na, aku mohon jangan katakan apa pun pada Ibu tentang aku.” Jihan menggenggam erat tangan Kirana. Wajahnya memelas penuh permohonan. Sirat kecemasan pada bola matanya pun terpatri sangat jelas. “Aku takut Ibu marah besar jika tau semuanya. Aku mohon, kalian merahasiakan ini dulu dari Ibu. Ya, Na ... Dzaka. Pliss.” Jihan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Matanya yang sangat cenderung kecemasan itu menatap Kirana dan Dzaka bergantian.Sementara itu, Kirana hanya bergeming. Dia seakan enggan untuk melihat sang kakak yang saat ini duduk di sebelahnya. Dzaka pun demikian tak terlalu mencampuri obrolan mereka yang tampaknya terdapat kecenderungan emosi. Pria itu hanya diam tak merespons meski sebenarnya seseorang sangat butuh kerja samanya. Walaupun demikian, dari spion tengah mobil, Dzaka sesekali melihat sang istri yang jelas sekali dari wajahnya raut kekecewaan itu.“Na. Aku terpaksa melakukan ini. Aku dijebak,” ucap Jihan dengan
Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang
Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k
Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d
Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha
Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia
“Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek
“Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di
Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera
Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,