Pada sebuah bar bertabur kerlap-kerlip lampu warna-warni di setiap sudutnya membuat gadis bergaun merah selutut itu terpaku dalam kebisingan. Kakinya seakan berat untuk melangkah, memasuki tempat remang yang bahkan sudah tak asing lagi baginya beberapa hari ini. Ia mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Alunan musik hip hop berdentum keras. Ada begitu banyak manusia berlawanan jenis yang seakan sangat menikmati suasana. Terlihat dari penampilannya, mereka seperti orang-orang dari kalangan atas. Barangkali, ada yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian agar sekejap melupakan beban. Ada yang mungkin memang hanya untuk bersenang-senang, bersama seorang wanita yang tentu disiapkan dan telah dibayar mahal. Jihan. Ia mengembuskan napas pelan sembari melangkah melewati orang-orang yang tengah berpesta dengan alkohol. Jika, kemarin-kemarin ia masih bisa mengantisipasi keadaan, memberikan begitu banyak alasan agar seseorang yang telah membayarnya
“Aku tidak tau kalau akhirnya seperti ini, Mas,” ucap Jihan pelan. Dari sorot matanya tampak penyesalan mendalam. Mengingat keputusannya mencari kerja karena tak ingin membebani Dzaka dan Kirana untuk terus menampung hidupnya. Namun, ternyata mencari kerja tak semudah yang dibayangkan. Salahnya juga karena terlalu berambisi untuk mengejar impian. Menjadi model sesuai dengan mimpinya sedari dulu. Ia percaya diri dengan kelebihan yang dimiliki, memiliki tubuh bagus, wajah cantik sehingga diyakini bisa membantunya mencapai impian. Ternyata tidak, ia justru terjebak pada mimpinya sendiri. “Bagaimana bisa Anda tidak tau, Nona? Bukankah sebelumnya Anda harus tanda tangan kontrak kerja?” Fikri mulai penasaran. Setidaknya ia ingin tahu kenapa gadis itu memilih jalan yang cukup suram? Seakan-akan sudah tak ada lagi jalan lain yang bisa ditempuh. Terlebih, sekenal Fikri tentang Jihan, gadis itu pernah mengidap depresi. Apakah tak aka
Kirana meneguk ludah susah payah. Sesekali melirik suaminya yang sedari tadi hanya membisu. Wajahnya datar dan ekspresi angkuhnya keluar. Kalau sudah begini, Kirana jadi tak enak hati. Padahal, sebenarnya ingin sekali ia menemui ReyTidak. Bukan karena cintanya masih bertahta dalam relung jiwa, tetapi karena ia ingin melihat keadaan Rey. Bagaimanapun juga, Rey adalah orang yang pernah berbuat baik padanya. Kirana tak akan pernah melupakan itu. Rey orang baik. Semua kebaikannya sangat tulus. Sayangnya, karena perbedaan keyakinan membuat mereka tak bisa bersama. Ah, tapi Kirana sudah berdamai dengan keadaan itu. Ia menerimanya, meski harus retak dan remuk lebih dulu.“Kirana, mau ya?” Raut wajah Raya penuh permohonan. Kirana kembali menelan ludah yang getir. Ia bingung mengambil keputusan. Menemui Rey, dia takut suaminya terluka. Tapi, jika tidak menemuinya, kasihan juga pada Rey. “Aku ....““Temui saja, Na,” ucap Dzaka cepat. Kirana sontak menoleh. Ia melihat suaminya melempar sen
Pertanyaan Rey yang menyinggung persoalan bunga membuat Kirana terperangah. Ludahnya yang kian kelu justru ditelan berulang kali. Ia tak habis pikir dengan Rey yang nekat mengirimkan bunga untuknya ke kantor.Entahlah, Kirana tak tahu apa motifnya? Tapi, Kirana menganggap Rey sudah sangat kelewatan. “Kiranaku,” ucap Rey. Dia mulai terbiasa dengan wajahnya yang terasa kaku. “Seketika, rasa sakit tubuhku menghilang ... melihat dirimu,” lirih Rey. Bibirnya tersungging tipis mencipta seutas senyum. Meski sesekali ia terlihat meringis menahan sakit akibat luka-luka di sekujur tubuhnya. “Jangan terlalu banyak bicara dulu, Kak. Lukamu masih basah.” Raya memperingati. “Raya, Rey, aku sebaiknya pulang aja, deh. Biar Rey istirahat juga. Soalnya, suamiku juga masih nunggu di luar. Kasian nanti kelamaan nunggu,” tutur Kirana. Sejatinya, dia tak ingin berlama-lama berada di sana. Ia takut emosinya tak stabil menghadapi sikap Rey yang men
“Mas, jalan-jalan dulu, yuk. Belum terlalu larut juga. Mumpung kita lagi di luar,” ajak Kirana.“Boleh. Mau ke mana?” tanya Dzaka. Ia menoleh sebentar ke arah istrinya, lalu kembali fokus pada kemudi mobil. “Hmm.” Jari telunjuk Kirana mengetuk-ngetuk dagu sambil berpikir. “Ke mana aja, deh. Kalau bareng Mas Dzaka, mau di mana pun aku gak akan takut diculik.”“Kalau diculik ke hotel, gimana?” Dzaka menaikkan alisnya. Dia bak orang menahan senyum. Bola mata Kirana berputar, malas. Risiko punya suami yang rada-rada otaknya geser ke mana-mana. Pembahasan suka belok kanan hadap kiri. “Bukan jalan-jalan jadinya,” gerutu Kirana. Dzaka tertawa. Tangan kirinya meraih pipi wanitanya dan mencubit gemes. Terlebih melihat wanitanya sedang manyun.“Tau. Kamu sebenarnya pengen jajan, kan? Bukan jalan-jalan?” “Kok Mas Dzaka tau?” Kirana memicing.“Dih, kita hidup bersama udah berbulan-bulan lamanya, Sayang. Apa yang gak aku tau dari kamu? Bahkan, dari hal paling semut sekalipun,” ujar Dzaka denga
“Na, aku mohon jangan katakan apa pun pada Ibu tentang aku.” Jihan menggenggam erat tangan Kirana. Wajahnya memelas penuh permohonan. Sirat kecemasan pada bola matanya pun terpatri sangat jelas. “Aku takut Ibu marah besar jika tau semuanya. Aku mohon, kalian merahasiakan ini dulu dari Ibu. Ya, Na ... Dzaka. Pliss.” Jihan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Matanya yang sangat cenderung kecemasan itu menatap Kirana dan Dzaka bergantian.Sementara itu, Kirana hanya bergeming. Dia seakan enggan untuk melihat sang kakak yang saat ini duduk di sebelahnya. Dzaka pun demikian tak terlalu mencampuri obrolan mereka yang tampaknya terdapat kecenderungan emosi. Pria itu hanya diam tak merespons meski sebenarnya seseorang sangat butuh kerja samanya. Walaupun demikian, dari spion tengah mobil, Dzaka sesekali melihat sang istri yang jelas sekali dari wajahnya raut kekecewaan itu.“Na. Aku terpaksa melakukan ini. Aku dijebak,” ucap Jihan dengan
“Semalam Fikri chat,” ujar Dzaka membuka pembicaraan di pagi buta itu. Tangannya bergerak naik turun mengusap lembut rambut sang istri yang berbaring di dadanya seolah sengaja ingin mendengarkan detak jantungnya.“Bilang apa?” tanya Kirana. Suaranya pelan dan sedikit serak.Dzaka menghela napas panjang, sembari memejamkan mata.“Beberapa hari yang lalu, Fikri ketemu Kak Jihan di bar. Dia melihat Kak Jihan nyaris dilecehkan di sana,” ungkap Dzaka. Dia melirik istrinya yang tengah mendengarkan sembari sesekali memejamkan mata. “Saat itu, Fikri sudah menduga Kak Jihan kerja, tapi dia tetap menolong karena kasihan Kak Jihan bekerja seperti orang tertekan. Sama seperti tadi malam, dia mengaku dijebak. Dia harus membayar penalti jika ingin keluar dari pekerjaan itu,” jelas Dzaka. Kirana sontak menatap suaminya yang juga melihat ke arahnya. Jujur, ia masih tak mengerti. Meskipun, kini ia mengingat bahwa kadang perempuan yang bekerja di bar kad
“Loh, Suamimu sudah rapi aja, Na. Mau ke mana, bukannya hari Minggu ya?” Wulan mengangkat alis penasaran tatkala tak sengaja melihat menantunya menuruni anak tangga. Kirana menoleh ke arah Dzaka sebentar. Lantas, mengalihkan pandangan ke arah Jihan yang sedang menyiapkan piring di meja makan.“Ada urusan di luar, Bu,” jawabnya tetap cekatan menuang sayur sup ke mangkok. Risiko datang terakhir, pekerjaan dapur sudah nyaris selesai. Tinggal setor muka doang. “Kamu gak ikut?”“Gak, Bu. Mas Dzaka pergi dengan Mas Fikri. Lagian ini urusan luar kantor, kok,” jawabnya. Sudut matanya sempat melihat Jihan yang tampak gelagapan salah tingkah. Kirana tahu, Jihan pasti khawatir kalau ia mengatakan persoalan tadi malam pada sang ibu.“Kau kerja hari ini, Jihan?” tanya Wulan sembari mendekati Jihan.Sambil menyelesaikan pekerjaannya, Kirana tak berhenti menatap Jihan. Di sudut meja, gadis itu bak orang panik, terlihat jelas dari ra