“Aku tau kalian dijodohkan, tapi aku juga tau kalau cinta kalian sudah sama-sama kuat. Jadi, tolong jangan jadikan aku alasan sehingga hubungan kalian merenggang. Maafkan aku, Kirana.”
Clarissa menunduk lesu. Tangannya masih menggenggam erat kedua tangan Kirana sebagai permintaan maafnya.Cukup lama, Clarissa menunduk. Hingga beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah dan memandang Kirana. Tatapannya yang sendu bak penuh permohonan.Sedang Kirana, ia hanya terpaku dalam kebimbangan. Rasa benci yang semula menggerogoti hatinya perlahan alih fungsi sebagai rasa bersalah.Entahlah, Kirana melihat sebuah ketulusan dan kejujuran yang terpatri dari manik mata Clarissa. Jika yang semua dikatakan benar adanya, Kirana benar-benar menyesalinya.Ia menyesali karena telah menduga terlalu berlebihan pada gadis itu.“Aku mengalah, Na. Mengalah untuk mengejar Dzaka,” tutut Clarissa. “Sekeras apa pun aku berjuang untuk merebut hatinya, tap“Mas.” Kirana berjalan ke arah suaminya yang sedang memakai jas di depan cermin. “Kenapa, Sayang?" tanyanya sembari berbalik. Kemudian, meletakkan kedua lengan di bahu Kirana. Lantas mengecup singkat bibir sang istri.Kirana tersenyum masam. Wajahnya datar setia dengan ekspresi juteknya. Dari cahaya mata belo itu ia terlihat menyimpan sesuatu. “Aku balik kerja aja boleh, nggak?” tanyanya memajukan bibir sedikit. Sesekali menunduk karena ragu pertanyaan yang mendominasi permintaan itu akan ditentang oleh sang suami. “Alasannya?” Alis Dzaka terangkat. Tatapannya mengamati setiap inci wajah istrinya. Kirana berdehem pelan. “Bosan di rumah, yang ada keingat terus sama anak kita. Siapa tau dengan kerja, menyibukkan diri aku bisa lupa segalanya. Setidaknya berdamai dengan keadaan.”Spontan, Dzaka meneguk ludah. Sekejap, mengalihkan pandangan dan terlihat berpikir. Sesaat kemudian, ia menatap istrinya sangat dalam. Perlah
Hari-hari berat penuh tekanan dan rasa bersalah menghantui mau tidak mau dijalani oleh seorang Jihan Larasati. Dia kini terjebak pada kegelapan duniawi yang menjanjikan kehidupan terang benderang. Padahal, nyatanya semua berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Ah, sebenarnya bukan terjebak. Akan tetapi, ia dijebak oleh seseorang yang mengaku akan membantu membawa namanya berkiprah ke dunia industri permodelan. Terkadang, Jihan menyesali keputusannya sendiri. Rasanya ingin kabur dan keluar dari kehidupan tanpa cahaya itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hitam di atas putih adalah bukti perjanjian yang sebenarnya tidak dibaca sama sekali. Dia menyadari kebodohannya kala itu. Dengan keinginan yang menggebu untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan belaka, ia terlalu berambisi sehingga lupa segalanya. Dunianya sekarang gelap gulita. Lain posisi dengan Kirana, yang hari ini juga sudah kembali bekerja di kantor suaminya. Namun,
“Dari dulu, dia kan punya impian untuk jadi model,” lanjut Wulan. Kirana bergeming. Ia kini ikut memikirkan segala kemungkinan yang ada. Kirana menyadari bahwa tubuh kakaknya memang bibit-bibit unggul untuk menjadi seorang model. Tapi, yang Kirana pikir bahwa untuk jadi model prosesnya tak semudah itu, bukan? Sekarang ia merasa tak boleh tinggal diam. Dia harus mencari tahu dan bercerita dari hati ke hati dengan sang kakak yang memang akhir-akhir jarang sekali mengobrol dengannya. “Ibu tenang dulu. Besok aku akan bicara dengan Kak Jihan. Sekarang, Ibu istirahatlah dulu. Sudah malam,” pinta Kirana sekadar menenangkan.Wulan mengangguk. Lalu, berdiri berpegangan pada tongkatnya. Kondisi kakinya memang belum pulih sepenuhnya, tapi setidaknya cukup membaik. Wulan sudah bisa berjalan, meski dengan bantuan satu tongkat. “Ibu ke kamar dulu. Kamu juga istirahat, Na. Besok kerja, kan?” “Iya, Bu.”Selepas kepergian sang ibu,
Kirana tak berkutik mendengar tanggapan sang kakak. Ia menatap tajam Jihan yang sedari tadi seperti enggan untuk melihatnya. Bahkan, sikapnya seolah malas dengan keberadaan Kirana di kamarnya. “Aku akan mencari tempat tinggal sendiri agar kepulanganku saat tengah malam, tak menganggu kalian,” katanya lagi. Sejatinya, bukan jawaban itu yang Kirana harapkan. Di sini, dia hanya ingin tahu detail pekerjaan sang kakak seperti apa di luar sana? Itu saja. Kirana memejamkan mata sekilas. Bukan maksudnya ia terganggu dengan aktivitas Jihan yang kerap pulang tengah malam, tidak sama sekali. Hanya saja, ia khawatir dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di luar sana. Dia sebatas ingin tahu kehidupan sang kakak yang menolak dibantu dan tetap kekeh untuk berusaha sendiri. Tapi, tampaknya keputusan untuk bercerita dengan Jihan bukanlah solusi. Justru, malah membuat Jihan salah paham dengan niatnya yang sekadar ingin mengingatkan.. “Kak, aku b
Sejatinya, perkara Fikri yang dipindahkan ke bagian Human Resource, Kirana juga tak tahu persis alasannya. Padahal, sebenarnya Fikri bisa saja tetap pada posisinya seperti biasa meskipun kehadiran dirinya sebagai sekretaris Dzaka. Namun, keputusan sang suami sudah bulat untuk memindahkan Dzaka. Entahlah, katanya Dzaka sudah tak butuh seorang asisten sekarang. Konon, dia juga memberikan kesempatan pada Fikri untuk berkembang dalam karirnya. Tak hanya mentok mengikutinya ke mana pun dan kapan pun. Sesungguhnya, Kirana tak tahu bahwa alasan utama Fikri dipindahkan ke posisi lain oleh suaminya adalah dirinya. Semenjak kejadian perseteruannya dengan Fikri, Dzaka takut jika sahabatnya itu akan merebut Kirana darinya. Terlebih, mendengar pengakuan Fikri yang mencintai sang istri. Sungguh, Dzaka tak ingin hal itu terjadi. Dia tak rela sahabatnya mengincar istrinya. Walaupun, sebenarnya ia tahu bahwa Fikri tak akan mungkin melakukan hal itu. Fikri adalah orang y
Rey menunduk diam. Pikirannya berkecamuk seolah sedang mempermainkan akal sehatnya di dalam sana. Terbesit hasrat besar untuk menentang sebuah kenyataan. Apakah mungkin?Ternyata, mengalah dengan keadaan tak melulu membuat terbiasa, malah terkadang memberi luka dari waktu ke waktu.Mungkin, sedikit butuh menentang kenyataan untuk memutar keadaan jadi lebih baik. Barangkali, dengan begitu bisa membalut luka yang telanjur parah. Rey, ia tak tahu seperti apa harus berdamai dengan keadaan yang membuat hidupnya justru tak tenang?“Aku sangat mencintainya, Raya,” ujar Rey pelan. “I see. Tapi, apa kau harus mengorbankan keyakinanmu untuknya? Apa kau pikir dengan mengikuti imannya, dia akan kembali padamu?”Rey kembali terdiam. Sesungguhnya, ia juga tak yakin akan hal itu. Terlebih, dia sangat mengenal sosok Kirana yang akan selalu teguh pada pendirian. Apakah Kirana masih mencintainya? Atau mungkin sudah berpaling darinya?
Dzaka menoleh menatap Kirana cukup lama dari ujung netranya Meskipun dari samping, ia tetap bisa menangkap betapa wajah wanita yang betah menyandarkan dagu di bahunya itu memang sangat cantik. ”Memangnya kamu tau dari mana kalau Dina suka sama Fikri? Kamu tak sedang nyamar jadi dukun kan, Sayang?”Kirana mencubit pinggang Dzaka sambil memanyunkan bibir kesal. Terkadang, mulut suaminya macam ban bocor belum ditambal.“Taulah. Itu tadi ....”Ucapan Kirana tiba-tiba terhenti tatkala pandangannya mengarah ke sudut lain di area pantai itu. Penglihatannya menangkap sepasang insan yang tengah berjalan menuju mobil. Wanita itu bergelayut mesra di lengan sang lelaki. Dari postur tubuh, Kirana merasa mengenal perempuan itu, meski ia hanya melihat dari belakang. Sayangnya, karena Kirana belum bisa memastikan. Sebab itu, ia melepaskan pelukannya dari Dzaka dan berjalan cepat dengan niat untuk menghampiri orang-orang itu sekadar untuk mema
Pemuda dengan gaya rambut sepanjang telinga itu membuka masker tatkala sudah mendaratkan bokong di mobilnya. Baru saja, ia telah menyelesaikan misi awalnya. Misi yang dirasa cukup membahagiakan.Ia menarik napas pelan sembari tersenyum sumir. Sesaat kemudian, ia mulai melajukan mobil meninggalkan halaman kantor tempat wanita pujaan hatinya bekerja. Rey. Ia tahu persis bahwa sedari dulu Kirana senang ketika dikasi bunga. Terlebih, buket bunga tulip yang dipadukan dengan cokelat. Tidak, bukan Kirana yang menyukai bunga tulip, tetapi Rey. Kirana orangnya fleksibel. Dia akan senantiasa menghargai pemberian orang. Namun, kali ini ... Rey memutuskan untuk tak memberikan bunga tulip untuk Kirana. Bukan tak lagi menyukai bunga itu, tetapi ia tak ingin identitasnya ditebak dengan mudah oleh Kirana. Biarkan bunga mawar merah yang sekarang menjadi saksi betapa cinta seorang Rey masih sempurna untuknya. Kirana semestinya mengingat dirinya yang identik dengan bunga tulip. Bukan, dengan bunga ma
Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang
Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k
Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d
Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha
Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia
“Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek
“Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di
Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera
Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,