Kondisi di ruang rawat yang cukup besar itu hanya ada keheningan. Semua seakan tak punya gairah untuk berbicara.
Suasana hening mencekam mengantar kedukaan yang tercipta. Baru saja mereka harus menerima kenyataan bahwa Kirana yang tengah mengandung harus menjalani kuretase. Kandungannya tak bisa diselamatkan pasca kecelakaan yang menimpanya.Kini, wanita malang itu masih setia menutup mata. Sedangkan, suaminya sedari tadi duduk di samping ranjang sembari menggenggam tangan dan mengelus kepala sang istri. Sesekali, Dzaka terlihat mencium tangan Kirana.Raut wajahnya sudah sangat kusut. Rambutnya berantakan, bahkan perutnya yang sedari tadi berbunyi tak digubris sama sekali. Ia seakan tak kuasa melakukan apa pun.Raganya seperti tak ada kekuatan menyaksikan wanitanya tengah terbaring lemah. Bersamaan dengan kenyataan yang harus membuatnya merelakan kehilangan anak pertama sebelum sempat melihat dunia.Andari melangkah pelan mendekati sa“Gimana Kirana, Ka?” tanya Clarissa yang saat ini masih terbaring lemah. Dzaka tak menjawab, juga tidak menggeleng. Ia hanya diam dengan pandangan kosong. Tangannya berada dalam saku celana. Ya, sore itu ia menyempatkan diri untuk menjenguk Clarissa yang dirawat tak jauh dari ruangan Kirana. Kirana memang sudah sadar, tetapi sampai kini masih enggan untuk bercerita dengan Dzaka. Walaupun hanya sebentar. Dzaka bisa memaklumi, terlebih mengingat kejadian yang menimpa sang istri memang terjadi setelah kelalaiannya. Dia terlambat menolong Kirana. Satu hal yang pasti, Dzaka juga menyadari kesalahan bahwa Kirana begitu marah padanya karena dirinya memilih menolong Clarissa dibanding memedulikannya. Ya, Dzaka sadar itu salah. Tapi, kala itu ia juga bingung harus melakukan apa. Clarissa berada dalam dekapannya. Tak mungkin, dia menghempaskan Clarissa begitu saja di saat gadis itu terluka karena menolong dirinya. “Dzaka.”
Pandangan Dzaka tak lepas memperhatikan istrinya yang tengah duduk di ranjang dengan tatapan kosong. Entah apa yang saat ini sangat membebani wanita itu sehingga harapan hidupnya seolah lenyap begitu saja. Ya, sekembalinya ke rumah dari rumah sakit beberapa hari lalu, Kirana justru terlihat bak punya beban pikiran yang tiada habisnya. Perkara kehilangan, mungkin menjadi alasan alur hidupnya bak dipenuhi dengan kegelapan. Kirana berubah menjadi pemurung yang bahkan untuk berbicara saja hanya ketika ditanya. Itu pun, dia cukup menjawab singkat. Tentu, membuat Dzaka harus lebih bersabar lagi menghadapi temperamen wanitanya yang saat ini sedang buruk.Dia juga tak berselera untuk sekadar memasukkan makanan ke perut. Dulu, dia yang doyan ngemil sekarang seolah membuang kebiasaannya. Cemilan yang dibelikan Dzaka tak tersentuh sama sekali.Sebab itu, tubuhnya sudah terlihat sangat kurus. Kelopak mata indahnya tampak menghitam. Ya, mengapa tidak? Sebab,
Raut wajah Kirana seketika berubah. Kilau ketidaksukaan dan rasa iba tampak tersirat dalam rona wajah putihnya. Entahlah, di satu sisi rasanya dia masih ingin tetap pada pendirian, tak ingin menemui gadis yang diyakini menyimpan cinta untuk suaminya itu.Namun, di sisi lain ia juga merasa tak tega karena Clarissa sudah berulang kali datang hanya untuk menemui dirinya, tetapi tak pernah ditemui. Gadis itu pasti sudah mengorbankan banyak waktu dan tenga untuk datang, lantas pulang tanpa membawa apa-apa. Ah, rupanya apa yang membuatnya ingin menemui Kirana? Kirana merasa dirinya tak pernah melakukan kesalahan padanya. Justru, sebaliknya Kirana yang membenci gadis itu. Seharusnya, dirinya yang menemui Clarissa untuk sekadar melabrak, mungkin. Barangkali juga untuk memintanya menjauhi Dzaka, jika bisa. Toh, bukankah dia tau Dzaka sudah punya istri, lalu mengapa masih jua didekati? Apakah mungkin rasa cintanya begitu besar untuk Dzaka? Sebe
“Aku tau kalian dijodohkan, tapi aku juga tau kalau cinta kalian sudah sama-sama kuat. Jadi, tolong jangan jadikan aku alasan sehingga hubungan kalian merenggang. Maafkan aku, Kirana.” Clarissa menunduk lesu. Tangannya masih menggenggam erat kedua tangan Kirana sebagai permintaan maafnya. Cukup lama, Clarissa menunduk. Hingga beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah dan memandang Kirana. Tatapannya yang sendu bak penuh permohonan. Sedang Kirana, ia hanya terpaku dalam kebimbangan. Rasa benci yang semula menggerogoti hatinya perlahan alih fungsi sebagai rasa bersalah. Entahlah, Kirana melihat sebuah ketulusan dan kejujuran yang terpatri dari manik mata Clarissa. Jika yang semua dikatakan benar adanya, Kirana benar-benar menyesalinya. Ia menyesali karena telah menduga terlalu berlebihan pada gadis itu. “Aku mengalah, Na. Mengalah untuk mengejar Dzaka,” tutut Clarissa. “Sekeras apa pun aku berjuang untuk merebut hatinya, tap
“Mas.” Kirana berjalan ke arah suaminya yang sedang memakai jas di depan cermin. “Kenapa, Sayang?" tanyanya sembari berbalik. Kemudian, meletakkan kedua lengan di bahu Kirana. Lantas mengecup singkat bibir sang istri.Kirana tersenyum masam. Wajahnya datar setia dengan ekspresi juteknya. Dari cahaya mata belo itu ia terlihat menyimpan sesuatu. “Aku balik kerja aja boleh, nggak?” tanyanya memajukan bibir sedikit. Sesekali menunduk karena ragu pertanyaan yang mendominasi permintaan itu akan ditentang oleh sang suami. “Alasannya?” Alis Dzaka terangkat. Tatapannya mengamati setiap inci wajah istrinya. Kirana berdehem pelan. “Bosan di rumah, yang ada keingat terus sama anak kita. Siapa tau dengan kerja, menyibukkan diri aku bisa lupa segalanya. Setidaknya berdamai dengan keadaan.”Spontan, Dzaka meneguk ludah. Sekejap, mengalihkan pandangan dan terlihat berpikir. Sesaat kemudian, ia menatap istrinya sangat dalam. Perlah
Hari-hari berat penuh tekanan dan rasa bersalah menghantui mau tidak mau dijalani oleh seorang Jihan Larasati. Dia kini terjebak pada kegelapan duniawi yang menjanjikan kehidupan terang benderang. Padahal, nyatanya semua berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Ah, sebenarnya bukan terjebak. Akan tetapi, ia dijebak oleh seseorang yang mengaku akan membantu membawa namanya berkiprah ke dunia industri permodelan. Terkadang, Jihan menyesali keputusannya sendiri. Rasanya ingin kabur dan keluar dari kehidupan tanpa cahaya itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hitam di atas putih adalah bukti perjanjian yang sebenarnya tidak dibaca sama sekali. Dia menyadari kebodohannya kala itu. Dengan keinginan yang menggebu untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan belaka, ia terlalu berambisi sehingga lupa segalanya. Dunianya sekarang gelap gulita. Lain posisi dengan Kirana, yang hari ini juga sudah kembali bekerja di kantor suaminya. Namun,
“Dari dulu, dia kan punya impian untuk jadi model,” lanjut Wulan. Kirana bergeming. Ia kini ikut memikirkan segala kemungkinan yang ada. Kirana menyadari bahwa tubuh kakaknya memang bibit-bibit unggul untuk menjadi seorang model. Tapi, yang Kirana pikir bahwa untuk jadi model prosesnya tak semudah itu, bukan? Sekarang ia merasa tak boleh tinggal diam. Dia harus mencari tahu dan bercerita dari hati ke hati dengan sang kakak yang memang akhir-akhir jarang sekali mengobrol dengannya. “Ibu tenang dulu. Besok aku akan bicara dengan Kak Jihan. Sekarang, Ibu istirahatlah dulu. Sudah malam,” pinta Kirana sekadar menenangkan.Wulan mengangguk. Lalu, berdiri berpegangan pada tongkatnya. Kondisi kakinya memang belum pulih sepenuhnya, tapi setidaknya cukup membaik. Wulan sudah bisa berjalan, meski dengan bantuan satu tongkat. “Ibu ke kamar dulu. Kamu juga istirahat, Na. Besok kerja, kan?” “Iya, Bu.”Selepas kepergian sang ibu,
Kirana tak berkutik mendengar tanggapan sang kakak. Ia menatap tajam Jihan yang sedari tadi seperti enggan untuk melihatnya. Bahkan, sikapnya seolah malas dengan keberadaan Kirana di kamarnya. “Aku akan mencari tempat tinggal sendiri agar kepulanganku saat tengah malam, tak menganggu kalian,” katanya lagi. Sejatinya, bukan jawaban itu yang Kirana harapkan. Di sini, dia hanya ingin tahu detail pekerjaan sang kakak seperti apa di luar sana? Itu saja. Kirana memejamkan mata sekilas. Bukan maksudnya ia terganggu dengan aktivitas Jihan yang kerap pulang tengah malam, tidak sama sekali. Hanya saja, ia khawatir dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di luar sana. Dia sebatas ingin tahu kehidupan sang kakak yang menolak dibantu dan tetap kekeh untuk berusaha sendiri. Tapi, tampaknya keputusan untuk bercerita dengan Jihan bukanlah solusi. Justru, malah membuat Jihan salah paham dengan niatnya yang sekadar ingin mengingatkan.. “Kak, aku b