Baik Kirana dan Fikri berdiri kaku melihat wanita dengan tongkatnya itu sudah berdiri di teras. Tampaknya, ia telah mendengar pembicaraan meraka.
Kirana memejamkan mata sekilas seraya menelan ludahnya yang kelu.“Siapa yang ditahan?” Wulan berjalan tertatih menghampiri dua insan yang dalam keadaan bungkam itu.“Nana, ke mana Dzaka? Kenapa Ibu tidak melihatnya pagi ini?” tanya Wulan yang membuat Kirana semakin tak berdaya.Sementara Fikri, ia juga tidak tahu harus bagaimana. Dia merasa tak perlu menjelaskan. Akan lebih baik jika istri atasannya itu yang menjelaskan sendiri pada ibunya.“Maaf, Nona. Aku harus permisi, masih ada urusan. Kalau Nona ingin keluar, tolong jangan sungkan untuk menghubungiku atau minta bantuan sama pengawal yang sedang berjaga. Mereka akan mengantar Anda," tutur Fikri. Ia lalu menangkupkan tangannya di depan dada, sambil tersenyum ke arah Kirana dan juga Wulan yang masih berdiri penuh tanda tanya.SelDzaka memperbaiki posisi duduknya. Ia membuang napas berat. Tangannya tak lepas menggenggam erat tangan sang istri yang masih duduk di sebelahnya. “Jujur, persoalan dana perusahaan, aku sudah ikhlas. Bunda juga demikian. Papa sudah menerima konsekuensinya. Kurasa, itu sudah cukup menghukumnya atas apa yang dilakukan pada perusahaan,” tutur Dzaka pada kuasa hukum keluarganya yang sengaja diminta datang. Dzaka menghela napas. “Jadi, jika persoalan penggelapan dana, aku tidak bisa melaporkan Papa. Biarkan saja. Aku anggap, semua sudah selesai lewat kekeluargaan.”Pria berjas hitam itu manggut-manggut. Dia menyandarkan punggung sofa, lalu merentangkan kedua tangan di atas sandaran sofa. Sementara, Kirana sesekali melirik suaminya. Kirana benar-benar tidak menyangka jika Dzaka memutuskan untuk tak melaporkan Danial. Ya, Kirana sekarang tahu, sebenci apa pun suaminya pada sang papa, ia juga tak akan tega melihat papanya tersiksa dalam jeruji besi.
Pria paruh baya yang membawa glass squeegee alias alat penyeka air itu berjalan cepat. Saat ini ia diminta membersihkan ruangan sang atasan yang diprotes masih kotor. Padahal, sebenarnya rekannya telah membersihkan di sana. Ia menggunakan lift karyawan untuk sampai di lantai delapan. Saat keluar, matanya disuguhkan oleh pemandangan tak mengenakkan. Seorang gadis yang sangat dikenalnya terlihat ditarik paksa entah akan dibawa ke mana.Pria itu memutuskan untuk sembunyi, ia tidak ingin mendapatkan masalah terlebih melihat wajah garang kedua pria yang menyeret gadis tersebut. Sejatinya, dia ingin sekali menolong sang gadis yang dikenal sebagai kekasih salah satu orang penting di perusahaan, tapi harus bagaimana? Sedangkan ia hanya seorang office boy yang tidak ada apa-apanya. Setelah gadis dan dua pria itu berhasil masuk lift pimpinan, dia baru keluar dari persembunyiannya dan langsung menuju ruangan sang pimpinan. Tentu, di sana dia dimaki karena ruangannya masih kotor. Padahal, seben
“Tuan Danial menemui Bapak dan langsung memecat di hari itu juga, Pak Fikri,” ungkap Pak Abdul. Ia menghela napas berat dan kembali memutar memori satu tahun silam. “Jika masih ingin hidup, pergi dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di perusahaan saya,” suara Danial sangat lembut, tapi penuh penekanan. Tangannya dilipat di depan dada. Namun, tatapannya tajam bak singa yang akan menerjang mangsa. Pak Abdul meneguk ludahnya dalam-dalam. Ia menunduk takut bersama dengan debaran jantung yang semakin menggila. “Apakah Tuan memecat saya?” tanyanya. Sekadar memastikan. “Menurutmu?” Danial menaikkan kedua alisnya. Seketika itu, Pak Abdul mengangguk pasrah. “Baik, Tuan. Kalau begitu, saya akan pergi.”Pak Abdul hendak melangkah. Tetapi, Danial menahannya. Ia merapatkan posisi pada Pak Abdul, membuat pria itu mundur hingga mentok di dinding karena ketakutan. “Jangan katakan apa pun tentang apa yang ka
Clarissa dan Wina sontak menghadap ke belakang. Lalu, saling berpandangan. Raut wajah keduanya terlihat panik, bersama mobil yang terus melaju dengan kecepatan tinggi. “Apa perlu kita katakan pada Mas Fikri, Mbak?” tanya Wina. Ia berulang kali menghadap ke belakang, sekadar memastikan bahwa mobil berwarna hitam itu benar-benar mengikuti pergerakan mobil mereka. Clarissa kembali melihat ke belakang. Kemudian, menggeleng pelan. “Tidak perlu. Kita akan menyelesaikan sendiri,” katanya. “Tapi, Mbak. Bagaimana kalau mereka itu orang suruhan Tuan Danial? Atau bisa saja Tuan Danial berada di antara mereka.” Ucapan Wina membuat Clarissa berpikir sebentar, lalu mengarahkan pandangannya ke belakang lagi. Tampak dari dalam, mobil yang sedari tadi mengikuti kini sedang berusaha melewati mereka. Tetapi, terhalang oleh kendaraan lain. Wina memang benar, tapi Clarissa tetap tidak akan menghubungi Fikri. Pria itu pasti sedang sibuk membantu
“Mas tolongin aku!” teriak Kirana dengan bibir bergetar. Di sana, ia berusaha melepaskan diri, tetapi tak kuat untuk melawan kekuatan dua pria yang tengah memegang pergelangan tangannya dengan sangat kuat. Malah yang ada, semakin dia memberontak, lengannya justru terasa sakit. Mendengar suara sumbang yang sangat dikenalnya, sontak Dzaka menoleh. Begitupun, dengan Fikri yang fokus menolong Wina. Mereka sama-sama terkejut bukan kepalang tatkala melihat Kirana sudah berada di antara rival mereka yang bisa-bisanya terlewat dari pantauan.Tubuh Dzaka kian bergetar. Ia ingin menolong Kirana, tetapi di tangannya masih ada Clarissa yang terus meracau kesakitan. Dia bingung.Dia menatap Kirana dengan raut paniknya dari kejauhan, kemudian memandang Clarissa dengan tatapan ibanya.Istrinya sedang butuh pertolongannya, tetapi rasa tak tega untuk melepas Clarissa dalam keadaan terluka parah juga membayanginya. “Fik, tolong!” teri
Kirana mengacungkan tinjunya sekeras mungkin tepat di pelipis pria itu hingga membuat sasarannya nyaris tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Buru-buru, Kirana bangkit dan sontak mendorong pria itu sampai terjatuh tengkurap di kasur. Lantas, Kirana dengan cepat menutup kepala sang pria dengan bantal, sedikit menekan ke bawah hingga membuat pria itu mengerang histeris. Setelah menyelesaikan aksinya yang bisa terbilang cukup brutal, Kirana tak ingin membuang kesempatan. Ia berlari keluar kamar, di pikirannya hanya ingin keluar dari rumah besar ini. Dikira aman, ternyata di luar kamar justru pria botak itu sedang berdiri di samping pintu. Kirana memelotot kaget. Jantungnya berpacu dengan kecepatan tak biasa. Apa pun caranya, ia harus lepas dari sini. Ia celingak-celinguk mencari jalan keluar agar terhindar dari pria botak tersebut. Nyatanya, tak ada jalan lain selain tangga. “Mau ke mana kamu?” tanya pria itu. Kirana memberan
Kondisi di ruang rawat yang cukup besar itu hanya ada keheningan. Semua seakan tak punya gairah untuk berbicara. Suasana hening mencekam mengantar kedukaan yang tercipta. Baru saja mereka harus menerima kenyataan bahwa Kirana yang tengah mengandung harus menjalani kuretase. Kandungannya tak bisa diselamatkan pasca kecelakaan yang menimpanya. Kini, wanita malang itu masih setia menutup mata. Sedangkan, suaminya sedari tadi duduk di samping ranjang sembari menggenggam tangan dan mengelus kepala sang istri. Sesekali, Dzaka terlihat mencium tangan Kirana. Raut wajahnya sudah sangat kusut. Rambutnya berantakan, bahkan perutnya yang sedari tadi berbunyi tak digubris sama sekali. Ia seakan tak kuasa melakukan apa pun.Raganya seperti tak ada kekuatan menyaksikan wanitanya tengah terbaring lemah. Bersamaan dengan kenyataan yang harus membuatnya merelakan kehilangan anak pertama sebelum sempat melihat dunia. Andari melangkah pelan mendekati sa
“Gimana Kirana, Ka?” tanya Clarissa yang saat ini masih terbaring lemah. Dzaka tak menjawab, juga tidak menggeleng. Ia hanya diam dengan pandangan kosong. Tangannya berada dalam saku celana. Ya, sore itu ia menyempatkan diri untuk menjenguk Clarissa yang dirawat tak jauh dari ruangan Kirana. Kirana memang sudah sadar, tetapi sampai kini masih enggan untuk bercerita dengan Dzaka. Walaupun hanya sebentar. Dzaka bisa memaklumi, terlebih mengingat kejadian yang menimpa sang istri memang terjadi setelah kelalaiannya. Dia terlambat menolong Kirana. Satu hal yang pasti, Dzaka juga menyadari kesalahan bahwa Kirana begitu marah padanya karena dirinya memilih menolong Clarissa dibanding memedulikannya. Ya, Dzaka sadar itu salah. Tapi, kala itu ia juga bingung harus melakukan apa. Clarissa berada dalam dekapannya. Tak mungkin, dia menghempaskan Clarissa begitu saja di saat gadis itu terluka karena menolong dirinya. “Dzaka.”