“Aku pun berpikir begitu, Tuan,” ujar Fikri yang masih melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Hingga sampai di perempatan jalan, tatapan Dzaka justru menangkap seseorang yang tengah berjalan entah akan ke mana. Terlihat dari kejauhan, Dzaka sepertinya mengingat wajah itu. Seakan pernah bertemu, tetapi di mana.“Berhenti, Fik,” pintanya pada Fikri. Tatapannya masih terus mengamati seorang pria bertopi lusuh itu.Fikri spontan menengok ke arah sang atasan, lalu menghentikan laju mobilnya di bawah sebuah pohon rindang.“Ada apa, Tuan?” tanyanya.“Itu Pak Abdul bukan, sih?” Dzaka mengarahkan telunjuknya ke arah orang yang dimaksud.Fikri pun sigap melihat ke arah telunjuk Dzaka. Dengan cepat, ia merogoh ponsel dari saku jasnya. Membuka galeri dan mengamati sebuah foto pria yang terpampang di sana.“Benar, Tuan. Dia Pak Abdul,” ujar Fikri seketika.Cepat, Dzaka membuka pintu mobil. Hendak mengikuti Pak Abdul,Hingga malam tiba, Kirana masih kepikiran dengan permintaan sang kakak yang tiba-tiba ingin bekerja. Kirana bukan tidak mau mengizinkan, tapi jika Kak Jihan bekerja, otomatis semua keluarga tidak ada yang bisa mengawasinya lagi.Berbeda jika di rumah, keluarga, asisten rumah tangga, sampai satpam bisa mengawasi setiap gerak-geriknya. Bagaimana kalau tiba-tiba depresinya kumat ketika berada di luar? Apa dia bisa mengantisipasi kecemasannya sendiri? Lingkungan di Jakarta pun malah boleh dibilang lebih kejam daripada di Makassar. Otomatis, Jihan akan bertemu dengan banyak laki-laki di luar sana nantinya.Bagaimana kalau kejadian di Makassar terulang? Ada banyak orang yang bukannya berpihak padanya, tapi justru menghakiminya keadaannya? Kirana takut sang kakak tidak mampu meminimalisir ketakutannya atas apa yang telah dialami di masa lalu.Hmm, Kirana sangat bingung. Ia bahkan kini mondar-mandir di depan meja riasnya sambil menget
Setelah raga sang suami menghilang dari balik pintu kamar, Kirana hanya bisa mematung. Ada sesuatu yang seolah sengaja ditancapkan pada hatinya agar terasa perih. Laksana belati tajam yang mengenai kulit. Perih tersayat. Entah Kirana tak tahu apa yang sedang dirasakan. Mendadak, dadanya sesak dihadapkan oleh sebuah kenyataan. Ia tidak tahu harus kasihan atau justru menyimpan dendam pada Clarissa yang selalu merebut perhatian suaminya tanpa perlu melakukan banyak cara. Entahlah, Kirana sungguh tak paham, mungkinkah hanya dia yang cemburu berlebihan atau memang instingnya yang menduga sang suami memang menyimpan rasa pada Clarissa benar adanya. Ah, tapi bukankah Dzaka sendiri mengakui bahwa ia dan Clarissa tidak ada hubungan apa-apa? Hanya sebatas teman dan tanggung jawab atas janji yang dititipkan oleh Almarhum Randy. Semestinya, jika demikian itu, Kirana tak perlu cemburu. Bukankah Dzaka sudah mengatakan kalau hatinya hanya milik Kir
Tubuh yang berdiri tak jauh dari Danial dan Clarissa itu tampak menahan amarah. Tangannya terkepal laksana ingin menghantam. Mata elangnya menatap tajam pria yang semenjak kejadian itu tak sudi dipanggilnya sebagai papa. “Apa yang kau lakukan padanya?!” tanyanya setengah berteriak. Lalu, melangkah mendekati Clarissa dan Danial yang melihatnya bak tak percaya keberadaannya. “Berani-beraninya kau memukul seorang perempuan?”“Oh tidak. Kau hanya salah paham, Putraku.” Danial berusaha ingin meraih tubuh Dzaka, tetapi sang putra justru menepis tangan Danial dengan kasar. “Tidak katamu? Kau menamparnya, lalu kau bilang tidak?!” bentak Dzaka. Dia menunjuk Clarissa yang memegangi pipinya.Lama, Danial tak merespons. Sekilas, ia melihat ke arah Clarissa, lalu sesaat kemudian tertawa keras dan licik.“Itu hanya sedikit pelajaran bagi orang yang mengusik kedamaian jiwa dan ragaku,” ucapnya tanpa merasa bersalah. Kepalan Dzaka semakin kua
“Siapkan pengawal yang bisa berjaga 24 jam untuk berjaga di rumahku selama aku di sini, Fik. Awasi Kirana dan jangan biarkan dia pergi sendirian,” perintah Dzaka saat mereka ditinggal berdua. Dzaka masih harus ditahan sampai kondisi Danial stabil. Entahkah bersalah atau tidak, tapi penusukan yang terjadi tadi memang seolah-olah memojokkan Dzaka yang dituding sebagai pelaku. Sebab, posisinya saat itu, dia terlihat memegang pisau yang tertusuk di perut Danial.“Baik, Tuan. Aku juga akan berusaha untuk menemui Pak Abdul untuk meluruskan fitnah Tuan Danial kepada Anda,” jawab Fikri. Dzaka menepuk bahu sang sahabat. “Terima kasih, Fik. Aku titip istriku. Jangan biarkan dia terluka.” Ia tersenyum masam. Fikri mengangguk. Sesaat obrolan mereka terhenti karena kedatangan Clarissa dan Wina yang hendak pulang. “Ka, aku minta maaf. Karena gara-gara nolongin aku, malah kamu yang kena batunya. Harusnya kamu tidak perlu melakukan itu.” Raut bersala
Baik Kirana dan Fikri berdiri kaku melihat wanita dengan tongkatnya itu sudah berdiri di teras. Tampaknya, ia telah mendengar pembicaraan meraka. Kirana memejamkan mata sekilas seraya menelan ludahnya yang kelu.“Siapa yang ditahan?” Wulan berjalan tertatih menghampiri dua insan yang dalam keadaan bungkam itu.“Nana, ke mana Dzaka? Kenapa Ibu tidak melihatnya pagi ini?” tanya Wulan yang membuat Kirana semakin tak berdaya. Sementara Fikri, ia juga tidak tahu harus bagaimana. Dia merasa tak perlu menjelaskan. Akan lebih baik jika istri atasannya itu yang menjelaskan sendiri pada ibunya. “Maaf, Nona. Aku harus permisi, masih ada urusan. Kalau Nona ingin keluar, tolong jangan sungkan untuk menghubungiku atau minta bantuan sama pengawal yang sedang berjaga. Mereka akan mengantar Anda," tutur Fikri. Ia lalu menangkupkan tangannya di depan dada, sambil tersenyum ke arah Kirana dan juga Wulan yang masih berdiri penuh tanda tanya. Sel
Dzaka memperbaiki posisi duduknya. Ia membuang napas berat. Tangannya tak lepas menggenggam erat tangan sang istri yang masih duduk di sebelahnya. “Jujur, persoalan dana perusahaan, aku sudah ikhlas. Bunda juga demikian. Papa sudah menerima konsekuensinya. Kurasa, itu sudah cukup menghukumnya atas apa yang dilakukan pada perusahaan,” tutur Dzaka pada kuasa hukum keluarganya yang sengaja diminta datang. Dzaka menghela napas. “Jadi, jika persoalan penggelapan dana, aku tidak bisa melaporkan Papa. Biarkan saja. Aku anggap, semua sudah selesai lewat kekeluargaan.”Pria berjas hitam itu manggut-manggut. Dia menyandarkan punggung sofa, lalu merentangkan kedua tangan di atas sandaran sofa. Sementara, Kirana sesekali melirik suaminya. Kirana benar-benar tidak menyangka jika Dzaka memutuskan untuk tak melaporkan Danial. Ya, Kirana sekarang tahu, sebenci apa pun suaminya pada sang papa, ia juga tak akan tega melihat papanya tersiksa dalam jeruji besi.
Pria paruh baya yang membawa glass squeegee alias alat penyeka air itu berjalan cepat. Saat ini ia diminta membersihkan ruangan sang atasan yang diprotes masih kotor. Padahal, sebenarnya rekannya telah membersihkan di sana. Ia menggunakan lift karyawan untuk sampai di lantai delapan. Saat keluar, matanya disuguhkan oleh pemandangan tak mengenakkan. Seorang gadis yang sangat dikenalnya terlihat ditarik paksa entah akan dibawa ke mana.Pria itu memutuskan untuk sembunyi, ia tidak ingin mendapatkan masalah terlebih melihat wajah garang kedua pria yang menyeret gadis tersebut. Sejatinya, dia ingin sekali menolong sang gadis yang dikenal sebagai kekasih salah satu orang penting di perusahaan, tapi harus bagaimana? Sedangkan ia hanya seorang office boy yang tidak ada apa-apanya. Setelah gadis dan dua pria itu berhasil masuk lift pimpinan, dia baru keluar dari persembunyiannya dan langsung menuju ruangan sang pimpinan. Tentu, di sana dia dimaki karena ruangannya masih kotor. Padahal, seben
“Tuan Danial menemui Bapak dan langsung memecat di hari itu juga, Pak Fikri,” ungkap Pak Abdul. Ia menghela napas berat dan kembali memutar memori satu tahun silam. “Jika masih ingin hidup, pergi dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di perusahaan saya,” suara Danial sangat lembut, tapi penuh penekanan. Tangannya dilipat di depan dada. Namun, tatapannya tajam bak singa yang akan menerjang mangsa. Pak Abdul meneguk ludahnya dalam-dalam. Ia menunduk takut bersama dengan debaran jantung yang semakin menggila. “Apakah Tuan memecat saya?” tanyanya. Sekadar memastikan. “Menurutmu?” Danial menaikkan kedua alisnya. Seketika itu, Pak Abdul mengangguk pasrah. “Baik, Tuan. Kalau begitu, saya akan pergi.”Pak Abdul hendak melangkah. Tetapi, Danial menahannya. Ia merapatkan posisi pada Pak Abdul, membuat pria itu mundur hingga mentok di dinding karena ketakutan. “Jangan katakan apa pun tentang apa yang ka