“Aku hanya tidak mau kamu kenapa-napa, Clarissa. Apa yang kamu lakukan ini nekat tau nggak sih?” Fikri mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah diperintahkan Dzaka untuk mencari tahu pada Clarissa dalang keladi berita yang tersebar ke media, Fikri langsung berangkat menuju apartemen Clarissa. Dan ternyata benar, Clarissa adalah dalang dari berita itu. Dia yang mulai speak up menggunakan akun dark, sehingga banyak yang menanggapi dan bahkan memuat berita satu tahun lalu yang menurut mereka memang terdapat sebuah kejanggalan. Nyaris semua pihak mendukung Clarissa sebagai korban. Meskipun, sebenarnya mereka tidak tahu siapa di balik akun dark yang berani bicara ke media. Banyak juga yang menyayangkan kasus itu tak diusut tuntas. Padahal, kita semua tahu bahwa kejadian itu terjadi di rooftop perusahaan furniture ternama.Dari sana, bahkan banyak pihak yang menduga bahwa Randy tewas bukan bunuh diri, tetapi dibunuh oleh orang penting di per
“Apa menurut Tuan, kita masih bisa membawa perusahaan mendapat award tahun ini?” tanya Fikri. Sekilas, ia menengok ke arah Dzaka yang sedari tadi fokus memandang lalu-lalang orang-orang dari dalam mobil.Sebuah helaan napas dikeluarkan Dzaka sebagai jawaban. Fokusnya masih memandang halaman kantor. Di sana, sudah ada beberapa polisi yang diketahui akan kembali menyelediki kejanggalan kasus pembunuhan satu tahun lalu.“Sekarang, aku tidak memikirkan award lagi, Fik. Menjaga citra perusahaan jauh lebih penting,” jawab Dzaka tanpa menoleh. “Kita hanya perlu cari bukti dari kasus itu. Tapi ....”Dzaka menunduk. Raut wajahnya berubah datar. “Kenapa, Tuan?”“Aku memang membenci Danial karena kelakuannya. Dia menyakiti hati bunda, dia pembunuh, ia merusak mental seseorang, tapi bagaimana mungkin aku menjebloskan orang tuaku sendiri ke dalam penjara? Bagaimanapun juga, Danial adalah papaku, Fikri. Papa kandung,” ujarnya. Cahaya dari manik matany
“Jika benar kau yang berani mengungkit kasus itu ke lagi, awas saja Clarissa. Hidupmu akan semakin tidak tenang. Anak stres, anak yang malang.”Danial merenggangkan tangannya, ia bersandar pada kursi kayu dan meletakkan kepalanya hingga menghadap langsung ke langit. Hamparan langit biru dapat ia lihat dari sana. Beberapa burung berkicau dan beterbangan di angkasa. Sesekali, mata Danial terpejam, diikuti dengan seutas senyum tipis dan licik penuh dendam. “Sayang, ini kopi susunya sudah jadi,” kata Enzy yang sontak saja membuyarkannya dari lamunan. Danial mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Ia menyambut secangkir kopi susu bikinan istri yang diakui dinikahi karena harta. “Terima kasih, Sayang,” ucap Danial seraya tersenyum manis. Dia mulai menyesap minuman berkafein itu. Rasa kopi susu yang diminum saat ini memang tak seenak kopi susu bikinan Andari. Namun, sayangnya karena ia sudah tidak lagi bisa menikmati kopi susu bikinan wanita
Dzaka dan Fikri saling berpandangan sekejap. Ternyata, menemui Pak Abdul tidak semudah yang dibayangkan. Dia jarang di rumah.“Memang Pak Abdul kerja apa dan di mana kalau boleh tau, Bu?” tanya Dzaka sekadar untuk mengorek informasi. “Kerja di ladang orang, Den. Tapi, kadang kalau pemiliknya ingin cepat selesai, Bapak sering nginap di rumah sawah.”Dzaka manggut-manggut paham. “Kalau begitu, kami titip pesan saja ke Ibu. Nanti kalau Pak Abdul sudah pulang, tolong dibalingin kalau Dzaka mencarinya ya. Besok atau lusa kami akan ke sini lagi. Soalnya mau menunggu, tapi kami juga masih ada urusan. Mohon ya, Bu,” ujar Dzaka penuh permohonan. “Baik, Den.”Setelah salam dan berpamitan, Dzaka dan Fikri langsung kembali ke mobil. Mereka akan bertolak ke tujuan kedua. Hampir sejam mereka dalam perjalanan hingga mobil kembali berhenti di sebuah kediaman sederhana. Tampak sepi, tapi bangunannya terlihat banyak perubahan dari sat
Kirana yang masih berada di kamar sesekali menoleh ke arah jam dinding. Sudah sekitar dua puluh menit suaminya pergi, tapi dia belum pulang juga.Padahal cuma cari sate doang, di dekat rumah juga ada, gumam Kirana. Ia menghela napas berat. Sebab, sudah mulai bosan menunggu, ia memilih beranjak dari duduknya. Kemudian, keluar kamar. Mungkin akan lebih baik menunggu suaminya di bawah saja. Perlahan, ia melangkah menuruni anak tangga. Hingga sampai di tangga terakhir, asisten rumah tangganya menghampiri. “Loh, Non, jam segini keluar kamar. Emang Tuan Dzaka belum pulang kerja?” tanya Bi Marni yang tampak melihat ke arah jam dinding. “Udah, Bi. Tapi keluar lagi buat beli sate. Dede bayi lagi kepengen makan sate soalnya,” jawabnya sembari tertawa cengengesan dan mengelus perut.“Owalah.” Bi Marni manggut-manggut paham. “Kalau gitu, Bibi tinggal ke belakang dulu ya, Non.”Kirana mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan itu,
“Enzy! Enzy! Bukain atuh pintunya!” Wanita berhijab pashmina itu menggedor-gedor pintu tanpa henti.Dia seakan tak sabaran tuan rumah segera menyambut kedatangannya yang tak terduga.Setelah beberapa kali menekan bel sambil menggedor pintu, barulah ada wanita berbadan gempal membukakan pintu tergesa-gesa.“Bu Andari,” ucap wanita berhijab itu. “Enzy kamana, Bi? Aku ingin bertemu dengannya,” katanya ramah sambil melirik ke dalam rumah. “Ada, di kamarnya, Bu. Sebentar, Bibi panggilkan.”Andari mengangguk, bersamaan dengan asisten rumah tangga Enzy yang berlalu cepat. Hingga tak berselang begitu lama, Enzy datang. Dia bersedekap sembari menyenderkan bahu di bibir pintu. Seperti tak berniat sama sekali memberi izin tamunya masuk rumah.“Eh, ada mantan istri suamiku. Tumben ke sini? Ada perlu apa rupanya?” tanyanya pada Andari yang tengah berdiri membelakangi pintu. Spontan, Andari memutar badan. Dia men
Pertanyaan Fikri tak mendapatkan respons apa pun dari Dzaka. Pria itu hanya bergeming. Pandangannya fokus ke depan. Namun, siapa yang tahu jika sebenarnya pikirannya justru melanglang buana ke mana-mana. “Aku hanya takut, sebelum kita selesai dengan urusan saksi, Tuan Danial malah bertindak cepat. Dia bisa saja melukai Clarissa jika tau Clarissa adalah orang yang berani buka suara ke publik. Papa Anda terlalu nekat dan kadang ga berpikir jika ingin melakukan sesuatu, Tuan.” Fikri mengungkapkan ketakutannya sembari terus menyetir. Membawa mobil hingga membelah jalanan kota yang tak terlalu padat di pagi ini.“Dia tidak akan melakukan apa pun. Dia tidak tau tempat tinggal Clarissa,” ucap Dzaka tanpa menoleh ke arah Fikri. Dia cukup yakin dengan argumentasinya.Fikri mengangguk ragu. Entah mengapa, ia justru belum bisa yakin dengan jawaban Dzaka. Ah, maksudnya kayak tidak kenal saja dengan Danial? Bukankah dia tipe manusia yang sangat licik dan licin? Berbag
“Aku pun berpikir begitu, Tuan,” ujar Fikri yang masih melajukan mobil dengan kecepatan sedang.Hingga sampai di perempatan jalan, tatapan Dzaka justru menangkap seseorang yang tengah berjalan entah akan ke mana. Terlihat dari kejauhan, Dzaka sepertinya mengingat wajah itu. Seakan pernah bertemu, tetapi di mana. “Berhenti, Fik,” pintanya pada Fikri. Tatapannya masih terus mengamati seorang pria bertopi lusuh itu.Fikri spontan menengok ke arah sang atasan, lalu menghentikan laju mobilnya di bawah sebuah pohon rindang. “Ada apa, Tuan?” tanyanya. “Itu Pak Abdul bukan, sih?” Dzaka mengarahkan telunjuknya ke arah orang yang dimaksud. Fikri pun sigap melihat ke arah telunjuk Dzaka. Dengan cepat, ia merogoh ponsel dari saku jasnya. Membuka galeri dan mengamati sebuah foto pria yang terpampang di sana. “Benar, Tuan. Dia Pak Abdul,” ujar Fikri seketika.Cepat, Dzaka membuka pintu mobil. Hendak mengikuti Pak Abdul,