Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dzaka. Kirana yang baru membuka pintu sedikit membulatkan mata. Ia seketika langsung beku di tempat. Tak jadi masuk.Tadi, seharusnya ia datang bersama Dzaka, tetapi pamit ke toilet terlebih dahulu, sementara Dzaka langsung menyusul sang bunda di ruangannya.Kirana meneguk liurnya susah payah, ia sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Bunda Andari menampar putranya.“Terang teu, apa kesalahanmu?” tanya Andari pada Dzaka yang memegangi pipinya.Tanpa menunggu jawaban, Andari merogoh ponsel dari tasnya. Ia menunjukkan sebuah foto tepat di depan wajah Dzaka.“Ini naon?” tanya Andari lagi. “Mau ngawadul sama Bunda?”“Bun, ini tidak seperti yang Bunda pikirkan.” Dzaka membela diri.Andari menggeleng. “Sudah sabaraha kali, Bunda teh bilang, jangan berhubungan sama dia, Dzaka. Don't get close to her!” bentak Andari.Kirana yang masih mengintipKirana dan Dina saling berpandangan. Mereka ketahuan sedang ngobrol santai di waktu kerja. Dina baru mendongak saat menyadari kalau cctv ada di mana-mana. Ia spontan menutup wajah dengan satu tangan. “Mampus,” lirihnya.“Maaf, Pak Dzaka yang terhormat. Kita lagi ada anu ... e ... itu.” Kirana tak tahu harus beralasan apa. Kini, ia hanya mampu menggigit bibir.Sepersekian detik, layar ponselnya kembali menyala, terlihat Dzaka yang ingin melakukan panggilan video dengannya. Kirana menerima dan menghadapkan ponsel ke wajahnya. “Bunda udah pulang, Mas?” tanya Kirana basa-basi. Ia tahu tadi Dzaka hanya bercanda, tetapi Dina malah kelihatan panik. Ah, mungkin Dina lupa dengan siapa tadi berhadapan. “Udah, kamu kenapa nggak ke ruangan tadi? Bukannya cuma pamit ke toilet?” tanya Dzaka dari balik layar. “Emm ....”“Aku tidak terima alasan, makan siang nanti wajib makan bareng. Oke?”“Iya, deh, iya,” simpul Kirana yang menjadi akhir dari obrolan virtual mereka. Tiba-tiba saja, saat hendak
“Berhentilah untuk meracuni pikiran mamaku.” Clarissa menoleh ke arah lain, tak sedikit pun ingin memandang wajah memuakkan Danial.Danial tertawa pelan. Dia mendekatkan wajah ke arah Clarissa. Kemudian berbisik, “Mamamu yang tergila-gila padaku, Nak.”“Karena kau yang menggodanya,” timpal Clarissa emosi. Dia berusaha menetralkan suaranya yang mulai bergetar. “Aku hanya kasian melihatnya kesepian.” Danial tersenyum menyeringai. Lalu, beralih masuk ke rumah. Namun, baru beberapa detik ia kembali keluar. “Oh, ya. Nak, berhentilah untuk mendekati putraku karena dia sudah menikah,” ujar Danial. Satu tangannya berada di saku celana.“Atau kalau tidak, kau akan dicap pelakor seperti mamamu,” imbuhnya penuh penekanan.Tangan Clarissa kian bergetar. Degub jantungnya mulai tak stabil. Namun, ia berusaha kuat dan berdiri tegar di hadapan pria itu. Dia tidak ingin lagi terlihat lemah meski semua orang pada tahu bahwa ia pengidap depresi. “Kau memintaku menjauhi putramu, tapi kau tidak ingin m
“Aku sangat takut Om Danial akan merencanakan hal buruk untukku, Ay.” Clarissa tersedu-sedu. Mereka kini berada di sebuah cafe terdekat dari kantornya. Mendengar cerita Clarissa yang tiba-tiba datang dan sesenggukan di pelukannya. “Aku takut kejadian itu terulang,” ucap Clarissa. Tangannya tetap bergetar, meski terlihat berusaha melawan ketakutannya. Wina berupaya menenangkan.“Dzaka ... Fikri, tolong bantulah aku untuk mencari bukti kuat pembunuhan Randy,” pinta Clarissa. Di matanya hanya ada sirat permohonan.Dzaka melongo kaget. Ia tak menyangka Clarissa akan sejauh ini. Bagi Dzaka, itu hak dia untuk menuntut keadilan, tetapi prosesnya tidak akan mudah. “Itu akan sulit, Clarissa,” ujar Dzaka diikuti Fikri mengangguk membenarkan pernyataan Dzaka.“I see, tapi aku hanya ingin menuntut keadilan. Kalaupun tidak berhasil, setidaknya aku sudah menyuarakan hakku,” tutur Clarissa. Dzaka menghela napas panjang. D
Angin petang mulai berembus kencang, menampar lembut pipi wanita yang sedang berjalan sembari sesekali mengusap perut datarnya. Isi kepala berkecamuk disertai dengan perih pun pilu organ lunak bernama hati dalam tubuhnya. Rasa nyeri dan sesak sedari tadi juga menusuk-nusuk di dada. Alhasil, membuat pertahanannya membuncah tanpa ragu meski susah payah ditahan. Ia tak peduli pandangan orang-orang yang melihatnya berjalan bak tak punya tujuan. Saat ini, dia hanya butuh ketenangan. Menghindar dari orang-orang yang membuatnya terluka cukup lebih baik baginya. Terlepas dari rasa sakit, ia juga kecewa dengan Dzaka yang tidak mengikutinya tadi. Padahal, meski marah, dia masih berharap Dzaka punya inisiatif untuk membawanya pulang ke rumah.Namun, apa? Dzaka tak datang. Tentu, hal itu membuat praduga miring Kirana bermunculan. Menurutnya, suaminya pasti menemui Clarissa. Ya, tidak salah. Lantas, bukankah selama ini memang hanya persoalan Clari
Fikri tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Ya, harus diakui bahwa dia memang sempat menyukai Kirana. Sialnya, karena telanjur membawanya menjadi calon istri pura-pura Dzaka yang pada akhirnya mereka saling menumbuhkan rasa. Terbesit sesal di hati kecil Fikri kala itu. Kenapa ia harus membawa Kirana untuk atasannya? Sebab itu, dia harus rela mengalah dan mengubur cintanya dalam-dalam. Dia tak pernah mau bersaing dengan Dzaka, terlebih perkara cinta. “Kenapa? Tuan takut aku merebut Nona Kirana?” tanya Fikri seolah sengaja memancing kebakaran.Bugh!Satu tonjokan lagi mendarat di wajah Fikri. Namun, Fikri kali ini tak tinggal diam. Dia melawan dan berhasil membalas pukulan Dzaka bertubi-tubi.Posisi Dzaka ambruk, giliran Fikri yang mencengkram kerah baju atasannya itu kuat-kuat. “Aku memang pernah menyukai Nona Kirana, Tuan, tapi aku mengalah untuk Tuan. Namun, melihat Tuan yang plimplan mengambil keputusan, aku menyes
Sekilas, Kirana dapat melihat logo rumah sakit di kertas itu. Dia berusaha merebut tetapi Dzaka mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sehingga Kirana tak sampai menggapainya. “Makanya, jangan cebol,” sindir Dzaka tersenyum sinis.Kirana mendengkus sebal.“Mas, itu .... kamu?” tanyanya gelagapan.“Ini aku dapat di tas kamu saat mandi tadi.” Dzaka menyeringai tipis. Kirana memejamkan mata dan meneguk ludahnya, sekali lagi. Ia tidak menyangka kalau Dzaka bakal membuka tasnya? Biasanya dia tidak pernah nekat buka-buka tas. Kirana tak tahu harus apa lagi? Rencananya untuk menyembunyikan kehamilannya dari Dzaka gagal total. Salahnya juga, kenapa punya ide konyol menyembunyikan kehamilan dari suaminya sendiri?Dzaka mengangkat dagu Kirana. Tatapan mereka kembali beradu. Istrinya yang hanya setinggi bahu tak mampu berkata-kata di sana. Wajahnya terlihat pasrah.“Kamu yakin mau pisah, sedangkan kamu sedang mengandung an
“Hei, gitu amat mukanya. Senyum, dong.” Dzaka menyentil hidung istrinya, lalu mencubit kedua pipinya. Dia gemes karena Kirana sedari tadi cemberut. Kirana mencebik sebal, tapi masih fokus memasang dasi untuk Dzaka. Seperti biasa ketika suaminya akan berangkat kerja. Hingga kini, Kirana sendiri masih bingung, kenapa manusia segede suaminya tidak bisa pasang dasi sendiri? Kudunya dipasangin. Lantas, sebelum nikah siapa yang pasangin coba?“Kalau bosan di rumah, boleh kok datang ke kantor,” ucap Dzaka dibalas Kirana dengan deheman singkat. “Tapi kalau buat kerja aku nggak izinin,” imbuhnya lagi. “Iya, Mas. Tapi nanti siang aku ke kantor, ya. Mau ambil barang yang masih di ruangan. Biar kalau ada yang gantiin, nggak repot beres-beres.”Dzaka memicingkan matanya. Bersama dengan itu, Kirana sudah selesai memasang dasi sang suami. “Barang penting emang?” Dzaka kepo. Dia menarik pinggang istrinya hingga jarak tubuh mereka terpangkas.
Mata Kirana membola melihat benda kotak berwarna-warni itu sudah berada di tangan Dzaka. Ia hendak merebut, tetapi Dzaka menjauhkannya darinya. “Kalau lagi stres sama kerjaan, aku suka main itu, Mas, di ruangan. Tapi, sampai sekarang belum ngerti cara mainnya.”“Lagian cewek main ginian,” cetus Dzaka. Kemudian, membuang napas berat. Kirana spontan menolah, menatap Dzaka tajam. “Emang kenapa, Mas? Ada larangan cewek main rubik ya? Ayat berapa pasal berapa?”Dzaka tersenyum sumir. Dia membenamkan wajahnya di lengan Kirana. Lalu mendongak menatap wanitanya yang masih menunggu jawaban. “Nggak ada. Tapi cewek sama rubik sama-sama rumit.” Dzaka tertawa puas. Kirana mendengkus sebal. Dia refleks menginjak kaki Dzaka dan ingin beranjak dari pangkuan suaminya, tetapi Dzaka menahannya. Pelukannya erat bak tak ada niat untuk melepaskan. “Tapi, aku bisa menaklukkan rubik, kok.”Kirana memicingkan matanya tak percaya. “