“Aku sangat takut Om Danial akan merencanakan hal buruk untukku, Ay.” Clarissa tersedu-sedu. Mereka kini berada di sebuah cafe terdekat dari kantornya. Mendengar cerita Clarissa yang tiba-tiba datang dan sesenggukan di pelukannya. “Aku takut kejadian itu terulang,” ucap Clarissa. Tangannya tetap bergetar, meski terlihat berusaha melawan ketakutannya. Wina berupaya menenangkan.“Dzaka ... Fikri, tolong bantulah aku untuk mencari bukti kuat pembunuhan Randy,” pinta Clarissa. Di matanya hanya ada sirat permohonan.Dzaka melongo kaget. Ia tak menyangka Clarissa akan sejauh ini. Bagi Dzaka, itu hak dia untuk menuntut keadilan, tetapi prosesnya tidak akan mudah. “Itu akan sulit, Clarissa,” ujar Dzaka diikuti Fikri mengangguk membenarkan pernyataan Dzaka.“I see, tapi aku hanya ingin menuntut keadilan. Kalaupun tidak berhasil, setidaknya aku sudah menyuarakan hakku,” tutur Clarissa. Dzaka menghela napas panjang. D
Angin petang mulai berembus kencang, menampar lembut pipi wanita yang sedang berjalan sembari sesekali mengusap perut datarnya. Isi kepala berkecamuk disertai dengan perih pun pilu organ lunak bernama hati dalam tubuhnya. Rasa nyeri dan sesak sedari tadi juga menusuk-nusuk di dada. Alhasil, membuat pertahanannya membuncah tanpa ragu meski susah payah ditahan. Ia tak peduli pandangan orang-orang yang melihatnya berjalan bak tak punya tujuan. Saat ini, dia hanya butuh ketenangan. Menghindar dari orang-orang yang membuatnya terluka cukup lebih baik baginya. Terlepas dari rasa sakit, ia juga kecewa dengan Dzaka yang tidak mengikutinya tadi. Padahal, meski marah, dia masih berharap Dzaka punya inisiatif untuk membawanya pulang ke rumah.Namun, apa? Dzaka tak datang. Tentu, hal itu membuat praduga miring Kirana bermunculan. Menurutnya, suaminya pasti menemui Clarissa. Ya, tidak salah. Lantas, bukankah selama ini memang hanya persoalan Clari
Fikri tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Ya, harus diakui bahwa dia memang sempat menyukai Kirana. Sialnya, karena telanjur membawanya menjadi calon istri pura-pura Dzaka yang pada akhirnya mereka saling menumbuhkan rasa. Terbesit sesal di hati kecil Fikri kala itu. Kenapa ia harus membawa Kirana untuk atasannya? Sebab itu, dia harus rela mengalah dan mengubur cintanya dalam-dalam. Dia tak pernah mau bersaing dengan Dzaka, terlebih perkara cinta. “Kenapa? Tuan takut aku merebut Nona Kirana?” tanya Fikri seolah sengaja memancing kebakaran.Bugh!Satu tonjokan lagi mendarat di wajah Fikri. Namun, Fikri kali ini tak tinggal diam. Dia melawan dan berhasil membalas pukulan Dzaka bertubi-tubi.Posisi Dzaka ambruk, giliran Fikri yang mencengkram kerah baju atasannya itu kuat-kuat. “Aku memang pernah menyukai Nona Kirana, Tuan, tapi aku mengalah untuk Tuan. Namun, melihat Tuan yang plimplan mengambil keputusan, aku menyes
Sekilas, Kirana dapat melihat logo rumah sakit di kertas itu. Dia berusaha merebut tetapi Dzaka mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sehingga Kirana tak sampai menggapainya. “Makanya, jangan cebol,” sindir Dzaka tersenyum sinis.Kirana mendengkus sebal.“Mas, itu .... kamu?” tanyanya gelagapan.“Ini aku dapat di tas kamu saat mandi tadi.” Dzaka menyeringai tipis. Kirana memejamkan mata dan meneguk ludahnya, sekali lagi. Ia tidak menyangka kalau Dzaka bakal membuka tasnya? Biasanya dia tidak pernah nekat buka-buka tas. Kirana tak tahu harus apa lagi? Rencananya untuk menyembunyikan kehamilannya dari Dzaka gagal total. Salahnya juga, kenapa punya ide konyol menyembunyikan kehamilan dari suaminya sendiri?Dzaka mengangkat dagu Kirana. Tatapan mereka kembali beradu. Istrinya yang hanya setinggi bahu tak mampu berkata-kata di sana. Wajahnya terlihat pasrah.“Kamu yakin mau pisah, sedangkan kamu sedang mengandung an
“Hei, gitu amat mukanya. Senyum, dong.” Dzaka menyentil hidung istrinya, lalu mencubit kedua pipinya. Dia gemes karena Kirana sedari tadi cemberut. Kirana mencebik sebal, tapi masih fokus memasang dasi untuk Dzaka. Seperti biasa ketika suaminya akan berangkat kerja. Hingga kini, Kirana sendiri masih bingung, kenapa manusia segede suaminya tidak bisa pasang dasi sendiri? Kudunya dipasangin. Lantas, sebelum nikah siapa yang pasangin coba?“Kalau bosan di rumah, boleh kok datang ke kantor,” ucap Dzaka dibalas Kirana dengan deheman singkat. “Tapi kalau buat kerja aku nggak izinin,” imbuhnya lagi. “Iya, Mas. Tapi nanti siang aku ke kantor, ya. Mau ambil barang yang masih di ruangan. Biar kalau ada yang gantiin, nggak repot beres-beres.”Dzaka memicingkan matanya. Bersama dengan itu, Kirana sudah selesai memasang dasi sang suami. “Barang penting emang?” Dzaka kepo. Dia menarik pinggang istrinya hingga jarak tubuh mereka terpangkas.
Mata Kirana membola melihat benda kotak berwarna-warni itu sudah berada di tangan Dzaka. Ia hendak merebut, tetapi Dzaka menjauhkannya darinya. “Kalau lagi stres sama kerjaan, aku suka main itu, Mas, di ruangan. Tapi, sampai sekarang belum ngerti cara mainnya.”“Lagian cewek main ginian,” cetus Dzaka. Kemudian, membuang napas berat. Kirana spontan menolah, menatap Dzaka tajam. “Emang kenapa, Mas? Ada larangan cewek main rubik ya? Ayat berapa pasal berapa?”Dzaka tersenyum sumir. Dia membenamkan wajahnya di lengan Kirana. Lalu mendongak menatap wanitanya yang masih menunggu jawaban. “Nggak ada. Tapi cewek sama rubik sama-sama rumit.” Dzaka tertawa puas. Kirana mendengkus sebal. Dia refleks menginjak kaki Dzaka dan ingin beranjak dari pangkuan suaminya, tetapi Dzaka menahannya. Pelukannya erat bak tak ada niat untuk melepaskan. “Tapi, aku bisa menaklukkan rubik, kok.”Kirana memicingkan matanya tak percaya. “
“Akhirnya kau menyerah juga, Andari.” Perempuan berambut sepanjang rahang itu tersenyum licik. Tangannya sengaja dilipat di depan dada. Tatapan yang diberikan pada Andari entah sebuah tatapan iba atau mengejek.Andari menyunggingkan bibir sekilas. Lalu, menarik napas panjang. “Ya, aku mah mengalah buat kamu. Lagian, buat naon teh memperebutkan pria yang tidak cukup satu wanita?” Alisnya terangkat satu. “Danial tidak seperti yang kamu bilang, Andari. Dia setia. Dasarnya saja, kau yang tidak becus menjadi istri.” Enzy menyunggingkan bibirnya. Dia tersenyum seolah meremehkan. “Semoga saja begitu nya. Aku teh hanya mengingatkan. Danial itu pemain, Enzy. Jadi, jangan berharap banyak padanya. Takut you terluka, sama seperti denganku.”Andari menghela napas panjang. Tak berniat untuk memperpanjang obrolannya dengan Enzy. Jika terus diladeni, maka boleh jadi obrolan tak berpusat itu berbuntut panjang menjadi sebuah perdebatan. Ia kemudian mela
Pasangan suami istri itu spontan menoleh ke arah sumber suara. Di sana, sudah ada Bunda Andari yang berdiri menatap mereka dengan tatapan mengintimidasi. Ya, semenjak pulang dari pengadilan agama, Andari memilih menginap di rumah putranya. Supaya sekejap lupa dengan duka lara hatinya. Berhubung, di rumah sang putra juga ada Wulan, sahabatnya yang mungkin saja bisa menghiburnya.Perlahan, Andari melangkah mendekati Dzaka dan Kirana yang sama-sama terdiam. Sesekali, Kirana melirik suaminya seolah ikut meminta penjelasan. “Saha yang pembunuh, Dzaka?” tanya Andari sekali lagi. Kali ini, nada suaranya melemah tetapi penuh penekanan. “Apa kamu teh punya rahasia?”Dzaka masih diam. Tatapannya tak lepas dari sang bunda. Sesekali ia meneguk ludah dalam-dalam. “Apa kamu teh tau penyebab kematian Randy?” Andari bertanya lagi, tetapi Dzaka tak kunjung menggubris.“Jujur sama Bunda, Dzaka,” lirih Andari. Matanya mulai berkaca-kaca. Kirana beralih merangkul sang mertua yang tampak berusaha mengu