Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Iris Jessen dan menyebabkan wanita itu jatuh ke lantai.“Bercerai? Kamu ingin bercerai setelah menghilangkan nyawa putraku?!”Iris membeku memegang pipinya. Sudut bibirnya robek mengeluarkan darah. Dia mendongak menatap pria di hadapan dengan tatapan tidak percaya. Mata wanita itu memanas dan air mata mengalir menuruni wajahnya.Pria itu balik menatap Iris dingin dan marah. Wajahnya memerah karena alkohol dan mabuk.Aiden Ridley, suaminya dan pria yang dicintai Iris dengan sepenuh hati. Meski pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, Aiden tak pernah menggunakan tangannya untuk menyakiti Iris.Iris terisak menggelengkan kepalanya. “Sudah kubilang, bukan aku yang menaruh kacang di kue Zein! Mengapa kamu tidak percaya padaku?!” isaknya dengan kesedihan yang teramat dalam.Putra mereka, Zein Ridley, baru berusia satu tahun saat dia meninggal karena alergi kacang. Semua orang menyalahkan Iris atas kematian Zein. Semua orang menuduh Iris membuat kue kering dengan mengandung kacang untuk Zein, menyebabkan putranya alergi parah hingga akhirnya meninggal. Bahkan suaminya sendiri curiga bahwa Iris yang membuat putra mereka meninggal. Akan tetapi, wajarkah seorang ibu ingin menyingkirkan putra kandungnya sendiri?“Bukan kamu? Kamu pasti tidak sabar ingin bercerai dariku dan pergi dengan pria lain, bukan?" Aiden melangkah pelan mendekati Iris. "Iris, belum setengah bulan Zein meninggal, dan kamu sudah mencari pria lain di belakangku!” Lalu pria itu berteriak dengan ekspresi gelap.Iris menggelengkan kepalanya bingung. “Apa maksudmu dengan pria lain? Aku tidak pernah—"Sebelum Iris menyelesaikan kalimatnya, Aiden menampar wajah wanita itu dengan beberapa lembar foto. “Tidak pernah berselingkuh? Lalu apa ini?!”Iris memejamkan matanya, merasakan dadanya berdenyut menyakitkan. Dia melirik foto-foto yang tersebar di lantai. Foto itu menunjukkan tentang dirinya yang bertemu dengan seorang pria di kafe dan bahkan berpelukan, tampak mesra.Aiden berlutut dan mencengkeram bahu Iris erat. “Kamu malu karena putra kita memiliki sindrom *Angelman? Lalu kamu mencari pria lain yang lebih kaya dariku, begitu?” Dia berkata dengan suara yang menusuk.Iris menggelengkan kepalanya. Air matanya berlinang. “Aiden, ini—"“Iris Jessen, jangan pikir kamu bisa pergi menemukan pria lain setelah kamu membuat putraku mati,” desis Aiden dengan ekspresi gelap meraih kerah blus Iris dan merobek kasar. Alkohol sepenuhnya menguasai pria itu.Iris panik dan malu berusaha menutupi dadanya yang terbuka. “Aiden Ridley, apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku!”“Kamu harus membayar kembali nyawa putraku!" Aiden menarik Iris bangun dan melemparkan istrinya itu ke tempat tidur. "Kamu harus memberiku lagi seorang anak sebagai gantinya!"“Aiden Ridley, kamu gila!” Iris menjerit saat tubuhnya dilempar di atas ranjang. Dia mencoba bangun dan melarikan diri.Aiden menarik kaki Iris dan menindih tubuh sang istri. Dia dengan tidak sabar melucuti semua pakaian Iris dan mencium Iris dengan paksa. Aiden menekan kedua tangan istrinya itu di atas kepala agar tidak meronta. Lalu tangan Aiden menggerayangi tubuh Iris penuh nafsu. Ciumannya semakin liar."Ahh—" Iris mengerang.Iris memerah malu, tidak bisa meronta di bawah tekanan Aiden. Matanya membelalak menatap pria itu tidak percaya. Dia tidak menyangka pria yang selalu dingin dan acuh tak acuh padanya akan begitu bernafsu.“Aiden, lepaskan aku—Akh!” Iris mengerang dan berusaha meronta, kemudian ia memejamkan mata dan memalingkan wajahnya dengan ekspresi kesakitan. Air mengalir di sudut matanya. Meskipun tubuhnya bereaksi karena sentuhan pria itu, dia merasa hatinya teramat sakit. Hatinya begitu terluka karena kehilangan putranya, dan semua orang di keluarga Ridley menuduhnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Zein. Tidak ada yang percaya jika bukan Iris pelakunya, termasuk suaminya sendiri. Sekarang Iris semakin kecewa dengan perlakuan Aiden yang seperti binatang.Iris tidak lagi meronta dan membiarkan pria itu melakukan apa yang dia inginkan pada tubuhnya.“Iris Jessen, kamu tidak akan pernah bisa pergi ke mana pun, bahkan jika aku harus mematahkan kakimu.” Di bawah lampu temaram kamar mereka, Aiden mendesiskan ancaman pada wanita itu.Iris mengabaikan ucapan Aiden dan memejamkan matanya, berharap semua ini akan berakhir.Desahan berat pria dan erangan menyedihkan wanita memenuhi kamar......Fajar menyingsing membangunkan Iris dari tidurnya. Dia membuka matanya dan menatap kosong langit-langit kamar. Sekujur tubuh wanita itu terasa sakit.Kenangan segar tentang kegilaan semalam muncul di kepalanya. Rasa sakit, penghinaan dan kekecewaan memenuhi kepala Iris.Dia menolehkan kepala dan menatap pria di sebelahnya. Wajah tampan pria itu tampak polos saat dia tidur. Namun, ketika Aiden membuka mata hitamnya, dia akan menatapnya acuh tak acuh dan memperlakukan semua orang dengan dingin."Mengapa kamu tidak percaya padaku?" batin Iris menjerit. Air mata kembali mengalir dari sudut mata wanita itu.Mereka menikah bukan karena cinta, tetapi pernikahan mereka ini mampu menghadirkan sosok Zein dalam hidup mereka. Meskipun begitu, Iris mulai mencintai Aiden. Namun, dia tetap tidak bisa menyentuh hati dingin pria itu.Meskipun putra mereka mengidap sindrom Angelman, Aiden tetap mencintai putra mereka yang baru berusia satu tahun. Kematian mendadak Zein membuat Aiden marah dan menyalahkan kecerobohan Iris.Iris memejamkan matanya, membayangkan senyum polos putra kecilnya dan rasa sakit di hati semakin menjadi-jadi. Dia mencengkeram dada dan menggigit bibir bawah untuk menahan isakannya."Harusnya kamu percaya padaku, Aiden!" Iris hanya bisa bersuara di dalam hatinya.Wanita itu menenangkan dirinya selama beberapa saat dan bangun dari tempat tidur. Dia melirik surat cerai di atas meja nakas. Mungkin yang terbaik adalah pergi. Zein sudah meninggal, tidak ada yang bisa dia harapkan dalam rumah tangganya yang bahkan tidak dilandasi cinta, dan suami yang menuduhnya sebagai pembunuh putra mereka.Iris bangkit dari tempat tidur dan memasukkan semua bajunya ke koper.“Wah, wah, wah, kamu cukup tahu diri juga.” Seseorang mencibir Iris ketika dia baru turun dari lantai atas dengan membawa koper di tangannya.Iris mengalihkan pandangannya ke ruang tamu dan melihat Alice, sepupu Aiden, duduk menyilangkan tangannya di sofa menatap Iris dengan tatapan merendahkan. Di sebelahnya duduk seorang wanita paruh baya yang terlihat angkuh, Esme, ibu mertuanya.“Ke mana kamu akan pergi? Sebelum pergi, kamu harus bercerai, 'kan?” cemooh Alice lagi.Iris mengabaikan Alice dan memilih menarik kopernya, melewati ruang tamu.“Bibi, dia mengabaikan aku! Dia mulai meremehkanku!”Esme menyesap cangkir tehnya anggun. “Apa yang diharapkan dari seorang pelayan bar rendahan dan tidak berpendidikan?” dengusnya berkata tajam melirik Iris dari ujung matanya.Iris mengabaikan cemoohan ibu mertuanya seolah dia sudah terbiasa mendapat cacian dan hinaan.“Untung saja anak cacat itu meninggal. Aku tidak tahan anak cacat itu mengotori garis keturunan Ridley,” lanjut Esme tanpa perasaan.Langkah kaki Iris terhenti. Mata wanita itu memerah. Dia mengepalkan tangannya dan berbalik menghadap ibu mertuanya. “Ibu, meski Zein kekurangan dan bukan dari darah dagingmu sendiri, dia tetap cucumu.” Mata Iris memanas, air mata mulai tergenang di pelupuk matanya.Ibu mana yang tahan mendengar anaknya dihina cacat.Note : Sindrom Angelman adalah kelainan genetik yang menyebabkan tertundanya pertumbuhan, masalah dengan bicara dan keseimbangan, cacat intelektual dan kejang-kejang.
Halo selamat datang di novel ke-6 Author. Terima kasih sudah mampir. Semoga bisa mengikuti sampai tamat😇😇🥰
Esme menyeringai dingin. “Aku tidak akan pernah mengakui anak cacat itu sebagai cucuku. Anak seorang pelayan bar rendahan, bahkan cacat pula, beraninya menyandang nama keluarga ini. Mungkin juga Zein adalah benih liar dari entah siapa.”Ekspresi Iris menggelap mendengar pernyataan Esme. Iris menatap Esme penuh amarah. "Berhenti menghina anakku!"“A-apa kamu baru saja berteriak padaku?!” Esme mendesis dingin.“Bibi, Iris membentakmu. Dia tidak menghormatimu lagi.” Alice berkata memprovokasi Esme.Esme mendengus dingin dan berdiri dari sofa. Dia menghampiri Iris dengan cangkir teh di tangannya dan menyiram teh itu ke wajah Iris.“Dasar wanita murahan, kamu sadar siapa kamu?! Beraninya kamu tidak menghormatiku setelah makan dan tinggal dengan gratis di rumah ini. Tanpa keluarga Ridley, kamu hanyalah pelayan bar untuk ayahmu yang menyedihkan,” hina Esme menatap tajam Iris.Iris mengepalkan tangannya dengan mata terpejam merasakan panas air teh di wajahnya. Telingan wanit itu terasa panas
Iris menegang dan berhenti terisak. Matanya membelalak menatap ke sebelah. Dia mendorong Felicia dan tergagap. “F-Felicia ... kamu ... apa maksudmu?”Felicia tersenyum anggun menjauh dari Iris. Mata indahnya yang beberapa saat lalu menatap Iris bersahabat, kini menjadi acuh tak acuh. “Karena kamu akan pergi dari sini, aku akan jujur. Aku membencimu sejak lama.” Dia melirik Iris dari atas ke bawah dan mencibir dingin, “Kamu hanya seorang pelayan bar penjual anggur, tetapi bagaimana bisa kamu menikahi Aiden dan membuatku menjadi bahan tertawaan yang tidak bisa dibandingkan dengan seorang pelayan bar?”Felicia menyeringai, “Aiden itu milikku. Beraninya seseorang sepertimu merebutnya dariku,” desisnya dingin. “Tapi untunglah, meski nasibmu berubah dari seorang pelayan bar menjadi istri CEO RDY Group, tetapi kamu tidak menjalani kehidupan yang baik dan Aiden tidak pernah mencintaimu.” Dia menatap Iris dengan tatapan provokatif menekan kalimat terakhirnya.Iris merasa seperti disiram air d
Enam tahun kemudian. “Aiden, apa kamu serius akan melakukan ini pada pamanmu?! Apa kamu ingat nama keluargaku masih Ridley! Kamu juga seorang Ridley! Beraninya kamu melakukan ini pada kerabatmu sendiri!” Aiden memperbaiki dasinya dari pantulan cermin besar wastafel toilet. Earbuds terpasang di telinga pria dingin itu. Ekspresi wajahnya acuh tak acuh membalas, “Karena nama keluargaku Ridley, jadi aku harus menyingkirkan sampah tak berguna di keluarga Ridley.” “Aiden Ridley!” “Paman tidak bisa menyalahkanku. Paman sudah cukup lama menjabat sebagai Direktur RDY Group, tetapi kinerjamu sangat buruk, dan aku juga mendapat banyak laporan jika Paman melecehkan karyawan wanita.” Aiden berhenti sesaat dan menatap tajam ke depan. “Paman juga sudah menggelapkan dana perusahaan untuk membesarkan wanita simpananmu. Sangat banyak catatan burukmu di perusahaan. Kami tidak bisa mempertahankan direktur korup sepertimu. Aku terlalu malu mengakuimu sebagai kerabat Ridley.” “Ka-kamu ...! Apa ibumu t
Sekelompok orang tampak berdebat di depan sebuah pintu ganda ruang VVIP restoran untuk pertemuan makan malam.“Nona Kelly, apa yang harus kita lakukan?! Tuan Muda hilang!” Seorang pria yang terlihat seperti pengawal bertanya cemas pada wanita di sebelahnya.“Kamu masih berani bertanya?! Tuan Muda hilang karena kelalaianmu! Jika Nona Wallington tahu, kamu yang akan dipecat!” bentak wanita yang dipanggil Nona Kelly.Pengawal itu menggaruk kepalanya tampak bersalah.“Saya hanya menoleh sesaat, mungkin hanya tiga menit untuk berbicara dengan pelayan restoran. Saya tidak menyangka Tuan Muda begitu lihai menyelinap pergi,” ujarnya tampak menyesal. “Haruskah kita melapor pada Nona Wallington?” lanjutnya kemudian cemas.Sebelum Kelly membalas si pengawal, terdengar suara seseorang yang menanggapi dari belakang mereka. “Apa yang harus dilaporkan padaku?” Semua orang langsung berbalik ke belakang. Seorang wanita cantik dan anggun keluar dari ruang VVIP tersebut. Dia mengenakan gaun biru lembut
Jantung Iris menegang. Dia menggenggam tangan Dimitri erat. Matanya membelalak menatap wajah cantik wanita di depannya.Felicia tersenyum dan menatap Iris anggun. “Wah, sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu.” Kemudian menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap Iris dari atas sampai bawah. Matanya berkilat melihat penampilan Iris lebih baik daripada enam tahun yang lalu.Mata Felicia sangat jeli melihat gaun, tas dan aksesoris yang dikenakan Iris berasal dari brand eksklusif yang hanya bisa dikenakan orang-orang kelas atas.Iris tidak jauh berbeda dengan seorang wanita yang hidup terawat dari keluarga kaya. Penampilannya bukan lagi gadis miskin dan seorang pelayan bar seperti tujuh tahun yang lalu.Senyum di wajah Felicia tampak aneh dan merendahkan. “Lama tidak bertemu, Iris. Sepertinya kamu hidup dengan sangat baik. Perubahan nasib yang luar biasa dari seorang pelayan bar dan wanita yang bercerai,” lanjutnya tersenyum lembut, namun suaranya terdengar menghina.Kelly terliha
Iris memandang wajah damai putranya yang tidur nyenyak. Dia tersenyum mengusap wajah Dimitri. Menatap wajah putranya mengingatkan wanita itu pada seseorang yang seharusnya sudah terlupakan.Namun, pertemuan malam ini membuka kembali kenangan enam tahun yang lalu.Iris tersenyum sedih meraih tangan mungil Dimitri dan mencium punggung tangan putranya yang kecil. Baginya, Dimitri adalah keajaiban yang dikirim Tuhan di tengah titik terendah hidupnya setelah kehilangan anak dan seorang ayah yang berharga.“Aku dengar pertemuan dengan Houre Corporation dibatalkan. Apa yang terjadi?”Iris mengalihkan pandangannya dan menatap seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan berpakaian kasual tengah bersandar di daun pintu sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Di bawah cahaya lampu, wajah wanita itu hampir terlihat mirip dengan wajah Iris. Dia berusia awal lima puluhan tahun, namun tidak ada kerutan di wajahnya yang membuat wanita paruh baya itu terlihat lebih muda sepuluh tah
Iris dan Aiden membeku saling menatap satu sama lain selama beberapa saat.Aiden tidak bisa mengalihkan pandangan dari wanita di depannya dan hampir tidak bisa mengenali mantan istrinya ini.Penampilan Iris sangat jauh berbeda dengan sosok dirinya enam tahun yang lalu. Saat ini, Iris terlihat glamor dan menjadi lebih cantik seperti dua orang yang berbeda.Felicia gelisah dan menggertakkan gigi menginterupsi mereka. “Iris, lama tidak bertemu, mengapa kamu ada di sini? Apa kamu salah masuk ruangan?” Felicia menyapa Iris dengan ramah seakan mereka baru bertemu setelah sekian lama. Dia kemudian mengalihkan pandangan pada pelayan di sebelah Iris dan menegurnya, “Apa yang kamu lakukan membiarkan orang lain salah masuk ruangan dan mengganggu pertemuan penting?”Interupsi Felicia memutuskan pandangan Iris dan Aiden.Aiden mengalihkan pandangannya dan berdeham. Wajahnya kembali dingin dan acuh tak acuh. Tidak mengatakan sepatah kata pun dan membiarkan Felicia menangani situasi canggung yang me
Iris mencengkeram berkas di tangannya. Setelah beberapa saat dan menenangkan diri, dia tersenyum profesional menatap semua orang.“Tentu saja kita harus bekerja sama, mengapa tidak? Kami sudah mengatur pertemuan ini berbulan-bulan dengan Houre Corporation. Dengan RDY Group mengambil alih tentu akan membuat nilai proyek ini lebih menguntungkan.”Iris berdiri dan mengulurkan tangannya pada Aiden. “Tuan Ridley, senang bisa bekerja sama dengan Anda.”Aiden menatapnya intens selama beberapa saat sebelum kemudian berdiri menyambut jabatan tangan Iris. “Tentu, semoga Anda bisa bertahan, Nona Wallington,” balasnya sedikit meremas tangan Iris.Iris mengerutkan kening dan menarik tangannya.“Omong-omong ....” Iris menatap Felicia sebelum mengalihkan pandangannya pada Aiden. “Selamat atas pertunangan kalian. Kuharap kamu akan mengundangku hadir di pernikahanmu dengan Nona Hills.”Wajah Felicia berubah pucat.“Pertunangan? Apa maksudmu?” balas Aiden mengerutkan keningnya.“Tentu saja pertunanganm
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug