Adira tampak memijit pelipisnya setelah berjam-jam memandangi setumpuk berkas yang kini menyisakan sedikit. Ini adalah tugas yang setiap hari harus ia kerjakan tanpa henti. Baginya bekerja adalah hidupnya. Sehingga ia tidak pernah meninggalkan pekerjaan sedikitpun walaupun ia merasa lelah.
Terdengar suara pintu terketuk dari dalam ruangan Adira. Pintu pun terbuka dan menampilkan seorang perempuan di balik sana. Kaki jenjang, rambut panjang yang ikal, wajah yang memiliki paras cantik serta badan yang proporsional itu masuk ke dalam ruangan pribadi milik Adira.
“Bapak ada temu janji jam sepuluh pagi dengan klien dari J.Y Companny di Restaurant Roasted Beans nanti,” ucap perempuan itu dengan lembut pada atasannya.
Adira mengangguk, ia melirik jam tangan yang melingkar tepat pada tangan kanannya. Ia menghela saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia pun mendongak dan menatap sekretarisnya itu, “Siapkan semua berkasnya sekarang lalu beri pada Arsen,” perintah Adira pada Zayna Olivia selaku sekretaris pribadi Adira.
Zayna mengangguk paham. Namun bukannya meninggalkan ruangan Adira, Zayna malah berjalan mendekat ke arah Adira yang tampak lesu dengan setumpuk berkas perusahaan. Zayna tersenyum manis kearah Adira, kedua tangannya ia taruh di bahu Adira seraya memijitnya dengan lembut.
“Jangan gini, nanti ada yang tahu,” lirih Adira terkejut karena perlakuan Zayna yang tiba-tiba.
“Sebentar doang. Lagian kamu tuh kelihatan banget capeknya,” tolak Zayna dan terus memijat bahu Adira hingga ia tampak lebih rileks dari sebelumnya.
Adira yang mulai terlena dengan pijitan Zayna pun dikejutkan dengan suara ponselnya yang nyaring. Adira mengangkat ponselnya tepat dihadapan Zayna yang masih sibuk menjamah tubuhnya yang atletis.
| Ada apa?
| Jangan lupa datang ke kampus untuk memberi selamat pada Ayana
| Adira gak bisa karena ada temu janji sama klien
| Kalau kamu gak datang, Papa pastiin kamu akan lepas jabatan hari ini juga.
Adira mengepalkan tangannya kuat setelah Jayantaka menutup teleponnya dengan sepihak. Sorot mata Adira berubah jadi tajam dalam sekejap, napasnya pun mulai memburu. Zayna yang melihat hanya mengusap lembut punggung tegap milik Adira untuk sedikit menenangkannya.
“Ada apa sih sayang?” tanya Zayna penasaran.
Adira menggeleng, “Cepat siapin semua berkasnya dan bilang ke klien kita jangan sampai telat,” perintah Adira tegas.
Zayna pun keluar dari ruangan Adira dan segera menyiapkan keseluruhan berkas untuk meeting dengan klien selanjutnya. Sebenarnya rasa penasaran muncul pada benak Zayna, setelah melihat Adira marah mendapatkan telepon dari orang tuanya sendiri.
-
Adira dan Arsen berdiri dan membungkuk sopan setelah meeting dengan J.Y Companny berakhir. Perwakilan dari J.Y Companny pun beranjak pergi dari restaurant, kini ia segera mengemasi semua barangnya.
“Lo boleh balik duluan,” perintah Adira pada Arsen.
Adira memang orang yang sangat profesional, tapi jika dengan Arsen yang sudah lama menjadi temannya ia tidak terlalu formal agar tidak ada jarak antara ia dan Arsen.
“Lo mau kemana? Biar gue temenin,” tawar Arsen.
Adira diam, ia berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar Arsen tidak ikut pergi dengannya. “Gue harus datang ke Celebration temen gue,” ujar Adira.
Arsen mengangguk paham, “Lo udah siapin bucket bunga?” tanya Arsen yang merasa bahwa Adira tidak menyiapkan apapun untuk perayaan temannya itu.
Adira menatap Arsen bingung, “Harus ya?” tanya Adira dengan ragu.
Arsen mengangguk mantap, “Ya harus dong, namanya Celebration. Bucket bunga itu sebagai ucapan selamat dari lo,” jelas Arsen dan diangguki paham oleh Adira.
Adira pun mengalihkan pandangannya pada jam yang melingkar ditangan kanannya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, ia pun segera berpamitan pada Arsen sebelum pergi meninggalkannya sendiri disana.
-
Adira melangkahkan kakinya memasuki halaman luas kampus yang dipenuhi oleh para mahasiswa dan keluarganya yang hendak datang untuk memberikan selamat pada kerabat maupun teman.
Mengapa semua orang berada di luar? Apa acaranya sudah selesai? Pikir Adira yang kebingungan karena banyak siswi yang wisuda kini berada di halaman sekolah untuk berfoto atau sekadar bercanda dengan temannya.
Adira menghela napas, memikirkan tindakan bodoh yang ia lakukan untuk berdiri di sini sekarang. Bahkan ia tidak tahu siapa Ayana, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaannya saat ini.
Adira tertawa karena tingkah bodohnya seraya melangkah maju walau ia ragu tidak dapat menemukan Ayana saat ini. Sorot matanya mengelilingi luasnya halaman kampus yang sangat ramai. Semuanya tampak sama bagi Adira karena tinggi mereka yang tidak jauh berbeda.
Hingga akhirnya ia menghentikan langkahnya tepat pada dua orang gadis yang sedang berbicara dihadapannya. “Ayana gue bakalan kangen banget sama lo,” ucap gadis berambut pendek pada gadis yang dipanggil Ayana tersebut.
Adira tampak mengernyit saat dapat melihat dengan jelas wajah Ayana. Ia tertegun saat menyadari gadis bernama Ayana itu memiliki bentuk wajah dan goresan rahang yang sangat cantik. Mata indah yang ikut tersenyum saat bibirnya tersenyum lebar. Badannya pun tinggi dan proporsional yang membuatnya terlihat sangat menarik.
Adira terkejut saat gadis yang sedari tadi ditatapnya itu balik menatapnya dengan tatapan terkejut. Ayana pun mendekat ke arah Adira dan tersenyum manis.
“Bapak Adira Darsa Rajendra?” tanya Ayana memastikan.
Adira mengangguk dengan kaku saat namanya disebut. Ia masih tidak percaya jika gadis yang ada dihadapannya inilah yang akan menjadi istri kecilnya kelak.
Ayana tersenyum seraya menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan sopan. “Saya Nadira Ayana Wangsa,” ucapnya sopan.
Adira memabalas jabatan tangan itu. Ia mengalihkan padangannya saat Ayana terus menatapnya dan tersenyum kearahnya. Sedangkan Ayana ia malah dibuat tertawa karena melihat sikap Adira yang seolah salah tingkah saat sedang bertatap mata dengannya.
“Apa bunga itu untuk saya?” tanya Ayana spontan karena ia melihat Adira yang sedang menggenggam bucket bunga mawar sedari tadi.
Adira langsung memberikannya pada Ayana. Ayana menerimanya dengan senang hati, “Sebenarnya saya sudah dapat banyak bucket bunga dari teman lelaki saya. Tapi saya berikan pada teman saya yang lain,” ucap Ayana yang bercerita tanpa Adira minta.
“Kenapa?” tanya Adira penasaran akan kelanjutan di balik cerita Ayana.
Ayana tersenyum kearah Adira yang sedang menunggunya untuk kembali menyambung cerita, “Karena saya hanya ingin menerima bucket bunga dari calon suami saya,” jawab Ayana yang membuat Adira diam seribu bahasa.
Ayana pun menghirup aroma segar dari bucket bunga Adira yang di bawa hanya untuknya. Melihat raut wajah Ayana, rasanya ia sudah tahu dan bahkan tidak menolak perjodohan ini sama sekali.
“Maaf saya telat,” ucap Adira memecahkan keheningan diantara mereka berdua.
Ayana mengangguk seraya tersenyum paham. Ia menatap lembut kedua manik coklat milik Adira, “Saya tahu kok kalau Bapak sangat sibuk,” balas Ayana memaklumi.
Adira merasa lega, karena Ayana sudah berusaha untuk memahami kondisinya yang sangat sibuk.
“Adira sudah sampai?”
Adira mengalihkan pandangannya pada seorang lelaki paruh baya yang kini berjalan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum seraya menjabat tangannya dengan sopan.
“Saya Aji Wangsa, Papa Ayana,”
Adira menunduk dengan sopan pada Aji yang lebih tua darinya. Ia pun membalas jabatan tangan Aji seraya tersenyum, “Saya Adira, Pak.” balas dengan segan.
Aji mengangguk, ia menepuk bahu Adira dengan akrab, “Ya sudah kalian jalan-jalan aja berdua, Papa sama Mama mau pulang dulu,” ucap Aji pada Ayana dan Adira.
Adira mengangguk ragu sebagai respon dari perkataan calon Ayah mertuanya. Aji kini melangkah pergi meninggalkan Adira dan Ayana yang masih saling diam.
“Bapak tenang aja, saya bawa baju ganti kok,” ucap Ayana yang seolah paham akan kekhawatiran Adira yang terlihat jelas dari wajah kusutnya.
Adira mengangguk kikuk saat Ayana berhasil membaca pikirannya, “Kalau begitu saya tunggu di parkiran,” ucap Adira mempersilahkan Ayana untuk berganti pakaian terlebih dahulu.
Adira kini beranjak untuk meninggalkan Ayana yang kini berjalan menjauh darinya menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian miliknya. Adira tampak menyandarkan punggungnya pada mobil miliknya sembari menunggu Ayana kembali.
Adira mengeluarkan ponselnya yang kini berbunyi dengan nyaring di dalam saku celananya.
| Ada apa?
| Lo dateng ke Ravhella Wedding Gown sama Ayana untuk fitting baju sekarang
| Kok lo tahu Ayana?
| Gadis cantik gitu, masa gue ngga tahu sih
| Breng--
Adira mengernyit bingung setelah telepon diputuskan oleh Arsen diseberang sana. Dari mana Arsen tahu jika ia sedang menemui Ayana? Padahal ia sendiri belum pernah memberitahu siapa Ayana.
“Saya sudah selesai Pak,”
Adira mendongak saat ada yang mengajaknya bicara. Ia tertegun melihat penampilan Ayana yang seketika berubah menjadi seorang gadis cantik. Tidak. Meskipun saat ia mengenakan toga juga sudah terlihat sangat cantik. Senyum lebar yang manis serta sorot mata yang indah membentuk lengkungan bulan sabit.
Adira mengangguk, ia membukakan pintu mobil untuk Ayana sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobil. Adira menjalankan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Rasa canggung menyelimuti mereka berdua, dinginnya AC semakin membuat mereka membeku karena tidak ada yang memulai untuk membuka percakapan selama perjalanan.
Ayana mengalihkan fokusnya pada kaca jendela, ia melihat ke arah luar jendela, mengamati pemandangan pohon yang berjejer rapi di sana. Sedangkan Adira sesekali melihat ke arah Ayana untuk memastikan bahwa gadis itu merasa baik-baik saja.
“Kita akan pergi untuk melakukan fitting baju,” ujar Adira setelah berdiam diri sekian lama.
Ayana mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Adira menghela, ia mengetukkan jemarinya di atas setir mobilnya berkali-kali. Berbicara dengan perempuan asing yang akan menjadi calon istrinya, membuat Adira jauh lebih kesulitan daripada harus membicarakan bisnis dengan perempuan asing.
“Ada apa?” tanya Adira setelah merasakan adanya perbedaan dari sikap Ayana sebelum mereka berangkat.
Ayana yang sangat ceria seolah berubah menjadi Ayana pendiam dalam sekejap. Itu berhasil membuat Adira merasa bingung, khawatir, dan merasa bersalah di waktu bersamaan.
“Bapak kenapa mau dijodohkan sama saya?”
Adira tertegun mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ayana. Ia melirik sekilas ke samping, dan mendapati Ayana yang kini sedang menatapnya dalam.
“Alasannya karena,” Adira sengaja menggantung karena ia pun bingung harus memilih jawaban jujur atau bohong.
Ayana terus menatap Adira, seolah sedang menunggu jawaban pasti yang akan ia keluarkan.
“Jujur saja Pak, saya akan merasa lebih baik jika begitu,” ujar Ayana tulus.
Adira menolah ke samping, ia menatap kedua manik gadis kecil dihadapannya itu. Sorot matanya sangat tulus, membuatnya tidak tega jika harus menyakiti perasaannya.
Ayana terus tersenyum tulus kearah Adira yang tidak kunjung mengatakan jawabannya. “Bapak jangan pernah merasa bersalah dengan alasan yang akan Bapak ucapkan. Karena itu akan menjadi tombak saya berubah menjadi lebih baik untuk Bapak,” lanjut Ayana dengan suara tenang.
Adira menghela, ia mengalihkan pandangannya pada jalanan kota yang sedikit ramai. Jemari tangannya terus mengetuk setir padat yang tengah digenggamnya.
“Alasannya karena perusahaan,” lirih Adira dengan harapan jika gadis disampingnya tidak dapat mendengarnya.
“Tapi kamu tenang saja, saya akan membuatkan kontrak dan perjanjian pernikahan selama kita tinggal bersama,” lanjut Adira yang hanya diangguki oleh Ayana.
Ayana turun dari mobil milik Adira, kini ia melangkah tepat dibelakang punggung Adira yang tegap. Langkah kakinya perlahan membawanya pada sebuah gedung fashion yang memang ingin ditujunya hari ini. Hari ini adalah pertama kali mereka bertemu, dan mereka langsung pergi untuk menemui Designer yang akan mendandani mereka untuk pesta pernikahan yang akan digelar sebentar lagi. Sorot mata Ayana terus mengitari luasnya gedung. Banyak baju pengantin yang sekedar digantung dan di pasang pada Patung Manekuin untuk dijadikan sample model baju. “Selamat siang Tuan dan Nyonya Adira, saya Tarisa akan membantu anda untuk memilih baju pengantin,” ucap Tarisa sopan. Tarisa pun berjalan mendahului Adira dan Ayana menuntun mereka ke ruangan yang sudah disiapkan untuk mereka. Tarisa tersenyum kearah Ayana, menuntun tubuh mungil Ayana untuk masuk ke dalam bilik ganti. Ayana mengikuti setiap langkah Tarisa tanpa melawan ataupun menolaknya dengan perkata
Sinar mentari pagi berhasil menembus masuk ke dalam celah gorden bilik Ayana yang tertutup rapat. Sedangkan Ayana masih asik dalam mimpi indahnya. Suara ketukan pintu terdengar samar ditelinganya yang masih belum tersadar penuh. “Ay, ada Adira cepetan bangun,” ucap seorang gadis yang lebih dewasa dari Ayana. Suara ketukan terus berlangsung, hingga pengetuk pintu merasa geram karena tidak adanya sahutan dari dalam. Gadis berambut panjang ikal itu menerobos masuk secara paksa tanpa adanya izin dari pemilik kamar. Tiara Salshabilla Adi Wangsa, kakak tiri Ayana yang merupakan anak kandung ibu tirinya dengan mantan suaminya. Umurnya tidak jauh darinya, hanya berkisar 5 tahun lebih tua darinya. Tiara menghentikan langkahnya saat melihat Ayana yang masih terbaring lelap dalam tidurnya. Ia pun akhirnya dengan keras menarik selimut yang membungkus tubuh Ayana agar tetap hangat, tindakan Tiara pun berhasil membuat tidur Ayana terusik. Ayana p
"Orang yang terlihat sangat bahagia, menyimpan luka besar di dalam dirinya." - Ayana duduk disamping kursi kemudi. Sudah dua jam ia menghabiskan waktu untuk pemotretan hari ini, dan kini mereka sedang dalam perjalan untuk melihat rumah yang akan mereka tinggali. Sepanjang perjalanan, pikiran Ayana terus bergelut pada sikap Adira yang tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat, alih-alih ia kesal pada Ryan yang terus menggoda Ayana. “Mau makan dulu?” tanya Adira memecah keheningan antara mereka berdua. Ayana menoleh kesamping dan mendapati Adira yang kini sedang menatapnya. “Bapak lapar?” tanya Ayana yang kemudian di angguki oleh Adira. Ayana pun tersenyum, “Yaudah kita mampir dulu buat makan.” ucap Ayana. Suasana kembali hening, kini hanya terdengar alunan musik yang keluar dari playlist radio yang sedang Adira mainkan. Dinginnya air conditioner yang keluar dari mesin mobil Adira, berhasil merasuk hingga kedalam tubuh masing-masing
Kini Adira berjalan diantara para tamu undangan dengan balutan Jas Hitam yang melekat pada tubuh sempurnanya untuk menjemput Ayana yang berdiri diujung karpet yang tengah ia pijak saat ini. Senyumnya terpancar atas kebahagiaannya hari ini bisa menikahi Ayana. Adira tampak mengulurkan tangan kananya untuk menggandeng tangan Ayana menuju pusat tamu, dimana mereka akan melakukan dansa disana. Aji tampak menyerahkan tangan kanan putrinya pada lelaki yang kini akan bertanggung jawab atas hidup anaknya sekarang. Adira pun menggenggamnya dengan kuat dan kini menuntun Ayana dengan perlahan untuk menuju tempat yang sedang mereka tuju. Adira kini berdiri menghadap Ayana, tangan kanan dan kirinya perlahan memeluk pinggang ramping milik Ayana. Sedangkan Ayana tampak mengalungkan kedua tangannya pada pundak tinggi Adira. Sorot lampu kini hanya berfokus pada mereka berdua, dentingan piano kini mengalun dengan romantis menemani dua insan ini yang se
yana merebahkan tubuhnya di atas Sofa ruang tamu setelah ia membersihkan tubuhnya. Ia lelah karena sudah berjalan untuk membagikan masakannya pada tetangga di dekat rumanya. Menurutnya masakan itu akan terbuang sia-sia, dan perjuangannya untuk memasak tidak akan ada nilainya. Ayana kini tampak fokus dengan buku tebal yang ia pegang. Ujian untuk masuk Universitas semakin dekat, dan ia harus bisa lolos seleksi untuk melanjutkan kuliah di Universitas impiannya. Suara dering telepon rumah kini memecah hening suasananya. Ia pun mendekat dan kini mengangkatnya. “Halo,” sapa Ayana sopan. “Na ini Papa Rajendra,” Ayana sempat terkejut saat mertuanya kini menelponnya melalui telepon rumah. Ia pun segera membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. “Ada apa Pa?” “Adira dirumah kan? Soalnya Papa telepon dari tadi dianya ngga angkat. Papa takut dia tinggalin kamu dirumah sendirian, ini kan hari pertama kalian menikah. Awas aja kalau dia sampai berangkat ke k
Adira terkejut dengan suara Alarm nyaring yang menembus gendang telinganya. Ia tampak menyesuaikan cahaya lampu yang masuk menembus retinaya. Jam sudah menunjukkan pukul 07:00 AM. Ia pun segera bangun dan pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kini Adira sudah siap dengan pakaian kantornya. Ia menghadap kearah cermin, melihat bagaimana gagahnya ia saat ini. Setelah semuanya rapi, kini ia mengambil tas kantornya dan melenggang meninggalkan kamarnya. Adira mengernyit heran saat tidak mendengar suara bising karena tingkah Ayana pagi ini. Ia pun melangkah menuju dapur, dan mendapati makanan yang sudah siap disana. Adira mendekat saat ada sepucuk surat di dekat makanan tersebut. Selamat pagi, Pak. Saya pergi pagi-pagi sekali hari ini karena ada test untuk masuk perguruan tinggi. Saya sudah mencoba membangungkan Bapak dengan mengetuk pintu berkali-kali, tapi Bapak tidak kunjung bangun jadi saya memutuskan untuk menulis surat ini, hehehee.
Adira membuka pintu rumahnya, tubuhnya sangat lelah hari ini karena sudah menemani Zayna sepanjang hari untuk menyenangkan hatinya. Adira mengernyit saat lampu di ruang tamu mati, karena Adira selalu menyalakannya sepanjang hari. Ia pun bergerak untuk menuju saklar lampu dan menekannya. Ia terkejut begitu lampu menyala, kini dihadapannya ada sosok gadis yang ia yakini adalah Ayana. Ayana duduk menghadap tv berada, dan menatap lurus dalam diam. “Kok kamu belum tidur?” tanya Adira sembari berjalan mendekat kearah Ayana Ayana menoleh kearah Adira, kini mata mereka saling bertemu tatap. “Saya nunggu suami pulang,” jawab Ayana. “Saya sudah pulang, sekarang kamu tidur.” Ucap Adira tegas. Adira pun melangkah untuk meninggalkan Ayana yang masih diam di ruang tamu. “Saya ngga bisa tidur Pak,” sahut Ayana cepat. Adira terus melangkah menghiraukan Ayana yang kini menatap punggungnya dalam. “Saya tadi lihat Bapak bersama wanita sedang berbela
Aku mengeliat saat ada sinar yang berusaha masuk menembus retinaku. Perlahan aku membuka mata, dan terkejut saat ada wajah dingin yang tidak pernah perduli padaku kini berada dihadapanku. Sorot matanya yang tajam, kini tidak menakutkan kala ia menutup matanya. Bulu matanya yang lentik, dan alisnya yang tebal serta hidung dan bibir yang proporsinya sangat pas dengan wajahnya, menjadikannya sangat tampan. Ditambah lagi aku bisa melihatnya sedekat ini, seolah bagaikan mimpi untuk ku. Tapi bagaimana bisa aku bisa berakhir tidur satu ranjang dengannya? Bukankah semalam aku tidur di Sofa? Aku segera menutup mata kembali saat melihat pergerakan tubuh dari Adira. Aku tidak mau ia merasa malu saat ku pandangi dari dekat. “Na bangun,” ucap Adira dengan suara seraknya. Dalam hati ku rasanya ratusan kupu-kupu telah terbang tinggi, senang sekali mendengarnya membangunkan ku untuk pertama kalinya dengan suaranya yang serak. Aku berakt
Terdengar suara ricuh dalam suatu ruangan. Teriakan dan goresan antar benda sangat terdengar dengan jelas. Terdapat empat orang di dalamnya yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.“Kak, itu balonnya kurang gede,” peringat gadis berusia lima belas tahun itu dengan meneriaki salah satu kakak laki-lakinya.“Jangan gede-gede, nanti meletus. Terus habis balonnya,” jawabnya yang enggan mendengarkan suara adiknya.“Tapi ngga sekecil ini juga bego,” sahut lainnya dengan menoyor kepala orang yang di panggil Kak tadi. Ry, mendengus kesal setelah mendapatkan toyoran keras di kepala oleh Theo. Theo pun mengambil balon yang sudah di tiup oleh Ry dan menunjukkannya pada Ayah mereka. Adira yang tadi berada di dapur pun keluar menuju ruang tamu saat mendengar anak-anak mereka bertengkar seperti biasa.“Yah, lihat deh. Balonnya terlalu kecil kan?” tanya Theo pada Adira. Adira tertawa melihat balon seukuran tangan yang bisa di genggamnya itu. “Siapa yang tiup?” tany
Dentuman suara musik mengalun menyeruak kedalam telinga setiap orang yang datang. Lampu terang mampu memperlihatkan setiap insan yang datang dengan riasan wajah yang sudah mereka persiapkan. Dalam ruangan yang besar ini mampu menampung ribuan orang, dan saat ini sudah banyak orang yang datang untuk mengikuti Pesta Relasi di Perusahaan milik Adira. Ya, ini adalah hari sabtu. Dimana semua rekan kantornya menghadiri pesta yang sudah ia janjikan untuk lebih mempererat tali silaturahmi antara rekan kerja dan atasan. Semua mata pun tampak tertuju pada Adira yang berjalan dengan menggandeng Ayana di sampingnya. Bak seorang Raja dan Ratu, kini mereka menjadi pusat perhatian selama mereka berjalan masuk kedalam ruangan. Tatapan kagum terpancar dengan nyata di mata setiap orang yang menatap mereka. Ayana yang memakai dress Vero Navy Blue Smocked Off-Shoulder mini dress. Dress tersebut sangan pas untuk tubuh Ayana, karena mampu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ti
Dalam sebuah kabin dengan sentuhan warna putih membuat ruangan terlihat sangat lebar. Disana terlihat Aji dan Elvina yang tampak berbaring diatas ranjang mereka, menikmati waktu santai seperti biasanya.“Beberapa hari ini badan ku tidak sesehat seperti dulu. Rasanya lemas sekali, sampai mikirin masalah perusahaan pun belum tentu bisa,” lirih Aji yang sedang membaringkan tubuhnya. Elvina yang sedari tadi nampak asik bermain ponsel pun kini mengalihkan pandangannya pada Aji yang nampak lemas.“Yaudah serahin aja perusahaan ke Tiara. Biar dia yang urus, kamu tinggal rebahan di rumah.” Jawab Elvina dengan wajah sumringahnya. Aji menggeleng, “Aku sudah memutuskan untuk memberikan kuasa perusahaan ini pada Ana. Tiara hanya akan mendapatkan beberapa persen saham saja,” balas Aji menolak. Raut kesal pun terpancar dengan jelas pada wajah Elvina. “Kamu kira lulusan SMA bisa memimpin sebuah perusahaan? Lagian Ana ngga akan bisa ambil kendali perusahaan, kamu i
Langkah kaki besar milik Adira membawanya untuk masuk kedalam gedung besar milik RAJI'S COMPANNY. Sejak kedatangannya raut wajahnya nampak serius dan tidak menampakkan kesenangan sama sekali. Adira menghentikan langkahnya tepat pada lift yang masih tertutup dengan rapat. Ia pun tampak menunggu lift tersebut untuk segera terbuka. Diamnya membuat pikirannya terbawa pada percakapan semalam bersama Aji, Papa mertuanya. Saat itu Adira berada di taman dengan cuaca dingin di tengah-tengah tubuhnya yang masih belum pulih seutuhnya.-^Adira dapat email masuk, apa benar besok pengalihan CEO baru?^^Betul, nak. Papa akan serahkan perusahaan pada CEO baru agar bisa di kelola dengan baik,^^Siapa Pa?^ Marah Adira seolah teredam di balik saluran telephone di ponselnya. Ia tampak menunduk kesal, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat setelah mendengarkan jawaban dari Aji tentang siapa yang akan menggantikannya.^Ngga bisa dong Pa. Ini ngga adil buat Ana,^ tegas Adira pada
Ayana tampak membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas air putih serta obat yang sudah di berikan dokter untuk Adira. Ia pun menaruhnya diatas nakas sebelah ranjang mereka. Ayana kini tampak membantu Adira untuk bisa duduk dengan nyaman. Adira sudah sadar sejak kedatangan dokter yang menanganinya tadi. Tentu saja ia mendapatkan amukan dari dokter karena terus mendapatkan keluhan tentang perut Adira. Sudah empat tahun terakhir Adira memiliki penyakit ini, dan baru tiga tahun ia menuruti perkataan dokter agar penyakitnya tidak kambuh. Adira tampak tersenyum tipis dengan bibirnya yang pucat.“Makan dulu Mas,” ucap Ayana dengan meraih semangkuk bubur hangat tersebut. Perlahan Ayana tampak mengarahkan sendok berisikan bubur tersebut pada mulut Adira. Adira pun menurutinya dan memakannya walau terasa sedikit pahit di dalam mulutnya. Seperti itu hingga makanannya habis tak tersisa. Kini Ayana pun berganti untuk memberikan minum kepada Adira sebelum meny
Arsen berjalan masuk kedalam ruang kantor yang sudah lama tidak ia kunjungi. Setelah kepulangannya dari Paris, ia langsung memutuskan untuk kembali bekerja agar bisa membantu Adira yang pasti kewalahan mengurus kantornya sendiri. Tidak hanya itu, ia membantu Adira sebagai ucapan terima kasih telah memberikan banyak hal selama ia di Paris.“Selamat pagi, Pak Arsen.” Sapa seorang karyawan perusahaan.“Pagi.” Sahut Arsen. Ia pun terus melangkah menuju ruangan milik Adira, dimana itu adalah rumah kedua untuknya. Ia membukanya tanpa permisi, dan mendapati Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Gila, pagi banget lo. Tumben?” tanya Arsen alih-alih menyapa Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Banyak banget kerjaan yang terbengkalai selama gue ngga masuk kantor. Ngga ada yang backup gue juga,” jawab Adira tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali.“Gue bisa bantu apa?” Adira diam. Ia sepertinya sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan Arsen untuknya. “Minta tolo
Ayana mengeliat tak nyaman saat ada sinar matahari masuk menembus celah gorden yang terbuka. Perlahan ia membuka matanya setelah tidur dengan sangat nyeyak tanpa adanya gangguan. Tangan kirinya meraba untuk memastikan bahwa seseorang tetap ada di sampingnya semalam. Tapi nihil, tidak ada orang sama sekali di sampingnya. Dengan cepat, ia pun membuka matanya dan mencari keberadaan sang suami. Awalnya ia terkejut saat tidak mendapati Adira yang tidur di sampingnya, namun sedetik kemudian senyumnya terpancar saat melihat Adira tengah bermain dengan si kembar.“Mas kok udah bangun? Masih pagi loh ini,” tanya Ayana dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Adira menoleh, matanya sangat sayup karena kurang tidur. Semalam, setelah membaca ketikan Ayana, ia tidak bisa kembali tidur. Banyak hal yang dia segera selesaikan untuk menebus semua kesalahannya. Setelah menyudahi pekerjaannya yang terhambat, Adira sebenarnya ingin sekali tidur. Tapi ternyata jam su
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar