"Orang yang terlihat sangat bahagia, menyimpan luka besar di dalam dirinya."
-
Ayana duduk disamping kursi kemudi. Sudah dua jam ia menghabiskan waktu untuk pemotretan hari ini, dan kini mereka sedang dalam perjalan untuk melihat rumah yang akan mereka tinggali.
Sepanjang perjalanan, pikiran Ayana terus bergelut pada sikap Adira yang tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat, alih-alih ia kesal pada Ryan yang terus menggoda Ayana.
“Mau makan dulu?” tanya Adira memecah keheningan antara mereka berdua.
Ayana menoleh kesamping dan mendapati Adira yang kini sedang menatapnya. “Bapak lapar?” tanya Ayana yang kemudian di angguki oleh Adira.
Ayana pun tersenyum, “Yaudah kita mampir dulu buat makan.” ucap Ayana.
Suasana kembali hening, kini hanya terdengar alunan musik yang keluar dari playlist radio yang sedang Adira mainkan. Dinginnya air conditioner yang keluar dari mesin mobil Adira, berhasil merasuk hingga kedalam tubuh masing-masing insan yang tengah bergelut pada pemikirannya masing-masing.
Akan jadi apa rumah tangga mereka kelak?
Bagaimana keadaan setelah mereka menikah dan tinggal di satu atap rumah?
Dan masih banyak lagi pemikiran yang menghantui dan memenuhi kepala mereka. Sudah tiga puluh menit Adira menghabiskan tenaganya untuk menyetir, kini mereka sampai pada sebuah Restoran Jangseng Geongangwon di Gangnam.
Adira berjalan masuk lebih dulu dan meninggalkan Ayana yang kini mengikutinya dari belakang. Ayana tampak takjub dengan desain interior yang ada di Restoran, terkesan mewah namun minimalis membuat pengunjung merasa sangat nyaman.
Adira tampak memanggil waiterss untuk memesan makanan. Adira tampak mengambil buku dan memberikannya satu pada Ayana yang sedang sibuk melihat seluruh ruangan dengan takjub.
“Cepat pilih, aku lapar.” Seru Adira saat Ayana tidak sadar adanya waiterss di hadapannya.
Ayana meraih buku yang tergeletak diatas meja, ia tampak membuka dan melihat-lihat isinya. Melihat harganya saja sudah membuat Ayana menelan salivanya kasar. Restoran dengan masakan Korea, Italia, Asia, Japan, Prancis, dan Amerika memang tidak heran jika memberi bandrol mahal pada masakannya.
Ayana melirik Adira sekilas saat Adira mulai menyebutkan pesanannya. Adira yang merasa dilirik pun kini membalasnya dengan tatapan.
“Cepat pesan,” ucap Adira.
Ayana tampak tersenyum sembari megangguk samar. “Samain aja sama bapak,” sahut Ayana.
Adira mengangguk mendengar ucapan Ayana. “Minumnya Cocktail Long Island Iced Tea dua ya,” ucap Adira pada waiterss.
Ayana tampak terkejut mendengar pesanan minuman yang diucapkan Adira. “Cocktailnya satu aja, saya Daechu Tea,” ucap Ayana cepat.
Waiterss pun pergi untuk memproses pesanan mereka. Adira kini menatap Ayana, senyumnya mekar saat melihat wajah lucu Ayana yang dengan cepat menolak pesanan minuman yang sama dengannya.
“Katanya samaan, kok akhirnya pilih beda minuman?” tanya Adira.
Ayana tersenyum malu, “Saya ngga bisa minum alkohol,” balas Ayana lirih.
Adira mengangguk, “Semua partner saya harus bisa minum alkohol,” balas Adira.
“Karena saya partner rumah tangga bapak. Jadi sebagai gantinya saya yang akan bikin teh herbal buat bapak, setelah bapak mabuk karena alkohol nanti.” ucap Ayana dengan senyumnya.
Adira tertegun melihat senyum manis milik Ayana. Namun itu hanya bertahan beberapa detik saja, sebelum akhirnya Adira tersadar dari lamunannya.
Mereka pun menghabiskan makanan dengan damai tanpa adanya sepatah kata yang keluar dari mulut mereka selain Selamat makan.
-
Acara mereka selanjutnya adalah mendatangi tempat untuk mereka melangsungkan pernikahan kelak. Meskipun ini adalah pernikahan kontrak yang tidak diinginkan keduanya, tapi mereka harus tetap melakukannya sesuai dengan perintah yang diberikan oleh Rajendra, Ayah Adira.
Ayana berjalan mengekor dibelakang Adira yang terus melangkah lebar dengan kakinya yang panjang. Pemandangan asri terlihat setelah mereka melewati tempat parkir diluar sana. Banyak pepohonan hijau yang segar, dan udaranya pun sangat sejuk membuat Ayana menikmatinya.
“Adira dateng juga lo,” sapa seorang perempuan yang tingginya kurang dari 4 centimeter dari Adira.
Perempuan itu menghampiri Adira dengan senyum merekah. Ayana yang melihat hanya bisa diam dan bertanya-tanya dalam benaknya siapa perempuan tersebut. Karena ia tidak mungkin bertanya langsung pada Adira.
“Akhirnya lo nikah juga,” ucap perempuan tersebut setelah melepaskan pelukannya dengan Adira.
“Makin banyak omong ya lo,” cercah Adira tanpa kata halus sekaligus.
Perempuan dengan tinggi semampai itu tertawa, seolah sudah memahami karakter diri Adira sejak lama.
“Mana calonnya?” tanyanya.
Ayana tampak berjalan sedikit mendekat kearah Adira saat Adira menoleh kebelakang dan melihatnya yang berdiri amat sangat jauh darinya.
“Ayana, kenalin ini Laras mantan saya,” ucap Adira tegas.
Raut wajah terkejut nampak sangat jelas diwajah Ayana setelah mendengar kata mantan, sedangkan Laras hanya tertawa mendengar ucapan Adira.
“Pedas banget ucapan lo sama calon sendiri,” ucap Laras yang sadar akan raut wajah Ayana yang berubah.
Laras pun berjalan mendekat kearah Ayana dan menjulurkan tangannya. “Laras,” ucapnya lembut memperkenalkan diri.
Ayana pun dengan segera menjabat tangannya dengan sopan, “Ayana,” balas Ayana sopan.
“Kalo Adira ngomong pedas lagi sama kamu, bilang ke aku ya. Nanti aku bagi kartu ASnya biar dia bisa nurut sama kamu,” ucap Laras sembari menepuk lengan Ayana halus.
Ayana mengangguk menjawab perkataan Laras. Deringan telepon kini mendominasi percakapan antara dua insan yang lama bertemu. Adira izin untuk mengangkat telepon terlebih dahulu, kini ia berjalan menjauh diantara Laras dan Ayana yang terus melihat punggungnya berjalan menjauh.
“Adira memang orangnya cuek, kamu tahu itu kan?” tanya Laras disela kecanggungan yang terjadi diantara kami.
Ayana tampak mengangguk ragu. Ia tidak tahu pasti bagaimana sifat dan karakter asli dari seorang Adira Darsa Rajendra karena ia bahkan baru mengenalnya.
“Adira itu sebenarnya kasihan, semua cewek yang jadi pacarnya Cuma manfaatin hartanya aja. Karena ngga akan ada cewek yang betah dengan sifat Adira, kecuali dengan hartanya.” Lanjut Laras dengan sorot mata yang masih melihat punggung Adira dari kejauhan.
Ayana mengernyitkan dahi. Apa seburuk itu sifat asli Adira? Bagaimana ia bisa bertahan dan mempertahankan pernikahannya kelak?
Ayana terkejut saat Laras tiba-tiba saja tertawa disampingnya. Kini laras menatapnya, “Dulu aku kira Adira ngga akan pernah bisa nikah sebelum merubah sifat-sifat buruknya itu. Tapi ternyata masih ada cewek tulus yang mau menerimanya,” ungkap Laras dengan senyum manisnya.
Sebagai mantan yang pernah melakukan hal buruk pada Adira, Laras ikut berbahagia akan hidup baru Adira sebentar lagi. Adira memang memiliki banyak kekurangan, tapi dia memiliki satu kelebihan yaitu mudah memaafkan tapi tidak mudah untuk mengulanginya kembali.
“Gimana soal dekorasi pernikahannya?” tanya Adira setelah kembali bergabung dengan kami.
“Gue akan kasih tema Rustic Vintage sesuai apa yang lo suka,” jawab Laras yang berhasil mendapatkan tawa seorang Adira.
Dibelakang sana ada seorang Nadira Ayana Wangsa yang diam dalam penuh tanya. Ia diam dalam banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya, yang entah sampai kapan tidak akan ia lontarkan pada sosok Adira Darsa Rajendra.
-
Adira menghentikan mobilnya tepat di depan rumah berpagar kayu, dimana Ayana tinggal selama ini. Ayana pun mulai melepas seatbelt yang ia kenakan sejak melakukan perjalanan panjang dengan Adira.
“Terima kasih untuk hari ini Pak,” ucap Ayana sopan dengan sedikit membungkuk kearah Adira.
Ayana pun kini mulai membuka pintu mobil milik Adira. “Dua hari lagi, persiapkan dirimu.” Ucap Adira memperingatkan pada Ayana bahwa pernikahannya akan digelar sebentar lagi.
Ayana mengangguk seraya tersenyum manis kearah Adira. “Tentu, saya tidak akan lupa dengan hari bahagia saya,” jawab Ayana sebelum ia turun dari mobilnya.
Ayana pun melangkah masuk ke dalam rumah besar miliknya, membiarkan Adira yang masih bertengger di dalam mobilnya tanpa berniat masuk ataupun pulang kerumahnya sendiri.
Ayana melangkah memasuki rumah dengan badan dan raut wajah lusuh karena tubuhnya merasa lelah setelah seharian penuh melakukan perjalanan panjang untuk mensurvei kebutuhan pernikahan mereka.
Dalam hati Ayana tersirat senyum miris, Jika saja ia bisa melakukan ini bersama pasangan yang benar-benar bisa mencintainya, pasti rasa lelah ini akan terbayarkan dengan sempurna.
Ayana yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, kini disuguhi pemandangan yang berhasil membuat hatinya tergores. Untuk ke sekian kalinya. Sebenarnya ia merasa bahagia jika Papa dapat bahagia bersama Mama tirinya. Namun ia merasa terasingkan jika Papanya sedang bersama Elvina.
“Na baru pulang nak?” tanya Aji pada anak semata wayangnya bersama dengan istri pertamanya.
Ayana mengangguk, sudah tiga hari ia tidak bertemu dan berbicara dengan Papanya sendiri.
“Sini gabung makan sama kita,” ajak Aji pada Ayana yang berdiri dari kejauhan.
“Ayana kan baru aja pulang, pasti dia kelelahan. Biarin aja Ayana istirahat, pasti Adira juga udah ngajak Ayana buat makan malam Mas,” ucap Elvina pada Aji dengan nada suara yang amat sangat lembut.
Ayana gagal untuk melangkah makan bersama mereka untuk ke sekian kalinya. Tak lama Ayana mengangguk, sembari tersenyum untuk meyakinkan hati sang Papa.
“Ayana udah makan kok Pah. Sekarang Ayana mau istirahat dulu ya.” ucap Ayana sebelum akhirnya beranjak menuju kamarnya.
Dadanya kembali sesak untuk sekian kalinya. Ia tidak tahu apa penyebabnya, karena ini sudah terjadi padanya selama dua tahun terakhir.
Ayana dengan cepat masuk ke dalam kamar dan menguncinya, karena ia tahu Aji akan menyusulnya setelah makan untuk berbicara dengannya. Ia tidak mau jika Aji melihatnya dalam keadaan buruk seperti ini.
Ayana memukul dadanya dengan keras berulang kali, mencoba membuat pernapasannya kembali lancar seperti biasa. Ia berjalan menuju balkon kamarnya untuk mencari udara segar.
Tetes air mata itu langsung luruh begitu Ayana menyendiri. Ia terisak dalam diam bersama tangisannya setiap malam dan hembusan angin yang menemani malam kalbunya. Apa yang ia pendam sejak pagi hingga petang, semua ia tumpahkan melalui sakitnya dada dan air mata yang mengalir tanpa henti.
Tangan kanannya tiada henti memukul dadanya berulang kali, sedangkan tangan kirinya ia gunakan mencengkram dengan kuat sekat pagar balkonnya.
-
Adira mematikan telepon setelah berbicara hampir dua puluh menit bersama Zayna sang sekretaris yang sudah menghandle pekerjaannya selama seharian ini.
Adira kini hendak menyalakan mobilnya untuk kembali kerumahnya dan beristirahat. Namun kini ia gagalkan saat melihat ada seorang gadis yang berdiri di balkon dalam keadaan buruk. Ia tampak memicingkan matanya untuk melihat wajah gadis yang tertutupi sebagian rambutnya itu dengan jelas.
Adira tertegun saat menyadari bahwa gadis itu adalah Ayana. Ayana terlihat sangat buruk disana, ia menangis dalam diam dengan sesekali membungkam mulutnya dan menepuk kuat dadanya. Pikiran buruk tentang dirinya sejak tadi pagi berkelibat. Apa yang sudah ia lakukan sehingga membuat Ayana menjadi sangat buruk saat tidak bersamanya?
Gadis kuat, dan penuh perhatian seperti Ayana ternyata bisa terlihat sangat rapuh jika sedang sendiri.
Kini Adira berjalan diantara para tamu undangan dengan balutan Jas Hitam yang melekat pada tubuh sempurnanya untuk menjemput Ayana yang berdiri diujung karpet yang tengah ia pijak saat ini. Senyumnya terpancar atas kebahagiaannya hari ini bisa menikahi Ayana. Adira tampak mengulurkan tangan kananya untuk menggandeng tangan Ayana menuju pusat tamu, dimana mereka akan melakukan dansa disana. Aji tampak menyerahkan tangan kanan putrinya pada lelaki yang kini akan bertanggung jawab atas hidup anaknya sekarang. Adira pun menggenggamnya dengan kuat dan kini menuntun Ayana dengan perlahan untuk menuju tempat yang sedang mereka tuju. Adira kini berdiri menghadap Ayana, tangan kanan dan kirinya perlahan memeluk pinggang ramping milik Ayana. Sedangkan Ayana tampak mengalungkan kedua tangannya pada pundak tinggi Adira. Sorot lampu kini hanya berfokus pada mereka berdua, dentingan piano kini mengalun dengan romantis menemani dua insan ini yang se
yana merebahkan tubuhnya di atas Sofa ruang tamu setelah ia membersihkan tubuhnya. Ia lelah karena sudah berjalan untuk membagikan masakannya pada tetangga di dekat rumanya. Menurutnya masakan itu akan terbuang sia-sia, dan perjuangannya untuk memasak tidak akan ada nilainya. Ayana kini tampak fokus dengan buku tebal yang ia pegang. Ujian untuk masuk Universitas semakin dekat, dan ia harus bisa lolos seleksi untuk melanjutkan kuliah di Universitas impiannya. Suara dering telepon rumah kini memecah hening suasananya. Ia pun mendekat dan kini mengangkatnya. “Halo,” sapa Ayana sopan. “Na ini Papa Rajendra,” Ayana sempat terkejut saat mertuanya kini menelponnya melalui telepon rumah. Ia pun segera membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. “Ada apa Pa?” “Adira dirumah kan? Soalnya Papa telepon dari tadi dianya ngga angkat. Papa takut dia tinggalin kamu dirumah sendirian, ini kan hari pertama kalian menikah. Awas aja kalau dia sampai berangkat ke k
Adira terkejut dengan suara Alarm nyaring yang menembus gendang telinganya. Ia tampak menyesuaikan cahaya lampu yang masuk menembus retinaya. Jam sudah menunjukkan pukul 07:00 AM. Ia pun segera bangun dan pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kini Adira sudah siap dengan pakaian kantornya. Ia menghadap kearah cermin, melihat bagaimana gagahnya ia saat ini. Setelah semuanya rapi, kini ia mengambil tas kantornya dan melenggang meninggalkan kamarnya. Adira mengernyit heran saat tidak mendengar suara bising karena tingkah Ayana pagi ini. Ia pun melangkah menuju dapur, dan mendapati makanan yang sudah siap disana. Adira mendekat saat ada sepucuk surat di dekat makanan tersebut. Selamat pagi, Pak. Saya pergi pagi-pagi sekali hari ini karena ada test untuk masuk perguruan tinggi. Saya sudah mencoba membangungkan Bapak dengan mengetuk pintu berkali-kali, tapi Bapak tidak kunjung bangun jadi saya memutuskan untuk menulis surat ini, hehehee.
Adira membuka pintu rumahnya, tubuhnya sangat lelah hari ini karena sudah menemani Zayna sepanjang hari untuk menyenangkan hatinya. Adira mengernyit saat lampu di ruang tamu mati, karena Adira selalu menyalakannya sepanjang hari. Ia pun bergerak untuk menuju saklar lampu dan menekannya. Ia terkejut begitu lampu menyala, kini dihadapannya ada sosok gadis yang ia yakini adalah Ayana. Ayana duduk menghadap tv berada, dan menatap lurus dalam diam. “Kok kamu belum tidur?” tanya Adira sembari berjalan mendekat kearah Ayana Ayana menoleh kearah Adira, kini mata mereka saling bertemu tatap. “Saya nunggu suami pulang,” jawab Ayana. “Saya sudah pulang, sekarang kamu tidur.” Ucap Adira tegas. Adira pun melangkah untuk meninggalkan Ayana yang masih diam di ruang tamu. “Saya ngga bisa tidur Pak,” sahut Ayana cepat. Adira terus melangkah menghiraukan Ayana yang kini menatap punggungnya dalam. “Saya tadi lihat Bapak bersama wanita sedang berbela
Aku mengeliat saat ada sinar yang berusaha masuk menembus retinaku. Perlahan aku membuka mata, dan terkejut saat ada wajah dingin yang tidak pernah perduli padaku kini berada dihadapanku. Sorot matanya yang tajam, kini tidak menakutkan kala ia menutup matanya. Bulu matanya yang lentik, dan alisnya yang tebal serta hidung dan bibir yang proporsinya sangat pas dengan wajahnya, menjadikannya sangat tampan. Ditambah lagi aku bisa melihatnya sedekat ini, seolah bagaikan mimpi untuk ku. Tapi bagaimana bisa aku bisa berakhir tidur satu ranjang dengannya? Bukankah semalam aku tidur di Sofa? Aku segera menutup mata kembali saat melihat pergerakan tubuh dari Adira. Aku tidak mau ia merasa malu saat ku pandangi dari dekat. “Na bangun,” ucap Adira dengan suara seraknya. Dalam hati ku rasanya ratusan kupu-kupu telah terbang tinggi, senang sekali mendengarnya membangunkan ku untuk pertama kalinya dengan suaranya yang serak. Aku berakt
WARNING 18+ - Adira mengetuk pintu Apartemen milik sang kekasih berkali-kali, namun tidak kunjung di bukakan. Ia pun sesekali menelepon nomor milik Zayna, namun tidak kunjung mendapat jawaban. “Ke mana sih, ngga tahu apa aku lagi kangen,” lirih Adira dengan tangan yang terus mengetuk dan memencet bel Apartemen milik Zayna. Sudah hampir sepuluh menit ia berdiri, dan kini orang yang ditunggunya pun sudah datang dengan raut wajah berantakan. “Hai sayang,” ucap Zayna pada Adira. Adira mengikuti langkah kaki Zayna yang kini masuk kedalam Apartemen miliknya. Sorot mata Adira melihat sekeliling ruangan yang tampak berantakan. Seluruh bantal sofa berhamburan di lantai, dan banyak barang yang tidak berada di tempatnya. “Kok Apartnya berantakan sayang?” tanya Adira karena merasa penasaran apa yang sudah terjadi semalam di Apartemen miliknya ini. “Aku habis party semalam sama teman ku, dan belum sempat beresin paginya,” jawab Zayna cepat sembari membersihkan ruang
Ayana POV Aku terus melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 00:25 AM. Malam semakin larut dan pagi segera datang, tapi kemana Adira pergi? Ia bahkan tidak mengirimi ku pesan untuk memberitahukan keberadaannya. Rasa cemas kini memenuhi pikiranku. Setidaknya Adira sudah menolongku semalam, jadi wajar jika aku mencemaskannya saat ini. Aku tersentak saat mendengar suara seseorang yang memasukkan kata sandi. Aku pun segera beranjak menuju pintu Apartemen. Aku kaget saat melihat tubuh Adira yang sempoyongan dan kini dibantu oleh Arsen. “Lo belum tidur?” tanya Arsen padaku yang masih segar dengan mataku yang lebar. “Gue nunggu Adira pulang Bang,” jawab ku dengan mengambil alih tubuh Adira agar berpindah bertopang pada tubuhku. “Biar gue bawa ke kamarnya aja,” ucap Arsen menolak. Ayana menggeleng, “Biar gue aja,” tolak ku. “Tapi berat Na,” lirih Arsen. “Ini kesempatan gue buat rawat dia Bang.” Sahut ku. Arsen pun mengalah d
Adira POV~ - “Kemana aja lo? Aku terus berjalan memasuki ruanganku tanpa memperdulikan Arsen yang terus mengomeliku. Pikiran ku kalut akan semalam, ada hal yang menganjal hati dan pikiranku. Seolah aku harus mencari tahu sebuah teka – teki ini. “Oh iya gue tahu, lo telat karena semalam lo mabuk berat kan,” ucap Arsen yang ikut duduk dikursi tepat dihadapan Adira. “Lo harus bersyukur sih Dir karena punya istri kayak Ayana yang selalu nungguin lo pulang biarpun itu sangat larut.” Lanjut Arsen. Benar, semalam aku mabuk. Tapi Ayana? Apa ia yang mengurusku semalam? Tapi kenapa aku bisa berakhir di kamar milik Ayana pagi ini? “Berkas untuk meeting sama Ratu Companny udah siapkan?” tanya Arsen lagi yang kini berhasil memecah seluruh isi teka – teki dipikiranku. Aku meraih tas kerja ku, mencari berkas yang sudah ku tanda tangani beberapa hari yang lalu. Aku membelalakkan kedua mataku terkejut saat tidak ada berkas satupun y
Terdengar suara ricuh dalam suatu ruangan. Teriakan dan goresan antar benda sangat terdengar dengan jelas. Terdapat empat orang di dalamnya yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.“Kak, itu balonnya kurang gede,” peringat gadis berusia lima belas tahun itu dengan meneriaki salah satu kakak laki-lakinya.“Jangan gede-gede, nanti meletus. Terus habis balonnya,” jawabnya yang enggan mendengarkan suara adiknya.“Tapi ngga sekecil ini juga bego,” sahut lainnya dengan menoyor kepala orang yang di panggil Kak tadi. Ry, mendengus kesal setelah mendapatkan toyoran keras di kepala oleh Theo. Theo pun mengambil balon yang sudah di tiup oleh Ry dan menunjukkannya pada Ayah mereka. Adira yang tadi berada di dapur pun keluar menuju ruang tamu saat mendengar anak-anak mereka bertengkar seperti biasa.“Yah, lihat deh. Balonnya terlalu kecil kan?” tanya Theo pada Adira. Adira tertawa melihat balon seukuran tangan yang bisa di genggamnya itu. “Siapa yang tiup?” tany
Dentuman suara musik mengalun menyeruak kedalam telinga setiap orang yang datang. Lampu terang mampu memperlihatkan setiap insan yang datang dengan riasan wajah yang sudah mereka persiapkan. Dalam ruangan yang besar ini mampu menampung ribuan orang, dan saat ini sudah banyak orang yang datang untuk mengikuti Pesta Relasi di Perusahaan milik Adira. Ya, ini adalah hari sabtu. Dimana semua rekan kantornya menghadiri pesta yang sudah ia janjikan untuk lebih mempererat tali silaturahmi antara rekan kerja dan atasan. Semua mata pun tampak tertuju pada Adira yang berjalan dengan menggandeng Ayana di sampingnya. Bak seorang Raja dan Ratu, kini mereka menjadi pusat perhatian selama mereka berjalan masuk kedalam ruangan. Tatapan kagum terpancar dengan nyata di mata setiap orang yang menatap mereka. Ayana yang memakai dress Vero Navy Blue Smocked Off-Shoulder mini dress. Dress tersebut sangan pas untuk tubuh Ayana, karena mampu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ti
Dalam sebuah kabin dengan sentuhan warna putih membuat ruangan terlihat sangat lebar. Disana terlihat Aji dan Elvina yang tampak berbaring diatas ranjang mereka, menikmati waktu santai seperti biasanya.“Beberapa hari ini badan ku tidak sesehat seperti dulu. Rasanya lemas sekali, sampai mikirin masalah perusahaan pun belum tentu bisa,” lirih Aji yang sedang membaringkan tubuhnya. Elvina yang sedari tadi nampak asik bermain ponsel pun kini mengalihkan pandangannya pada Aji yang nampak lemas.“Yaudah serahin aja perusahaan ke Tiara. Biar dia yang urus, kamu tinggal rebahan di rumah.” Jawab Elvina dengan wajah sumringahnya. Aji menggeleng, “Aku sudah memutuskan untuk memberikan kuasa perusahaan ini pada Ana. Tiara hanya akan mendapatkan beberapa persen saham saja,” balas Aji menolak. Raut kesal pun terpancar dengan jelas pada wajah Elvina. “Kamu kira lulusan SMA bisa memimpin sebuah perusahaan? Lagian Ana ngga akan bisa ambil kendali perusahaan, kamu i
Langkah kaki besar milik Adira membawanya untuk masuk kedalam gedung besar milik RAJI'S COMPANNY. Sejak kedatangannya raut wajahnya nampak serius dan tidak menampakkan kesenangan sama sekali. Adira menghentikan langkahnya tepat pada lift yang masih tertutup dengan rapat. Ia pun tampak menunggu lift tersebut untuk segera terbuka. Diamnya membuat pikirannya terbawa pada percakapan semalam bersama Aji, Papa mertuanya. Saat itu Adira berada di taman dengan cuaca dingin di tengah-tengah tubuhnya yang masih belum pulih seutuhnya.-^Adira dapat email masuk, apa benar besok pengalihan CEO baru?^^Betul, nak. Papa akan serahkan perusahaan pada CEO baru agar bisa di kelola dengan baik,^^Siapa Pa?^ Marah Adira seolah teredam di balik saluran telephone di ponselnya. Ia tampak menunduk kesal, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat setelah mendengarkan jawaban dari Aji tentang siapa yang akan menggantikannya.^Ngga bisa dong Pa. Ini ngga adil buat Ana,^ tegas Adira pada
Ayana tampak membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas air putih serta obat yang sudah di berikan dokter untuk Adira. Ia pun menaruhnya diatas nakas sebelah ranjang mereka. Ayana kini tampak membantu Adira untuk bisa duduk dengan nyaman. Adira sudah sadar sejak kedatangan dokter yang menanganinya tadi. Tentu saja ia mendapatkan amukan dari dokter karena terus mendapatkan keluhan tentang perut Adira. Sudah empat tahun terakhir Adira memiliki penyakit ini, dan baru tiga tahun ia menuruti perkataan dokter agar penyakitnya tidak kambuh. Adira tampak tersenyum tipis dengan bibirnya yang pucat.“Makan dulu Mas,” ucap Ayana dengan meraih semangkuk bubur hangat tersebut. Perlahan Ayana tampak mengarahkan sendok berisikan bubur tersebut pada mulut Adira. Adira pun menurutinya dan memakannya walau terasa sedikit pahit di dalam mulutnya. Seperti itu hingga makanannya habis tak tersisa. Kini Ayana pun berganti untuk memberikan minum kepada Adira sebelum meny
Arsen berjalan masuk kedalam ruang kantor yang sudah lama tidak ia kunjungi. Setelah kepulangannya dari Paris, ia langsung memutuskan untuk kembali bekerja agar bisa membantu Adira yang pasti kewalahan mengurus kantornya sendiri. Tidak hanya itu, ia membantu Adira sebagai ucapan terima kasih telah memberikan banyak hal selama ia di Paris.“Selamat pagi, Pak Arsen.” Sapa seorang karyawan perusahaan.“Pagi.” Sahut Arsen. Ia pun terus melangkah menuju ruangan milik Adira, dimana itu adalah rumah kedua untuknya. Ia membukanya tanpa permisi, dan mendapati Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Gila, pagi banget lo. Tumben?” tanya Arsen alih-alih menyapa Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Banyak banget kerjaan yang terbengkalai selama gue ngga masuk kantor. Ngga ada yang backup gue juga,” jawab Adira tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali.“Gue bisa bantu apa?” Adira diam. Ia sepertinya sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan Arsen untuknya. “Minta tolo
Ayana mengeliat tak nyaman saat ada sinar matahari masuk menembus celah gorden yang terbuka. Perlahan ia membuka matanya setelah tidur dengan sangat nyeyak tanpa adanya gangguan. Tangan kirinya meraba untuk memastikan bahwa seseorang tetap ada di sampingnya semalam. Tapi nihil, tidak ada orang sama sekali di sampingnya. Dengan cepat, ia pun membuka matanya dan mencari keberadaan sang suami. Awalnya ia terkejut saat tidak mendapati Adira yang tidur di sampingnya, namun sedetik kemudian senyumnya terpancar saat melihat Adira tengah bermain dengan si kembar.“Mas kok udah bangun? Masih pagi loh ini,” tanya Ayana dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Adira menoleh, matanya sangat sayup karena kurang tidur. Semalam, setelah membaca ketikan Ayana, ia tidak bisa kembali tidur. Banyak hal yang dia segera selesaikan untuk menebus semua kesalahannya. Setelah menyudahi pekerjaannya yang terhambat, Adira sebenarnya ingin sekali tidur. Tapi ternyata jam su
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar