Adira POV~ - “Kemana aja lo? Aku terus berjalan memasuki ruanganku tanpa memperdulikan Arsen yang terus mengomeliku. Pikiran ku kalut akan semalam, ada hal yang menganjal hati dan pikiranku. Seolah aku harus mencari tahu sebuah teka – teki ini. “Oh iya gue tahu, lo telat karena semalam lo mabuk berat kan,” ucap Arsen yang ikut duduk dikursi tepat dihadapan Adira. “Lo harus bersyukur sih Dir karena punya istri kayak Ayana yang selalu nungguin lo pulang biarpun itu sangat larut.” Lanjut Arsen. Benar, semalam aku mabuk. Tapi Ayana? Apa ia yang mengurusku semalam? Tapi kenapa aku bisa berakhir di kamar milik Ayana pagi ini? “Berkas untuk meeting sama Ratu Companny udah siapkan?” tanya Arsen lagi yang kini berhasil memecah seluruh isi teka – teki dipikiranku. Aku meraih tas kerja ku, mencari berkas yang sudah ku tanda tangani beberapa hari yang lalu. Aku membelalakkan kedua mataku terkejut saat tidak ada berkas satupun y
Ayana POV Aku duduk bersimpu, memeluk kedua lututku erat. Dinginnya lantai bisa ku rasakan melalui sentuhan kulitku. Saat ini aku sengaja untuk bolos kuliah, karena ingin menenangkan pikiran dan hati terlebih dahulu. Jangan tanya dimana aku sekarang. Ini adalah Apartemen yang diberikan papa padaku pada ulang tahun yang ke 17. Aku kesini saat papa tidak ada dirumah, karena aku sangat malas jika harus serumah dengan Elvina, mama tiriku. Sudah tiga jam aku duduk dengan keadaan terpuruk seperti ini. Suara deringan ponselpun mengalun dalam gelapnya ruangan Apartemen ku saat ini. Aku tersenyum tipis melihat adanya nama Arsen disana. Kenapa selalu Arsen yang datang padaku disaat aku merasa terpuruk? Aku mengangkatnya setelah berusaha menetralkan suaraku. Terdengar dari sebrang sana suara Arsen yang sepertinya sangat mengkhawatirkan keberadaan ku. Ada apa dengannya? Aku berpikir keras saat Arsen bertany
Aku masuk kedalam Apartemen milik Adira. Kaki ku melangkah perlahan kearah kamar ku bersinggah tanpa sepatah kata. Sejak diperjalanan menuju kemari, kami hanya diam saja. Tidak ada yang membuka suara, bahkan Adira pun tidak mengucapkan sepatah kata untuk mengiyakan permintaanku tadi. Langkah kaki ku terhenti saat tiba didepan pintu bilik ku yang tertutup. Rasanya aneh jika aku masuk kedalam lagi. Ada sebuah kenangan manis yang berujung pahit didalamnya. Aku pun mengatur napasku agar tenang, tangan kananku juga perlahan meraih ganggang pintu kabin. Perlahan aku membukanya, sorot mataku dibuat terkejut saat melihat kamarku yang semula berantakan menjadi sangat rapi. Siapa yang melakukan ini? “Kamu boleh tidur dikamar ku jika memang tidak ingin tidur dikamar mu lagi,” Aku tersentak saat mendengar suara Adira dari dekat. Ia ternyata sudah berdiri tepat dibelakangku. Memperhatikanku yang sedari tadi enggan masuk kedalam kamar ku sendiri.
Satu bulan telah berlalu. Usia pernikahan Ayana dan Adira sudah berlalu selama satu bulan. Selama ini mereka hanya diam, tanpa ada yang berani mengajak bicara jika itu tidak perlu. Apalagi setelah kejadian dimana Adira dengan paksa merebut mahkota Ayana tanpa rasa cinta, ia semakin berusaha untuk menjauhi Ayana. Sedangkan Ayana hanya bisa pasrah dan mengikuti alur yang sudah digariskan oleh tuhan. Seperti biasa, Ayana memasak untuk Adira walaupun masakan itu selalu basi karena tidak ada yang memakannya selama ini. Tapi Ayana melakukan ini dengan ikhlas, ia tidak pernah menyimpan dendam pada sikap Adira yang sangat kasar padanya. Ayana tersenyum setelah bersiap untuk pergi ke kampus. Ia menghampiri Adira yang juga berjalan menuju pintu Apartemen. “Bapak tidak sarapan dulu? Saya sudah masak nasi goreng hari ini. Bukankah bapak suka?” tanya Ayana dengan melihat wajah Adira yang terus mengabaikan keberadaannya. “Saya tidak suka. Berhentilah memasak untuk ku, itu
Arsen melangkah lesu memasuki kantornya. Terlihat dari wajahnya yang sangat lusuh setelah mengantar Ayana ke dokter pagi ini. Pikirannya sungguh tidak bisa tenang melihat kondisi Ayana saat ini. “Kemana aja lo?” Arsen menengadah saat ada yang mengajaknya bicara. Terlihat Adira berjalan setelah keluar dari lift dan kini menghampiri Arsen. “Gue ma--” Arsen menghentikan ucapannya saat melihat Zayna dibalik punggung Adira. Zayna tampak menggandeng lengan Adira dengan romantis, terlihat dari raut wajahnya yang berseri-seri. “Sayang, kita mau makan siang dimana?” tanya Zayna dengan menatap lekat Adira dari dekat. “Kamu yang pilih tempatnya buat kita makan siang.” Putus Adira yang membuat Zayna kegirangan. Arsen menghela napas berat. Ia berdecak kesal melihat sepasang kekasih yang sangat dibencinya ini. “Lo pernah mikir ngga kalau istri lo udah makan siang atau belum dirumah?” tanya Arsen random yang membuat Adira mengernyit sembari tertawa.
Aku mengeliat diatas kasur. Mataku menatap sekeliling, ternyata sudah petang. Aku kelelahan setelah menangisi takdirku yang begitu kacau. Aku pun perlahan bangkit dan menutup gorden yang masih menampakkan pemandangan jalanan di kota Seoul saat malam hari. Aku memegangi perutku saat terasa perih. Aku teringat jika belum makan apapun sejak kemarin malam. Bahkan hari ini pun tidak, dan aku sungguh melewatkan obat yang diberikan dokter kepadaku tadi. Aku akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum kembali tidur. Rasanya hanya ini yang bisa ku lakukan. Lima belas menit berlalu, aku pun sudah merasa sedikit segar setelah membersihkan diri. Kini saatnya aku untuk kembali tidur hingga esok hari. - “Ayana suka sama makanan ini Sen?” tanya Rissa memastikan bahwa makanan yang ia bawa benar-benar kesukaan Ayana. Arsen mengangguk pada Wanita disampingnya. Ia melihat kearah Rissa yang terus memandangi bungkus makanan tersebut. “Lo ngga percaya
Rissa dan Arsen terus menemani malam Ayana yang kelam. Rissa berusaha menghibur hati ibu muda ini agar kuat dalam menjalani kenyataan pahit yang menimpanya. Begitu juga dengan Arsen yang berusaha melucu untuk membuat adik kecilnya tersenyum. “Bang, lo kapan deh punya pacar?” tanya Ayana dengan menatap Arsen. Arsen tertawa seketika mendengar pertanyaan Ayana. Ia menggeleng, malu mendengar pertanyaan Ayana. “Apa sih, gue mau fokus ngurus lo. Mau jadi abang yang baik buat lo,” jawab Arsen tegas. Ayana menghela, “Sampai kapan? Lo tiap tahun makin tua ya,” sahut Ayana dengan ketus. “Dih,sakitnya udah hilang ya jadi ketusnya balik lagi.” Ucap Arsen dengan menoyor kepala Ayana pelan. Ayana tertawa mendengar ucapan Arsen. Arsen yang merasa lelah pun tiba-tiba meninggalkan dua wanita ini sendiri didalam kamar Ayana. Sorot mata Ayana terus mengikuti arah pergi punggung Arsen, hingga menghilang dibalik tembok. Ayana pun merubah tatapannya un
Air mata Ayana terus mengalir tanpa henti karena merasa sakit dibagian perutnya, dan juga memikirkan keadaaan anaknya disana. Apa ia merasa baik-baik saja? Setelah mendapatkan perlakuan buruk dari sang Ayah. Arsen dengan sigap terus menggendong tubuh Ayana, ia membawanya ke rumah sakit terdekat dari Apartemen milik Adira. Untung saja jaraknya tidak jauh, jadi Ayana bisa dengan cepat ditangani. Arsen dan Rissa merasa panik menunggu Ayana yang sedang berjuang untuk anaknya. Bagaimanapun Arsen sangat menyayangi Ayana walaupun bukan berasal dari keluarga biologisnya. Sudah dua puluh lima menit dokter menangani Ayana, akhirnya beliau pun keluar. Arsen dengan segera menghampirinya. “Bagaimana keadaan Ayana, Dokter?” tanya Arsen dengan raut cemas. “Keadaan janin Nona Ayana sangat lemah, namun masih bisa untuk diselamatkan karena benturannya tidak terlalu keras mengenai bagian perutnya. Namun, untuk keadaan ibunya sendiri sangat lemah. Jika jantung Nona
Terdengar suara ricuh dalam suatu ruangan. Teriakan dan goresan antar benda sangat terdengar dengan jelas. Terdapat empat orang di dalamnya yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.“Kak, itu balonnya kurang gede,” peringat gadis berusia lima belas tahun itu dengan meneriaki salah satu kakak laki-lakinya.“Jangan gede-gede, nanti meletus. Terus habis balonnya,” jawabnya yang enggan mendengarkan suara adiknya.“Tapi ngga sekecil ini juga bego,” sahut lainnya dengan menoyor kepala orang yang di panggil Kak tadi. Ry, mendengus kesal setelah mendapatkan toyoran keras di kepala oleh Theo. Theo pun mengambil balon yang sudah di tiup oleh Ry dan menunjukkannya pada Ayah mereka. Adira yang tadi berada di dapur pun keluar menuju ruang tamu saat mendengar anak-anak mereka bertengkar seperti biasa.“Yah, lihat deh. Balonnya terlalu kecil kan?” tanya Theo pada Adira. Adira tertawa melihat balon seukuran tangan yang bisa di genggamnya itu. “Siapa yang tiup?” tany
Dentuman suara musik mengalun menyeruak kedalam telinga setiap orang yang datang. Lampu terang mampu memperlihatkan setiap insan yang datang dengan riasan wajah yang sudah mereka persiapkan. Dalam ruangan yang besar ini mampu menampung ribuan orang, dan saat ini sudah banyak orang yang datang untuk mengikuti Pesta Relasi di Perusahaan milik Adira. Ya, ini adalah hari sabtu. Dimana semua rekan kantornya menghadiri pesta yang sudah ia janjikan untuk lebih mempererat tali silaturahmi antara rekan kerja dan atasan. Semua mata pun tampak tertuju pada Adira yang berjalan dengan menggandeng Ayana di sampingnya. Bak seorang Raja dan Ratu, kini mereka menjadi pusat perhatian selama mereka berjalan masuk kedalam ruangan. Tatapan kagum terpancar dengan nyata di mata setiap orang yang menatap mereka. Ayana yang memakai dress Vero Navy Blue Smocked Off-Shoulder mini dress. Dress tersebut sangan pas untuk tubuh Ayana, karena mampu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ti
Dalam sebuah kabin dengan sentuhan warna putih membuat ruangan terlihat sangat lebar. Disana terlihat Aji dan Elvina yang tampak berbaring diatas ranjang mereka, menikmati waktu santai seperti biasanya.“Beberapa hari ini badan ku tidak sesehat seperti dulu. Rasanya lemas sekali, sampai mikirin masalah perusahaan pun belum tentu bisa,” lirih Aji yang sedang membaringkan tubuhnya. Elvina yang sedari tadi nampak asik bermain ponsel pun kini mengalihkan pandangannya pada Aji yang nampak lemas.“Yaudah serahin aja perusahaan ke Tiara. Biar dia yang urus, kamu tinggal rebahan di rumah.” Jawab Elvina dengan wajah sumringahnya. Aji menggeleng, “Aku sudah memutuskan untuk memberikan kuasa perusahaan ini pada Ana. Tiara hanya akan mendapatkan beberapa persen saham saja,” balas Aji menolak. Raut kesal pun terpancar dengan jelas pada wajah Elvina. “Kamu kira lulusan SMA bisa memimpin sebuah perusahaan? Lagian Ana ngga akan bisa ambil kendali perusahaan, kamu i
Langkah kaki besar milik Adira membawanya untuk masuk kedalam gedung besar milik RAJI'S COMPANNY. Sejak kedatangannya raut wajahnya nampak serius dan tidak menampakkan kesenangan sama sekali. Adira menghentikan langkahnya tepat pada lift yang masih tertutup dengan rapat. Ia pun tampak menunggu lift tersebut untuk segera terbuka. Diamnya membuat pikirannya terbawa pada percakapan semalam bersama Aji, Papa mertuanya. Saat itu Adira berada di taman dengan cuaca dingin di tengah-tengah tubuhnya yang masih belum pulih seutuhnya.-^Adira dapat email masuk, apa benar besok pengalihan CEO baru?^^Betul, nak. Papa akan serahkan perusahaan pada CEO baru agar bisa di kelola dengan baik,^^Siapa Pa?^ Marah Adira seolah teredam di balik saluran telephone di ponselnya. Ia tampak menunduk kesal, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat setelah mendengarkan jawaban dari Aji tentang siapa yang akan menggantikannya.^Ngga bisa dong Pa. Ini ngga adil buat Ana,^ tegas Adira pada
Ayana tampak membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas air putih serta obat yang sudah di berikan dokter untuk Adira. Ia pun menaruhnya diatas nakas sebelah ranjang mereka. Ayana kini tampak membantu Adira untuk bisa duduk dengan nyaman. Adira sudah sadar sejak kedatangan dokter yang menanganinya tadi. Tentu saja ia mendapatkan amukan dari dokter karena terus mendapatkan keluhan tentang perut Adira. Sudah empat tahun terakhir Adira memiliki penyakit ini, dan baru tiga tahun ia menuruti perkataan dokter agar penyakitnya tidak kambuh. Adira tampak tersenyum tipis dengan bibirnya yang pucat.“Makan dulu Mas,” ucap Ayana dengan meraih semangkuk bubur hangat tersebut. Perlahan Ayana tampak mengarahkan sendok berisikan bubur tersebut pada mulut Adira. Adira pun menurutinya dan memakannya walau terasa sedikit pahit di dalam mulutnya. Seperti itu hingga makanannya habis tak tersisa. Kini Ayana pun berganti untuk memberikan minum kepada Adira sebelum meny
Arsen berjalan masuk kedalam ruang kantor yang sudah lama tidak ia kunjungi. Setelah kepulangannya dari Paris, ia langsung memutuskan untuk kembali bekerja agar bisa membantu Adira yang pasti kewalahan mengurus kantornya sendiri. Tidak hanya itu, ia membantu Adira sebagai ucapan terima kasih telah memberikan banyak hal selama ia di Paris.“Selamat pagi, Pak Arsen.” Sapa seorang karyawan perusahaan.“Pagi.” Sahut Arsen. Ia pun terus melangkah menuju ruangan milik Adira, dimana itu adalah rumah kedua untuknya. Ia membukanya tanpa permisi, dan mendapati Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Gila, pagi banget lo. Tumben?” tanya Arsen alih-alih menyapa Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Banyak banget kerjaan yang terbengkalai selama gue ngga masuk kantor. Ngga ada yang backup gue juga,” jawab Adira tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali.“Gue bisa bantu apa?” Adira diam. Ia sepertinya sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan Arsen untuknya. “Minta tolo
Ayana mengeliat tak nyaman saat ada sinar matahari masuk menembus celah gorden yang terbuka. Perlahan ia membuka matanya setelah tidur dengan sangat nyeyak tanpa adanya gangguan. Tangan kirinya meraba untuk memastikan bahwa seseorang tetap ada di sampingnya semalam. Tapi nihil, tidak ada orang sama sekali di sampingnya. Dengan cepat, ia pun membuka matanya dan mencari keberadaan sang suami. Awalnya ia terkejut saat tidak mendapati Adira yang tidur di sampingnya, namun sedetik kemudian senyumnya terpancar saat melihat Adira tengah bermain dengan si kembar.“Mas kok udah bangun? Masih pagi loh ini,” tanya Ayana dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Adira menoleh, matanya sangat sayup karena kurang tidur. Semalam, setelah membaca ketikan Ayana, ia tidak bisa kembali tidur. Banyak hal yang dia segera selesaikan untuk menebus semua kesalahannya. Setelah menyudahi pekerjaannya yang terhambat, Adira sebenarnya ingin sekali tidur. Tapi ternyata jam su
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar