Hari ini adalah hari minggu, dimana Adira maupun Ayana libur dari kegiatan yang biasa mereka jalani. Seperti pagi – pagi sebelumnya, Ayana sudah disibukkan dengan morning sicknessnya. Ia harus berlari beberapa kali kedalam kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Setidaknya ia merasa senang, karena anak-anaknya tumbuh dengan baik. Saat Ayana sibuk didalam kamar mandi, ia mendengar suara ketukan pintu beberapa kali. Namun ia tidak menggubrisnya dan terus memuntahkan seluruh isi perutnya. Ayana tertegun saat merasa ada seseorang yang memijat tengkuknya dengan halus. Perlahan Ayana pun mendongak, dan melihat sosok yang terpantul melalui cermin dihadapannya. Adira tampak sabar memijat tengkuk Ayana hingga ia merasa lega. “Maaf saya lancang masuk, soalnya dari tadi sudah saya ketuk tapi tidak ada jawaban,” ucap Adira kemudian setelah Ayana sudah merasa baikan. Ayana tersenyum sembari mengangguk. Ia pun membenarkan posisi berdirinya den
Adira duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ia menatap lurus, kearah dimana Ayana tidur dengan pulas. Sarah malam ini menyuruh Adira dan Ayana menginap. Libur satu hari kerja, tidak masalah untuk perusahaan milik Adira. Sesekali ia memegangi pipinya yang terasa nyeri akibat pukulan keras dari Rajendra. Pikirannya kini berputar pada kondisi Ayana yang sangat lemah. Ia pun tadi sempat menghalangi Rajendra saat hendak memukulnya, hingga Ayana lah sebagai gantinya yang terkena pukulan Rajendra. Adira menghela napas berat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Hidup sebagai orang dewasa sangatlah melelahkan. Masalah hidupnya kian hari semakin bertambah, tidak ada satupun yang terselesaikan dengan baik. Kini Adira pun bangkit, ia berjalan perlahan menuju ranjang tempat Ayana tidur. Ia duduk tepat disebelah Ayana dengan perlahan. Adira menatap lekat wajah istri kecilnya tersebut. Tangannya ia ulurkan untuk menata helaian rambut Ayana yang menutup
Ayana membuka bungkus yang melindungi bubur yang ia pesan dari segala macam kuman. Ia kini memindahkan buburnya kedalam mangkuk, sebelum ia memakannya. Rautnya tampak bahagia saat buburnya sudah sampai. “Loh Nona Ayana beli bubur sendiri?” tanya Bi Yanti saat mendapati Ayana tengah duduk di ruang makan. Ayana menggeleng, “Engga kok Bi. Ini beli lewat aplikasi online,” jawab Ayana ramah. “Nona ngidam makan bubur ya pagi ini? Kenapa ngga minta beliin Aden Adira?” tanya Bi Yanti. Ayana diam, ia tampak menggigit bagian bawah bibirnya. Mungkin benar kini ia sedang mengidam. Tapi untuk meminta bantuan Adira, rasanya tidak akan. “Aku ngga mau ganggu Mas Adira, Bi.” Jawab Ayana kemudian. Bi Yanti pun mendekat kearah Ayana. Ia menatap Ayana dengan lembut, seolah sedang berbicara dengan anaknya sendiri. “Bibi mau kasih tahu aja ke Nona. Kalau Nona hamil, ya itu tanggungan kalian berdua. Tanggungan Nona dan Aden sebagai orang tua anak kalian. Kalau cuma
Aku berlari dengan cepat untuk masuk ke rumah Rajendra, aku tidak ingin siapapun mengetahuinya jika aku sedang menangis saat ini. Aku tidak ingin menimbulkan masalah lagi di keluarga Rajendra. “Lo kenapa?” Aku tersentak saat Arya dengan cepat meraih lenganku, membuat langkahku terhenti. Aku terus menunduk, tidak menatap balik Arya yang sedang mengajak ku berbicara. Aku hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suara agar Arya tidak terlalu curiga. “Adira buat masalah sama lo lagi ya?” tanya Arya padaku. Arya tampak berlutut, ia ternyata sangat ingin melihat wajahku untuk memastikan keadaanku. Dadaku kembali terasa sesak setelah berlari begitu cepat. Penglihatanku pun perlahan kabur saat aku berusaha untuk mendongak, untuk menatap atap – atap rumah. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali mencoba untuk mengembalikan fokus, namun gagal. - Perlahan aku membuka mata saat mendengar suara keras menggema ditelingaku. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba menyes
Ayana tersenyum lebar saat berdiri di balkon kabin yang menampakkan pemandangan kota Paris dan memperlihatkan menara Eiffel disana. Ya, Adira menyiapkan liburan untuk mereka berdua. Adira merasa bersalah karena membuat Ayana menderita selama bersama dengannya. Pastinya juga sesuai perintah Rajendra yang terus memaksa Adira untuk mengajak Ayana pergi berlibur. Mereka memutuskan untuk pergi ke Paris karena Ayana sangat ingin kembali ke kota ini. Dimana ia memiliki banyak kenangan kecil yang manis bersama sang Mama. Tangan Ayana ia ulurkan untuk mengusap perutnya yang kini semakin terlihat membesar meskipun baru berumur 4 bulan. Mungkin karena ia sedang mengandung anak kembar, jadi perutnya dua kali terlihat lebih besar. “Apa kalian senang Nak?” tanya Ayana pada dua buah hatinya dengan senyum yang tiada lekang sepanjang waktu. Mereka sudah sampai sejak Sore hari, waktu di Paris. Kini Adira sedang mandi dan membiarkan Ayana yang sudah membersihkan di
Ayana duduk menghadap Menara Eiffel yang sangat ramai. Adira memutuskan untuk tidak mendekat kesana untuk menjaga keamanan istri dan kedua anaknya. Ia takut jika Ayana nanti akan berdesakan dengan banyak orang yang sedang melihat keindahan menara tersebut. “Na, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Adira dengan menatap wajah istrinya dari samping. Ayana mengernyit kearah Adira, memberitahu bahwa ia menyilahkan Adira untuk bertanya. “Kamu dulu sering nangis di taman rumahnya Arsen ya waktu kecil?” tanya Adira perlahan. Sejak beberapa kejadian yang telah berlalu, Adira tidak mempunyai kesempatan untuk menanyakan apa yang ia simpan didalam pikiran dan lubuk hatinya. Ia tidak ingin menganggu pikiran Ayana. “Kalau Arsen suka gangguin aku, pasti aku nangisnya di taman,” jawab Ayana dengan senyuman. “Tapi kok kamu tahu?” tanya Ayana kemudian. Adira diam. Apa Ayana tidak mengingatnya? “Kamu ingat ngga sama anak laki-laki yang datang menghampiri kamu di ta
Adira pun mengajak Ayana untuk kembali ke hotel yang mereka sewa selama di Paris. Waktu semakin larut, dan cuaca pun semakin dingin. Adira sangat mengkhawatirkan keadaan kedua bayinya dan Ayana jika terlalu lama terpapar cuaca malam yang dingin. Setelah sampai di hotel, Ayana memutuskan untuk berbaring diatas ranjang. Perutnya semakin besar, dan itu membuatnya semakin cepat merasakan lelah jika harus beraktifitas lama diluar ruangan. Sedangkan Adira berjalan menuju dapur untuk membuatkan Ayana susu seperti biasa. Adira melakukan ini sejak tiga bulan yang lalu, dan ini sudah menjadi kebiasaan untuk Adira.“Na, susunya diminum dulu,” ucap Adira yang tampak memberikan segelas susu pada Ayana. Ayana menggeleng seraya membelakangi Adira. Adira pun menghela, sepertinya Ayana masih marah padanya karena kejadian sepuluh tahun silam. Adira pun akhirnya duduk disamping Ayana yang membelakanginya. Ia menaruh segela susu diatas nakas yang tidak jauh
Ayana berdiri terpaku setelah ia melihat pemandangan Disney dihadapannya. Hari ini adalah hari terakhir mereka di Perancis, sebelum mereka akan kembali ke Seoul. Adira pun dengan senang hati mengabulkan keinginan istrinya sebelum mereka kembali ke Seoul. Ayana sangat ingin pergi ke Disneyland untuk mengingat masa kecilnya. Maka dari itu Adira yang telah kehilangan moment masa kecil dengan Ayana, kini ia berniat untuk mengulanginya lagi. Ayana tersenyum senang setelah ia berhasil masuk karena mengantri beberapa saat. Senyumnya tidak lekang dari wajahnya yang cantik, yang tidak berubah meskipun hormonnya mudah berubah karena sedang hamil.“Tapi ngga boleh lama – lama ya main disini, nanti kamu capek.” Ucap Adira dengan tangannya yang selalu menggenggam tangan Ayana hangat. Ayana tampak mengerucutkan bibirnya, “Baru aja masuk, masa udah ngomong keluar Disneyland sih,” ucap Ayana kesal. Adira tertawa kecil, ia gemas melihat tingkah Ayana yan
Terdengar suara ricuh dalam suatu ruangan. Teriakan dan goresan antar benda sangat terdengar dengan jelas. Terdapat empat orang di dalamnya yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.“Kak, itu balonnya kurang gede,” peringat gadis berusia lima belas tahun itu dengan meneriaki salah satu kakak laki-lakinya.“Jangan gede-gede, nanti meletus. Terus habis balonnya,” jawabnya yang enggan mendengarkan suara adiknya.“Tapi ngga sekecil ini juga bego,” sahut lainnya dengan menoyor kepala orang yang di panggil Kak tadi. Ry, mendengus kesal setelah mendapatkan toyoran keras di kepala oleh Theo. Theo pun mengambil balon yang sudah di tiup oleh Ry dan menunjukkannya pada Ayah mereka. Adira yang tadi berada di dapur pun keluar menuju ruang tamu saat mendengar anak-anak mereka bertengkar seperti biasa.“Yah, lihat deh. Balonnya terlalu kecil kan?” tanya Theo pada Adira. Adira tertawa melihat balon seukuran tangan yang bisa di genggamnya itu. “Siapa yang tiup?” tany
Dentuman suara musik mengalun menyeruak kedalam telinga setiap orang yang datang. Lampu terang mampu memperlihatkan setiap insan yang datang dengan riasan wajah yang sudah mereka persiapkan. Dalam ruangan yang besar ini mampu menampung ribuan orang, dan saat ini sudah banyak orang yang datang untuk mengikuti Pesta Relasi di Perusahaan milik Adira. Ya, ini adalah hari sabtu. Dimana semua rekan kantornya menghadiri pesta yang sudah ia janjikan untuk lebih mempererat tali silaturahmi antara rekan kerja dan atasan. Semua mata pun tampak tertuju pada Adira yang berjalan dengan menggandeng Ayana di sampingnya. Bak seorang Raja dan Ratu, kini mereka menjadi pusat perhatian selama mereka berjalan masuk kedalam ruangan. Tatapan kagum terpancar dengan nyata di mata setiap orang yang menatap mereka. Ayana yang memakai dress Vero Navy Blue Smocked Off-Shoulder mini dress. Dress tersebut sangan pas untuk tubuh Ayana, karena mampu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ti
Dalam sebuah kabin dengan sentuhan warna putih membuat ruangan terlihat sangat lebar. Disana terlihat Aji dan Elvina yang tampak berbaring diatas ranjang mereka, menikmati waktu santai seperti biasanya.“Beberapa hari ini badan ku tidak sesehat seperti dulu. Rasanya lemas sekali, sampai mikirin masalah perusahaan pun belum tentu bisa,” lirih Aji yang sedang membaringkan tubuhnya. Elvina yang sedari tadi nampak asik bermain ponsel pun kini mengalihkan pandangannya pada Aji yang nampak lemas.“Yaudah serahin aja perusahaan ke Tiara. Biar dia yang urus, kamu tinggal rebahan di rumah.” Jawab Elvina dengan wajah sumringahnya. Aji menggeleng, “Aku sudah memutuskan untuk memberikan kuasa perusahaan ini pada Ana. Tiara hanya akan mendapatkan beberapa persen saham saja,” balas Aji menolak. Raut kesal pun terpancar dengan jelas pada wajah Elvina. “Kamu kira lulusan SMA bisa memimpin sebuah perusahaan? Lagian Ana ngga akan bisa ambil kendali perusahaan, kamu i
Langkah kaki besar milik Adira membawanya untuk masuk kedalam gedung besar milik RAJI'S COMPANNY. Sejak kedatangannya raut wajahnya nampak serius dan tidak menampakkan kesenangan sama sekali. Adira menghentikan langkahnya tepat pada lift yang masih tertutup dengan rapat. Ia pun tampak menunggu lift tersebut untuk segera terbuka. Diamnya membuat pikirannya terbawa pada percakapan semalam bersama Aji, Papa mertuanya. Saat itu Adira berada di taman dengan cuaca dingin di tengah-tengah tubuhnya yang masih belum pulih seutuhnya.-^Adira dapat email masuk, apa benar besok pengalihan CEO baru?^^Betul, nak. Papa akan serahkan perusahaan pada CEO baru agar bisa di kelola dengan baik,^^Siapa Pa?^ Marah Adira seolah teredam di balik saluran telephone di ponselnya. Ia tampak menunduk kesal, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat setelah mendengarkan jawaban dari Aji tentang siapa yang akan menggantikannya.^Ngga bisa dong Pa. Ini ngga adil buat Ana,^ tegas Adira pada
Ayana tampak membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas air putih serta obat yang sudah di berikan dokter untuk Adira. Ia pun menaruhnya diatas nakas sebelah ranjang mereka. Ayana kini tampak membantu Adira untuk bisa duduk dengan nyaman. Adira sudah sadar sejak kedatangan dokter yang menanganinya tadi. Tentu saja ia mendapatkan amukan dari dokter karena terus mendapatkan keluhan tentang perut Adira. Sudah empat tahun terakhir Adira memiliki penyakit ini, dan baru tiga tahun ia menuruti perkataan dokter agar penyakitnya tidak kambuh. Adira tampak tersenyum tipis dengan bibirnya yang pucat.“Makan dulu Mas,” ucap Ayana dengan meraih semangkuk bubur hangat tersebut. Perlahan Ayana tampak mengarahkan sendok berisikan bubur tersebut pada mulut Adira. Adira pun menurutinya dan memakannya walau terasa sedikit pahit di dalam mulutnya. Seperti itu hingga makanannya habis tak tersisa. Kini Ayana pun berganti untuk memberikan minum kepada Adira sebelum meny
Arsen berjalan masuk kedalam ruang kantor yang sudah lama tidak ia kunjungi. Setelah kepulangannya dari Paris, ia langsung memutuskan untuk kembali bekerja agar bisa membantu Adira yang pasti kewalahan mengurus kantornya sendiri. Tidak hanya itu, ia membantu Adira sebagai ucapan terima kasih telah memberikan banyak hal selama ia di Paris.“Selamat pagi, Pak Arsen.” Sapa seorang karyawan perusahaan.“Pagi.” Sahut Arsen. Ia pun terus melangkah menuju ruangan milik Adira, dimana itu adalah rumah kedua untuknya. Ia membukanya tanpa permisi, dan mendapati Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Gila, pagi banget lo. Tumben?” tanya Arsen alih-alih menyapa Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Banyak banget kerjaan yang terbengkalai selama gue ngga masuk kantor. Ngga ada yang backup gue juga,” jawab Adira tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali.“Gue bisa bantu apa?” Adira diam. Ia sepertinya sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan Arsen untuknya. “Minta tolo
Ayana mengeliat tak nyaman saat ada sinar matahari masuk menembus celah gorden yang terbuka. Perlahan ia membuka matanya setelah tidur dengan sangat nyeyak tanpa adanya gangguan. Tangan kirinya meraba untuk memastikan bahwa seseorang tetap ada di sampingnya semalam. Tapi nihil, tidak ada orang sama sekali di sampingnya. Dengan cepat, ia pun membuka matanya dan mencari keberadaan sang suami. Awalnya ia terkejut saat tidak mendapati Adira yang tidur di sampingnya, namun sedetik kemudian senyumnya terpancar saat melihat Adira tengah bermain dengan si kembar.“Mas kok udah bangun? Masih pagi loh ini,” tanya Ayana dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Adira menoleh, matanya sangat sayup karena kurang tidur. Semalam, setelah membaca ketikan Ayana, ia tidak bisa kembali tidur. Banyak hal yang dia segera selesaikan untuk menebus semua kesalahannya. Setelah menyudahi pekerjaannya yang terhambat, Adira sebenarnya ingin sekali tidur. Tapi ternyata jam su
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar