"Maksud anda, anda mengira saya seorang g*y?"Andini menggerakkan kepalanya ke bawah dan ke atas dengan cepat. "Anda jangan bicara sembarang, Nyonya! Saya masih menyukai dan berhasrat dengan perempuan. Tetapi, kalau untuk sekarang saya tidak tertarik mencari pendamping hidup.""Apa anda pernah disakiti oleh seseorang wanita? Hingga membuat anda seperti ini?""Tidak ada! Saya dari dulu tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Bahkan saya tidak pernah memiliki kekasih!""Yang benar? Saya tidak percaya!""Apa yang membuat anda tidak percaya?""Orang setampan dan semapan anda tidak mungkin ada yang mau.""Ya, anda benar! Banyak yang mendekati saya. Tetapi saya tidak berniat untuk lebih dekat dengan mereka.""Kenapa? Apa ada seseorang yang mungkin anda suka?""Yang saya suka, ya?" David memandang Andini dengan seksama untuk waktu yang lumayan lama. Andini menunggu jawaban David. "Orang yang saya suka...? Sepertinya ada!""Apa anda sudah pernah mengutarakan perasaan anda?""Saya... Saya
"Apa lagi katanya?""Kata Tuan, kalau Nyonya sudah pulang beritahu Tuan!" "Nanti saja kau memberi tahunya, Lia! Aku ingin istirahat dulu!""Tapi... Kalau saya dimarahi Tuan?" ujar Lia takut-takut. "Kau tenang saja, kalau dia memarahimu, aku yang akan bertanggung jawab.""Baiklah, Nyonya!""Kau temani saja aku di sini! Jadi ada alasan untukmu kenapa tidak memberi tahunya kalau aku sudah pulang!""Baik, Nyonya!" Tentu saja Lia lebih menurut perkataan Andini karena dia adalah pelayan pribadinya. Andini tau kalau Devan mengetahui dia sudah pulang, dia akan mengajak Andini untuk bertengkar. Apalagi dia tengah kesal. Malam itu dia lebih memilih untuk meistirahatkan dirinya dengan tenang. Devan juga disibukkan dengan sikap manja Silvi, hingga dia tidak bisa mengetahui kabar Andini meski dia terus kepikiran. Dia ditahan oleh wanita itu untuk terus menemaninya. Dia akan melakukan dan mengatakan alasan apa saja supaya Devan tidak meninggalkannya. ****Pagi hari saat Andini sedang bersanta
"Kau memakai cincin?" tanya Devan. "Iya! Kenapa?" Andini terus berkata dingin. Devan menatap ke samping, tempat di mana Andini duduk sebelumnya. "Kau mendapatkan hadiah? Dan hadiah itu adalah cincin ini?" Devan melihat wadah kecil dengan tali pita. "Kenapa kau seakan marah aku mendapat hadiah? Bukankah hal yang wajar seseorang mendapat hadiah di hari ulang tahunnya? Apalagi untuk orang sepertiku yang memiliki banyak teman dan kolega."Devan meraih tangan Andini kembali. Dia memperhatikan cincin yang ada di jemarinya. Devan semakin terbakar cemburu ketika mengetahui bahwa cincin yang didapatkan Andini bermatakan berlian merah yang sangat mahal.""Siapa temanmu itu? Yang pasti bukan wanita 'kan? Tidak mungkin seorang wanita memberikan permata yang langka ini sebagai hadiah ulang tahunmu. Apakah dia selingkuhan yang selama ini kau sembunyikan?" Devan seakan menghina Andini. "Jaga mulutmu itu, Tuan Muda! Aku tidak seperti kau!" sinis Andini. "Apa kau juga pergi berlibur bersamanya?
"Nyonya Alisa itu siapa?" tanya Silvi ikut menimpali. Semua orang saling berpandangan. Kemudian Crish yang menjawab, "Nyonya Alisa itu sama sepertimu saat ini! Bisa dikatakan dia seniormu 'lah! Hahaha..." Crish tertawa. "Senior?" Silvi bingung. Crish yang merasa Silvi tak merasa tersindir dengan ucapan sindirannya menjadi sedikit ilfil. "Ini cewe b*go apa polos sih? Dia nggak sadar kalau gue sedang nyindir dia?" ucap Crish dalam hati. "Iya, senior. Nyonya Alisa itu mantan simpanan Tuan William dulu!""Bagaimana ya kabar wanita itu sekarang?" timpal yang lain. "Simpanan Tuan William, berarti orang tuanya Tuan Muda 'kan?""Iya! Dan Nyonya Alisa bukan orang sembarangan. Orang tuanya memiliki perusahaan dan sempat bekerja sama dengan Tuan William waktu dulu. Beliau juga berasal dari kalangan atas. Nah, kenapa Tuan Ben meminta harta untuk anak selingkuhannya karena Tuan Ben itu tidak diberikan hak penuh di perusahaannya. Dia tidak selihai Nyonya Alisa saat memimpin, Tuan Ben hanya s
"Andini!" Devan mencengkram tangannya. "Kau ini kenapa, sih?" Andini memandang Devan dengan tatapan tak suka. "Dengan kau menghindar begini semua menjadi semakin jelas, kau menyukai mereka 'kan?""Kau itu bicara apa, sih? Aku tidak mengerti maksudmu!""Huh...!" Devan menghela nafas berat. Sadar kalau Andini tidak akan mendengarkan, dia mencoba berbicara dengan lembut. "Mereka itu tidak pantas untukmu!""Apa maksudmu?""Kau mungkin tidak bertemu dengan banyak pria. Sehingga dengan mudah tergoda dengan rayuan mereka," terang Devan. "Tetapi berbeda denganku. Aku ini seorang pria dan aku mengerti apa yang ada dipikiran mereka," lanjutnya lagi. "Mereka berdua itu seorang playboy! Mereka mendekatimu bukan karena suka padamu. Intinya mereka bedua itu bukan lelaki yang baik.""Memangnya ada lelaki yang baik? Dan lelaki baik itu seperti apa?" tanya Andini. "Ada! Aku lelaki yang baik. Makanya kau harus bersyukur karena sudah memilikinya."Andini seakan jijik mendengar kepercayaan diri Dev
Andini dan Devan tengah makan siang bersama. Saat asyik menikmati makanan. Devan bertanya kepada Andini, "Andini! Apa kau ingat kalung berlian yang aku berikan padamu itu?""Kalung berlian?" Andini mengingat. "Yang edisi terbatas itu 'kan?""Iya! Benar!""Ingat, kenapa?" Andini menjawab santai. "Apa kau masih memilikinya?""Tentu!" balasnya cepat. "Ada apa kau bertanya tentang kalungku?""Apa... Kau sudah tak terpakai lagi?" tanya Devan. Dia terlihat ragu-ragu. Andini memandang suaminya dengan datar, kemudian menyunggingkan senyum. "Tentu saja aku masih memakainya. Untuk sekarang tidak aku pakai karena aku ingin memakai perhiasan yang lain.""Apa... aku... boleh meminjam kalungmu sebentar?""Kau? Mau meminjam? Untuk apa? Memangnya kau sekarang memakai perhiasan?""Bukan aku yang memakai. Aku ingin meminjamkannya.""Kepada Silvi?" tebak Andini. "Dari mana kau tau?""Siapa lagi yang menjadi prioritasmu kalau bukan wanita itu?"Devan terlihat terdiam. "Tapi, bukannya kau memiliki ba
Silvi terlihat senang saat Tuan Radit memanggilnya Nyonya. Dia semakin banyak mengeluarkan perhiasannya. "Ini tambahannya!" Silvi menyerahkan kalung emas biasa tanpa ada tambahan permata. "Baik! Saya pergi dulu!" pamit Tuan Radit. Dia pun tak kalah senang saat lagi-lagi mendapatkan perhiasan dari Silvi. "Kali ini. harus berhasil. Lihat saja kau, Devi! Kau akan mendapatkan balasan karena sudah mempermalukan aku dulu. Setelah rumor tentangmu kembali mencuat, semua orang akan tertuju padamu dan lambat laun mereka akan melupakan gosip tentangku," gumamnya. "Dasar wanita bod*h! Mau saja diperdaya! Hahaha...! Ternyata, meski kau sudah menjadi kesayangan Tuan Muda. Sikap bod*hmu itu tak pernah hilang ya!"****Keesokan harinya. Tanpa diduga ternyata Devan kepikiran dengan ucapan Andini yang mengatakan kalau tidak mungkin kalung itu Silvi berikan kepada pengemis. "Kau cari tahu! Siapa pengemis yang menerima kalung itu." Devan memerintahkan Erick untuk menyelidikinya. "Baik, Tuan!""Kal
"Hah...!" Silvi menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat sangat murung. "Hey!" Rafael menyapa dan membuat Silvi terkejut. "Ah, Tuan Rafael!" Wajah Silvi masih ditekuk walau melihat kedatangan Rafael. Orang yang satu-satunya mau berteman dengannya. "Kenapa wajah anda seperti itu, Nona? Apa anda tidak senang melihat kedatangan saya? Saya baru keluar dari ruangan Tuan Muda. Lalu, malah melihat wajah anda yang terlihat ditekuk.""Bukan begitu,Tuan!""Apa sedang terjadi masalah dengan Tuan Muda?""Saya bingung, Tuan!""Bingung? Kenapa? Hal apa yang membuat Nona kita yang ceria ini menjadi bingung?""Begini, Tuan! Seminggu lagi Tuan Muda akan memberikan saya jatah rutin setiap bulannya.""Bagus dong! Kenapa anda malah bingung?""Tuan Muda akan memasukkan jatah saya setiap bulan sebagai anggaran perusahaan. Dan beliau akan mencatat semuanya.""Kenapa? Itu hal yang wajar terjadi di kalangan keluarga Tuan William, kalau anggaran untuk simpanan mereka, akan dicatat sebagai anggaran perusaha
"Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
"Heh, aku kira kau sudah pergi. Ternyata masih menunggu di sini! Harga dirimu tinggi juga, ya?" sinis Devan. Andini tersenyum, "Ini 'kan yang kau inginkan dariku?"Devan menyinggungkan bibirnya. "Kau memang wanita yang penuh dengan kejutan, ya? Tentang Silvi maupun yang ini.""Kau terlalu cepat menyimpulkan. Mengaitkan tentang Silvi.""Sekarang bukan waktunya untuk mengelak. Aku sudah berbaik hati menutupi masalah ini karena kakakmu yang terlibat.""Apa kau yakin pelakunya adalah Kaisar?" tanya Andini dengan wajah yang datar. "Menurutmu? Kau tentu tau, siapa yang nekat melakukan hal seperti ini kalau bukan kakakmu yang tempramen itu? Bahkan semua kejanggalan mengarah padanya. Dia akan melakukan apapun untuk adiknya ini, bukan?" Bukannya marah, Andini malah menatap Devan dengan pandangan datar. "Jadi, kau mengira kakakku pelakunya hanya karena sebuah kejanggalan?""Apa itu artinya kau masih bersikera
"Siapa wanita itu? Apa salah satu wanita yang ingin mencari perhatian kepada David?" tanya Camelia dalam hati. Dia pun memutuskan untuk mendekati mereka berdua. "Hey, David! Siapa wanita ini?" tanya Camelia ramah. "Oh! Ini Nyonya Andini, Bu! Dia salah satu rekan bisnisku!" sahur David. Meski panggilan 'Ibu' terdengar tidak enak di telinganya. Camelia tersenyum saja. "Oh, benarkah? Aku pikir salah satu perempuan yang ingin kau goda! Ingat, permintaan Ayahmu, Vid!" Camelia seolah terlihat baik menegur David tentang janjinya kepada ayahnya agar berhenti merayu perempuan. Dan mulai fokus mencari istri. "Haha..." David tertawa santai. "Aku ingat, Bu!""Kau harus mulai fokus mencari istri 'kan?""Ah, benarkah itu, Tuan David?" Andini terkejut dengan berita yang ia dengar."Haha... Iya, Nyonya! Saya harus segera mencari pendamping dan membantu saya bekerja mengurus perusahaan Ayah!" David bercanda seperti biasa. "Semoga anda lekas menemukan wanita itu, Tuan!" Andini mendo'akan. "Saya
"Katakan padaku apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Kaisar mendesak Tomi untuk mengatakannya. "Sabar! Aku akan mengatakannya setelah ini!" Tomi meneguk habis minumannya yang tersisa sedikit. GLEK... GLEKK... "Wanita itu dulunya adalah pembantu.""Pembantu?""Iya! Kau tau, Tuan Radit?" "Iya, aku tau! Aku pernah melihatnya sekali sebelum aku pergi ke luar kota.""Nah! Wanita itu adalah mantan pembantu di rumahnya.""Wah! Benarkah?""Iya! Entah karena masalah apa wanita itu kabur dari rumah Tuan Radit. Dan saat di pesta Tuan David, mereka bertemu dan Tuan Radit mengatakan di depan semua orang kalau wanita itu mantan pembantunya yang kabur. Saat orang-orang penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya kabur, sebelum Tuan Radit mengatakan alasannya, wanita itu malah pingsan.""Apa kau sudah dapat apa alasan wanita itu kabur dari sana?""Belum! Tetapi aku sedang menyuruh orang mencari tau.""Keesokan harinya Tuan Radit dipanggil oleh Tuan Devan ke mansionnya dan Tuan Rad