"Andini!" Devan mencengkram tangannya. "Kau ini kenapa, sih?" Andini memandang Devan dengan tatapan tak suka. "Dengan kau menghindar begini semua menjadi semakin jelas, kau menyukai mereka 'kan?""Kau itu bicara apa, sih? Aku tidak mengerti maksudmu!""Huh...!" Devan menghela nafas berat. Sadar kalau Andini tidak akan mendengarkan, dia mencoba berbicara dengan lembut. "Mereka itu tidak pantas untukmu!""Apa maksudmu?""Kau mungkin tidak bertemu dengan banyak pria. Sehingga dengan mudah tergoda dengan rayuan mereka," terang Devan. "Tetapi berbeda denganku. Aku ini seorang pria dan aku mengerti apa yang ada dipikiran mereka," lanjutnya lagi. "Mereka berdua itu seorang playboy! Mereka mendekatimu bukan karena suka padamu. Intinya mereka bedua itu bukan lelaki yang baik.""Memangnya ada lelaki yang baik? Dan lelaki baik itu seperti apa?" tanya Andini. "Ada! Aku lelaki yang baik. Makanya kau harus bersyukur karena sudah memilikinya."Andini seakan jijik mendengar kepercayaan diri Dev
Andini dan Devan tengah makan siang bersama. Saat asyik menikmati makanan. Devan bertanya kepada Andini, "Andini! Apa kau ingat kalung berlian yang aku berikan padamu itu?""Kalung berlian?" Andini mengingat. "Yang edisi terbatas itu 'kan?""Iya! Benar!""Ingat, kenapa?" Andini menjawab santai. "Apa kau masih memilikinya?""Tentu!" balasnya cepat. "Ada apa kau bertanya tentang kalungku?""Apa... Kau sudah tak terpakai lagi?" tanya Devan. Dia terlihat ragu-ragu. Andini memandang suaminya dengan datar, kemudian menyunggingkan senyum. "Tentu saja aku masih memakainya. Untuk sekarang tidak aku pakai karena aku ingin memakai perhiasan yang lain.""Apa... aku... boleh meminjam kalungmu sebentar?""Kau? Mau meminjam? Untuk apa? Memangnya kau sekarang memakai perhiasan?""Bukan aku yang memakai. Aku ingin meminjamkannya.""Kepada Silvi?" tebak Andini. "Dari mana kau tau?""Siapa lagi yang menjadi prioritasmu kalau bukan wanita itu?"Devan terlihat terdiam. "Tapi, bukannya kau memiliki ba
Silvi terlihat senang saat Tuan Radit memanggilnya Nyonya. Dia semakin banyak mengeluarkan perhiasannya. "Ini tambahannya!" Silvi menyerahkan kalung emas biasa tanpa ada tambahan permata. "Baik! Saya pergi dulu!" pamit Tuan Radit. Dia pun tak kalah senang saat lagi-lagi mendapatkan perhiasan dari Silvi. "Kali ini. harus berhasil. Lihat saja kau, Devi! Kau akan mendapatkan balasan karena sudah mempermalukan aku dulu. Setelah rumor tentangmu kembali mencuat, semua orang akan tertuju padamu dan lambat laun mereka akan melupakan gosip tentangku," gumamnya. "Dasar wanita bod*h! Mau saja diperdaya! Hahaha...! Ternyata, meski kau sudah menjadi kesayangan Tuan Muda. Sikap bod*hmu itu tak pernah hilang ya!"****Keesokan harinya. Tanpa diduga ternyata Devan kepikiran dengan ucapan Andini yang mengatakan kalau tidak mungkin kalung itu Silvi berikan kepada pengemis. "Kau cari tahu! Siapa pengemis yang menerima kalung itu." Devan memerintahkan Erick untuk menyelidikinya. "Baik, Tuan!""Kal
"Hah...!" Silvi menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat sangat murung. "Hey!" Rafael menyapa dan membuat Silvi terkejut. "Ah, Tuan Rafael!" Wajah Silvi masih ditekuk walau melihat kedatangan Rafael. Orang yang satu-satunya mau berteman dengannya. "Kenapa wajah anda seperti itu, Nona? Apa anda tidak senang melihat kedatangan saya? Saya baru keluar dari ruangan Tuan Muda. Lalu, malah melihat wajah anda yang terlihat ditekuk.""Bukan begitu,Tuan!""Apa sedang terjadi masalah dengan Tuan Muda?""Saya bingung, Tuan!""Bingung? Kenapa? Hal apa yang membuat Nona kita yang ceria ini menjadi bingung?""Begini, Tuan! Seminggu lagi Tuan Muda akan memberikan saya jatah rutin setiap bulannya.""Bagus dong! Kenapa anda malah bingung?""Tuan Muda akan memasukkan jatah saya setiap bulan sebagai anggaran perusahaan. Dan beliau akan mencatat semuanya.""Kenapa? Itu hal yang wajar terjadi di kalangan keluarga Tuan William, kalau anggaran untuk simpanan mereka, akan dicatat sebagai anggaran perusaha
"Kecuali... Tuan Muda sendiri yang ingin menceraikan saya!"David terdiam. "Apa itu artinya dia masih punya kesempatan?" pikirnya. "Kalau begitu saya bersedia menjadi pria yang akan menggantikan Tuan Devan sebagai suami anda, Nyonya!" ujar David terang-terangan. Kali ini Andini yang terdiam. Kemudian dia tersenyum. "Baiklah, Tuan! Saat itu terjadi, saya akan menagih apa yang anda katakan saat ini!" Dia berpikir David sedang menghiburnya saja. "Baiklah! Saya akan menantikannya!" David membalas tersenyum. ****"Hah!" David menghela nafas setelah sampai di kantornya!""Kenapa, Tuan? Anda terlihat lelah sekali!" sindir Zack. David diam saja mendengar sindiran bawahannya itu. "Apa pertemuannya gagal, Tuan? Sehingga membuat anda murung?""Haaaa... Aku harus apa, Zack?""Harus apa, apanya, Tuan?""Harus apa untuk bisa memilikinya?""Yah... Mulai lagi!" ujar Zack dalam hati. Tiga hari sebelum pesta peresmian hubungan Devan dan Silvi. Kaisar yang ingin memberikan kejutan kepada adiknya,
Seakan hawa kegelapan meliputi di sekitar Kaisar, begitulah saat ini yang dilihat Andini kala kakak lelakinya itu terdiam sambil memegang kertas yang berada di atas meja. "Kakak...!" Andini memanggil kakaknya. "Apa ini, Andini? Apa dia ingin meredahkanmu? Bukan hanya mengundangmu tetapi dia juga ingin kau yang mengurus acaranya?" ujar Kaisar geram. "Dasar lelaki brengs*k tidak punya ot4k! Sebenarnya dia menganggapmu apa?" Kaisar meremas kertas yang dia pegang tadi. "Kau akan datang ke sana, Andini?""Entahlah, Kak! Aku juga masih bingung?""Kau tidak usah datang! Apa dia ingin merendahkanmu di depan semua orang? Suami menikah lagi dan istri pertama tidak bisa berbuat apa-apa! Apa itu yang ingin ia tunjukkan kepada semua orang?" bentak Kaisar kemudian dia pergi berlalu dari kamar Andini. ****Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi. "Apa lagi yang kau inginkan?" Dengan ketusnya Silvi berkata. Tuan Radit menanggapi dengan santai ucapan ketus Silvi itu. Dia bahkan ter
"Maaf, Nona! Sebenarnya... Bagaimana ya! Saya tidak enak sebenarnya mengatakan hal ini!" Rafael terlihat ragu-ragu."Kenapa, Tuan? Katakan saja! Anda tidak perlu ragu-ragu.""Tapi, anda harus janji jangan menangis setelah saya mengatakan hal ini, ya?""Hem!" Silvi menganggukan kepalanya. "Sebenarnya bagi kalangan orang-orang seperti kami, memberikan hadiah ada maksud tersendiri.""Maksudnya, Tuan?" Silvi tidak mengerti. "Begini! Setiap hadiah yang kami berikan kepada si empunya acara ada artinya. Hadiah yang Nyonya Muda berikan kepada Nona memang hadiah yang mahal, tetapi hadiah seperti ini tidak ada gunanya. Dia memang cantik dan menawan tetapi hanya berguna sebagai pajangan saja tidak bermanfaat. Dengan kata lain, Nyonya Andini berharap anak anda cantik seperti hadiah ini namun tidak berguna bagi sekitarnya," terang Rafael. "Itu artinya, Nyonya Andini menghina Silvi, ya?" Matanya terlihat berkaca-kaca. "Yang sabar, ya!" Rafael mencoba menghiburnya. "Saya pikir, Nyonya Andini mu
Tanpa menunggu lama. Dengan perasaan kalut, dia menghubungi Rafael untuk menemuinya. "Ada apa, Nona, memanggil saya?""Ada satu hal penting yang ingin saya katakan kepada anda, Tuan Rafael. Mari silahkan masuk dulu!""Apa tidak apa-apa saya masuk ke kamar anda, Nona? Maksud saya apa Tuan Devan tidak akan marah?""Tidak! Anda masuk saja! Ini sangat penting," desak Silvi. "Baiklah!" Rafael masuk ke dalam kamar Silvi kemudian menguncinya dari dalam. "Ada apa, Nona? Kenapa wajah anda terlihat murung dan kesal begitu?""Saya sangat sedih dan kecewa dengan Tuan Devan!""Kecewa? Kecewa kenapa? Bukannya Tuan Devan sudah menganggap anda sebagai istri secara resmi di depan semua orang?""Saya kecewa karena anak yang saya kandung ini tidak dianggap sebagai orang yang bisa menjadi penerus oleh Tuan Devan.""Saya tidak kaget karena itu sudah menjadi tradisi turun temurun di keluarga mereka. Anak dari wanita simpanan yang dinikahi secara siri, tidak bisa menjadi penerus bahkan pewaris. Mereka ha