Tanpa menunggu lama. Dengan perasaan kalut, dia menghubungi Rafael untuk menemuinya. "Ada apa, Nona, memanggil saya?""Ada satu hal penting yang ingin saya katakan kepada anda, Tuan Rafael. Mari silahkan masuk dulu!""Apa tidak apa-apa saya masuk ke kamar anda, Nona? Maksud saya apa Tuan Devan tidak akan marah?""Tidak! Anda masuk saja! Ini sangat penting," desak Silvi. "Baiklah!" Rafael masuk ke dalam kamar Silvi kemudian menguncinya dari dalam. "Ada apa, Nona? Kenapa wajah anda terlihat murung dan kesal begitu?""Saya sangat sedih dan kecewa dengan Tuan Devan!""Kecewa? Kecewa kenapa? Bukannya Tuan Devan sudah menganggap anda sebagai istri secara resmi di depan semua orang?""Saya kecewa karena anak yang saya kandung ini tidak dianggap sebagai orang yang bisa menjadi penerus oleh Tuan Devan.""Saya tidak kaget karena itu sudah menjadi tradisi turun temurun di keluarga mereka. Anak dari wanita simpanan yang dinikahi secara siri, tidak bisa menjadi penerus bahkan pewaris. Mereka ha
"Wanita itu bisa berbuat hal yang di luar dugaan!" "Huh! Aku akan beritahu kakak sedikit. Kemarin saja, Devi menjadi bahan gosip orang-orang. Dan bahkan sampai membuat suaminya salah paham. Dan wanita itu penyebabnya.""Wanita itu pintar sekali memanipulasi orang dengan perkataan polosnya. Aku takut itu akan terjadi pada Kakak!""Aku tidak takut! Sekali lagi wanita itu menghinamu, aku akan melakukan sesuatu yang tidak bisa dia bayangkan."****Di dalam kamar di rumah kedua, Silvi terlihat terbaring lemas dengan wajah yang pucat. "Silvi! Kau harus hati-hati bicara saat berhadapan dengan Kaisar. Dia itu pria yang kasar dan pemarah. Apalagi kalau menyangkut soal Andini, adiknya." Devan menegur Silvi yang terlihat syok."Kenapa anda memarahi saya, Tuan? Padahal mereka sendiri yang memulai duluan.""Hah!" Devan menghela nafas berat. "Aku dengar dari para pelayan, mereka mendengar kau duluan yang memulai dan mengatakan Andini mandul.""Tapi... Tuan, Nyonya sendiri yang memulai menyakiti s
"Katakan padaku apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Kaisar mendesak Tomi untuk mengatakannya. "Sabar! Aku akan mengatakannya setelah ini!" Tomi meneguk habis minumannya yang tersisa sedikit. GLEK... GLEKK... "Wanita itu dulunya adalah pembantu.""Pembantu?""Iya! Kau tau, Tuan Radit?" "Iya, aku tau! Aku pernah melihatnya sekali sebelum aku pergi ke luar kota.""Nah! Wanita itu adalah mantan pembantu di rumahnya.""Wah! Benarkah?""Iya! Entah karena masalah apa wanita itu kabur dari rumah Tuan Radit. Dan saat di pesta Tuan David, mereka bertemu dan Tuan Radit mengatakan di depan semua orang kalau wanita itu mantan pembantunya yang kabur. Saat orang-orang penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya kabur, sebelum Tuan Radit mengatakan alasannya, wanita itu malah pingsan.""Apa kau sudah dapat apa alasan wanita itu kabur dari sana?""Belum! Tetapi aku sedang menyuruh orang mencari tau.""Keesokan harinya Tuan Radit dipanggil oleh Tuan Devan ke mansionnya dan Tuan Rad
"Siapa wanita itu? Apa salah satu wanita yang ingin mencari perhatian kepada David?" tanya Camelia dalam hati. Dia pun memutuskan untuk mendekati mereka berdua. "Hey, David! Siapa wanita ini?" tanya Camelia ramah. "Oh! Ini Nyonya Andini, Bu! Dia salah satu rekan bisnisku!" sahur David. Meski panggilan 'Ibu' terdengar tidak enak di telinganya. Camelia tersenyum saja. "Oh, benarkah? Aku pikir salah satu perempuan yang ingin kau goda! Ingat, permintaan Ayahmu, Vid!" Camelia seolah terlihat baik menegur David tentang janjinya kepada ayahnya agar berhenti merayu perempuan. Dan mulai fokus mencari istri. "Haha..." David tertawa santai. "Aku ingat, Bu!""Kau harus mulai fokus mencari istri 'kan?""Ah, benarkah itu, Tuan David?" Andini terkejut dengan berita yang ia dengar."Haha... Iya, Nyonya! Saya harus segera mencari pendamping dan membantu saya bekerja mengurus perusahaan Ayah!" David bercanda seperti biasa. "Semoga anda lekas menemukan wanita itu, Tuan!" Andini mendo'akan. "Saya
"Heh, aku kira kau sudah pergi. Ternyata masih menunggu di sini! Harga dirimu tinggi juga, ya?" sinis Devan. Andini tersenyum, "Ini 'kan yang kau inginkan dariku?"Devan menyinggungkan bibirnya. "Kau memang wanita yang penuh dengan kejutan, ya? Tentang Silvi maupun yang ini.""Kau terlalu cepat menyimpulkan. Mengaitkan tentang Silvi.""Sekarang bukan waktunya untuk mengelak. Aku sudah berbaik hati menutupi masalah ini karena kakakmu yang terlibat.""Apa kau yakin pelakunya adalah Kaisar?" tanya Andini dengan wajah yang datar. "Menurutmu? Kau tentu tau, siapa yang nekat melakukan hal seperti ini kalau bukan kakakmu yang tempramen itu? Bahkan semua kejanggalan mengarah padanya. Dia akan melakukan apapun untuk adiknya ini, bukan?" Bukannya marah, Andini malah menatap Devan dengan pandangan datar. "Jadi, kau mengira kakakku pelakunya hanya karena sebuah kejanggalan?""Apa itu artinya kau masih bersikera
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger