Shanumi meninggalkan Daehan yang tidur pulas di kamarnya. Mandi dini hari dengan guyuran air dingin yang menyegarkan dan mensucikan di kamar sebelah. Bukan dingin, hawa Surabaya senantiasa gerah tanpa pandang musim dan waktu. Berulangkali meyakini jika Daehan tidak sampai menodai dalam artian diri tetap virgin. Meski tidak sesuci sebelumnya, masih ada mahkota yang dibanggakan dan bisa dibawa ke hadapan suami kelak dengan rela. Ah, siapa nanti suaminya?Mendadak bayang Daehan yang sedang membawa mengarungi nirwana barusan justru terbayang kencang. Begitu lihai dan seperti bukan pengalaman yang pertama. Mungkin seperti itulah lelaki, sudah naluriah sebagai pemimpin di segala situasi dan kondisi. Salutnya, pria itu bisa membawa terbang mengawang tanpa perlu membuat dirinya kesakitan. Seperti kata Yena saat making love pertama kali dengan suaminya! "Ah, tentu saja beda. Daehan kan tidak...," ucap Shanumi di bawah guyur shower. Bibirnya tersenyum tetapi tampak sedih. Kamar sebelah….Dae
Shanumi tidak meneruskan ucap sapanya. Sebab ragu akan nama lelaki yang lupa-lupa di ingatan. “Anthony …?” ucap lelaki itu menyambung keraguan Shanumi dan disusul senyum yang lebar. “Oh, iya. Anda Pak Anthony, benar sekali.” Shanumi menatap lekat seolah sambil memastikan. Gadis itu pun ikut lebar tersenyum sambil mengangguk mengingatnya. Nyeri di kepala terlupakan sementara. Juga merasa heran jika mereka bisa bertemu di hari sepagi ini.“Apa di Majapahit sedang tidak ada tamu hingga bapak besarnya bisa berlari ke sini pagi-pagi?” Shanumi ingin bercanda demi kian mengurangi rasa pening. Lelaki yang menyebut diri Anthony tertawa lebar karenanya. “Aku di sini bukan lari pagi, tetapi mengantar temanku pergi periksa. Dia bilang agak tidak enak badan hari-hari belakangan.” Anthony sambil menunjuk arah klinik. “Perempuan …?” tanya Shanumi dengan maksud jenaka. Anthony adalah CEO Hotel Majapahit rekan Daehan yang sempat menggodanya waktu itu.“Ya … ya … ya perempuan …,” ucap Anthony kian
Belakangan ini rasa di kepala, mulut, lidah dan perut seperti bersepakat. Pusing, mual dan muntah jika ada makanan, apalagi jika dimasukkan paksa ke perut. Hingga tubuh terasa lemah dengan lambung terasa lekat dan perih. Hanya ranjang yang jadi tempat favorit terbarunya. Ini pun sanggup kelayapan sebab ditunjang resep dokter. Juga emosi jiwa yang meletup tak ditahan. Mematikan sejenak mual dan pusing yang membuatnya sedikit memiliki kekuatan untuk mendatangi sang tunangan. Namun, tidak dengan napsu makan yang masih gagal juga dipaksakan. Semua rasa kini berbeda, melihat makanan yang barusan diantar kurir, rasa penasaran akan apa menu dibalik kemasan sangatlah menggebu. Mencium bau masakan apapun yang akan membuat mual dan pusing, kini beraroma begitu sedap dan ingin. Tidak sabaran membuka kemasan hingga koyak di pojok tutupnya. Intana tidak peduli dan segera disendoknya. Daehan hanya membiarkan dan sambil mengamati tingkah Intana yang kali ini cukup janggal. Merasa iba yang Intana
Erick sungguh kesal, Daehan abai dan tidak menjawab tanyanya. Kini mulai asyik menyendok makanan yang dengan cepat sudah diantar oleh Dena ke meja. Terlihat fokus dan seolah Erick tidak ada. Bahkan pura-pura menawari pun tidak. Erick mengedar pandangan sekilas. Takjub akan aliran pengunjung yang deras. Mungkin salah satu andalan SS Kafe adalah kecepatan dalam pelayanan dan penyajian. Sehingga pengunjung tidak sampai suntuk sebab menunggu. Mereka tidak akan ragu datang lagi. Tentu modal utama adalah kelezatan makanan dan harga yang sesuai. “Kubilang padamu, jangan coba mengambil hati Shanumi. Intana sudah aku relakan dan tidak lagi aku usik. Jagalah milikmu sendiri baik-baik.” Erick mulai bersuara, berusaha membuat Daehan berbicara. Andai bukan tempat orang yang bahkan milik Shanumi, ingin sekali mengajak Daehan berduel. Sebagai lelaki sangat tidak terima diabaikan.“Selama undangan belum disebar dan janur kuning belum dilengkung, apa salahnya, Mas Erick?” ucap Daehan yang tiba-tiba
BlakDaehan yang terlihat tenang di depan Shanumi dan Erick saat di kafe, kini membanting pintu mobil amat kasar dan keras. Kesal sebab diri tidak mampu bersikap garang seperti yang lama diangankan.Harusnya kesempatan untuk pamer pada Erick jika Shanumi sudah dibawanya ke ranjang. Namun, ada rasa resah jika Shanumi akan berubah sedih, malu dan marah.Meski sangat terkejut, Agung bungkam dan mulai melajukan kendaraan. Tidak berani mengusik sang Tuan jika keadaan dirasa runyam dan rumit. Kini sedikit banyak dimengertinya siapa Shanumi bagi Daehan. Ada iba jika gadis itu hanya jadi mainan sedang atasannya sudah punya tunangan sekaligus calon istri. Perempuan yang sepadan dan bukan sembarangan, sebab Intana juga bagian dari calon ahli waris Hotel Rasyid. Daehan membuang suntuk dengan membuka email dan pesan yang masuk. Diantaranya laporan dana mengalir yang masuk ke akun bank-nya atas nama Sazleen Shanumi. Juga pesan langsung dari gadis itu yang mengatakan terima kasih sudah rela mengh
Mila datang bersama satu calon anak kafe baru yang akan interview. Penuh semangat enam puluh Shanumi pun menyambut. “Maaf ya, Mil. Belum sempat jenguk ibumu… hampir tiap malam hujan.” Shanumi mengikuti Mila di almari karyawan setelah mereka saling bertukar kabar. “Nggak masalah, Mbak. Lagian bingkisan dari Mbak Shanum tiap hari datang. Terima kasih banget lho, Mbak.” Mila yang berbalik setelah meletak tas ke dalam almari kaca pun tersenyum penuh haru. Bos mudanya yang jelita sangat baik. “Sama-sama, Mil. Semoga bermanfaat.” Shanumi akan kembali ke depan. “Bermanfaat banget, Mbak. Kami yang nungguin Ibuk, nggak perlu susah-susah keluar buat beli makanan lagi,” Sahut Mila yang kini mengikuti Shanumi ke depan. “Syukurlah jika begitu, Mil.” Shanumi menyahut sambil menuju meja kasir. “Jangan lupa, Den! Lusa giliran kamu jaga kasir. Dua hari ini biar Mila dulu!” seru Shanumi pada Dena dan Mila yang sedang sibuk menata meja kursi pagi hari. “Siap, Mbak!” Mereka berdua menyahut kompak.
Shanumi tidak lagi bertanya, memahami jika Daehan sedang ada yang banyak dipikirkan. Merasa kasihan, menjelang pernikahan yang harusnya penuh tawa dan suka, justru mendung muram yang tampak. “Shan. Kamu dapat uang banyak dari mana?” tanya Daehan memecah hening. “Eh, apa, Pak Han?” Shanumi yang sedang melamun tidak terlalu mendengar maksud pertanyaan lelaki di sebelahnya barusan. “Kamu bayar hutangmu padaku terlalu cepat. Uang dari siapa?” Ulang Daehan bertanya.Shanumi mengatup bibir. Sudah sekian lama dirinya membayar hutang, baru kali ini dibahas. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Namun, merasa lega juga, dipikir Daehan tidak membaca. Dirinya pun niat bilang tetapi lupa-lupa. “Itu, aku pinjam dari kakakku.” Shanumi menyahut pelan. “Kenapa buru-buru dikembalikan dan pinjam sama orang?” tanya Daehan agak sengit. “Ya… aku nggak enak dong sama Pak Daehan kalo kelamaan. Lagian yang pinjemin bukan orang, dia kakak perempuan kandungku sendiri,” ucap Shanumi semangat menjelaskan. Sek
Sebab Intana terus makan dan tidak peduli dengan bujukan orang-orang sedang ibunya sangat mendesak, dengan simalakama permintaan mereka dipenuhi. Shanumi dibawa ke ruang ganti dan kini dijadikan model pengganti. Wanita pengelola butik beralasan jika perbedaan postur tubuh Shanumi dan Intana tidak terlalu mencolok. Meski terlihat nyata jika tubuh Intana jauh lebih kurus daripada tubuh Shanumi. “Apa calon pengantin prianya tidak mencoba baju?” tanya Shanumi pada salah seorang pegawai butik yang ikut memakaikan baju ribet itu padanya. “Mencoba, Kak. Namun, dia akan menentukan dulu gaun mana yang cocok pada calon pengantin wanita. Setelah itu, baru dia coba baju pria yang setara dengan baju wanita. Sebab, untuk baju Pengantin pria tidak detail dan bersifat fleksibel.” Perempuan itu menjelaskan dengan terus semangat meski kini sudah malam. “Apa hal lumrah, mencoba baju pengantin diwakili orang lain?” tanya Shanumi. Benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mamanya Intana dan Intana send
Osara telah diantar hingga rumah dan Mak Yem siaga untuk membuka dan menutup pintunya. Istri kembali tampak bad mood sejak pagi menjelang siang. Daishin sangat tahu apa alasannya hingga terus diam-diam seperti itu. Menilai jika mama Hana tega sekali. Sudah pernah sepakat bahwa itu adalah klinik kandungan pilihan Osara dan Clara pun memiliki klinik kandungan biasanya. Jika sedang tutup, apa salahnya ditunda sejam dua jam atau sehari dua hari. Meski kebetulan, nyatanya berbenturan juga dengan jadwal kontrol istrinya hingga keduanya bertemu. Hal yang sangat ditakuti Osara. Daishin berniat akan membicarakan serius hal ini dengan Mama Hana. Lelaki tampan dan berkulit cerah tetapi sudah suami orang itu mendatangi ruang tunggu di butiknya. Seorang wanita cantik memandang ke arahnya sambil tersenyum sumringah. Daishin membalas ramah dan menyadari jika calon customernya itu sedang hamil besar. Pembicaraan pada negosiasi segera Daishin buka demi tidak banyak basa basi. Jiwanya memang pebisni
Enam bulan kemudian, di kota besar Surabaya. Jum'at pagi ini sepasangan suami istri yang berbahagia itu tampak cerah wajahnya. Tengah bersiap untuk pergi ke salah satu alamat klinik langganan di Kota Surabaya demi bertemu dengan seorang Dokter Kandungan langganan selama ini. Wanita cantik bergamis tetapi belum berkerudung sedang mengemas piring yang baru dipakai dari atas meja makan. Pembantu rumah yang tidak pernah menginap, baru saja datang dan meminta maaf sebab telat. Langsung mengambil alih piring dan wadah kotor dari tangan Osara. “Maaf, Mbak. Pagi-pagi udah macet, jadi saya terpaksa telat …,” jelas pembantu rumah dengan senyuman khas Jawa nya.anis dan polos. Berusia mendekati lima puluhan tahun tetapi teeltihat muda sebab wajahnya bersih dan berkulit sawo matang “Gak papa, Mak Yem.” Osara menyahut dengan membalas tulus senyumannya. Berjalan meninggalkan meja makan dan mengambil mesin pengering rambut untuk dibawa ke dalam kamar. Menempatkan diri di depan cermin rias yan
Seorang lelaki Jepang tua sedang menyapu pelataran sempit rumah baru dan menyadari kedatangan tuannya. Buru-buru meletak sapu, mengucapkan selamat sore dan berakhir dengan membungkukkan badan tuanya. “Apa rumah sudah bersih?” tanya Daishin bernada sopan dalam bahasa Indonesia. “Sudah, Mas. Silahkan.” Pria itu menyambut dengan berjalan memimpin. Langkah kakinya gesit meski tidak lebar. Bukan juga langkah panjang sebab tinggi badan sekadar pas pasan. Mungkin sebatas telinga Osara. “Kenapa guna bahasa Indonesia?” tanya Osara setelah mereka berada dalam rumah yang pintunya dibukakan oleh lelaki tadi dan kini terbiar terbuka. Lelaki tua pun menyapu di halaman kembali.“Asalnya dia orang Indonesia, orang dari Kabupaten Blitar, emak Jawa-bapaknya Jepang. Sama keluarga bapaknya, dia dicari dan dibawa ke sini sejak remaja,” Daishin menjelaskan sambil meletakkan koper mini yang setia dibawanya di samping sofa. “Kapan kita ke Surabaya?” tanya Osara sambil membuka koper. Menarik keluar beber
Mereka yang di sofa terlihat tegang. Apalagi Osara dan Daishin sama-sama tidak bersuara. Sepertinya sangat keberatan jika Clara dibawa Mama Hana ke Surabaya. Padahal ingin damai menyingkir jauh dengan pulang ke negara seberang. Sedang Daishin pun ingin merintis usaha baru di kota yang sama. Sangat tidak ingin melihat juga mendengar nama Clara di kehidupan masa depan. “Baiklah, jadikan ini saksi. Anggap lah kita semua setuju dengan keinginan Mama Hana yang akan bertanggung jawab dan membawa Clara ke Surabaya. Kita kasih kesempatan satu kali. Aku akan ikut memantau. Jika dia sekali lagi berbuat jahat. Aku yang akan menyerahkan dia ke polisi. Bagaimana, apa semua setuju? Osara juga Daishin, bagaimana? Mengingat kondisi Mama Hana seperti itu…,” ucap Erick tegas dan mendesak.. “Merasa tidak sabar dengan masalah yang tanpa ujung. Meski ini memang tidak adil bagi Osara, tetapi demi memeluk sekeluarga, kuharap … terutama Osara dan Daishin, kalian semua bisa rela. Jangan khawatir, aku akan i
Mereka bertiga memasuki rumah megah bercat putih bersih bak kastil modern dengan langkah cepat. Mobil sewa baru saja berlalu setelah mendapatkan upah jasa dari Erick yang membuat wajah driver tersenyum sangat cerah. Daishin melangkah panjang memasuki pintu rumah dan melewati taman menuju ruang utama. Telah duduk banyak orang yang menyebar di beberapa set sofa ruang tamu. Sekilas melihat SazLina duduk bersebelahan dengan Khaisan. Papa Samuel duduk berdampinban dengan Daehan. Di lain sofa, ada Shanumi yang duduk sendirian sambil melihat ponselnya. Satu lagi perempuan yang sepertinya seorang perawat. Memakai baju putih khas seragam divisinya. Mereka langsung berdiri serentak dan menyongsong kedatangan Osara, Daishin dan Erick. “Assalamu'alaikum. Bagaimana keadaan Mama, Pa?” Daishin tampak benar-benar panik meski yang dia tanyakan hanyalah berstatus mama asuh. “Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”Semua menjawab bersahutan dan m
Perjalanan turun dari kaki Fuji terasa jauh lebih cepat daripada kala berangkat. Padahal juga terasa singkat saat menaiki mobil Rashid bersama dua algojonya. Bedanya saat itu terasa singkat sebab rasa waswas dan rasa takut yang sangat. Kali ini terasa cepat sebab sangat menyenangkan dengan perasaan yang nyaman. Bersama para lelaki baik terutama suami yang duduk di sebelahnya. Mentari pagi semakin memperjelas pemandangan memukau di sepanjang sisi jalan. Dari padang rumput yang menghampar indah dengan warna hijau terang yang tenang. Menyambung bangunan kuil-kuil megah yang terlihat amat rumit dan indah. Serta bangunan kokoh Pagoda yang menakjubkan dan unik. Kini bergeser pada hutan lebat serta pepohonan raksasa di sepanjang tepian jalan. Serasa sedang berasa di alam dunia lain. Kemudian disambut beberapa genangan air super luas yang tak lain adalah danau-danau. Luar biasa mempesona dengan memantulkan bayangan Gunung Fuji. Mendadak Osara sangat ingin berhenti. Andai singgah seben
Pengatur suhu telah bekerja sangat baik dalam ruangan. Meski hawa di luaran lereng Fuji sangat lah membekukan, tetapi terasa dingin yang nyaman dalam kamar. Begitu pun dengan kamar yang semula di sewa oleh lelaki single dan sekarang bertukar isi oleh pasangan suami istri yang baru menikah. Mungkin adanya mereka membuat pengatur suhu bekerja lebih berat dan merasa jadi lelah. Sebentar memanas, lalu mereda, sebentar hangat yang kemudian kembali memanas. Mereka sedang tenggelam dalam percummbuan hebat saat ponsel menerbitkan alarm adzan tiba-tiba. Sesaat mereka abai tetapi sama-sama mematung kemudian. “Adzan, Shin….” Osara berkata sambil terengah. Wajahnya sudah memerah karena alir di darahnya berubah kencang sebab hasrat. “Hanya alarm…,” ucap Daishin berkilah. Tetapi juga mematung tidak lagi berulah. Wajahnya pun tidak kalah merah dari Osara. “Kalo hanya alarm, dimatikan saja, kan…,” ucap Osara memancing dengan napas yang masih terasa berat. Daishin menatapnya penuh bimbang.
Daishin sedikit menjauh saat merasa wanita yang dipeluk sudah terengah dan susah bernapas. Diri sedang merasa bersalah sebab jawabannya mungkin akan membuat sang istri kecewa. “Bagaimana, Shin? Apa Clara sudah dibawa ke polisi untuk proses penyelidikan. Sudah jelas kan, bahwa di CCTV memang mereka pelakunya?” Osara mengusik lagi sebab merasa tidak puas dengan kebungkaman suaminya. “Clara sudah dibawa ke rumah Mas Khaisan. Mama Hana dan Papa Samuel sedang menahannya. Pagi-pagi kita turun dan kembali ke Tokyo, mereka menunggu kita, terutama kamu ... untuk korban dan saksi menyidang Clara. Entah nanti keputusannya bagaimana.”Daishin menjelaskan dengan berat. Merasa bersalah pada Osara yang seharusnya Clara diserahkan saja kepada Polisi. Tetapi bagaimana, Mama Hana keberatan dan meminta ditahan sementara dalam rumah. Daishin pun merasa tidak kuat hati melawan keinginan mamanya. . Osara terdiam. Jika keputusan ditangannya dan kemungkinan berhadapan dengan Mama Hana yang bisa jadi cende
Osara terbangun oleh alarm yang berbunyi nyaring di atas kepalanya. Sekilas sadar jika dirinya masih berada di kamar yang sama. Namun, ini siapa?! Erick-kah?! Terkejut sekali Osara! Lelaki yang sedang merapat di belakangnya tidak terlihat oleh selimut tebal yang menutupi hingga di kepala. Hanya paham jika badannya yang besar dan berat dengan bulu yang terasa di tangan juga di kaki sedang menempel memeluknya. Osara berdebar keras menahan sikap agar tidak berlebihan bergerak. Takut mendapat respon tidak baik dari lelaki asing itu jika terbangun. Namun…. Lelaki itu terkesiap bangun sebab bunyi alarm yang lambat direspon sendiri olehnya. Dia mengambil ponsel dan mematikan alarm. Lalu mengembalikan posisi dengan setengah melempar ponselnya itu ke tempat semula. Kemudin…. “Shin…” sebut Osara setengah lega dan setengah terkejut. Tidak menyangka Daishin sudah di sampingnya dan ini seperti sebuah mimpi! “Ugh, Osara … kamu sudah bangun?” Respon Daishin sambil menggeliat. Lalu menarik O