Shanumi tidak lagi bertanya, memahami jika Daehan sedang ada yang banyak dipikirkan. Merasa kasihan, menjelang pernikahan yang harusnya penuh tawa dan suka, justru mendung muram yang tampak. “Shan. Kamu dapat uang banyak dari mana?” tanya Daehan memecah hening. “Eh, apa, Pak Han?” Shanumi yang sedang melamun tidak terlalu mendengar maksud pertanyaan lelaki di sebelahnya barusan. “Kamu bayar hutangmu padaku terlalu cepat. Uang dari siapa?” Ulang Daehan bertanya.Shanumi mengatup bibir. Sudah sekian lama dirinya membayar hutang, baru kali ini dibahas. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Namun, merasa lega juga, dipikir Daehan tidak membaca. Dirinya pun niat bilang tetapi lupa-lupa. “Itu, aku pinjam dari kakakku.” Shanumi menyahut pelan. “Kenapa buru-buru dikembalikan dan pinjam sama orang?” tanya Daehan agak sengit. “Ya… aku nggak enak dong sama Pak Daehan kalo kelamaan. Lagian yang pinjemin bukan orang, dia kakak perempuan kandungku sendiri,” ucap Shanumi semangat menjelaskan. Sek
Sebab Intana terus makan dan tidak peduli dengan bujukan orang-orang sedang ibunya sangat mendesak, dengan simalakama permintaan mereka dipenuhi. Shanumi dibawa ke ruang ganti dan kini dijadikan model pengganti. Wanita pengelola butik beralasan jika perbedaan postur tubuh Shanumi dan Intana tidak terlalu mencolok. Meski terlihat nyata jika tubuh Intana jauh lebih kurus daripada tubuh Shanumi. “Apa calon pengantin prianya tidak mencoba baju?” tanya Shanumi pada salah seorang pegawai butik yang ikut memakaikan baju ribet itu padanya. “Mencoba, Kak. Namun, dia akan menentukan dulu gaun mana yang cocok pada calon pengantin wanita. Setelah itu, baru dia coba baju pria yang setara dengan baju wanita. Sebab, untuk baju Pengantin pria tidak detail dan bersifat fleksibel.” Perempuan itu menjelaskan dengan terus semangat meski kini sudah malam. “Apa hal lumrah, mencoba baju pengantin diwakili orang lain?” tanya Shanumi. Benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mamanya Intana dan Intana send
Daehan sempat menatap kosong pada mamanya Intana yang terlihat samar punggungnya di balik pintu kaca. Perlahan hilang di remang latar parkir kala malam. Kini berpaling pandang pada Intana sekilas kemudian kembali pada Shanumi. “Yang mana yang bagus?” tanya Shanumi merasa kikuk. Daehan lekat menatapnya. “Semua bagus kamu pakai.” Daehan menyahut penuh maksud. Melirik kembali Intana yang terus pulas sekilas. Lalu pada beberapa orang yang berdiri tidak jauh dengannya. “Aku bukan membeli, hanya menyewa tiga gaun. Satu yang pertama dipakai Intana, dua lagi yang dicoba asistenku sebelum gaun yang dipakai ini. Semua sewa cash atas namaku.” Daehan memutuskan dengan cepat. Keraguan dan bingung seperti saat Shanumi mencoba gaun di depannya telah melayang tak berbekas.“Baiklah, akan kami siapkan catatan transaksi dan fakturnya. Mohon ditunggu.” Wanita pengelola butik hendak berbalik tetapi Shanumi menegurnya. “Diletak di mana bajuku, aku tidak menemukannya. Aku ingin menggantinya, Kak.” Shan
“Andai kita bertemu lebih cepat, banyak waktu untuk kita, Shan.” Daehan mengatakan hal yang terpikir olehnya. “Apa maksudnya? Kalo lebih cepat emang ngapain?” tanya Shanumi sambil mendongak. Memandang wajah tampan Daehan di temaram. Mereka masih di posisi semula, saling peluk. “Banyak waktu untuk membicarakan langkah apa yang aku ambil.” Daehan mencium rambut wangi Shanumi. “Sebenarnya, untuk apa mempertahankan pernikahan naas kita ini?” tanya Shanumi sambil memberanikan diri memegang rahang di wajah Daehan. Lelaki itu tidak menyahut. Coba menatap lekat wajah Shanumi dalam samar malam. “Dulu, aku ingin memerasmu, ingin mendapat banyak uang darimu. Aku juga minta lima permintaan. Tetapi, ternyata aku tidak bisa. Kamu lelaki baik bagiku. Aku rela menjadi jandamu tanpa mendapat hartamu. Tetapi, sudah kuberi peluang pun, kamu tidak memberiku talak. Kenapa kamu memilih yang susah?” tanya Shanumi. “Kenapa kamu pun membuang peluang bagus? Ambillah, masih kutunggu genap permintaanmu,” k
Adzan subuh tengah mengudara dan Shanumi sudah duduk di ranjang dengan mata setengah dibuka, setengah menutup. Ingin sangat rebah saja, tetapi adzan masih lama berkumandang. Ustadz kajian bilang, jika sengaja tidur saat mendengar alun adzan, kala mati jenazahnya sungguh berat. Petuah yang membuat Shanumi terus terngiang dan ingat. Merasa kasihan dan tidak enak hati pada para pengusung jenazah yang rela membawanya kelak. Bunyi panggilan yang tiba-tiba mengusik pun tidak membuatnya terkejut. Diabaikan hingga lama dan mati sendiri habis masa. Berulangkali hingga panggilan ke tiga barulah diangkatnya dengan lambat.Sesaat kemudian, mata berat mengantuk itu membuka lebar-lebar dengan wajah sangat shock! Menyusul jerit tanyanya membahana. “Ap …apa?! Bagaimana keadaannya sekarang?!” tanya Shanumi dalam pekiknya. Mungkin sebuah kabar dari seberang, telah membuat terkejut dan kalang kabut. Bukan duduk di ranjang lagi, tetap telah menggelosor di lantai. Sepertinya kabar yang didengar di te
Shanumi dan bibinya merasa lega penuh syukur tak terkata, Siti Arumi pulih kesadaran di hari kedua setelah kemalangan. Dokter kata, ketahanan fisik si pasien sangatlah luar biasa. Dengan kondisi fatal yang satu kaki patah, kaki sebelah pun retak, juga benturan keras di kepala. Bahkan sebagian rambut di kepala ibunya harus dihilangkan demi penanganan, tetapi puncak kesakitan itu mampu dilewati tanpa merenggut nyawa. Juga tidak mempengaruhi segala fungsi kerja saraf di otaknya. Ibunya masih tidak ingin berbicara. Mengangguk dan menggeleng samar adalah jawaban dari setiap pertanyaan. Meski beberapa dokter pendamping menyarankan untuk melatih bersuara. Bukan tidak mampu berbicara, mungkin kejadian naas tak disangka yang menimpa ini adalah guncangan luar biasa untuk jiwa dan raganya. Shanumi tidak henti mengucap syukur bahwa ibu masih diberi panjang umur. Tidak terbayang betapa menyesal dan sakit yang akan dia tanggung andai ibu dijemput Yang Kuasa saat dirinya tidak siap. Sedang luka d
Setelah bermalam di rumah sakit kurang lebih sepuluh hari, akhirnya Siti Rumiyah, nama yang tertera sebagai penanggung jawab pasien atas nama Siti Arumi, dibolehkan membawa pulang adiknya. Shanumi merasa lega dan penuh syukur tak terkata padaNya. Hal berat itu sudah banyak berlalu, hanya tinggal pemulihan kondisi sang ibu. Dengan bekal pen tertanam di betis kaki kiri, gibs tertempel di atas tumit kaki kanan. Fraktur alias patah tulang ibunya masuk dalam golongan serius dan berat. “Nok, nanti aku pulang dulu, yo. Lihat rumah, kalo nggak dipantau, tikusnya bisa nguasai seluruh rumah.” Bik Rum berbicara dengan wajah cerah. “Iya, Bi. Nggak popo, tapi ke sini lagi, ya…,” ucap Shanumi. Paham jika bibinya tidak pernah pulang sama sekali. Pasti bahagia bisa melihat kembali rumahnya. Meski tidak punya keluarga dan hidup sendirian, kerinduan akan isi rumah pada setiap insan tentunya sama saja. Mungkin dengan persentasi yang berbeda. Tetangga yang part time mengurus rumah Bik Rum tiba-tiba
Dua perempuan sedarah dari kandungan wanita yang sama, sedang bercerita seru sambil makan malam. Saling mencurah sebagian kisah yang menimpa selama dua saudara itu mengalami perpisahan. Namun, tentu tidak sedetail seperti kenyataan. “Jadi, Mbak Sazlin nggak ingin adaptasi dengan habitat aslinya, gitu?” tanya Shanumi dengan perasaan amat gemas. Kakaknya kukuh tidak ingin mengubah penampilan. Hanya bulu mata palsu dan stoking gelap saja yang sudah diliburkan kala malam. Sedang behel, softlens dan tiga tindik giok, tidak juga dihempaskan. Meski behel memang selalunya ada di dua deret gigi putihnya yang ars dan bawah. “Biar saja, aku dah biasa dan nyaman seperti ini. Terserah kata orang. Tapi kamu dan Ibuk percaya saja, aku nggak berubah,” Sazlina menjawab agak ketus. Tetapi shanumi sudah tahu, dibalik kebaikannya, watak sang kakak sangat tegas dan keras. Mewarisi garis sifat ayah dan ibu. Sama juga dengan Shanumi sendiri, tetapi sikap lembutnya lebih mendominasi. “Kenapa sedih?” tan
Dengan bungkam, Sazlina mengambil gamis dan kerudung dari ransel. Berniat membawa masuk ke dalam kamar mandi di pojok ruang. Melewati Khaisan yang duduk di ranjang sambil terus melihatnya. “Kenapa bawa baju ke dalam? Itu kan ribet, Saz. Lagipula kamar ini cukup luas hanya untuk menampungmu bertukar baju,” tegur Khaisan menahan gelisah dan kesal. Sazlina benar-benar terus menghemat suaranya. Sial lagi, sejak terungkap hal besar bahwa sang istri adalah penyelamat di masa lalu, membuat perasaannya canggung dan segan. Khaisan seperti mati kutu dengan tatapan dingin Sazlina. Menjadikannya serba salah. Perempuan yang ditegur tidak menyahut. Terus berjalan hingga tenggelam di balik pintu kayu kamar mandi yang mengkilat berpelitur. “Ck…!” Khaisan bedecak keras sebab merasa suntuk. Tidak terima dengan sikap Sazlina yang berubah acuh tak acuh dan mengabaikan. Namun, sesuatu yang teronggok di atas karpet membuatnya tersenyum dan berdiri dengan cepat. Itu adalah barang pribadi milik Sazlina
Sazlina tidak sengaja memandang Khaisan yang ternyata juga tengah menolehnya. Mereka saling menatap sejenak dengan pikiran yang sama-sama berputar. Ekspresi mereka tegang dan tanpa senyuman. “Tunjuklah, kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan kemudian tanpa berpaling pandang. “Ini sebenarnya kalian kegiatan apa sih di foto itu? Kok ternyata kalian gak saling tahu?” tanya Shanumi heran dan tidak sabar juga. “Lokasi foto itu adalah di pemandian air panas di Cangar, Shan dan itu bukan kegiatan,” ucap Sazlina lirih tetapi yakin. “Kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan lagi. Merasa tidak sabar dengan Sazlina yang tidak juga menunjukkan fotonya yang mana. “Aku… yang berdiri di samping Bapak Tentara ini. Pake kerudung warna pink.” Sazlina menjawab yakin sambil menatap foto dan Khaisan bergantian. “Jadi, kamu benar-benar yang itu?” tanya Khaisan sambil menunjuk foto dengan ekor mata. Gadis polos belia berkerudung warna pink yang imut dan manis. Terlihat lebih mencolok dari para perempu
Bukan taksi yang membawa Khaisan dan Sazlina dari stasiun menuju rumah Oma di Osaka. Tetapi Daehan sendiri dengan mobil sang nenek yang hanya sentiasa terparkir di garasi sebagai pajangan selama ini, amat sangat jarang digunakan. Apalagi setelah suami tiada beberapa bulan lalu. Sopirnya pun sudah dipensiunkan. Hanya kadang akan mencari sopir sewa atau menaiki taksi saja untuk bepergian. Itu pun sangat jarang, mengingat kondisi Oma yang menghalangi untuk membuat perjalanan jauh. “Kamu yakin, Oma baik-baik saja di rumah?” tanya Khaisan dengan nada gusar. Menatap Daehan yang mengemudi di sebelahnya. Sazlina dibiarkannya duduk sendiri di belakang. “Soal itu… dia barusan kritis, mana bisa yakin. Shanumi dan perawat sedang jaga di rumah. Selama mereka gak ngasih kabar buruk, anggap saja Oma lagi aman. Lagipula sambil beliin dia resep Kampo.” Daehan menjelaskan sambil fokus mengemudi. Terlihat santai yang jauh dari panik. Khaisan terdiam, merasa sedikit lega akan kondisi lumayan omanya.
Hana dan Daishin telah selesai berbicara. Meski tidak lama, lumayan menyampaikan segala masalah mengganjal pada keduanya. Hana berniat meninggalkan ruang pantry. “Matikan airnya, Shin.” Hana menegur Daishin yang membiarkan air dari kran di wastafel terus mengalir. Lelaki itu terus menadah tangan di bawahnya dengan bungkam dan mematung. Mungkin omongan Hana barusan cukup mengena dalam di perasannya kali ini. “Mama akan turun. Kamu cepat istirahat. Jika kondisimu bagus, kita juga nyusul ke Osaka besok saja. Semoga kondisi ibu mertua lekas membaik. Hmm… apa kereta tercepat masih ada malam-malam begini?” Hana berbicara lagi setelah Daishin mematikan kran hingga airnya mati total. Nada suara yang biasa dan seolah tidak ada hal mengganjal apa-apa lagi di hatinya. Hana teringat pada Sazlina dan Khaisan yang seharusnya sudah siap meluncur ke Osaka. Jika siang akan mudah dengan menaiki kereta cepat Nozomi Shinsaken. Namun, jika malam begini, adakah? Sedang jam operasi maksimal untuk stasi
Pantry yang tidak luas itu terasa lebih lapang sebab lengang. Meski auranya panas dan penuh bara api. Sazlina hingga menahan napas dan tegang. Menduga jika Khaisan sedang sangat marah. Bersyukur dirinya tidak mengeluh berlebihan. Bukan dirinya yang dipikirkan, tetapi Daishin yang akan mendapat murka dari suaminya. “Ulangi tadi apa yang kamu bilang pada istriku, Daishin…!” Khaisan memecah hening dari kebungkaman mereka yang lama. Suaranya tajam dan keras. Cukup menggema di sekitaran ruang pantry dan penjuru lantai dua. Daishin mungkin sudah menduga, tetapi gerakan tangan dari mengaduk sup di mangkuk terjeda. Seolah sedang berpikir apa yang akan dia ucapkan. Lalu memutar kursi dan berhadapan pandang langsung dengan Khaisan. “Maaf, Mas. Mungkin aku lancang kali ini. Tetapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Jujur, aku pernah suka dengan Sazlina saat di agensi. Tetapi dia terus menolak dan tiba-tiba pulang ke Indonesia. Sekarang tiba-tiba bertemu dan tiap hari melihat, perasaan itu da
Ada satu handuk baju di dalam kamar mandi. Mungkin Khaisan sengaja menyisakan untuk di pakai oleh Sazlina. Lelaki itu lebih memilih selembar kecil handuk untuk dililitkan di tubuh saat sudah keluar dari kamar mandi. “Untuk apa baju basah itu dibawa-bawa?” tegur Khaisan. Merasa tidak suka melihat Sazlina menenteng baju kotornya yang basah. “Kubawa ke kamarku, akan kucuci dan kujemur.” Sazlina sambil salah tingkah, bingung dengan tetesan air dari baju basah di tangannya ke lantai. “Letak kembali di dalam, biar diurus Mijhe. Lekas ganti baju, nanti kamu masuk angin,” ucap Khaisan pelan. Paham jika Sazlina merasa segan. Sazlina yang galau tidak membantah, segera masuk kembali ke kamar mandi dan meletak seluruh baju basahnya di sudut. Berpikir Mijhe akan maklum sebab sudah tahu tentang pernikahannya. Kemudian keluar lagi dengan perasaan berdebar. “Aku akan ke kamarku, tukar baju.” Kata Sazlina sambil tergesa menuju pintu. “Ada banyak baju di almari!” seru Khaisan bermaksud menahan.
Setelah meladeni wawancara heboh dari mamanya, juga beberapa pertanyaan dari papanya, serta dilepas oleh pandangan masam dari Clara, Khaisan membawa Sazlina naik tangga ke lantai dua. "Mas Daishin ke mana...," gumam Sazlina lirih sambil mengikuti Khaisan. "Dia sudah besar. Tidak usah dicari-cari." Khaisan yang mendengar pun menyahut datar. Kemudian menghentak tangan kecil yang terasa halus di genggamannya. “Aku…,” ucap Sazlina tercekat saat Khaisan menyeretnya menepi ke arah kamar miliknya. Perasaannya berdebar dengan apa yang bakal terjadi kemudian. Pikiran nakal di kepalanya seketika menggoda. “Kenapa, keberatan? Siapa yang ngotot ingin dibawa ke kamarku?” tanya Khaisan sambil membuka pintu kamar yang tidak dikuncinya. “Aku … tidak. Tapi, kamu tidak akan berbuat hal jahat, kan?” tanya Sazlina asal. Hatinya semakin berdebar. “Bagaimana jika iya?” tanya Khaisan. Senyum samarnya terlihat dalam remang. Lampu lorong balkon selalu dimatikan Mijhe selepas waktu isya. Hanya sorot bula
Sazlina yang sangat terkejut dan takut, merasa itu semua ternyata sangatlah sia-sia. Khaisan hanya menariknya menuju mobil yang telah dibawa driver mendekat. Bukan ke mana-mana atau menganiaya seperti sangkanya. “Kamu pikir aku psikopat?” tanya Khaisan saat mereka sudah duduk di dalam dan Sazlina berkata akan luah rasa leganya. “Kupikir kamu sangat marah…,” sahut Sazlina yang terdengar engah pada suaranya. Sisa paniknya barusan mesih melekat. “Aku tidak berbuat melampaui batas, bukan bermakna aku tidak marah. Jangan merasa senang dulu.” Khaisan menegur dengan ekspresi tidak ramah. Kendaraan berjalan pelan meninggalkan area Kingnyo di Roppongi. “Apapun perasaanmu, aku sudah minta maaf. Aku merasa senang, kamu seperti sangat peduli padaku. Tiba-tiba aku menyesal kenapa tidak menikah sedari dulu. Ada seseorang yang peduli padaku di tempat jauh, rasanya jadi haru.” Sazlina berbicara jujur dengan yang sedang dirasa. “Kamu ingin menikah dari dulu? Siapa yang kamu harap menikahimu?” tan
Khaisan membanting pintu hingga menghempas dinding dan berbunyi keras. Namun pintu yang terpental itu kembali menutup sendiri dengan perlahan. Seolah sangat rela akan perlakuan sang tuan padanya.Pria penguasa kamar menyambar dua power bank sekaligus dari laci. Tidak ingin kejadian habis baterai terulang kembali di saat yang tidak diinginkan. Lalu dibawanya ke sofa dan menghempas diri kasar di sana. Sambil menyalakan ponsel, matanya menyapu seluruh sudut kamar dengan nuansa tampak baru. Sangat segar, rapi dan bersih lebih dari sebelumnya. Sayang sekali perempuan yang ingin dibawanya dengan tidak sabar malam ini telah membuatnya marah dan sangat kecewa. Beberapa pesan yang di antaranya dari Sazlina telah dibaca segera. Hanya memberi tahu tentang perginya menemani pelancong dari Thailand dan juga ada kalimat minta maaf. “Di mana posisi mereka terakhir?” Khaisan sedang menghubungi driver yang bertugas membawa pelancong dan Sazlina. Lelaki itu sudah memberi laporan akan tugasnya sejak