Sebab Intana terus makan dan tidak peduli dengan bujukan orang-orang sedang ibunya sangat mendesak, dengan simalakama permintaan mereka dipenuhi. Shanumi dibawa ke ruang ganti dan kini dijadikan model pengganti. Wanita pengelola butik beralasan jika perbedaan postur tubuh Shanumi dan Intana tidak terlalu mencolok. Meski terlihat nyata jika tubuh Intana jauh lebih kurus daripada tubuh Shanumi. “Apa calon pengantin prianya tidak mencoba baju?” tanya Shanumi pada salah seorang pegawai butik yang ikut memakaikan baju ribet itu padanya. “Mencoba, Kak. Namun, dia akan menentukan dulu gaun mana yang cocok pada calon pengantin wanita. Setelah itu, baru dia coba baju pria yang setara dengan baju wanita. Sebab, untuk baju Pengantin pria tidak detail dan bersifat fleksibel.” Perempuan itu menjelaskan dengan terus semangat meski kini sudah malam. “Apa hal lumrah, mencoba baju pengantin diwakili orang lain?” tanya Shanumi. Benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mamanya Intana dan Intana send
Daehan sempat menatap kosong pada mamanya Intana yang terlihat samar punggungnya di balik pintu kaca. Perlahan hilang di remang latar parkir kala malam. Kini berpaling pandang pada Intana sekilas kemudian kembali pada Shanumi. “Yang mana yang bagus?” tanya Shanumi merasa kikuk. Daehan lekat menatapnya. “Semua bagus kamu pakai.” Daehan menyahut penuh maksud. Melirik kembali Intana yang terus pulas sekilas. Lalu pada beberapa orang yang berdiri tidak jauh dengannya. “Aku bukan membeli, hanya menyewa tiga gaun. Satu yang pertama dipakai Intana, dua lagi yang dicoba asistenku sebelum gaun yang dipakai ini. Semua sewa cash atas namaku.” Daehan memutuskan dengan cepat. Keraguan dan bingung seperti saat Shanumi mencoba gaun di depannya telah melayang tak berbekas.“Baiklah, akan kami siapkan catatan transaksi dan fakturnya. Mohon ditunggu.” Wanita pengelola butik hendak berbalik tetapi Shanumi menegurnya. “Diletak di mana bajuku, aku tidak menemukannya. Aku ingin menggantinya, Kak.” Shan
“Andai kita bertemu lebih cepat, banyak waktu untuk kita, Shan.” Daehan mengatakan hal yang terpikir olehnya. “Apa maksudnya? Kalo lebih cepat emang ngapain?” tanya Shanumi sambil mendongak. Memandang wajah tampan Daehan di temaram. Mereka masih di posisi semula, saling peluk. “Banyak waktu untuk membicarakan langkah apa yang aku ambil.” Daehan mencium rambut wangi Shanumi. “Sebenarnya, untuk apa mempertahankan pernikahan naas kita ini?” tanya Shanumi sambil memberanikan diri memegang rahang di wajah Daehan. Lelaki itu tidak menyahut. Coba menatap lekat wajah Shanumi dalam samar malam. “Dulu, aku ingin memerasmu, ingin mendapat banyak uang darimu. Aku juga minta lima permintaan. Tetapi, ternyata aku tidak bisa. Kamu lelaki baik bagiku. Aku rela menjadi jandamu tanpa mendapat hartamu. Tetapi, sudah kuberi peluang pun, kamu tidak memberiku talak. Kenapa kamu memilih yang susah?” tanya Shanumi. “Kenapa kamu pun membuang peluang bagus? Ambillah, masih kutunggu genap permintaanmu,” k
Adzan subuh tengah mengudara dan Shanumi sudah duduk di ranjang dengan mata setengah dibuka, setengah menutup. Ingin sangat rebah saja, tetapi adzan masih lama berkumandang. Ustadz kajian bilang, jika sengaja tidur saat mendengar alun adzan, kala mati jenazahnya sungguh berat. Petuah yang membuat Shanumi terus terngiang dan ingat. Merasa kasihan dan tidak enak hati pada para pengusung jenazah yang rela membawanya kelak. Bunyi panggilan yang tiba-tiba mengusik pun tidak membuatnya terkejut. Diabaikan hingga lama dan mati sendiri habis masa. Berulangkali hingga panggilan ke tiga barulah diangkatnya dengan lambat.Sesaat kemudian, mata berat mengantuk itu membuka lebar-lebar dengan wajah sangat shock! Menyusul jerit tanyanya membahana. “Ap …apa?! Bagaimana keadaannya sekarang?!” tanya Shanumi dalam pekiknya. Mungkin sebuah kabar dari seberang, telah membuat terkejut dan kalang kabut. Bukan duduk di ranjang lagi, tetap telah menggelosor di lantai. Sepertinya kabar yang didengar di te
Shanumi dan bibinya merasa lega penuh syukur tak terkata, Siti Arumi pulih kesadaran di hari kedua setelah kemalangan. Dokter kata, ketahanan fisik si pasien sangatlah luar biasa. Dengan kondisi fatal yang satu kaki patah, kaki sebelah pun retak, juga benturan keras di kepala. Bahkan sebagian rambut di kepala ibunya harus dihilangkan demi penanganan, tetapi puncak kesakitan itu mampu dilewati tanpa merenggut nyawa. Juga tidak mempengaruhi segala fungsi kerja saraf di otaknya. Ibunya masih tidak ingin berbicara. Mengangguk dan menggeleng samar adalah jawaban dari setiap pertanyaan. Meski beberapa dokter pendamping menyarankan untuk melatih bersuara. Bukan tidak mampu berbicara, mungkin kejadian naas tak disangka yang menimpa ini adalah guncangan luar biasa untuk jiwa dan raganya. Shanumi tidak henti mengucap syukur bahwa ibu masih diberi panjang umur. Tidak terbayang betapa menyesal dan sakit yang akan dia tanggung andai ibu dijemput Yang Kuasa saat dirinya tidak siap. Sedang luka d
Setelah bermalam di rumah sakit kurang lebih sepuluh hari, akhirnya Siti Rumiyah, nama yang tertera sebagai penanggung jawab pasien atas nama Siti Arumi, dibolehkan membawa pulang adiknya. Shanumi merasa lega dan penuh syukur tak terkata padaNya. Hal berat itu sudah banyak berlalu, hanya tinggal pemulihan kondisi sang ibu. Dengan bekal pen tertanam di betis kaki kiri, gibs tertempel di atas tumit kaki kanan. Fraktur alias patah tulang ibunya masuk dalam golongan serius dan berat. “Nok, nanti aku pulang dulu, yo. Lihat rumah, kalo nggak dipantau, tikusnya bisa nguasai seluruh rumah.” Bik Rum berbicara dengan wajah cerah. “Iya, Bi. Nggak popo, tapi ke sini lagi, ya…,” ucap Shanumi. Paham jika bibinya tidak pernah pulang sama sekali. Pasti bahagia bisa melihat kembali rumahnya. Meski tidak punya keluarga dan hidup sendirian, kerinduan akan isi rumah pada setiap insan tentunya sama saja. Mungkin dengan persentasi yang berbeda. Tetangga yang part time mengurus rumah Bik Rum tiba-tiba
Dua perempuan sedarah dari kandungan wanita yang sama, sedang bercerita seru sambil makan malam. Saling mencurah sebagian kisah yang menimpa selama dua saudara itu mengalami perpisahan. Namun, tentu tidak sedetail seperti kenyataan. “Jadi, Mbak Sazlin nggak ingin adaptasi dengan habitat aslinya, gitu?” tanya Shanumi dengan perasaan amat gemas. Kakaknya kukuh tidak ingin mengubah penampilan. Hanya bulu mata palsu dan stoking gelap saja yang sudah diliburkan kala malam. Sedang behel, softlens dan tiga tindik giok, tidak juga dihempaskan. Meski behel memang selalunya ada di dua deret gigi putihnya yang ars dan bawah. “Biar saja, aku dah biasa dan nyaman seperti ini. Terserah kata orang. Tapi kamu dan Ibuk percaya saja, aku nggak berubah,” Sazlina menjawab agak ketus. Tetapi shanumi sudah tahu, dibalik kebaikannya, watak sang kakak sangat tegas dan keras. Mewarisi garis sifat ayah dan ibu. Sama juga dengan Shanumi sendiri, tetapi sikap lembutnya lebih mendominasi. “Kenapa sedih?” tan
Seperti penembak jitu yang sedang membidik target, demikian kelakuan Shanumi sekarang. Mengintip hendap di balik pintu yang bercelah dan tidak ditutup merapat. Sayang sekali, usahanya sia-sia sebab orang di dalam sama sekali tidak bisa dilihat. Hanya segaris lurus meja lampu di samping tempat tidur yang tampak dan selebihnya tidak sama sekali. Namun, sudah jelas jika suara lelaki di dalam adalah milik si Daehan! Tidak ingin tenggelam sebab penasaran, pintu kamar didorong perlahan ke dalam hingga terbuka lebar-lebar. Napas terbaru nya seperti menggantung di ujung hidung. Semua kini melihat padanya. Ibu yang duduk menyandar ranjang dengan arah ke pintu, Sazlina yang berdiri di samping kaki ranjang telah berbalik melihatnya, juga… Daehan! Kini membalik punggung dan menatapnya dengan senyum yang samar.Tulang sendi Shanumi seolah aus hingga terasa berat dan tak bisa digerakkan. Diam, tegang dan kaku di tempat tanpa ingat melempar salam sapa pada Daehan. “Hei, Shanumi…." Daehan justru
Seperti penembak jitu yang sedang membidik target, demikian kelakuan Shanumi sekarang. Mengintip hendap di balik pintu yang bercelah dan tidak ditutup merapat. Sayang sekali, usahanya sia-sia sebab orang di dalam sama sekali tidak bisa dilihat. Hanya segaris lurus meja lampu di samping tempat tidur yang tampak dan selebihnya tidak sama sekali. Namun, sudah jelas jika suara lelaki di dalam adalah milik si Daehan! Tidak ingin tenggelam sebab penasaran, pintu kamar didorong perlahan ke dalam hingga terbuka lebar-lebar. Napas terbaru nya seperti menggantung di ujung hidung. Semua kini melihat padanya. Ibu yang duduk menyandar ranjang dengan arah ke pintu, Sazlina yang berdiri di samping kaki ranjang telah berbalik melihatnya, juga… Daehan! Kini membalik punggung dan menatapnya dengan senyum yang samar.Tulang sendi Shanumi seolah aus hingga terasa berat dan tak bisa digerakkan. Diam, tegang dan kaku di tempat tanpa ingat melempar salam sapa pada Daehan. “Hei, Shanumi…." Daehan justru
Dua perempuan sedarah dari kandungan wanita yang sama, sedang bercerita seru sambil makan malam. Saling mencurah sebagian kisah yang menimpa selama dua saudara itu mengalami perpisahan. Namun, tentu tidak sedetail seperti kenyataan. “Jadi, Mbak Sazlin nggak ingin adaptasi dengan habitat aslinya, gitu?” tanya Shanumi dengan perasaan amat gemas. Kakaknya kukuh tidak ingin mengubah penampilan. Hanya bulu mata palsu dan stoking gelap saja yang sudah diliburkan kala malam. Sedang behel, softlens dan tiga tindik giok, tidak juga dihempaskan. Meski behel memang selalunya ada di dua deret gigi putihnya yang ars dan bawah. “Biar saja, aku dah biasa dan nyaman seperti ini. Terserah kata orang. Tapi kamu dan Ibuk percaya saja, aku nggak berubah,” Sazlina menjawab agak ketus. Tetapi shanumi sudah tahu, dibalik kebaikannya, watak sang kakak sangat tegas dan keras. Mewarisi garis sifat ayah dan ibu. Sama juga dengan Shanumi sendiri, tetapi sikap lembutnya lebih mendominasi. “Kenapa sedih?” tan
Setelah bermalam di rumah sakit kurang lebih sepuluh hari, akhirnya Siti Rumiyah, nama yang tertera sebagai penanggung jawab pasien atas nama Siti Arumi, dibolehkan membawa pulang adiknya. Shanumi merasa lega dan penuh syukur tak terkata padaNya. Hal berat itu sudah banyak berlalu, hanya tinggal pemulihan kondisi sang ibu. Dengan bekal pen tertanam di betis kaki kiri, gibs tertempel di atas tumit kaki kanan. Fraktur alias patah tulang ibunya masuk dalam golongan serius dan berat. “Nok, nanti aku pulang dulu, yo. Lihat rumah, kalo nggak dipantau, tikusnya bisa nguasai seluruh rumah.” Bik Rum berbicara dengan wajah cerah. “Iya, Bi. Nggak popo, tapi ke sini lagi, ya…,” ucap Shanumi. Paham jika bibinya tidak pernah pulang sama sekali. Pasti bahagia bisa melihat kembali rumahnya. Meski tidak punya keluarga dan hidup sendirian, kerinduan akan isi rumah pada setiap insan tentunya sama saja. Mungkin dengan persentasi yang berbeda. Tetangga yang part time mengurus rumah Bik Rum tiba-tiba
Shanumi dan bibinya merasa lega penuh syukur tak terkata, Siti Arumi pulih kesadaran di hari kedua setelah kemalangan. Dokter kata, ketahanan fisik si pasien sangatlah luar biasa. Dengan kondisi fatal yang satu kaki patah, kaki sebelah pun retak, juga benturan keras di kepala. Bahkan sebagian rambut di kepala ibunya harus dihilangkan demi penanganan, tetapi puncak kesakitan itu mampu dilewati tanpa merenggut nyawa. Juga tidak mempengaruhi segala fungsi kerja saraf di otaknya. Ibunya masih tidak ingin berbicara. Mengangguk dan menggeleng samar adalah jawaban dari setiap pertanyaan. Meski beberapa dokter pendamping menyarankan untuk melatih bersuara. Bukan tidak mampu berbicara, mungkin kejadian naas tak disangka yang menimpa ini adalah guncangan luar biasa untuk jiwa dan raganya. Shanumi tidak henti mengucap syukur bahwa ibu masih diberi panjang umur. Tidak terbayang betapa menyesal dan sakit yang akan dia tanggung andai ibu dijemput Yang Kuasa saat dirinya tidak siap. Sedang luka d
Adzan subuh tengah mengudara dan Shanumi sudah duduk di ranjang dengan mata setengah dibuka, setengah menutup. Ingin sangat rebah saja, tetapi adzan masih lama berkumandang. Ustadz kajian bilang, jika sengaja tidur saat mendengar alun adzan, kala mati jenazahnya sungguh berat. Petuah yang membuat Shanumi terus terngiang dan ingat. Merasa kasihan dan tidak enak hati pada para pengusung jenazah yang rela membawanya kelak. Bunyi panggilan yang tiba-tiba mengusik pun tidak membuatnya terkejut. Diabaikan hingga lama dan mati sendiri habis masa. Berulangkali hingga panggilan ke tiga barulah diangkatnya dengan lambat.Sesaat kemudian, mata berat mengantuk itu membuka lebar-lebar dengan wajah sangat shock! Menyusul jerit tanyanya membahana. “Ap …apa?! Bagaimana keadaannya sekarang?!” tanya Shanumi dalam pekiknya. Mungkin sebuah kabar dari seberang, telah membuat terkejut dan kalang kabut. Bukan duduk di ranjang lagi, tetap telah menggelosor di lantai. Sepertinya kabar yang didengar di te
“Andai kita bertemu lebih cepat, banyak waktu untuk kita, Shan.” Daehan mengatakan hal yang terpikir olehnya. “Apa maksudnya? Kalo lebih cepat emang ngapain?” tanya Shanumi sambil mendongak. Memandang wajah tampan Daehan di temaram. Mereka masih di posisi semula, saling peluk. “Banyak waktu untuk membicarakan langkah apa yang aku ambil.” Daehan mencium rambut wangi Shanumi. “Sebenarnya, untuk apa mempertahankan pernikahan naas kita ini?” tanya Shanumi sambil memberanikan diri memegang rahang di wajah Daehan. Lelaki itu tidak menyahut. Coba menatap lekat wajah Shanumi dalam samar malam. “Dulu, aku ingin memerasmu, ingin mendapat banyak uang darimu. Aku juga minta lima permintaan. Tetapi, ternyata aku tidak bisa. Kamu lelaki baik bagiku. Aku rela menjadi jandamu tanpa mendapat hartamu. Tetapi, sudah kuberi peluang pun, kamu tidak memberiku talak. Kenapa kamu memilih yang susah?” tanya Shanumi. “Kenapa kamu pun membuang peluang bagus? Ambillah, masih kutunggu genap permintaanmu,” k
Daehan sempat menatap kosong pada mamanya Intana yang terlihat samar punggungnya di balik pintu kaca. Perlahan hilang di remang latar parkir kala malam. Kini berpaling pandang pada Intana sekilas kemudian kembali pada Shanumi. “Yang mana yang bagus?” tanya Shanumi merasa kikuk. Daehan lekat menatapnya. “Semua bagus kamu pakai.” Daehan menyahut penuh maksud. Melirik kembali Intana yang terus pulas sekilas. Lalu pada beberapa orang yang berdiri tidak jauh dengannya. “Aku bukan membeli, hanya menyewa tiga gaun. Satu yang pertama dipakai Intana, dua lagi yang dicoba asistenku sebelum gaun yang dipakai ini. Semua sewa cash atas namaku.” Daehan memutuskan dengan cepat. Keraguan dan bingung seperti saat Shanumi mencoba gaun di depannya telah melayang tak berbekas.“Baiklah, akan kami siapkan catatan transaksi dan fakturnya. Mohon ditunggu.” Wanita pengelola butik hendak berbalik tetapi Shanumi menegurnya. “Diletak di mana bajuku, aku tidak menemukannya. Aku ingin menggantinya, Kak.” Shan
Sebab Intana terus makan dan tidak peduli dengan bujukan orang-orang sedang ibunya sangat mendesak, dengan simalakama permintaan mereka dipenuhi. Shanumi dibawa ke ruang ganti dan kini dijadikan model pengganti. Wanita pengelola butik beralasan jika perbedaan postur tubuh Shanumi dan Intana tidak terlalu mencolok. Meski terlihat nyata jika tubuh Intana jauh lebih kurus daripada tubuh Shanumi. “Apa calon pengantin prianya tidak mencoba baju?” tanya Shanumi pada salah seorang pegawai butik yang ikut memakaikan baju ribet itu padanya. “Mencoba, Kak. Namun, dia akan menentukan dulu gaun mana yang cocok pada calon pengantin wanita. Setelah itu, baru dia coba baju pria yang setara dengan baju wanita. Sebab, untuk baju Pengantin pria tidak detail dan bersifat fleksibel.” Perempuan itu menjelaskan dengan terus semangat meski kini sudah malam. “Apa hal lumrah, mencoba baju pengantin diwakili orang lain?” tanya Shanumi. Benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mamanya Intana dan Intana send
Shanumi tidak lagi bertanya, memahami jika Daehan sedang ada yang banyak dipikirkan. Merasa kasihan, menjelang pernikahan yang harusnya penuh tawa dan suka, justru mendung muram yang tampak. “Shan. Kamu dapat uang banyak dari mana?” tanya Daehan memecah hening. “Eh, apa, Pak Han?” Shanumi yang sedang melamun tidak terlalu mendengar maksud pertanyaan lelaki di sebelahnya barusan. “Kamu bayar hutangmu padaku terlalu cepat. Uang dari siapa?” Ulang Daehan bertanya.Shanumi mengatup bibir. Sudah sekian lama dirinya membayar hutang, baru kali ini dibahas. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Namun, merasa lega juga, dipikir Daehan tidak membaca. Dirinya pun niat bilang tetapi lupa-lupa. “Itu, aku pinjam dari kakakku.” Shanumi menyahut pelan. “Kenapa buru-buru dikembalikan dan pinjam sama orang?” tanya Daehan agak sengit. “Ya… aku nggak enak dong sama Pak Daehan kalo kelamaan. Lagian yang pinjemin bukan orang, dia kakak perempuan kandungku sendiri,” ucap Shanumi semangat menjelaskan. Sek