Ibunya mulai mengantuk saat Shanum sudah di puncak rasa suntuk. Perlahan bergeser turun dan menyandarkan Ibu dengan bantal tersusun tinggi di belakang punggung. Posisi tidur kesukaan Siti Arumi pasca kecelakaan yang menimpa. “Mau ke mana, Shan?” Mata yang setengah tidur, masih terjaga saat Shanumi hendak pergi. “Eh, anu, Buk. Ke kamarku, tadi belum shalat isya.” Shanumi diam di tempat dan berbicara tercekat. Daster ungu selutut yang terlihat cantik di tubuh cerahnya, sedang dipegang ujung bawah oleh Ibu dan menarik mundur kembali mendekat.“Ambilkan obat dan air dulu, Shan. Kakiku mulai ngilu dan sakit. Telat minum obat …,” keluh ibunya setengah merintih. Shanumi menghirup napas dan menghempasnya cepat. Coba membuang sisa kesal. Menyadari memang dirinya lalai mengulur obat petang ini. Juga ingat jika merawat orang tua dengan segala kondisi penuh sabar, penuh cobaan dan ikhlas lahir batin, maka hadiahnya kelak adalah surga. Apalagi yang surga di bawah telapak ibu, cepat diambilnya o
Meski galau tidak berpamit pada ibu, tetapi support Sazlina yang menggebu, Shanumi pergi juga malam itu. Agung standby dalam mobil meski sempat susah dibangunkan. Kini melaju aman menuju Batu perbukitan. “Seneng betul ya, Mbak, tinggal di Kota Batu. Bisa cuci mata terus tiap waktu.” Agung berkomentar. Sambil fokus, matanya juga terus lirik ke kiri dan ke kanan. Melihat pemandangan elok yang sayang dilewatkan. “Iya kalo yang jarang ke sini, merasa bagus, Mas. Untuk kami, penduduk sini sih biasa saja.” Shanumi menanggapi. Sengaja duduk di depan untuk mengusir suntuk di perjalanan. Selain pandangan tak terhalang, bisa juga dengan Agung membuat bermacam obrolan. “Setidaknya ada yang indah alami untuk dipandang, Mbak. Kalo di Surabaya… hadeh, ngerti sendirilah, Mbak!” ucap Agung mengeluh sambil berdecak.“Iya juga sih, Mas!” sahut Shanumi merespon membenarkan. Tentu saja, pemandangan Kota Batu jauh beda dengan tampilan di Kota Surabaya. Di jalan tanjakan menuju kawasan tanah tinggi, ge
Menuruti ingin hati, terus saling peluk hingga lama dan puas. Apa daya, ada Bik Rum di antara mereka yang perlu dijaga hati dan harus dihargai. Daehan dan Shanum buru-buru saling merenggang dan melepas pelukan untuk kembali menjauh. “Dari mana, badan dan bajumu dingin banget?” tanya Shanumi demi menghempas rasa kikuk. Daehan terus tersenyum memandangnya. “Ketemu teman, rumahnya lebih di atas. Dia ngajak joinan,” ucap Daehan tanpa berkedip dari Shanumi. “Join apa?” Shanumi memutus pandangan Daehan dengan berbalik dan melangkah lambat. Bik Rum telah menegur dan menyuruh duduk di sofa. Daehan mengikuti di belakang mereka. “Teman ingin bikin penginapan di daerah sekitar sini. Aku ditawarin tanam modal. Masih kupikir, sebab aku pun sangat sibuk,” jawabnya.Daehan duduk di depan Shanumi di ruang perapian. Berposisi lebih dekat nyala api sebab tubuhnya serasa kaku dan beku. Dirinya yang berhabitat di Kota Surabaya, sedikit susah untuk beradaptasi di tanah tinggi kota Batu. Meski aktualn
Agung tidak juga pergi meski Daehan sudah menyelip lembaran merah cukup banyak di tangannya. Kang sopir memandang bingung dan segan pada dua insan dengan ekspresi yang susah dijabarkan. Sebab ini malam-malam dan mereka berdua tanpa ikatan sedang dirinya justru disuruh pergi keluar oleh sang tuan. “Sana, Gung, keluar. Kopimu pun sudah habis, kan?! Di samping garasi ada kamar jika kamu malas mencari penginapan.” Daehan susah payah menahan kesal. Shanumi telah pergi ke dapur membawa dua cangkir kopi yang sudah sangat kosong. “Kenapa, kamu mau protes? Aku tahu apa yang ada dalam kepalamu. Kamu pikir aku dan Shanumi mau kumpul kebo?" rutuk Daehan sangat kesal. "Kali ini terpaksa aku tunjukkan ke kamu. Aku memang wajib juga ngasih tahu kamu…,’" omel Daehan lagi sambil pergi ke kamar. Lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tas kerja dan dibawa pada Agung di ruang depan kembali. “Nih, lihat. Baca baik-baik hingga tamat dan ingat!” ucap Daehan.Telah menghempas keras badan besarnya ke s
Menjelang subuh yang dingin menggigit hingga tembus menusuk ke tulang, dua insan bergelung saling peluk di bawah selimut tebal dan lebar. Daehan terpaksa menyingkap selimut dan bangun sebab bunyi alarm yang terus bising meminta perhatian penuh paksaan. “Mas, jangan lagi, nggak sanggup. Lemes aku, laper,” ujar Shanumi saat Daehan menyelip diri kembali ke dalam selimut dengan tangan nakalnya yang mulai kembali berulah. “Masih sakit?” tanya Daehan tersenyum. Kini memeluk hangat istrinya dari belakang dan diam. Shanumi tidak menyahut, juga memeluk tangan Daehan yang anteng di dadanya. “Aku nggak ikut ke Surabaya dulu, ya. Gak papa, kan? Nggak enak sama ibuku… tahu-tahu aku pergi lama dengan lelaki tanpa izin langsung. Meskipun dengan suami, tetapi kita belum benar-benar dapat restu darinya.” Shanumi berbicara sedih saat bayang ibunya berkelebat. Daehan lama tidak menyahut. “Orang tuaku siang ini akan sampai di bandara, lepas ashar akan datang ke rumahmu.” Daehan mencium kepala Shanumi
Lega, dengan bantuan Sazlina, pernikahan rahasia dengan Daehan telah sampai di telinga ibunya. Meski sempat diwarnai drama serta ada ucapan dan kalimat tidak enak, wanita agung itu mau juga memahami dan menerima fakta statusnya yang sudah dinikahi oleh anak orang secara diam-diam. Bisa jadi sebab lelakinya adalah Daehan yang bukan orang sembarangan. Jika bukan, mungkin drama ibunya akan lebih panjang dan berliku. Kini Shanumi hanya penuh rasa syukur, akhirnya berjodoh dengan lelaki yang dikirimkan oleh-Nya melalui jalur musibah kala itu. “Jam berapa datang, Nok?” tanya kakaknya yang sudah rapi dan baru mandi. Mereka berada di dapur. “Katanya sore, Mbak. Ini kan sudah lama lewat ashar…,” jawab Shanumi galau.“Ya sudah, kamu mandi dulu saja. Nanti kelewat maghrib, tetapi mereka nggak datang juga!” seru Sazlina sambil menyambar tudung saji. “Iyalah, Mbak. Tungguin ya, nggak papa, kan?” tanya Shanumi sambil memandang saksama kakaknya. Bagaimanapun merasa tidak enak terus sebab mendahu
Daehan sudah memakai tshirt saat Shanumi selesai berwudhu dan keluar dari kamar mandi. Berusaha keras untuk tidak banyak kali memandang. Buru-buru dipakainya mukena dan pura-pura tidak perhatian. Lelaki yang sudah berbaju santai dan tidak lagi berkemeja atau berkostum formal itu justru terlihat keren di kamarnya. Sedang bermain ponsel dengan merebah santai di pembaringan. Rasanya luar biasa. Setelah berpuluh tahun usianya menghuni kamar tanpa orang. Kini ada teman tiba-tiba, bahkan lelaki yang disuka dan sudah sah suaminya. Ah, indah sekali rasa hidup di dunia! Shanumi menambah satu sujud sebelum melepas mukena. Tak habis beryukur akan takdir luar biasa yang tidak disangka tetapi sangat indah di hidupnya. Semoga jodohnya adalah kekal untuk di dunia dan kelak di jannahnya. “Cepat sedikit dong, Shan, ah!” seru Daehan mengejutkan. Membuat jantung Shanumi berdetak kencang dan lebih cepat. “Iya, ish! Ini dah selesai!” Buru-buru Shanumi melihat mukena dan meletakkan di meja semula. Sus
Shanumi yang dipeluk erat Daehan merasa janggal. Meski baru beberapa kali tidur seranjang bersama suami, tetapi mudah diendus jika gelagatnya seperti menyimpan sesuatu. Pandangannya sesekali terlihat jauh. “Ada apa? Kayak gelisah …,” tanya Shanumi sambil menowel lengan Daehan yang melingkar di perutnya. Daehan tidak membuka mulut. Justru mengubah posisi tangan dari memeluk pinggang bergeser ke dadda.“Mas … jangan mulai lagi, please. Tidur dulu, sambung besok aja habis mandi dan subuhan.” Shanumi menahan tangan Daehan yang kembali ingin nakal, merasa kali ini tidak nyaman. Tiba-tiba ponsel Daehan berbunyi kembali. Itu bukan pesan di aplikasi, melainkan sebuah panggilan. Lagi-lagi musik yang mengalun membuatnya frustasi. Lagu panggilan masuk spesial dan indah saat itu, kini membuatnya ingin muntah. “Nggak diangkat?” usik Shanumi yang merasa jika Daehan begitu tegang selama panggilan masuk berbunyi. “Nggak perlu.” Daehan menyahut kaku. Ada kesan marah yang bahkan wajahnya terlihat
Dengan bungkam, Sazlina mengambil gamis dan kerudung dari ransel. Berniat membawa masuk ke dalam kamar mandi di pojok ruang. Melewati Khaisan yang duduk di ranjang sambil terus melihatnya. “Kenapa bawa baju ke dalam? Itu kan ribet, Saz. Lagipula kamar ini cukup luas hanya untuk menampungmu bertukar baju,” tegur Khaisan menahan gelisah dan kesal. Sazlina benar-benar terus menghemat suaranya. Sial lagi, sejak terungkap hal besar bahwa sang istri adalah penyelamat di masa lalu, membuat perasaannya canggung dan segan. Khaisan seperti mati kutu dengan tatapan dingin Sazlina. Menjadikannya serba salah. Perempuan yang ditegur tidak menyahut. Terus berjalan hingga tenggelam di balik pintu kayu kamar mandi yang mengkilat berpelitur. “Ck…!” Khaisan bedecak keras sebab merasa suntuk. Tidak terima dengan sikap Sazlina yang berubah acuh tak acuh dan mengabaikan. Namun, sesuatu yang teronggok di atas karpet membuatnya tersenyum dan berdiri dengan cepat. Itu adalah barang pribadi milik Sazlina
Sazlina tidak sengaja memandang Khaisan yang ternyata juga tengah menolehnya. Mereka saling menatap sejenak dengan pikiran yang sama-sama berputar. Ekspresi mereka tegang dan tanpa senyuman. “Tunjuklah, kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan kemudian tanpa berpaling pandang. “Ini sebenarnya kalian kegiatan apa sih di foto itu? Kok ternyata kalian gak saling tahu?” tanya Shanumi heran dan tidak sabar juga. “Lokasi foto itu adalah di pemandian air panas di Cangar, Shan dan itu bukan kegiatan,” ucap Sazlina lirih tetapi yakin. “Kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan lagi. Merasa tidak sabar dengan Sazlina yang tidak juga menunjukkan fotonya yang mana. “Aku… yang berdiri di samping Bapak Tentara ini. Pake kerudung warna pink.” Sazlina menjawab yakin sambil menatap foto dan Khaisan bergantian. “Jadi, kamu benar-benar yang itu?” tanya Khaisan sambil menunjuk foto dengan ekor mata. Gadis polos belia berkerudung warna pink yang imut dan manis. Terlihat lebih mencolok dari para perempu
Bukan taksi yang membawa Khaisan dan Sazlina dari stasiun menuju rumah Oma di Osaka. Tetapi Daehan sendiri dengan mobil sang nenek yang hanya sentiasa terparkir di garasi sebagai pajangan selama ini, amat sangat jarang digunakan. Apalagi setelah suami tiada beberapa bulan lalu. Sopirnya pun sudah dipensiunkan. Hanya kadang akan mencari sopir sewa atau menaiki taksi saja untuk bepergian. Itu pun sangat jarang, mengingat kondisi Oma yang menghalangi untuk membuat perjalanan jauh. “Kamu yakin, Oma baik-baik saja di rumah?” tanya Khaisan dengan nada gusar. Menatap Daehan yang mengemudi di sebelahnya. Sazlina dibiarkannya duduk sendiri di belakang. “Soal itu… dia barusan kritis, mana bisa yakin. Shanumi dan perawat sedang jaga di rumah. Selama mereka gak ngasih kabar buruk, anggap saja Oma lagi aman. Lagipula sambil beliin dia resep Kampo.” Daehan menjelaskan sambil fokus mengemudi. Terlihat santai yang jauh dari panik. Khaisan terdiam, merasa sedikit lega akan kondisi lumayan omanya.
Hana dan Daishin telah selesai berbicara. Meski tidak lama, lumayan menyampaikan segala masalah mengganjal pada keduanya. Hana berniat meninggalkan ruang pantry. “Matikan airnya, Shin.” Hana menegur Daishin yang membiarkan air dari kran di wastafel terus mengalir. Lelaki itu terus menadah tangan di bawahnya dengan bungkam dan mematung. Mungkin omongan Hana barusan cukup mengena dalam di perasannya kali ini. “Mama akan turun. Kamu cepat istirahat. Jika kondisimu bagus, kita juga nyusul ke Osaka besok saja. Semoga kondisi ibu mertua lekas membaik. Hmm… apa kereta tercepat masih ada malam-malam begini?” Hana berbicara lagi setelah Daishin mematikan kran hingga airnya mati total. Nada suara yang biasa dan seolah tidak ada hal mengganjal apa-apa lagi di hatinya. Hana teringat pada Sazlina dan Khaisan yang seharusnya sudah siap meluncur ke Osaka. Jika siang akan mudah dengan menaiki kereta cepat Nozomi Shinsaken. Namun, jika malam begini, adakah? Sedang jam operasi maksimal untuk stasi
Pantry yang tidak luas itu terasa lebih lapang sebab lengang. Meski auranya panas dan penuh bara api. Sazlina hingga menahan napas dan tegang. Menduga jika Khaisan sedang sangat marah. Bersyukur dirinya tidak mengeluh berlebihan. Bukan dirinya yang dipikirkan, tetapi Daishin yang akan mendapat murka dari suaminya. “Ulangi tadi apa yang kamu bilang pada istriku, Daishin…!” Khaisan memecah hening dari kebungkaman mereka yang lama. Suaranya tajam dan keras. Cukup menggema di sekitaran ruang pantry dan penjuru lantai dua. Daishin mungkin sudah menduga, tetapi gerakan tangan dari mengaduk sup di mangkuk terjeda. Seolah sedang berpikir apa yang akan dia ucapkan. Lalu memutar kursi dan berhadapan pandang langsung dengan Khaisan. “Maaf, Mas. Mungkin aku lancang kali ini. Tetapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Jujur, aku pernah suka dengan Sazlina saat di agensi. Tetapi dia terus menolak dan tiba-tiba pulang ke Indonesia. Sekarang tiba-tiba bertemu dan tiap hari melihat, perasaan itu da
Ada satu handuk baju di dalam kamar mandi. Mungkin Khaisan sengaja menyisakan untuk di pakai oleh Sazlina. Lelaki itu lebih memilih selembar kecil handuk untuk dililitkan di tubuh saat sudah keluar dari kamar mandi. “Untuk apa baju basah itu dibawa-bawa?” tegur Khaisan. Merasa tidak suka melihat Sazlina menenteng baju kotornya yang basah. “Kubawa ke kamarku, akan kucuci dan kujemur.” Sazlina sambil salah tingkah, bingung dengan tetesan air dari baju basah di tangannya ke lantai. “Letak kembali di dalam, biar diurus Mijhe. Lekas ganti baju, nanti kamu masuk angin,” ucap Khaisan pelan. Paham jika Sazlina merasa segan. Sazlina yang galau tidak membantah, segera masuk kembali ke kamar mandi dan meletak seluruh baju basahnya di sudut. Berpikir Mijhe akan maklum sebab sudah tahu tentang pernikahannya. Kemudian keluar lagi dengan perasaan berdebar. “Aku akan ke kamarku, tukar baju.” Kata Sazlina sambil tergesa menuju pintu. “Ada banyak baju di almari!” seru Khaisan bermaksud menahan.
Setelah meladeni wawancara heboh dari mamanya, juga beberapa pertanyaan dari papanya, serta dilepas oleh pandangan masam dari Clara, Khaisan membawa Sazlina naik tangga ke lantai dua. "Mas Daishin ke mana...," gumam Sazlina lirih sambil mengikuti Khaisan. "Dia sudah besar. Tidak usah dicari-cari." Khaisan yang mendengar pun menyahut datar. Kemudian menghentak tangan kecil yang terasa halus di genggamannya. “Aku…,” ucap Sazlina tercekat saat Khaisan menyeretnya menepi ke arah kamar miliknya. Perasaannya berdebar dengan apa yang bakal terjadi kemudian. Pikiran nakal di kepalanya seketika menggoda. “Kenapa, keberatan? Siapa yang ngotot ingin dibawa ke kamarku?” tanya Khaisan sambil membuka pintu kamar yang tidak dikuncinya. “Aku … tidak. Tapi, kamu tidak akan berbuat hal jahat, kan?” tanya Sazlina asal. Hatinya semakin berdebar. “Bagaimana jika iya?” tanya Khaisan. Senyum samarnya terlihat dalam remang. Lampu lorong balkon selalu dimatikan Mijhe selepas waktu isya. Hanya sorot bula
Sazlina yang sangat terkejut dan takut, merasa itu semua ternyata sangatlah sia-sia. Khaisan hanya menariknya menuju mobil yang telah dibawa driver mendekat. Bukan ke mana-mana atau menganiaya seperti sangkanya. “Kamu pikir aku psikopat?” tanya Khaisan saat mereka sudah duduk di dalam dan Sazlina berkata akan luah rasa leganya. “Kupikir kamu sangat marah…,” sahut Sazlina yang terdengar engah pada suaranya. Sisa paniknya barusan mesih melekat. “Aku tidak berbuat melampaui batas, bukan bermakna aku tidak marah. Jangan merasa senang dulu.” Khaisan menegur dengan ekspresi tidak ramah. Kendaraan berjalan pelan meninggalkan area Kingnyo di Roppongi. “Apapun perasaanmu, aku sudah minta maaf. Aku merasa senang, kamu seperti sangat peduli padaku. Tiba-tiba aku menyesal kenapa tidak menikah sedari dulu. Ada seseorang yang peduli padaku di tempat jauh, rasanya jadi haru.” Sazlina berbicara jujur dengan yang sedang dirasa. “Kamu ingin menikah dari dulu? Siapa yang kamu harap menikahimu?” tan
Khaisan membanting pintu hingga menghempas dinding dan berbunyi keras. Namun pintu yang terpental itu kembali menutup sendiri dengan perlahan. Seolah sangat rela akan perlakuan sang tuan padanya.Pria penguasa kamar menyambar dua power bank sekaligus dari laci. Tidak ingin kejadian habis baterai terulang kembali di saat yang tidak diinginkan. Lalu dibawanya ke sofa dan menghempas diri kasar di sana. Sambil menyalakan ponsel, matanya menyapu seluruh sudut kamar dengan nuansa tampak baru. Sangat segar, rapi dan bersih lebih dari sebelumnya. Sayang sekali perempuan yang ingin dibawanya dengan tidak sabar malam ini telah membuatnya marah dan sangat kecewa. Beberapa pesan yang di antaranya dari Sazlina telah dibaca segera. Hanya memberi tahu tentang perginya menemani pelancong dari Thailand dan juga ada kalimat minta maaf. “Di mana posisi mereka terakhir?” Khaisan sedang menghubungi driver yang bertugas membawa pelancong dan Sazlina. Lelaki itu sudah memberi laporan akan tugasnya sejak